Matematika Mencari Makna II: Kenyataan Buatan
- 10 minsTidak bisa disebut sambungan, namun rangkaian dari bagian pertama
Pencarian terhadap makna bukanlah suatu hal yang bisa selesai dengan singkat, bahkan bisa membutuhkan ribuan tahun, apalagi untuk suatu eksistensi seabsurd matematika. Bisa dibayangkan, matematika, selayaknya hidup, Tuhan, takdir, atau cinta, merupakan salah satu objek yang telah menjadi pembahasan abadi sejak pertama kali peradaban manusia muncul. Hampir tiada akhir. Karena melihat di masa kini pun, matematika masih meluaskan dirinya ke dalam bentuk paling abstrak dalam ranah teori sekaligus ke bentuk paling kompleks dalam ranah praktis.
Pada tulisan sebelumnya, sudah sedikit saya coba paparkan apa yang selama ini saya pikirkan mengenai definisi matematika, yang berujung pada suatu kesimpulan yang mungkin tak memuaskan. Tapi memang, matematika telah menjadi sesuatu yang tak bisa didefinisikan, ia saat ini telah bertransformasi menuju suatu wujud yang bisa melebur ke semua eksistensi. Walau mungkin saya sendiri hanyalah mahasiswa yang baru mengenal wujud ini selama 3 tahun, yang mungkin hanya baru mengetahui kurang dari satu persen dari apa sesungguhnya matematika, namun saya tidak dapat menahan diri untuk melepaskan kontemplasi. Untuk kali ini, saya tak akan membahas lagi definisi, namun mencoba satu perspektif yang sejak awal selalu menjadi paradigma umum terhadap matematika, bahwa matematika hanyalah tools, suatu perkakas yang tinggal pakai untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan praktis. Tentu saja itu tidak salah, tapi apa salahnya mencoba merefleksi.
Teknologi Pikiran
Matematika terkadang diibaratkan gudang perkakas. Ketika menemukan suatu permasalahan di dunia nyata, cukup cari dalam gudang itu, atau bila belum ada alat yang memadai, tinggal rakit yang baru di gudang itu juga. Perspektif ini memang selalu membuat matematika selalu dianggap hal yang jarang menyentuh dunia nyata. Memang, pada perkembangannya, matematika selalu mengikuti permasalahan yang ada, artinya ia memang berkembang jika ada permasalahan. Seperti halnya volume bangun ruang tidak akan dirumuskan jika tidak ada kebutuhan manusia untuk mencipta benda secara presisi, atau kalkulus tidak akan dirumuskan jika tidak ada kebutuhan manusia untuk melakukan kalkulasi dengan variabel-variabel yang bergerak tak wajar (lebih tepatnya kebutuhan Newton untuk melakukan perhitungan mengenai kecepatan benda ketika jatuh bebas), atau riset operasi tidak akan dirumuskan bila ketika perang dunia ke-II tidak ada kebutuhan untuk melakukan optimasi logitik dengan tepat, atau lebih mendasar lagi, bilangan tidak akan dirumuskan bila tidak ada kebutuhan manusia untuk melakukan perbandingan jumlah suatu objek.
Memang, jika berkata mengenai perspektif matematika sebagai alat, pertanyaan pertama yang perlu dijawab adalah alat seperti apa matematika itu, atau mungkin lebih tepatnya, apa itu alat? Ambillah definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV bahwa alat adalah barang yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu atau barang yang dipakai untuk mencapai suatu maksud. Alat dalam perspektif ini sangat mirip dengan perspektif pembahasan makna teknologi sebagai sesuatu yang memudahkan manusia, baik dalam hal mengerjakan sesuatu maupun mencapai suatu maksud. Perbedaan mendasar antara matematika dengan teknologi hanyalah wujudnya, karena tentu saja berada pada ranah yang berbeda. Namun bila memang memakai perspektif alat, matematika tidak lain adalah teknologi untuk pikiran, alat untuk mengolah, menganalisis, memahami, menyimulasi, membayangkan, mengabstraksi, mengalkulasi, dan hal lainnya agar pikiran dapat “mengerjakan sesuatu” atau mencapai suatu maksud. Sehingga seperti halnya dalam membahas teknologi, sesungguhnya matematika lahir dari hasrat, namun tidak senyata teknologi karena ia hanya bermain dalam ranah pikiran abstrak.
