Matematika Mencari Makna III: Wajah Masa Kini
- 16 minsTidak bisa disebut sambungan, namun rangkaian dari sebelumnya (bagian pertama & bagian kedua)
Mencari makna adalah sebuah pencarian yang membutuhkan banyak perspektif. Selayaknya sebuah pohon yang bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, sebagai kumpulan sel, bahan bangunan, tempat berteduh, atau sekedar penghias taman, demikian juga entitas bernama matematika. Apalagi mengingat kerumitan dan misteri entitas ini telah menjadi pertanyaan besar selama berabad-abad. Ribuan orang telah bermatematika, namun hanya sedikit yang mengambil kontemplasi untuk sekedar mempertanyakan makna. Kali ini, saya hanya ingin sedikit realistis dan mencoba melihat posisi dan bentuk matematika dalam peradaban modern saat ini yang selalu berputar maju. Tentu, semua hal mengalami transformasi dan penyesuaian seiring zaman, maka bila dulu matematika hanyalah sekedar ilmu hitung, seperti apa matematika saat ini?
Peradaban manusia telah berkembang begitu pesatnya dalam permasalahan yang terus bertambah rinci dan kompleks. Jika dulu manusia hanya cukup membutuhkan rumus luas bangun ruang untuk dapat menyelesaikan permasalahan takaran air dalam suatu mangkok, maka sekarang manusia membutuhkan berbagai perhitungan rumit hanya sekedar untuk membangun sebuah pelabuhan yang berhadapan langsung dengan samudra. Sesungguhnya memang dengan berkembangnya ilmu dan teknologi, realita yang tersingkap oleh manusia semakin luas dan detail, menambah rinci variabel-variabel yan g perlu diperhitungkan agar manusia dapat memenuhi kebutuhannya yang juga semakin rinci. Tentu saja perkembangan ini sebenarnya disebabkan oleh siklus antara kebutuhan dan pemenuhannya. Ketika manusia memiliki kebutuhan, manusia mengembangkan cara untuk memenuhinya yang dengan demikian berkembanglah ilmu dan teknologi. Namun dengan berkembangnya ilmu dan teknologi, berbagai persepsi baru tersingkap dan kebutuhan manusia ikut bertambah.
Matematika sejak dulu memang bagaikan teknologi untuk sains, atau mungkin lebih tepatnya teknologi untuk pikiran, karena memang fungsi praktisnya tak jauh beda dari teknologi, yaitu memudahkan. Namun jika dilihat lebih dalam, sesungguhnya, fungsi utama matematika ataupun teknologi adalah sebagai instrumen untuk mempersepsi realita. Bila teknologi merupakan instrumen perpanjangan dari indra manusia, maka matematika merupakan instrumen perpanjangan dari pikiran manusia, bagaimana suatu pola dalam realita bisa didekati melalui konstruksi sistem tertentu yang cukup berlandaskan logika.
Memang, satu-satunya cara menyelesaikan permasalahan di realita adalah memahami dan mengonstruksi tiruannya agar dapat diteliti lebih mudah. Lebih tepatnya, yang selalu dilakukan matematika adalah meniru realita, menyalin suatu konsep rumit di alam dalam bentuk yang lebih sederhana, walau sekedar dalam rangakian simbol, dengan asumsi-asumsi tertentu. Tujuannya simpel, agar permasalahan yang kompleks bisa menjadi lebih sederhana. Realita sesungguhnya adalah sistem yang sangat teramat kompleks, hampir semu a variabelnya saling memengaruhi, namun dengan menciptakan asumsi, kita dapat melihat mana yang siginifikan mana yang pantas diabaikan. Dari sini lah muncul konsep pemodelan.
Pemodelan, Sebuah Alat
Pemodelan berasal dari kata model yang bisa diartikan sebagai pola tiruan dari sesuatu untuk dijadikan contoh, tiruan,ragam, atau yang lainnya. Prinsipnya adalah melihat pola dan menirunya dalam bentuk yang bisa lebih sederhana atau bahkan sama persis. Sebenarnya prinsip utama dari pemodelan telah lama muncul, bahkan sejak awal-awal matematika berkembang. Sistem bilangan contohnya, sistem bilangan sebenarnya adalah model perbandingan jumlah pada suatu objek yang memiliki suatu sifat homogen di alam. Namun pada masa modern ini, dengan berkembangnya ilmu komputasi dan visualisasi digital, maka konsep pemodelan menjadi sangat terasa konkret karena semakin dapat mendekati realita sesungguhnya.
