Matematika Mencari Makna IV: Spiritualitas Logika
- 21 minsTidak bisa disebut sambungan, namun rangkaian dari sebelumnya (bagian pertama, bagian kedua, bagian ketiga)
“Dari pikiran Pencipta didatangkan angka. Dari jumlah didatangkan geometri. Dari geometri didatangkan simbol. Dari simbol muncul surat dan surat itu berasal dari luar mulut manusia. Jadi,… ceritakan lagi, atas Nama Siapa kita berbicara?”
– Claudia Pavonis –
Ada semacam kekosongan yang saya rasakan ketika hanya mempelajari matematika sebagai sebuah metode atau sebagai sebuah tuntutan untuk memahami, apalagi sekedar meraih nilai, memenuhi mata kuliah, atau mengejar kelulusan. Entah memang para pengajar yang terlalu kaku memperlihatkan matematika “apa adanya”, atau memang perguruan tinggi masa kini sudah mengalami pergeseran tujuan dari semata-mata mengenalkan dunia pada siswanya menjadi sebagai pabrik tenaga kerja. Karena apa yang terjadi justru adalah bagaimana Tugas Akhir segera selesai, bagaimana perusahaan-perusahaan mau menerima anak matematika, atau bagaimana anak-anak segera lulus tanpa peduli seberapa paham ia dengan matematika.
Permasalahan pada permukaan seperti itu sudah pernah saya bahas pada tiga tulisan saya yang lain (Antara Intelektual dan Sebuah Institut) sebenarnya. Kali ini, saya hanya ingin terus mengisi kekosongan-kekosongan itu dengan lebih memperluas perspektif mengenai bagaimana saya melihat eksistensi bernama matematika. Karena sungguh, matematika merupakan entitas yang penuh misteri. Alangkah sayang dan betapa rendahnya bila kita hanya melihat entitas ini hanya sebagai profesi atau keahlian. Klaus G. Witz, dalam bukunya, Spiritual Aspirations Connected with Mathematics, mencoba lebih mendalami makna sesungguhnya dari yang ia sebut “Nature of Mathematics”.
Saya pernah mendengar dosen saya mengatakan bahwa untuk memahami matematika, kita harus bermatematika terlebih dahulu. Mungkin saya hanya mahasiswa sarjana matematika tingkat akhir yang belum banyak bermatematika, namun sama sekali tidak menutup kemungkinan semua hasrat saya untuk lebih memahami eksistensi ini dengan semua perspektif, untuk lebih membuka mata dan cakrawala lagi bahwa matematika tidak sekedar deretan simbol. Jika untuk memahami matematika, seseorang harus bermatematika setingkat doktor, mau sampai kapan seluruh masyarakat memahami keindahan matematika sesungguhnya?
Seperti yang dikatakan oleh Andreas Christiansen dalam review-nya teradap buku Witz, “The intention of mathematics teaching is to promote the learning of mathematics”, merupakan sebuah tantangan terbesar, terutama bagi kita yang sudah (walaupun sedikit) berkecimpung di dunia ini. Mengajarkan matematika bukan sekedar untuk membuat orang bisa bermatematika, tapi untuk membuat orang ingin belajar matematika, dan untuk itu, saya melalui tulisan ini pun berusaha “mengajar” matematika. Karena sesungguhnya guru dan murid hanya berbeda satu hal, masa belajar. Memang pada tulisan saya yang sebelumnya saya menjelaskan bagaimana kiranya menarik minat orang belajar matematika dengan berorientasi hasil, tapi pada kali ini saya lebih ingin mengungkap keindahan-keindahan yang minimal bisa membuat orang terpukau dan lebih menghargai matematika ketimbang sekedar dipandang sebagai makhluk menjijikkan.