Jika memakai pendekatan fenomenologi seperti yang dijelaskan Don Ihde dalam filsafat teknologinya, teknologi dianggap sebagai perantara antara manusia dengan dunia dalam hal persepsi. Jadi teknologi mengubah relasi manusia dengan dunia. Contoh sederhananya adalah kacamata yang mengubah persepsi visual dunia secara langsung terhadap mata, atau termometer yang juga mengubah persepsi dunia dengan angka-angak yang menunjukkan suhu. Matematika sendiri pun secara fenomena sesungguhnya berperilaku hal yang sama, namun persepsi yang diarahkan adalah persepsi pikiran. Bagaimana konsep integral mengubah paradigma kita terhadap luas suatu daerah, atau bagaimana konsep statistik inferensi memberi gambaran kepada kita suatu populasi hanya dengan melihat sebagian.
Walaupun begitu, seperti apa yang dikatakan Bertrand Russel dalam bukunya, perkembangan matematika sesungguhnya mengarah pada dua arah berlawanan, ke ranah abstraksi dan ke ranah aplikasi. Hal ini diibaratkan mikroskop dan teleskop, keduanya sesunggunya memakai konsep yang sama, yaitu pemanfaatan magnifikasi visual secara optik, namun yang satu menyingkap realitas dasar, ke arah mikro, dan yang satu menyingkap realitas holistik, ke arah makro. Matematika dalam analogi tersebut adalah optiknya, tidak perlu menjangkau objek, namun ia menjadi instrumen, media, atau perantara manusia untuk mempersepsi realita di sekitarnya dengan skala yang berbeda-beda. Matematika dalam konsep fenomenologi dengan demikian bisa diibaratkan seperti teknologi, hanya merupakan instrumen manusia untuk berinteraksi dengan dunia. Namun tidak seperti teknologi yang memediasi indra manusia, karena wujud dari matematika ini sendiri tidak nyata, instrumen di sini lebih kepada memediasi pikiran manusia dalam bentuk konsep dan abstraksi.
Bahkan konsep abstrak seperti aljabar pun menjadi instrumen manusia untuk melihat realita dalam suatu prinsip yang sangat umum, ia ibarat teleskop yang hanya melihat sesuatu yang diluar jangkauan untuk sekedar memahami keseluruhan struktur dari realita. Mungkin pertanyaan berikutnya yang akan muncul adalah mengnai seberapa benar realita yang dipersepsikan, karena mungkin saja itu hanyalah konstruksi ideal sebagai pendekatan permasalahan yang lebih kompleks. Hal ini seperti apa yang pernah dikatakan Pak Iwan Pranoto dalam sebuah kuliah umumnya mengenai matematika dan bahasa. Beliau mengatakan bahwa matematika adalah ilmu paling sekuler, karena semuanya merupakan ciptaan manusia, tanpa peduli realita seperti apa, selama dikonstruksikan dalam alur logika yang tepat, tanpa perlu eksperimentasi. Tak ada yang benar dalam matematika, yang ada adalah valid atau sah secara logika. Maka bila demikian, realita seperti apa yang dipersepsikan oleh matematika?
Membahasakan semesta
Kita semua tahu bahwa prinsip utama yang dipegang dalam matematika adalah logika. Walaupun dikatakan oleh Cantor bahwa esensi dari matematika adalah kebebasannya, matematika tetap tunduk pada logika. Jika diibaratkan, logika adalah pijakan, atau bahkan jiwa dari matematika. Tapi sebenarnya kita harus mulai bertanya, apa sesungguhnya logika? Tentu saja karena matematika adalah dasar dari semua ilmu eksak dan matematika sendiri berlandaskan logika, tentu saja landasan paling dasar ini haruslah sesuatu yang sangat kuat dan tidak memiliki cacat sedikitpun. Jika ada sedikit saja lubang pada logika, maka seluruh konstruksi ilmu pengetahuan akan rubuh.
