Kemenangan Jiwa
- 10 minsJudul : Gandhi
Sutradara : Richard Attenborough
Tanggal Rilis : 30 November 1982
Durasi : 191 menit
Genre : Biografi, Drama, Sejarah
Pemeran : Ben Kingsley, John Gielgud, Candice Bergen
…
Mahatma Gandhi was not the commander of armies nor a ruler of vast lands. He could not boast any scientific achievement or artistic gift. Yet men governments, dignitaries from all over the world have joined hands today to pay homage to this little brown man in the loincloth who led his country to freedom.
In the words of General George C. Marshall, the American secretary of state: “Mahatma Gandhi has become the spokesman for the conscience of all mankind. He was a man who made humility and simple truth more powerful than empires.”
And Albert Einstein added: “Generations to come will scarce believe that such a one as this ever in flesh and blood walked upon this earth.”
– Edward R. Murrow –
…
Kita mungkin mengenal Soekarno sebagai pelopor kemerdekaan Indonesia, atau George Washington sebagai pelopor kemerdekaan Amerika, atau pelopor-pelopor lainnya yang telah berjuang dengan cara masing-masing untuk bangsa yang mereka cintai, namun dari semua cara itu, hanya Mohandas K. Gandhi, atau lebih dikenal dengan Mahatma Gandhi, yang hanya dengan menempuh perjuangan batin, bisa memelopori kemerdekaan India. Sungguh mengangumkan dan menginspirasi bagaimana cara mantan pengacara itu bisa memberi perubahan besar hanya bersenjatakan kejujuran. Ya, kejujuran, kejujuran terhadap diri sendiri dan sesama, mengenai bagaimana meraih self-rule, kontrol penuh terhadap diri sendiri.
Kita tentu tidak asing dengan nama Mahatma Gandhi, dengan berbagai quote-nya yang sering dikutip. Tapi apakah kita tahu sesungguhnya siapa dia dan apa yang telah dia lakukan? Mungkin tindakannya tidak seekstrim Hitler, sehebat Ho Chi Minh, atau semengagumkan Nelson Mandela, ataupun tidak sekeren pemimpin-pemimpin bangsa lainnya yang banyak melakukan perubahan di tempat masing-masing, tapi kesederhanaan idealismenya lah yang membuat perdamaian di India bisa tercapai. Maka untuk lebih mengenalkan Mahatma Gandhi sesungguhnya, Richard Attenborough beserta rekan-rekannya mencoba membungkus perjuangan Gandhi dalam sebuah film agar tidak menjadi sekedar nama atau kutipan yang disebut-sebut, namun menjadi sebuah inspirasi dan pembelajaran tersendiri bagi siapapun untuk sadar bahwa kekuatan hati jauh lebih besar ketimbang kekuatan-kekuatan lainnya.
Film yang berjudul “Gandhi” ini menceritakan kehidupan Mohandes Karamchand Gandhi dari tahun 1893, yang mana kala itu tengah menjadi pengacara berumur 24 tahun yang mendapat kontrak kerja di Afrika Selatan, hingga kematiannya pada 1948 pada umur 78 tahun. Ia mulai merasa terusik dengan ide kebebasan ketika mulai melihat ketidakadilan di Afrika Selatan yang sudah menjadi koloni Inggris kala itu. 21 tahun yang ia habiskan di Afrika Selatan hanya ditampilkan dalam 40 menit pertama dalam film hingga tidak dapat menceritakan sepenuhnya perjuangan ia di Afrika Selatan, namun cukup tersampaikan bagaimana ia disana memperjuangkan hak sipil warga pribumi. Setelah keberhasilannya memperjuangkan hak sipil di Afrika selatan, ia kembali ke India dan memulai perjuangan sesungguhnya di sana, yang bermula dari keterlibatannya dalam dunia politik dan advokasi melalui Indian National Congress. Realita yang ia lihat di India membuatnya semakin berani jujur dan terbuka hingga menghasilkan tindakan-tindakan luar biasa namun sederhana.
Melihat Gandhi akan membuka mata kita mengenai makna perjuangan yang sesungguhnya, apalagi di masa kini yang sebenarnya tidak butuh lagi perjuangan fisik. Perjuangan dengan diri sendiri dalam bentuk kejujuran penuh bukanlah hal yang mudah untuk ditempuh. Kejujuran pada diri sendiri inilah fondasi dasar etika dan moral manusia, hal sederhana yang menjadi pegangan kebijaksanaan. Seperti apa yang selalu diajar dalam ajaran spiritualitas manapun, self-rule adalah hal yang harus bisa dicapai manusia, suatu bentuk kelahiran baru, kesadaran sepenuhnya akan diri sendiri, dan itulah yang diperlihatkan oleh Gandhi.