Sekali lagi, saya ingin mengawali dengan sebuah pertanyaan, yang diajukan Klaus Witz terhadap mahasiswa-mahasiswa Universitas Amerika (American University) sebagai bahan penelitiannya: why are these students interested inmathematics, and what drives them. Saya pernah mencoba mengajukan pertanyaan yang sama pada beberapa mahasiswa matematika ITB, yang mendapatkan jawaban yang sebenarnya mengecewakan dan bisa ditebak. Mahasiswa ITB, atau lebih luasnsya lagi, mahasiswa di Indonesia, pada umumnya memang hanya menuntut ilmu di perguruan tinggi sekedar berorientasi hasil, berorientasi kelulusan, atau berorientasi kerja. What drives them to study hampir tidak ada selain janji-janji manis kehidupan setelah lulus. Sungguh sayang bila kesempatan menuntut ilmu 4 tahun tidak menghasilkan apa-apa selain ijazah. Ibaratnya seseorang puasa yang hanya mendapatkan lapar dan haus, bukan sebuah perasaan dan sensasi spiritual yang transenden ketika berpuasa itu sendiri. Khususnya matematika, ada suatu hal lain yang melampaui yang kita lihat selama ini sebagai deretan simbol memusingkan, suatu inner experience, suatu hubungan yang transenden, suatu hal yang menyamai level spritualitas.
Melampaui Keindahan
Saya teringat kata-kata seorang dosen yang entah tengah bercanda atau memang serius, yang mengatakan bahwa jurusan matematika seharusnya masuk FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain), bukan FMIPA. Walau sederhana, sesungguhnya kalimat yang saya dengar sekilas ketika extension course “Bahasa dan Peradaban” di UPT Bahasa ITB yang kala itu tengah membahas mengenai Apakah matematika itu bahasa, menyeret saya pada sebuah kontemplasi yang cukup panjang mengenai matematika itu sendiri. Hal ini jelas menimbulkan sebuah paradoks tersendiri mengenai posisi matematika dalam dunia pengetahuan.
Mengatakan bahwa matematika merupakan bagian dari sains akan mengalami kontradiksi karena walaupun menggunakan rasionalitas, sains adalah ilmu yang empirik, yang mana basis kebenarannya berdasarkan pada pengamatan terhadap fenomena dan kenyataan. Metode ilmiah yang diformalkan semenjak abad pertengahan, yang memulai segala pengamatan dari hipotesis dan berakhir pada konklusi, tidak sepenuhnya berlaku dalam proses bermatematika. Matematika merupakan ilmu yang merupakan rasionalisme sejati, mengabaikan sepenuhnya apa yang terjadi pada kenyataan, bahkan ekstrimnya lagi, matematika steril dari kenyataan. Yang terpenting dari matematika adalah penalaran yang valid, antar premis dan preposisinya. Hal ini membuat matematika begitu bebas bertindak. Ia tidak terpenjara dan terkungkung dalam batas-batas realita yang terlalu rumit, yang berusaha didekati oleh para saintis.
Tapi jika demikian, apakah lantas matematika adalah seni? Hal yang paling mendasar ketika berbicara mengenai seni adalah berbicara mengenai estetika atau keindahan. Seni, seperti musik, lukis, tari, dan lainnya, merupkan bentuk ekspresi kebebasan manusia dalam sebuah hasrat mengenai keindahan. Namun sesungguhnya, estetika tidaklah sekedar berkata ‘indah’, namun bagaimana semua yang dipersepsikan oleh indra mendapat makna tertingginya dalam kesadaran tiap individu. Hal ini memang membuat berbicara mengenai seni dan estetika adalah berbicara mengenai subjektivitas murni. Saya pernah berdiskusi dengan guru seni saya dulu ketika SMA, yang mengatakan pada dasarnya keindahan hanya milik setiap individu. Siapapun punya standar keindahannya sendiri-sendiri. Ini yang membuat seni kontemporer, yang gerakannya dimulai semenjak zaman Renasissance, berlomba-lomba secara bebas mengekspresikan segalanya tanpa mengenal batas-batas aturan. Puisi bukanlah lagi harus berbait dan berima, lukisan tidaklah harus mereplika kenyataan, dan lain sebagainya. Semua berdasarkan perspektif masing-masing terhadap keindahan.