Padahal, hal yang benar-benar kita anggap suatu landasan kuat selama ini hanyalah buah pemikiran Aristoteles yang mencoba mensitemasi pikirannya untuk suatu pemahaman yang kokoh terhadap semesta. Aristoteles sesungguhnya tidak menciptakan apapun, ia hanya berusaha mencari suatu bahasa universal untuk mengungkapkan dan mengolah apa yang terlihat tanpa terpengaruh oleh persepsi. Tentu saja, logika hanyalah bahasa. Bahasa diciptakan pada dasarnya untuk mencapai pemahaman bersama antar individu mengenai sesuatu. Ketika dikatakan “kursi”, orang yang memahami bahasa itu akan memiliki pemahaman yang sama terhadap objek yang ditunjuk. Sayangnya, bahasa selama ini selalu relatif, memiliki dialeknya sendiri-sendiri antar daerah. Perbedaan sedikit saja dalam hal budaya, geografis, atau variabel lainnya, bisa memengaruhi makna yang diciptakan bahasa. Lalu jika demikian, bagaimana kita bisa memahami alam semesta ini dengan pemahaman yang sama? Dari situlah muncul logika, sebagai bahasa yang diciptakan universal, didesain dalam bentuk aturan-aturan sederhana sedemikian sehingga orang manapun yang membacanya akan berpikir dengan cara yang sama.
Sebenarnya saya sendiri masih begitu takjub bila memang sistem logika yang terpakai hingga saat ini murni merupakan konstruksi Aristoteles. Namun terlepas bagaimana sistem logika ini dikonstruksi, ia telah terbukti bertahan selama 2 milenium hingga saat ini tanpa cacat sedikit pun. Namun, logika sesungguhnya hanya menggeneralisasi suatu sistem yang sesuai dengan pikiran individu manapun, ia masih tidak peduli bagaimana semesta berkomunikasi. Maka harus dikonstruksi suatu struktur baru diatasnya untuk menggunakan sistem tersebut untuk memahami semesta, bagaimana semesta ini dibahasakan dalam suatu struktur yang bisa dipahami manusia secara universal. Jika memakai bahasa umum, hal-hal seperti emosi, rasa, estetika, dan lain-lain akan memengaruhi bagaimana kita melihat semesta, dari aliran sungai hingga pergerakan planet.
Kita tidak pernah tahu semesta berkomunikasi dengan bahasa apa. Namun, matematika hanya mencoba melakukan pendekatan agar bisa menerka fenomena yang ada dalam melalui pola-pola tertentu. Ini bagaikan seorang arkeolog yang mencoba membaca suatu artefak kuno yang dia sama sekali tak tahu-menahu bahasa apa yang dipakai dalam artefak tersebut. Itulah kenapa sering dikatakan, matematika adalah ilmu tentang pola. Karena dengan bersenjatakan logika, matematika berusaha melihat suatu tatanan dalam realita, dan menggeneralisasikannya dalam konsep yang lebih abstrak dan luas, walaupun itu belum tentu ada pada realita. Mulai dari geometri, teori bilangan, hingga sekarang yang sekompleks sistem dinamik pun awalnya hanya berasal dari realita sederhana yang kemudian diperluas menjadi suatu konsep umum.
Akan tetapi, apakah memang matematika hanyalah alat untuk mempersepsi atau instrumen membaca? Pendekatan fenomenologi yang dipakai Don Ihde dalam menganalisis fenomena teknologi sebagai alat instrumen dalam membaca dunia sebenarnya tidak bisa dikatakan salah, namun sebenarnya kurang lengkap karena melihat secara pasif bagaimana manusia berhubungan dengannya. Demikian pula matematika tidak serta merta hanya bisa dilihat sebagai media untuk melihat dan membaca realita, karena jika demikian, matematika tidak akan berkembang menjadi sekompleks sekarang ini yang jelas mengikuti permasalahan yang ada.
Peniru realita
Jika melihat bagaimana peradaban berkembang, yang terjadi sesungguhnya adalah suatu sikus yang saling memicu satu sama lain. Ketika manusia butuh sesuatu, manusia mencari cara untuk mencapai kebutuhan tersebut, maka muncullah suatu alat, entah ia berupa metode seperti matematika ataupun benda seperti teknologi. Namun, setiap penemuan alat ternyata menyingkap dan membuka realitas baru dalam persepsi manusia, memperluas kebutuhan yang dimiliki. Kebutuhan baru ini kemudian secara siklus menuntut pengembangan alat lebih lanjut. Hal ini berlangsung terus menerus hingga saat ini.