Karena realita adalah suatu sistem yang kompleks, manusia membutuhkan bahasa universal untuk dapat memahami dan menganalisisnya dengan baik. Oleh karena itu, hanya matematika lah yang bisa mengonversi pola pada realita menjadi suatu konstruksi sistem yang baik, karena seperti yang dikatakan Galileo, matematika adalah bahasa untuk semesta. Apalagi dengan bantuan komputer dan visualisasi digital, matematika semakin terlihat menemukan jati dirinya yang selama ini dicari-cari, ia tidak lagi benda asing dengan simbol-simbol yang hanya orang gila yang memelajarinya, namun bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih nyata dan konkret. Selain itu, konsep pemodelan memperlihatkan kemampuan manusia yang melihat core dari suatu permasalahan yang rumit, karena salah satu proses utama yang dilakukan adalah penyederhanaan.
Permasalahan zaman modern kali ini begitu luas dan rumit, dari perairan, transportasi, komunikasi, dan lain sebagainya. Siklus lama selalu berlaku hingga sekarang, bahwa temuan baru akan meyingkap permasalahan baru, dan permasalahan baru akan memicu temuan baru. Maka senjata seperti pemodelan menjadi suatu kebutuhan nyata yang semakin terlihat. Ini sesungguhnya bisa menjadi kesempatan baru matematika untuk membuka dirinya dari eksklusifitas, seperti yang dialami anak-anak yang memelajari matematika. Paradigma terhadap matematika bisa semakin dibuka dan ‘dibumikan’. Stigma buruk terhadap matematika pun bisa diubah menjadi suatu kekaguman.
Algoritma, Sebuah jiwa
Model-model matematika pada dasarnya hanya berbentuk rangkaian persamaan, yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk lain agar lebih ‘terlihat’ dan mudah dipahami. Karena pemodelan sesungguhnya adalah tiruan realita dalam bentuk yang lebih sederhana, kita harus dapat memindahkan mekanisme yang ada pada realita menjadi sebuah mekanisme yang lebih abstrak dan sederhana, yang bisa dijalankan dengan variabel-variabel seadanya. Mekanisme-mekanisme ini, yang sebenarnya merupakan rangkaian prosedur, awalnya bisa dilakukan secara manual oleh manusia sendiri. Namun kemudian, dengan berkembangnya sistem digital, semua mekanisme tersebut, yang dikenal dengan nama algoritma, lebih dapat dijalankan dengan mudah melalui otomisasi-otomisasi.
Salah satu ciri khas era digital adalah bahwa segala sesuatunya tersusun atas algoritma. Sejak berkembangnya otomisasi mesin, manusia mulai mencoba memindahkan semua pekerjaan mereka ke mesin demi alasan efektivitas dan efisiensi, termasuk pekerjaan kognitif seperti menghitung. Melalui pengembangan bahasa mesin, kemudian bahasa assembly dan akhirnya bahasa tingkat tinggi yang kita semua kenal saat ini, manusia ‘memerintah’ mesin dengan rangkaian prosedur.
Dengan meningkatnya kerumitan permasalahan yang tersedia, algoritma yang diciptakan tertuntut untuk memiliki kompleksitas (kapabilitas ruang dan waktu proses komputasi suatu algoritma) seminim mungkin, maka perumusan algoritma yang efektif sangatlah diperlukan. Seperti yang dibahas sebelumnya, apa yang sesungguhnya dilakukan matematika adalah formulasi dan abstraksi. Formulasi ini lah yang menjadi landasan pembuatan agoritma, karena ia menyediakan cara atau metode atau prosedur untuk mengetahui sesuatu. Dengan demikian, perangkat lunak, sebagai bentuk ‘jadi’ dari algoritma, bisa menjadi media matematika untuk mewujud, atau memperlihatkan eksistensinya, tidak sekedar menjadi hantu yang tidak pernah bisa dipahami bentuknya.