Konsep keindahan dalam estetika selalu berkaitan dengan semua hal yang langsung dipersepsikan oleh indra: visual, audio, maupun kinestetik. Oleh karena itu, bagaimana sesuatu indah adalah bagaimana semua sensor kita miliki terafiliasi dengan emosi untuk menangkap pola-pola dan mengapresiasinya dalam sebuah penilaian keindahan. Lalu apa yang membuat sesuatu itu menjadi indah? Tentu saja pola, pola yang ditransformasi dan dimodifikasi menjadi sebuah harmoni yang “enak” dipandang, dilihat, dibaca, atau didengar. Terlepas dari bagaimana seseorang menilai “enak” ini dengan indra masing-masing, berkreasi dengan seni adalah mengenai memodifikasi pola. Does it ring a bell? Yap, matematika sendiri adalah sebuah proses memodifikasi pola.
Kesalahan pemahaman yang sering terjadi adalah anggapan bahwa matematika melakukan semua yang ia lakukan secara kaku menggunakan nalar. Tapi apakah sekedar murni menggunakan nalar? Tentu tidak, karena tanpa intuisi dan imajinasi, semua hanya terlihat sebagai rangkaian simbol tanpa makna, tanpa esensi, tanpa jiwa. Intuisi ini tentu bermain dalam ranah emosi, selayaknya seseorang melukis atau bermain musik dengan perasaan. Tanpa ada intuisi dan imajinasi yang jelas, yang seorang pemahat lihat sebelum berkarya hanyalah sebuah batu tanpa makna. Semua seniman selalu melihat (atau mendengar) melampaui yang terlihat oleh indra. Menemukan pola dan memodifikasi semuanya dalam sebuah perspektif untuk menghasilkan hal baru yang lebih bermakna. Jika hanya sekedar permainan nalar dengan logika yang kaku, serahkan saja semua permasalahan matematika pada komputer. Namun jelas tidak sepenuhnya bisa, karena yang dilakukan komputer hanyalah proses algoritma berdasar pada aturan-aturan sederhana tanpa pelibatan emosi, intuisi, dan imajinasi. Kontradiksi ini sangat terlihat jelas pada problematika Turing.
Semesta ini tersusun atas pola, dalam bentuk apapun, nada, warna, suhu, waktu, dan lain sebagainya. Darimana sesungguhnya konsep indah bermula dalam persepsi manusia adalah dari alam semesta. Semua keteraturan yang ada di alam membentuk pola dan harmoni, menciptakan suatu sensasi emosi yang kita kenal dengan “indah”. Dengan indra langsung, pola ini dengan mudah terlihat, seperti indahnya pelangi, atau merdunya kicauan burung, atau cantiknya bunga mawar. Seni pun demikian, berawal dari berusaha mereplika pola alam, hingga akhirnya memodifikasi pola-pola tersebut menjadi karya baru. Memang sih, indah, tapi dengan matematika, semua pola tersebut dapat dilihat lebih dalam dan jauh lagi, sebuah proses abstraksi ke “dunia lain”, dunia simbol-simbol untuk melihat keindahanyang sesungguhnya. Pola pada kerang mungkin indah secaravisual, tapi melihat bahwa perbandingan antara jari-jari setiap setengah lingkarannya membentuk golden rasio, keindahan itu bertransformasi menjadi keindahan yang lain! Seperti yang saya tulis juga pada tulisan yang bagian 2, matematika membahasakan semesta agar dapat melihat suatu tatanan dalam realita, dan menggeneralisasikannya dalam konsep yang lebih abstrak dan luas. Sebuah keindahan yang melampaui indra, a beauty of mind! Seperti yang saya ingat dari suatu kalimat, “Fenomena alam tetap dapat dimengerti walaupun tidak memahami matematika. Namun, dengan matematika, keindahan tersebut lebih jelas dan sempurna”
Salah satu orang yang berhasil melihat hubungan antara matematika dan seni adalah leonardo da vinci. Tentu kita semua mengenal orang luar biasa ini, terutama dari karya Dan Brown, Da Vinci Code. Semua ciptaannya tidak sekedar indah secara indrawi namun indah juga dalam abstraksi. Memang, matematika yang sesungguhnya adalah yang bisa menciptakan sensasi keindahan tersendiri, bukan sekedar alat mati tak berperasaan yang hanya tinggal pakai oleh ilmu lain untuk menyelesaikan permasalahan di realita. Seperti yang dituliskan G.H. Hardy, dalam bukunya, A mathematician’s Apology, “The mathematician’s patterns, like the painter ’s or the poet’s, must be beautiful; the ideas, like the colours or the words, must fit together in a harmonious way. Beauty is the first test: there is no permanent place in the world for ugly mathematics”. Matematika memiliki elegansi yang menjadi ciri khas tersendiri, suatu standar estetika yang berbeda ketimbang seni-seni lainnya. Beberapa pembuktian teorema pun bisa terlihat indah cukup hanya karena ia begitu elegan, seperti pembuktian Euklid mengenai ketakterhinggaan bilangan prima atau pembuktian Phytagoras bahwa akar dua adalah bilangan irasional. Hal ini pun diungkapkan oleh Reuben Hersh, yang mengatakan “elegance is more common in mathematical theories than in philosophical ones”.