Kebutuhan manusia sesungguhnya bisa dilihat dalam dua hal, yaitu kebutuhan untuk memahami dan kebutuhan untuk melakukan. Pada pembahasan sebelumnya, hanya kebutuhan untuk memahami lah yang dilihat, yaitu bagaimana ia memicu pengembangan alat untuk mempersepsi dan membaca. Alat yang dikembangkan akan memiliki implikasi terciptanya persepsi terhadap realitas yang terus-menerus meluas dan berkembang. Dari kebutuhan inilah logika dikonstruksikan, karena pada suatu titik muncul kebutuhan untuk mengembangkan tata aturan bahasa yang universal.
Tidak bisa dipastikan yang mana yang duluan muncul, namun dua kebutuhan ini juga saling memicu. Ketika kebutuhan untuk memahami menyingkap suatu realitas baru terhadap dunia, muncul juga kemungkinan-kemungkinan baru untuk memenuhi kebutuhan untuk melakukan. Sederhananya, dengan memahami suatu perspektif baru mengenai suatu realita, solusi-solusi baru mengenai masalah-masalah yang berkaitan bisa dicoba selesaikan dengan pemahama baru realita tersebut. Nah, matematika bermain di dua kebutuhan ini, membuatnya terbagi ke dua arah pengembangan.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, matematika sesungguhnya mencoba mendekati realita dengan konsep-konsep umum yang dibangun dari logika. Sesungguhnya, realita begitu kompleks untuk benar-benar bisa dikonstruksikan suatu konsep umumnya, maka dibuatlah pendekatan-pendekatan terpisah dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pada tataran lebih lanjutnya, agar struktur konsepnya lebih kokoh, matematika sering memperluas abstraksi ke ranah di luar realita. Namun pada dasarnya ia tetap berdasar pada keinginan untuk memodelkan realita. Dengan berkembangnya teknologi komputasi dan kemampuan simulasi komputer, matematika mengembangkan konsepnya tidak sebatas berbahasa simbol namun dalam bentuk visualisasi tertentu untuk dapat lebih menerka realita dengan lebih nyata.
Ketika matematika dianggapsebagai alat untuk menyelesaikan permasalahan praktis sesungguhnya kurang tepat. Hal ini karena apa yang dilakukan matematika hanyalah membahasakan semesta, mendekati realita dalam suatu sistem yang lebih ideal atau mudah untuk diselesaikan ketimbang permasalahan yang sesungguhnya. Maka jika sebelumnya kita bertanya apakah memang matematika hanyalah alat untuk mempersepsi atau instrumen membaca? Jawabannya adalah iya. Sebagai alat, matematika hanyalah instrumen sensorik, ia mempersepsi dan memodelkan. Selebihnya adalah urusan kreativitas dan inovasi mengenai bagaimana permasalahan yang telah disederhanakan itu dapat dicarikan solusinya. Matematika selalu lepas dari realita, kecuali bila ingin verifikasi atau pencocokan. Teleskop ataupun mikroskop tidak pernah peduli dengan bagaimana langit ataupun bakteri berkata, ia cukup memperbaiki alatnya agar lebih jelas melihat, sama halnya matematika, bila realita yang dipersepsikan masih kurang sesuai, tinggal perbaiki.
Tidak ada yang berbeda sesungguhnya dari awal matematika berkembang hingga saat ini selain kompleksitas dan kerincian realita yang ingin modelkan. Bahkan tujuannya sendiri pun tetap sama, yaitu kebutuhan untuk memahami diiringi kebutuhan untuk melakukan. Berkembangnya matematika menjadi saksi keinginan manusia untuk menguasai realita. Seperti halnya teknologi, selama hasrat manusia dengan kebutuhan-kebutuhannya yang tak pernah habis masih ada, matematika akan terus berkembang dan meluas. Jarak pandangnya pun semakin lebar, pada ranah teori ia semakin abstrak, pada ranah praktis ia semakin kompleks. Pengembangan matematika sebagai alat untuk mempersepsi mungkin hanya akan berhenti bila realita sudah bisa tergambarkan sepenuhnya, tapi apakah itu mungkin terjadi?
(PHX)