Dalam suatu seminar TED, Kevin Slavin menjelaskan betapa dunia kita saat ini dikendalikan dan bekerja di atas berbagai algoritma. Algoritma menjadi jiwa realita era digital. Dari lampu lalu lintas, harga saham, proses akademik, sistem pendataan penduduk, hingga bahkan film yang kita tonton, semua dikendalikan oleh algoritma! Mungkin memang semua algoritma itu diciptakan oleh ilmu yang terkait, namun permainan abstraksi dan optimasi kompleksitas sangat memerlukan analisis matematis. Sayangnya, karena selalu tercipta partisi peran antara matematika dengan ranah praktis, hanya sedikit yang menyadari hal ini, sehingga matematika tetap dipandang sebagai eksistensi yang asing. Seakan-akan matematika cukup menyediakan alat, dan selebihnya serahkan saja pada ilmu yang terkait. Namun sesungguhnya, ketika matematika bisa melebur diri dengan ranah praktis dan tidak menciptakan partisi, matematika bisa membungkus dirinya dengan baik sekaligus membantu ilmu lain menyelesaikan permasalahannya dengan lebih baik.
Software, Sebuah Produk
Seiring dengan bertambah kompleksnya masalah, alat yang dipakai untuk menyelesaikannya pun didesain semakin abstrak untuk dapat menjadi dasar konsep penyelesaian masalah seluas mungkin. Maka matematika, sebagai alat utama dan sebagai landasan terdasar semua keilmuan eksak bertransformasi ke wujud yang semakin tidak ‘tersentuh’, apalagi jika itu semua hanya rangkaian algoritma-algoritma.
Matematika teralienasi dari tatanan kehidupan manusia secara langsung, dan hanya meninggalkan hal-hal sederhana seperti geometri atau aritmatika sederhana untuk tetap terpakai seperti biasa, selayaknya yang selalu ada sejak dulu. Semua yang diketahui masyarakat pada kehidupan sehari-hari hanya menjadi kurang dari satu persen dari matematika yang sesungguhnya, karena matematika menjadi sesuatu yang sangat luas, akibat abstraksi yang tak pernah berhenti.
Jika sudah demikian, maka sudah menjadi hal yang wajar ketika orang awam pada zaman modern ini mulai mempertanyakan apa sesungguhnya produk matematika saat ini, selain rumus-rumus dan kumpulan simbol yang memuakkan. Matematika terasingkan dan menjadi sosok yang ditakuti, ketika sebenarnya dulu ia adalah hal yang sangat indah dan dikagumi. Paradigma terhadap matematika pun mengalami penyempitan menuju hal-hal yang berbasis kapital seperti perbankan ataupun industri, tanpa mencoba memandang keseluruhan kekuatan dari matematika. Maka dari itu, diperlukan pembungkusan yang cantik semua bentuk dan konsep dalam suatu produk yang bisa ‘disentuh’ oleh siapapun tanpa harus memahami isinya. Hal ini juga terjadi pada teknologi lain sebenarnya, ketika semua kerumitan elektronik dibungkus dalam suatu perangkat yang bisa dipakai semua orang tanpa harus paham mekanisme yang terjadi di dalamnya.
Maka pertanyaannya adalah, apa yang bisa menjadi ‘bungkus’ buat ilmu seperti matematika selain penerapannya ke ilmu lain? Jawaban yang paling sederhana dan sangat relevan pada era informasi seperti saat ini adalah perangkat lunak atau software. Perangkat lunak merupakan otomisasi pekerjaan manusia secara virtual melalui rangkaian algoritma. Kenapa? Karena itulah produk murni matematika di era modern. Dengan berkembangnya kapabilitas komputasi dan munculnya GUI (Graphic User Interface), matematika secara utuh bisa mewujud ke sesuatu yang kongkret.Kolaborasi dengan ilmu lain tetap diperlukan, karena tentu saja yang namanya perangkat lunak memiliki suatu ranah spesifik, seperti software pemodelan gelombang, atau software statistik.
Pemodelan memang pada masa kini bisa menjadi wajah baru buat matematika, namun wajah ini sesungguhnya masih merupakan sesuatu yang tidak bisa ‘disentuh’, maka langkah selanjutnya bagi matematika untuk bisa ‘membumi’ adalah mentransformasi pemodelan dan abstraksi yang telah tercipta ke dalam suatu otomisasi yang friendly, seperti software. Dalam hal ini tentu saja permainan interface sangat diperlukan, karena apalah artinya perangkat lunak bila tampilannya hanya berupa command prompt.