Selain itu, matematika pun memiliki kebebasan layaknya seni. Persis seperti yang dikatakan Georg Cantor bahwa “The essence of mathematics is its freedom”, matematika tidak terikat sedikit pun pada kekakuan dan kerumitan realita yang terkadang menjadi batas-batas tersendiri pada ilmu sains. Namun, berbeda dengan seni yang murni bebas tanpa aturan sedikit pun, yang mana siapapun bebas berekspresi dan mengungkap keindahan berdasarkan perspektif masing-masing, matematika terikat pada aturan tapi hanya satu, yaitu logika. Sebuah kebebasan di balik kepatuhan keras yang tidak boleh dilanggar sedikitpun. Hal ini membuat matematika menjadi sebuah keseimbangan yang indah antara kebebasan dan kepatuhan, antara fleksibilitas dan ketertundukan, antara dinamis dan statis. Ia tidak sekaku sains, tapi juga tidak sebebas seni.
Kebebasan terbatas ini menjadikan matematika ilmu yang sangat fleksibel. Kebebasannya membuat ia bagaikan burung yang bebas terbang sejauh mungkin namun tetap terikat pada gravitasi. Abstraksi-abstraksi yang mampu dilakukan matematika merupakan akibat dari kebebasan ini. Ia mampu melampaui realita dan kewajaran, sehingga mewajarkan yang terasa tidak wajar, ambillah contoh ketakterhinggaan. Maka jelas saja bila matematika disebut ratu ilmu pengetahuan, ia yang paling berkuasa, karena ia tidak tunduk pada apapun selain logika.
Melampaui Bahasa
Pada bagian kedua, saya sempat membahas bahwa matematika merupakan instrumen bagi manusia untuk berkomunikasi dengan alam semesta, dengan mentranslasi pola-pola alam ke dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti manusia. Matematika berusaha mencari sebuah bahasa universal yang tidak relatif bergantung pada dialek, budaya, daerah, dan lain sebagainya, sehingga akhirnya muncullah formalisasi logika, sebuah bentuk ‘bahasa’ yang bisa dipahami dalam penalaran global.
Dari sini, aku kembali pada pertanyaan yang menjadi salah satu topik extension course bahasa dan peradaban kala itu, Apakah matematika itu bahasa? Untuk menjawabnya, mari kita telaah terlebih dahulu mengenai makna bahasa itu sendiri. Secara umum kita dapat mendefinisikan bahasa sebagai sebuah sistem lambang dan simbol yang diciptakan untuk berkomunikasi, yang mana komunikasi sendiri berkaitan dengan transfer makna melalui aturan-aturan tanda tertentu. Poin penting mengenai hal ini adalah bahwa bahasa merupakan media transfer informasi bermakna yang diimplementasikan dengan tanda-tanda tertentu. Contoh dari tanda ini adalah kata “langit” yang merujuk pada sesuatu di sebelah atas kita, sebuah informasi yang memiliki makna.
