Tipuan Persepsi
- 4 minsJune 15, 2015 at 4:30am
Judul : World’s Greatest Dad
Sutradara : Bobcat Goldthwait
Tanggal Rilis : 25 April 2009
Durasi : 99 menit
Genre : Drama, Komedi
Pemeran : Robin Williams, Daryl Sabara, Morgan Murphy
…
I used to think the worst thing in life was to end up all alone. It’s not. The worst thing in life is ending up with people who make you feel all alone. – Lance Clayton –
Tak mampu ku ungkapkan apa yang ku rasakan ketika menonton film ini hingga selesai. Mungkin bagi siapapun yang juga menontonnya pun, mencapai akhir film hanya menyisakan raut muka kosong, mulut menganga, ataupun ocehan dalam hati karena twist yang begitu tak disangka, yang mungkin akan menghancurkan ekspektasi apapun yang muncul dari detik pertama menonton.
Aku bahkan tak bisa mengatakan World’s Greatest Dad bagus atau tidak. Mungkin bagi yang menonton dengan zero expectation, kekagetan yang muncul ketika mengetahui alur film tidak sebesar bagi mereka yang menonton dengan ekspektasi. Ku akui, Bobcat Goldthwait bisa membuat konsep film yang sederhana menjadi sebuah tipuan yang menjengkelkan. Tentu tidak akan seruwet bagaimana Christoper Nolan mempermainkan ekspektasi pentonton, namun Bobcat berhasil menciptakan suatu pola sederhana yang akan membuat orang bertanya-tanya dari tengah hingga akhir film.
Melihat dari judulnya, dan menonton setengah awal World’s Greatest Dad bisa dipastikan memunculkan ekspektasi yang sama di mayoritas orang, yaitu sebuah film klise yang mana seorang duda, Lance Clayton, berusaha menjadi ayah yang terbaik buat anaknya, Kyle. Sebenarnya hal ini sudah sangat cocok dimainkan oleh Robin Williams yang notabene memang punya karisma tersendiri dalam memerankan seseorang yang berwibawa. Namun ternyata Bobcat memiliki rencana lain dalam memanfaatkan kewibawaan Williams. Dengan sedikit sentuhan di tengah film, tiba-tiba membuat Kyle meninggal begitu saja, Bobcat akan menyisakan ribuan pertanyaan hingga titik akhir yang membuat film ini diantara menjadi sebuah drama yang kelewatan atau komedi yang menakutkan.
Walau berisi banyak hal tabu, World’s Greatest Dad menyiratkan berbagai macam makna, mulai dari bagaimana mendidik anak hingga bagaimana begitu mudah mempermainkan citra dan persepsi mayoritas. Tugas mendidik anak sesungguhnya bukanlah hal yang ringan, apalagi yang melakukannya sendirian alias single parent. Di sinipun aku sadari betapa pentingnya dari awal membangun respect dari anak karena itu yang akan sangat berpengaruh ke depannya, terutama ketika sang anak beranjak dewasa. Bagaimana sikap Kyle Clayton pada bapaknya sesungguhnya mencerminkan yang tidak jarang juga terjadi pada beberapa keluarga, sebuah akibat dari sikap orang tua yang terlalu memanjakan atau terlalu membiarkan sehingga tidak menciptakan respect yang baik pada orang tuanya sendiri. Kyle sendiri menjadi bagaikan cermin seorang anak yang jarang dikontrol oleh orang tuanya, walaupun bagiku itu sedikit tidak rasional ketika melihat Lance Clayton yang seharusnya mampu mendidik dengan baik.
Sebenarnya melihat judulnya pun, mengenai bagaimana seorang orang tua ke anaknya lah yang ku harapkan bisa ku ambil pembelajarannya dari film ini, namun ternyata film ini punya tujuan lain, yaitu memperlihatkan bahwa hanya butuh bumbu-bumbu kecil untuk sekedar membuat hal-hal sederhana menjadi bagaikan kejadian luar biasa. Hal lain yang juga diperlihatkan adalah bahwa antara fakta sesungguhnya dengan apa yang terdengar selalu bisa berlawanan seratus delapan puluh derajat.
Walau sebenarnya terkesan aneh, agak tidak rasional, dan ‘lucu’ (mungkin di sinilah unsur komedinya), apa yang terjadi setelah Kyle meninggal mungkin bisa menjadi cermin bahwa persepsi umum selalu bisa dimainkan dengan mudah, apalagi jika dibantu dengan media. Seorang Kyle, yang awanya dikenal sebagai anak mesum yang tidak bisa apa-apa, bisa diputarbalikkan persepsinya menjadi sosok yang sangat menginspirasi hanya dengan memainkan kasus meninggalnya. Hal ini juga membuatku berpikir memang betapa kita tidak bisa memercayai semua indra kita dalam mencerna informasi, karena sesungguhnya apa yang terlihat dan terdengar selalu bisa menipu. Apalagi di era yang mana informasi begitu mudah didapat seperti saat ini, apa lagi yang dapat kita percaya selain diri sendiri?
Sebenarnya sampai saat ini pun aku masih bertanya-tanya kenapa bisa Lance Clayton memepermainkan kematian anaknya sendiri. Apakah karena malu? Tidak juga. Apalagi di akhir film Lance bagaikan merayakan puncak kesuksesannya menipu semua orang. Di sini Williams benar-benar bisa memerankan sosok dramatis beradaptasi dengan peran komedi. Memang persepsi yang muncul ketika melihat alur sesungguhnya World’s Greatest Dad adalah kejengkelan, melihat Williams menjadi orang yang kurang ajar.
Terlepas dari semua itu, tetap saja, seperti halnya pengalaman adalah guru terbaik bagi semua orang, demikian pula dengan film, yang harus ditonton sendiri agar bisa memberikan makna yang pas buat tiap orang. Walaupun menjengkelkan, sesungguhnya bermacam pembelajaran yang bisa dipetik dari World’s Greatest Dad. Selagi menyerap maknanya, nikmati juga sediki ketabuan dan komedi yang kurasa aneh (entah sengaja atau tidak) diciptakan oleh Bobcat Goldthwait dan dimainkan oleh Robin Williams. Bagiku sendiri, tidak ada film yang dimainkan Williams yang tidak memberi makna, maka bagi siapapun yang membutuhkan sebuah film drama yang tidak biasa untuk sekedar membunuh waktu, tontonlah!
(PHX)