Walaupun ke depannya matematika bergerak ke wujud yang semakin tak menentu, seperti yang saya jelaskan pada tulisan saya yang lain, matematika perlu mencari cara untuk ‘membumi’ dengan lebih baik demi menyelamatkan nama baiknya di mata masyarakat awam yang semakin melihatnya sebagai sosok yang mengerikan, hantu yang tidak bisa dimengerti. Salah satu caranya adalah mewujud dalam bentuk yang nyata, namun tetap memperlihatkan jati diri sebagai matematika. Hal ini bisa terwujud dengan mengembangkan berbagai perangkat lunak yang terkait dengan permaslahan-permasalahan tertentu dengan melebur diri ke ilmu-ilmu lain.
Yang selama ini terjadi adalah adanya partisi antara matematika dengan ilmu lain, seakan-akan kerja mereka terpisah. Padahal, mereka saling membutuhkan sehingga diperlukan adanya kolaborasi. Ilmu lain tidak bisa sesederhana sekedar menggunakan hasil dari matematika, karena konsep berpikir bagaimana pengembangan solusi selanjutnya tetap perlu matematika, sedangkan matematika sendiri perlu ilmu lain untuk dapat turun ke ranah praktis.
Ilmu, sebuah Benda Asing
Semua yang terbahas di atas, adalah bentuk konkret matematika yang sebaiknya dikenalkan ke masyarakat dalam rangka mengubah perspektif modern terhadap matematika. Namun, pengenalan serta merta hal-hal tersebut hanya akan membuat masyarakat sendiri menjadi berorientasi produk, hal yang sebenarnya tidak bisa dihindari. Saya pernah membahas hal ini dalam tulisan saya yang lain (Penindasan Pendidikan Bagian 2), bahwa kutukan peradaban membuat pendidikan mengalami dilema yang sangat besar, hingga akhirnya mau tidak mau tertuntut untuk berbasis hasil, bergeser dari tujuan pendidikan yang sesungguhnya.
Sangat disayangkan memang, ketika orang-orang hanya mengetahui segala sesuatu berdasar pada produknya, proses dan bahan baku untuk menghasilkan hal tersebut jadi terabaikan. Hingga akhirnya, perspektifnya pun mengalami kekeliruan. Masyarakat tidak akan peduli bahwa hampir sebagian besar proses digital melibatkan matematika dalam mengkonstruksiannya, karena yang dilihat hanya yang terlihat. Sehingga ilmu-ilmu yang paling mendekati lah yang menjadi minat dan tujuan, seperti informatika atau elektro, sedangkat ilmu-ilmu yang terasa ‘nun jauh di sana’, dikesampingkan, entah hanya jadi ‘tempat sampah’, atau memang hanya diisi oleh orang-orang yang benar-benar berminat di situ. Akibatnya, ilmu seperti matematika hanya bagaikan benda asing yang entah bisa dipakai buat apa.
Ilmu matematika gagal memperlihatkan diri ke dalam bentuk yang lebih cantik. Anak-anak SMP dan SMA sudah diperlihatkan hal-hal yang akan membuat nyali mereka terhadap matematika ciut, menciptakan suatu mental blocking terhadap matematika itu sendiri. Keindahan-keindahan hasil matematika hanya baru diperlihatkan di perguruan tinggi, itu pun baru di tingkat 3. Entah kesalahannya dimana, apakah di kurikulum, atau yang mengajarkan, bagaimana matematika bisa dikatakan friendly bila masyarakat tidak paham bahwa hal sesederhana seperti pengaturan lalu lintas bisa dimodelkan dengan matematika. Salah satu penyebabnya sebenarnya adalah seperti yang saya jelaskan sebelumnya, kutukan peradaban membuat sistem pendidikan menjadi berorientasi hasil, bergeser dari tujuan pendidikan sesungguhnya.
Hal ini dikuatkan lagi oleh pengajar-pengajarnya yang seperti menerima dan memaklumi begitu saja keterasingan matematika, tanpa mencoba membuat usaha-usaha untuk mengubah perspektif tersebut. Dosen-dosen pun tak peduli mahasiswanya minat matematika seperti apa, karena yang terpenting hanya kuliah jalan, ilmu tersampaikan, ujian dilaksanakan. Padahal, seperti yang dikatakan Andreas Christiansen, “The intention of mathematics teaching is to promote the learning of mathematics”. Bagaimana kita mau mempromosikan matematika bila yang diperlihatkan adalah betapa memuakkannya integral atau betapa menakutkannya aljabar? Lalu apa yang bisa kita lakukan dengan keadaan sepert ini? Membiarkan matematika menjadi alien dari planet antah berantah?