Ketika berbicara mengenai matematika sebagai bahasa, tentu adalah bagaimana kemampuan matematika dalam menjadi media untuk mentransfer informasi yang bermakna. Formalisasi yang terjadi semenjak zaman Aristoteles sesungguhnya telah mencoba mengonversi informasi yang tercantum pada pola-pola di alam ke dalam bentuk yang lebih abstrak. Formalisasi ini mempertahankan sifat abstraksi dan universalitas dari informasi yang tengah dimediasi sesungguhnya, sehingga memang terasa kaku, karena memang sedari awal tujuan utamanya hanya untuk membungkus informasi di alam. Mengenai penyampaiannya dengan sesama manusia menjadi urusan belakangan dan diserahkan pada bahasa masing-masing, namun bungkus ini tidak pernah berubah karena sifatnya yang dari awal dibuat se-universal mungkin. Hal ini diungkapkan oleh David Hillbert yang mengatakan, ”Mathematics knows no races or geographic boundaries; for mathematics, the cultural world is one country.”
Jika melihat komunikasi dari perspektif lain, yang mana informasi yang tersampaikan tidak hanya sekedar informasi eksplisit yang terungkapkan, namun juga informasi implisit lainnya seperti emosi, gerakan, ekspresi, dan lain sebagainya, maka matematika akan kehilangan jabatannya sebagai sebuah ‘bahasa’. Bahasa formal matematika terlalu kaku bila memang dipakai untuk komunikasi sehari-hari yang sangat fleksibel. Hal ini memang disebabkan bahasa-bahasa yang terpakai dalam komunikasi keseharian tercipta dan terkonstruksi secara perlahan dalam waktu yang lama dari rangakaian budaya, kebiasaan, dan hal lain sebagainya yang menubuh pada masyarakat, sehingga jelas komunikasi tidak sekedar transfer informasi.
Tapi apakah memang bahasa formal matematika sekaku itu untuk mengungkap makna? Hal ini pada dasarnya karena memang formalisasi bahasa matematika tidak dikonstruksikan dari hasil perpaduan budaya antar individu. Ia muncul begitu saja dari kebutuhan untuk menguniversalisasi informasi pola-pola alam. Bahkan, jika dilihat lagi, bahasa formal matematika punya ‘grammar’ paling sederhana ketimbang semua bahasa, karena ia hanya memakai logika yang diformalkan dalam simbol-simbol. Walaupun begitu, penggunaan logika dalam berbahasa lah yang membuat ia menjadi terasa rumit dalam standar manusia yang terbiasa memakai gabungan emosi-pikiran dalam berkomunikasi.
Walaupun begitu, seperti yang saya bahas sebelumnya, matematika tetap membutuhkan intuisi dan imajinasi ketika mengungkapkan atau menerjemahkan sesuatu. Logika murni tidak bisa serta merta bisa menyelesaikan permasalahan matematika. Hal ini memang yang menyebabkan teknik komputasi hanya bisa membantu manusia hanya pada algoritma-algoritma dasar yang bersifat ‘mengulang’ dan dengan prosedur yang jelas, karena ia tak membutuhkan hal lain selain logika murni. Akibatnya, bahasa formal matematika sendiri pun masih terlalu fleksibel buat mesin, yang mana tidak bisa dengan gamblang diungkapkan begitu saja. Gabungan intuisi dan imajinasi membuat bahasa matematika sesungguhnya membutuhkan emosi walaupun sedikit. Pada akhirnya ini menciptakan sedikit ironi, ia terlalu kaku untuk manusia, namun terlalu fleksibel untuk mesin.