Terkesan aneh memang jika aku membawa film ini sebagai review edisi Idul Fitri karena konsep di dalamnya sesungguhnya sedikit membahas islam. Hal ini lebih karena inti yang dibawa dalam kisah Gandhi adalah perjuangan batin untuk mencapai kesempurnaan jiwa. Apa yang dilakukan Gandhi sebenarnya hanya bentuk berbeda dari apa yang diajarkan dalam Islam, seperti konsep puasa yang bermakna agar kita dapat sama-sama merasakan penderitaan orang miskin, serupa dengan alasan Gandhi hidup sederhana, bahkan hingga bertelanjang dada, agar hidup sependeritaan dengan orang-orang. Perjuangan Gandhi memang terasa mirip dengan Sidharta Gautama yang melepas sepenuhnya kenikmatan dunia agar bisa mencapai pencerahan, meski memang kedua tokoh tersebut merupakan contoh ekstrim yang diseimbangkan dalam ajaran Islam, kecuali dalam ajaran sufi, yang konsepnya memang serupa.
Perjuangan batin sesungguhnya adalah konsep “keluar dari zona nyaman”, agar diri bisa meraih kejujuran sepenuhnya dan bisa terlepas dari ego dan hasrat. Mengenai bentuk dan caranya, setiap orang punya hak masing-masing untuk percaya agama yang mana, namun pada dasarnya, semua tentu sepakat bahwa spiritualitas adalah mengenai ketenangan jiwa, entah melalui apa. Konsep ketauhidan dan ketuhanan mungkin memang bisa jadi persoalan, tapi konsep spritualitas tidak perlu lagi diperdebatkan. Hal ini sering menjadi permasalahan karena memang beberapa orang, termasuk Gandhi, menganggap semua agama adalah sama, sedangkan beberapa orang lainnya merasa agamanya tidak bisa disamakan dengan agama lain. Maka pada titik ini, bedakan lah spiritualitas dengan ajaran agama, karena apa yang diajarkan Gandhi pun adalah konsep spritualitas yang mana secara umum dipahami sama oleh seluruh manusia, seperti perkataannya yang terkenal, “Yes I am Hindu. I am also a Christian, a Muslim, a Buddhist and a Jew.” Dalam film Gandhi, juga terlihat bagaimana di awal kegelisahannya ia melihat bahwa baik di Qur’an, Bible, ataupun Gita, mengajarkan konsep yang sama mengenai berbuat baik.
Salah satu pemikiran Gandhi yang mengagumkan adalah bagaimana ia melawan kekerasan hanya dengan kesederhanaan dan kejujuran. Hal ini sama seperti yang difirmankan Allah SWT., dalam Qur’an surat Asy-Syu’ara ayat 40: “Dan (jika kamu hendak membalas maka) balasan sesuatu kejahatan ialah kejahatan yang bersamaan dengannya; dalam pada itu sesiapa yang memaafkan (kejahatan orang) dan berbuat baik (kepadanya), maka pahalanya tetap dijamin oleh Allah (dengan diberi balasan yang sebaik-baiknya). Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang berlaku zalim.” atau seperti dalam Injil Matius 5 ayat 39: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”, atau seperti dalam sutra Nirvana : “Tidak berbuat jahat, Melakukan perbuatan-perbuatan baik, Sucikan pikiran Anda, Inilah ajaran para Buddha”. Memang pada akhirnya selalu yang terpenting adalah tetap berbuat baik, apapun yang kita hadapi, yang tentu saja hanya bisa dilakukan dengan seikhlas mungkin bila kita jujur pada diri sendiri. Secara otomatis, bila hal itu bisa tercapai, ego, hawa nafsu, ataupun hasrat akan hilang dengan sendirinya, dan itu lah kemenangan jiwa sesungguhnya.
Hal yang juga cukup mengagumkan ku lihat dalam film ini adalah kesetiaan istrinya untuk mendampinginya hingga akhir apapun yang Gandhi pilih dan lakukan. Sungguh memang keberadaan pendamping menjadi satu poin penting bagi seseorang untuk menjadi hebat, karena seperti ap yang sering kita dengar, “Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita hebat di belakangnya”. Kesetiaan kawan-kawannya seperti Jawahral Nehru, yang kemduian menjadi perdana menteri pertama India, sangat menunjukkan bahwa kehebatan seseorang selalu ditentukan dari orang-orang yang mendukungnya. Satu hal lagi yang bisa kita pelajari dari perjuangan Gandhi dalam film ini adalah konsistensi dan totalitasnya terhadap prinsip atau apapun yang ia katakan sendiri, seperti ketika ia dimintai pendapat mengenai Perang Dunia yang tengah berkecamuk di Eropa, ia mengatakan “If I wish to enjoy the benefits and protection of the British Empire, it would be wrong of me not to help in its defence”. Jika memang dia masih memilih untuk menggunakan apapun yang diberi oleh Inggris, maka konsekuensinya ia harus mendukung apapun yang dilakukan Inggris. Namun ketika ia memang secara total menolak mentah-mentah keberadaan Inggris di India, ia juga secara total melepas semua hal terkait inggris yang dimilikinya, termasuk baju, yang akhirnya ia tenun sendiri. Hal ini mengingatkanku pada kemunafikan yang sering terjadi pada kita sekarang seperti misalnya beberapa orang yang mencaci-maki budaya barat tapi masih menggunakan produk mereka, menghujat Yahudi tapi masih memakai pemikiran mereka, atau mencela kapitalisme tapi masih mengikuti sistem yang ada.