Mungkin matematika sesungguhnya punya banyak sisi indah yang bila diselami akan terlihat betapa mengagumkannya. Tapi bagaikan seni, keindahan tidak cukup untuk membuat orang tertarik di zaman modern yang serba dinamis ini. Hal-hal esensial, seperti kekaguman, keindahan, elegan, dan lain sebagainya, hanya menjadi angin berlalu yang sekedar ‘cukup dinikmati sebagai orang luar’ saja tanpa perlu repot-repot menyelaminya. Kita bisa saja mengenalkan ke seluruh masyarakat betapa indahnya bilangan pi atau golden ratio, tapi ujung-ujungnya itu hanya membuat pupil mereka melebar sesaat dalam kekaguman tanpa sempat sedikit pun mengusik hasratnya untuk mempelajari lebih lanjut. Lalu apa? Kita harus manfaatkan apa yang sebenarnya dicari oleh masyarakat masa kini.
Tren masyarakat yang berorientasi produk sesungguhnya bisa dijadikan media untuk menarik minat terhadap matematika. Namun apa daya bila hal tersebut hanya dikenalkan apda mahasiswa tingkat 3? Di Indonesia, perguruan tinggi yang mulai mengajarkan konsep pemodelan kepada mahasiswa sarjana baru Institut Teknologi Bandung. Hal ini sangat disayangkan karena sesungguhnya pemodelan bisa menjadi daya tarik tersendiri untuk meningkatkan motivasi utama anak-anak Indonesia terhadap matematika. Paradigma terhadap matematika secara praktis selalu dilihat sebagai ilmu yang tidak memiliki masa depan di dalamnya, karena hanya berkutat pada rumus dan simbol dan prospek satu-satunya hanyalah menjadi peneliti atau tenaga pendidik, baik itu guru ataupun dosen. Padahal, dengan bertambah kompleksnya permasalahan di dunia, hanya dengan kreativitas dan inovasi dari anak-anak teknik tidak cukup untuk dapat menyelesaikannya, karena seperti yang dibahas sebelumnya, bahwa pola dalam realita hanya bisa dikonstruksikan dengan bahasa yang universal, yaitu matematika. Semakin kompleks permaslahannya, semakin nyata kebutuhan terhadap matematika untuk berkontribusi lebih di dalamnya.
Riset, sebuah Realita
Keberadaan lembaga-lembaga penelitian matematika independen seperti LabMath Indonesia atau Oppinet sebenarnya sangat berperan besar untuk membuka mata publik betapa bermanfaatnya matematika dengan pemodelannya. Adanya PPMS (Pusat Pemodelan Matematika dan Simlulasi) di ITB sendiri pun seharusnya bisa menjadi wadah untuk menarik minat mahasiswa S1 dalam hal pemodelan matematika. Intervensi pemerintah pun sebenarnya sangat diperlukan ketimbang menunggu program-program akar rumput bergerak dengan sendirinya. Bahkan untuk lembaga nasional sebesar LIPI pun tidak menyediakan tempat untuk riset berbasis pemodelan matematika sebagai bagian dari penyelesaian permasalahan-permasalahan terbuka yang ada di Indonesia. Sudah waktunya pemerintah mulai memperhatikan hal-hal krusial seperti ini yang selama ini terlihat diabaikan.
Pembagian peran yang jelas antara dunia akademik dengan lembaga penelitian bisa menjadi solusi optimal dalam pengembangan riset berbasis pemodelan matematika. Pada dunia akademik, pemahaman mengenai pemodelan perlu diperluas ke seluruh perguruan tinggi, baik melalui workshop atau seminar-seminar, ataupun melalui mata kuliah wajib. Sudah saatnya mahasiswa matematika terbuka matanya dan tidak sekedar melihat matematika sebagai sebuah sistem yang memuakkan, namun mengagumkan dengan kemampuannya membaca realita melalui pemodelan. Memang untuk pendidikan menengah ke bawah, peran untuk hal ini tetap ada pada guru, mengingat kurikulum selalu mengalami ketidakjelasan. Kecerdikan guru untuk mengenalkan matematika pada murid menjadi sebuah tantangan tersendiri. Pada lembaga penelitian, pelatihan-pelatihan dasar untuk meningkatkan kapabilitas peneliti dan intensif teratur dari pemerintah sangat diperlukan. Peneliti berlatar-belakang keilmuan apapun perlu ditanamkan konsep-konsep dasar pemodelan matematika agar lebih dapat menganalisis permasalahan secara abstrak matematis.