Hal ini sebenarnya membuat saya melihat matematika menjadi semacam media komunikasi bentuk lain, hal yang melampaui perspektif manusia ataupun mesin. Walau memang secara dilematik, matematika sendiri merupakan bahasa yang murni diciptakan oleh manusia sendiri, namun bukankah manusia menciptakannya berdasar apa yang ia lihat dari alam? Manusia hanya memformalkan apa yang secara natural terjadi pada nalar, maka matematika masih bisa dianggap bahasa paling murni dan alami. Dengan demikian, ia tidak sekedar mengomunikasikan realita, tidak sekedar menjadi ‘tanda’ buat kenyataan, namun matematika adalah bahasa yang mengomunikasikan gagasan, menjadi ‘tanda’ buat ide. Gagasan yang dimaksud di sini adalah apa yang dikatakan plato sebagai objek abstrak non-material yang merupkan substansi setiap eksistensi. Ide atau gagasan adalah inti dari setiap objek material yang sebenarnya terwujud hanya dari persepsi indra. (Jika belum paham mengenai hal ini, disarankan baca dulu teori plato mengenai ide)
Segala sesuatu pasti memiliki hal inti yang mendasar sesuatu tersebut, sebuah ide. Dengan melihat inti ini, kita bisa mengonversi sesuatu tersebut ke dalam pemahaman yang lebih sederhana. Ambillah contoh logo pada toilet umum laki-laki, merupakan penyederhanaan ide mengenai gender laki-laki, walaupun sesungguhnya jika dilihat seksama hanya sekdar gambar beberapa garis dan satu lingkaran. Nah, apa yang dilakukan matematika adalah melihat semua realita menjadi model paling sederhanannya. Matematika berusaha melihat pola paling inti yang ada pada semesta dan kemudian mengonversinya dengan bahasa formal. Inilah kenapa saya katakan bahasa formal matematika mengomunikasikan gagasan, bukan realitanya. Selanjutnya, bentuk aplikasi dari matematika lah yang merupakan objek material dari gagasan-gagasan ini, manifestasi lebih lanjut dan lebih konkret dari gagasan yang abstrak. Seperti roh yang menemukan jasadnya, gagasan-gagasan ini menyebar dan terimplementasikan pada berbagai realita yang lebih rumit dan nyata. Ambillah contoh gagasan dasar mengenai matriks, yang kemudian bisa menubuh menjadi representasi lain dari graf, sistem persamaan linear, transformasi basis, teori koding, dan banyak hal lainnya.
Hal ini berarti bahwa bahasa formal matematika berkomunikasi dengan hal yang jauh lebih fundamental ketimbang bahasa biasa. Ia tidak serta merta eksplisit dapat mengomunikasikan bagaimana jumlah daun pada bunga tumbuh begitu saja, namun ia membicarakan gagasan bahwa pertumbuhan jumlah daun selalu mengikuti barisan fibonacci. Ia tidak serta merta eksplisit mengatakan bahwa benda yang bundar itu terlihat ideal, namun ia membicarakan gagasan bahwa semua benda bundar memiliki perbandingan antara luas dan diameter yang selalu sama. Dengan demikian, matematika bagai berkomunikasi melampaui bahasa sehari-hari karena ia langsung merujuk pada gagasan, bukan lagi pada realita.
Berbicara lagi mengenai keindahan, rangkaian bahasa yang terlihat kaku namun sesungguhnya luwes ini bagai membentuk sebuah level sastra yang berbeda ketimbang bahasa-bahasa lainnya. Semacam ada suatu keindahan tersendiri ketika membaca kalimat-kalimat matematika terangkai untuk membentuk syair-syair gagasan. Saya sendiri pun melihat simbol-simbol dalam matematika sangatlah sederhana namun mengungkap begitu banyak makna, seperti misalnya simbol kuantor. Ini mungkin juga disebabkan oleh elegansi yang terlihat dari keseluruhan ungkapan matematika. Begitu elegan sehingga menghasilkan semacam subjektivitas keindahan yang belum tentu dirasakan sama oleh semua orang. Saya pernah mencoba semacam membaca kalimat-kalimat matematika layaknya sebuah puisi, dan itu sangat mengagumkan! Puisi yang tegas dan straight, tapi tetap luwes dan bermakna.