Yang lebih menohok lagi dalam film Gandhi adalah konflik yang terjadi antara Hindu dan Islam setelah Inggris pergi dari India merupakan hal pokok yang tetap selalu menjadi permasalahan, bahkan hingga masa kini, yaitu konflik antar SARA, terutama agama. Apa yang terjadi di Rohingya akhir-akhir ini mungkin tidak jauh beda dari diskriminasi muslim sebagai kaum minoritas yang terjadi di India pada masa Gandhi. Hal ini jelas menunjukkan secara mendasar perbedaan utama ajaran agama dengan spiritualitas. Perbedaan ajaran lah yang selalu memunculkan konflik, karena ia menghasilkan arogansi dan fanatisme yang dalam titik ekstrimnya menghasilkan chauvinisme, menganggap kaum lain lebih rendah ketimbang kaumnya. Munculnya jiwa-jiwa teroris dan fanatisme di hampir semua agama adalah contoh rusaknya lagi batin manusia karena terkacaukan ajaran. Konsep ketuhanan dan aturan-aturan lainnya mungkin tiap agama berbeda, namun mengenai spiritualitas dan ketenangan jiwa, untuk apa kita bertengkar? Toh selama ribuan tahun, manusia sesungguhnya hanya bertarung untuk satu hal: kebebasan. Kebebasan apa? Tentu saja kebebasan diri, sebuah self-rule yang hanya dapat dicapai ketika seseorang meraih kemenangan sejati terhadap jiwa, melalui kejujuran penuh terhadap diri sendiri.
Beranjak dari konsep, mengenai korelasi konten film dengan realita sesungguhnya sebenarnya masih belum ku ketahui dengan pasti, karena aku sendiri baru sempat melakukan riset seadanya. Namun, beberapa kejadian yang diceritakan dalam film, seperti kasus Champaran, Salt March atau Salt Satyagraha, atau gerakan Non-Cooperation yang dicetuskannya, memang benar-benar berdasar dari kejadian nyata. Mungkin bagi yang kelak akan menonton, disarankan untuk melakukan riset lebih lanjut agar tidak setengah-setengah memahami kisah Gandhi. Selain mengenai cerita, hal yang membuat film ini terkesan nyata adalah bagaimana Ben Kingsley begitu mirip dalam memerankan Gandhi, baik dalam hal wajah, postur, hingga gayanya. Dalam salah satu trivia disebutkan bahwa terkadang orang pribumi India menganggap Kingsley adalah arwah Gandhi. Mungkin kita memang harus mengapresiasi Richard Attonborough yang telah berhasil membungkus semua komponen, dari cerita, latar, hingga tokoh, hingga membuat film ini bagai dokumenter nyata perjuangan Gandhi. Tidak heran 8 penghargaan oscar sekaligus diraih oleh film ini pada tahun 1983, mulai dari kategori Best Picture hingga Best Film Editing.
Bagaimana hak sipil Afrika Selatan, kemerdekaan India dan Pakistan, hingga keadilan buat minoritas muslim di India diperjuangkan menjadi bukti jelas pengaruh Gandhi. Apa yang ia perjuangkan hanyalah kebaikan dan kejujuran, untuk semua kalangan, dan itulah yang membuat ia begitu luar biasa. Mungkin sebagai muslim, kita tidak bisa berharap akan ada nabi lagi karena kita percaya Muhammad lah nabi terakhir, tapi kita bisa berharap adanya seseorang seperti Gandhi lagi untuk memperjuangkan perdamaian di dunia yang semakin kompleks ini.
Dengan demikian, siapapun anda, di hari Raya Idul Fitri 1436 H ini, cobalah refleksikan perjuangan apa yang telah anda tempuh dan capai, bukan sekedar ibadah ritual tanpa makna, bukan sekedar puasa penuh 30 hari, atau tarawih tanpa bolong, atau khatam Qur’an hingga 3 kali, tapi bagaimana kita bisa meraih kejujuran sepenuhnya dengan diri sendiri, sehingga bisa melakukan kebaikan seikhlas mungkin, tanpa ego, tanpa hawa nafsu, tanpa hasrat. Jika itu bisa tercapai, insya Allah, untuk apa lagi kita bertengkar?
“When I despair, I remember that all through history the ways of truth and love have always won.” -– Mohandas K. Gandhi –
(PHX)