Walaupun pemerintah telah memilik berbagai program insentif, baik melalui LIPI ataupun intensif langsung seperti SINas (Sistem Inovasi Nasional), perluas bidang yang diperhatikan ke ranah-ranah yang selama ini terabaikan seperti pemodelan matematika dan simulasi. Mungkin memang pemodelan matematika adalah konsep yang bisa dilebur ke berbagai sektor riset, namun tetap perlu ada perhatian khsusus secara eksplisit. Pendekatan yang dipakai orang-orang teknis belum tentu sama dengan pendekatan yang diambil oleh matematikawan yang cenderung melihat sesuatu dari segi abstrak. Tidak salah jika dalam SINas 2015, pemerintah hanya terfokus pada 7 bidang prioritas, yaitu bidang teknologi pangan, teknologi kesehatan dan obat, teknologi energi, teknologi transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, teknologi pertahanan dan keamanan, teknologi material, namun alangkah lebih baik bila riset tidak hanya berbasis produk (teknologi), namun suatu model. Memang terlihatada kecenderungan pandangan yang hanya melihat riset berorientasikan produk, artinya harus menghasilkan sesuatu yang nyata, terlihat dari bagaimana sudah menjadi rahasia umum bahwa riset-riset yang lolos PKM (Pekan Kreativitas Mahasiswa) cenderung ke arah yang berbasis produk kongkret. Padahal, suatu model sesungguhnya lebih bermanfaat dalam menyelesaikan suatu permasalah ketimbang teknologi langsung yang hanya bisa terpakai pada hal-hal spesifik tertentu.
Lembaga indpenden penelitian lainnya, tidak bisa berbuat banyak tanpa ada bantuan dari luar yang bisa menunjang pengembangan riset berbasis matematika, kecuali yang memang memiliki backup institusi pendidikan seperti FinanMOS. Tentu saja hal ini karena lembaga penelitian tidak sepantasnya bersifat komersial, sedangkan suatu organisasi sendiri tetap membutuhkan dana untuk beroperasi dengan baik. Walau akhirnya dapat dibuat konsep komersialisasi dalam bentuk proyek perusahaan ataupun produk seperti software, alangkah baiknya bila pemerintah ambil bagian untuk membantu dan menunjang. Karena jika terus dibiarkan demikian, topik-topik pemodelan yang berkembang hanya akan berputar-putar pada migas, perbankan, pasar modal, gelombang laut, sinyal, radar, dan topik-topik lainnya yang memang tengah dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan, meninggalkan topik-topik seperti teori koding, kriptografi, sistem dinamik, dan lainnya hanya di tangan para akademisi, itu pun bila banyak yang minat. Karena di dunia akademik sendiri, khususnya di Indonesia, wilayah matematika yang diminati tidak akan jauh pada industri, keuangan, dan statistik.
Hal ini mengingatkan penulis pada salah satu pemodelan yang dilakukan salah satu mahasiswa ITB mengenai kenapa produk jurnal ilmiah di Indonesia kalah jauh dibanding produk jurnal ilmiah di Malaysia, khususnya pada bidang matematika. Kapan lagi riset di Indonesia bisa maju bila tidak mendapat perhatian khusus dari yang memiliki otoritas. Dunia akademik sendiri pun tengah teracuni paradigma work-oriented sehingga membuat minat dalam pengembangan ilmu sendiri sangat minim, sedangkan di dunia penelitian, ketiadaan dana menjadi batu pengganjal terbesar, membuat mereka secara pragmatis mau tidak mau bergerak ke arah komersial. Padahal, sesungguhnya begitu banyak permasalahan di Indonesia yang bisa diselesaikan dengan baik melalui pemodelan matematika yang berkualitas. Ketika matematika sebenarnya telah menemukan jati dirinya saat ini di dunia modern, di Indonesia orang-orang masih mengenalinya seperti alien dari antah berantah yang sulit dipahami.
(PHX)