Hal ini mengingatkan saya pada extension course Bahasa dan Peradaban juga, namun dengan topik yang berbeda mengenai bahasa dan teknologi, yang mengatakan bahwa kemungkinan akan datang suatu masa ketika logika kaku telah diserahkan sepenuhnya pada mesin, manusia akan berkomunikasi dengan bahasa alam murni yang tersampaikan secara implisit tanpa kata-kata.Manusia akan langsung berkomunikasi dengan gagasan, tanpa perlu hal-hal eksplisit mengenai realita yang terlalu mendetail. Mungkin terkesan terlalu imajinatif dan mengada-ngada, namun ketika sedikit melepas liar imajinasi dan intuisi saya dalam merangkai semua keterhubungan ini, mungkin saja memang di masa depan, kata-kata eksplisit tidak perlu lagi diperlukan, emosi tersampaikan dengan spiritualitas yang lebih tinggi, sedangkan gagasan tersampaikan secara murni, dan entah kelak bagaimana bentuknya, terbahasakan dengan matematika yang lebih abstrak.
Melampaui Rasio
Semakin ke sini mungkin pembahasan semakin berada pada level yang sulit masuk di akal, tapi itulah yang saya maksud spiritualitas! Bagaimana kita bisa menjelaskan khusyuknya orang shalat yang bagaikan berkomunikasi langsung dengan Tuhan? Seperti itu lah yang saya coba ungkapkan mengenai apa yang sebenarnya menjadi jiwa matematika sesungguhnya, karena saya selama ini melihat orang-orang hanya mengerti matematika sebagai jasad belaka, tidak sampai menghayati pada tatataran ruh dan gagasan. Mungkin spiritualitas ini seperti yang dirasakan Srinivasa Ramanujan yang mengatakan mendapatkan inspirasi dari semua karya matematikanya dari dewi Mahalaksmi (karena beliau seorang hindu).
Klaus Witz dalam dalam penelitiannya terhadap 4 mahasiswa doktor matematika mengungkapkan, “…there arose something like a tacit ‘inner understanding’ of mathematics, almost like an ‘inner vision’ (different for each student), which involved beauty, metaphysical elements and had moral aspects, led them to go to graduate school and pursue a career in mathematics, and from then on became part of their basic orientation to mathematics.” dan juga ia mengatakan, “each student’ inner understanding of mathematics represented a significant part of her spirituality”. Ada semacam perasaan dalam yang muncul pada matematikawan ketika dengan sepenuh hati mendalami matematika.
Memang kembali pada petanyaan di bagian awal tulisan ini: “why are these students interested in mathematics, and what drives them”. Penggunaan rasio untuk menjawab pertanyaan tersebut hanya akan berujung pada jawaban-jawaban retoris yang menjadi tren jawaban di Indonesia, jika tidak karena memang ingin sekedar jadi dosen, tergiur dengan janji-janji manis aktuaris dan keuangan, atau bahkan terjebak alias merasa salah jurusan. Ilmu seperti matematika membutuhkan perasaan yang lebih tinggi untuk menemukan makna kenapa harus berkecimpung di dalamnya. Pertanyaannya sesederhana kenapa pelukis melukis atau kenapa penyair mencipta sajak. Orientasi mereka sama sekali bukan karena pekerjaan atau karena tergiur hal-hal lain, tapi cukup karena mereka merasakan suatu ‘inner peace’ yang mendorong mereka untuk melakukannya tanpa alasan, dengan bahasa lain, melakukan cukup karena ingin.
Hal ini jelas karena dari penjelasan-penjelasan saya sebelumnya, matematika melampaui batas-batas dasar yang kita pahami selama ini dengan sederhana. Ia melampaui sains, melampaui seni, melampaui sastra, ia merupakan sebuah eksistensi unik yang merupakan sinergi semua komponen. Ada semacam hasrat tersendiri yang muncul ketika seorang matematikawan mengerjakan kerjaannya. Hal ini akan berbeda-beda tiap individu, karena sesungguhnya perspektif spiritulitas berkaitan dengan individual experience, suatu hal yang dirasakan dan dialami sendiri masing-masing, namun semuanya sama-sama terdorong untuk melakukan sesuatu berbasis hasrat dan perasaan, suatu sensasi yang transenden, melampaui rasio.
Pada titik ekstrimnya, bahkan, Jerry Uhl, seorang matematikawan juga, mengatakan bahwa matematika itu adalah agama. Kenapa? Karena ia memang punya aturan tertentu, sederhana, diyakini, dan menimbulkan sensasi spiritual ketika dilaksanakan. Mengerjakan permasalahan matematika dan menemukan solusinya akan menghasilkan sensasi yang serupa orang ketika selesai bersamadhi atau selesai shalat khusyuk. Saya kembali mengutip apa yang diungkapkan Witz dalam penelitiannya, “At a minimum level this says that higher mathematics as experienced and done by many mathematicians tends to be in a unity with spirituality, higher (including Divine) experience, it should not be considered a purely intellectual thing, or only a way of understanding/mastering the world”
Terlalu banyak yang bisa terungkap dari matematika, namun semuanya butuh pengalaman tersendiri, yang tidak bisa sekedar ‘diceritakan’. Selayaknya beribadah, semuanya hanya butuh praktik untuk bisa merasakan, karena sekedar mengetahui tidak cukup untuk menggapai tiitk spiritualitas. Mungkin inilah kenapa dosen saya mengatakan ktia harus bermatematika terlebih dahulu sebelum bisa memahami matematika, karena semua terkait pada perasaan langsung, yang hanya bisa dimengerti ketika telah berkecimpung di dalamnya, merasakan atmosfernya, dan menghayati setiap maknanya. Juga teringat apa yang dikatakan seorang kawan, “Jangan beritahu orang cara untuk hidup, buatlah ia hidup”, karena cara dan sebagainya hanya bisa terhayati dengan melakukan sendiri. Ini juga yang membuat Christiansen mengatakan bahwa tujuan dari pengajaran matematika adalah membuat orang mau bermatematika.
Meskipun begitu, apa yang saya tulis di sini adalah pengungkapan berbagai sisi matematika yang belum tentu disadari, bahkan oleh matematikawan sendiri. Fenomena yang terjadi selama ini pada mahasiswa matematika adalah ketiadaan jiwa sama sekali yang muncul selama bermatematika, semacam suatu hal yang kosong. Orientasinya pun ujung-ujungnya hanya pada hal-hal yang bersifat materialistis, entah lulus, entah kerja, tanpa sedikit pun berusaha menghayati apa yang mereka lakukan dengan sepenuh jiwa. Sangat disayangkan memang, mengingat betapa mengagumkannya ilmu yang satu ini. Kesadaran-kesadaran yang sulit muncul mengenai matematika juga yang mengakibatkan matematika hanya akan selalu menjadi alien dari planet antah berantah yang begitu menakutkan, bahkan bagi mahasiswa matematika sendiri.
Pada akhirnya, dengan semua kekaguman dan keterpukauan saya terhadap matematika, mungkin benar apa yang dikatakan salah seorang kawan di Lingkar Sastra, bahwa matematika bisa menjadi jembatan mistik-seni-ilmiah. Posisi dan sifatnya yang begitu unik, seperti yang saya uraikan panjang lebar di atas, membuat matematika memiliki makna tersendiri yang sungguh sayang bila hanya terbuang dalam ketakutan, penjara mental akibat stigma buruk yang muncul dari rangkaian simbol dan persamaan.
NB:
Saya pribadi tidak menemukan banyak alasan ketika tertarik dengan matematika. Semacam ada suatu ketertarikan pada entitas bernama matematika, sesuatu yang tidak akan ditemukan pada ilmu lain. Seiring waktu saya kuliah 2 tahun bersama matematika sendiri pun saya merasakan seperti yang dikatakan dosen saya pada kuliahnya, bagai menelusuri jalan berkabut yang mana mungkin orang-orang teknik atau ilmu lain sudah tahu jalan berkabut itu titik akhirnya dimana, namun sensasi ketika menerobos kabut tersebutlah yang menjadi hal tak tergantikan. Pada dasarnya saya sendiri punya target unuk mencari kebenaran pada ilmu ini. Itulah kenapa tercipta semua tulisan pencarian makna ini.
(PHX)