Kepingan Kecil Kehidupan

- 5 mins

cover film The Intouchables

Judul : The Intouchables

Sutradara : Olivier Nakache, Eric Toledano

Tanggal Rilis : 2 November 2011

Durasi : 112 menit

Genre : Biografi, Komedi, Drama

Pemeran : François Cluzet, Omar Sy, Anne Le Ny

Sometimes you have to reach in someone else’s world to find what’s missing in your own

Kehidupan memang penuh dengan misteri. Adalah suatu hal yang wajar hidup setiap individu selalu bagaikan puzzle yang perlahan disusun satu demi satu seiring dengan waktu dan pengalaman yang dilalui, namun terkadang, puzzle itu tidak pernah lengkap. Kepingan-kepingan yang hilang ini terkadang akan terlengkapi dengan sendirinya dari sumber-sumber yang tidak bisa kita duga, termasuk dari kehidupan orang lain. Ya, itulah yang tertulis pada kalimat di awal tulisan ini, yang merupakan tagline sebuah film biografi sarat makna berjudul Intouchables, sebuah film yang menunjukkan apa sesungguhnya kesederhanaan hidup.

Film yang menjadi pintu masuk resmi Perancis ke dalam nominasi film asing terbaik di Oscar 2013 ini menunjukkan secara sederhana bahwa hidup memang tidak butuh tujuan yang tinggi-tinggi. Kesempurnaan yang kita miliki dalam hidup terkadang membuat kita menaruh ekspektasi, visi, dan ambisi terlalu tinggi hingga lupa pada hal-hal sederhana yang lebih patut untuk disyukuri. Kisah Philippe dalam The Intouchables yang kehilangan fungsi gerak seluruh badannya selain kepala memperlihatkan bahwa seminimal-minimalnya untuk hidup adalah keberadaan pikiran kita sendiri, yang merupakan representasi dari kesadaran.

Film ini secara umum mengisahkan Driss (Omar Sy), seseorang yang bisa dikatakan memiliki hidup cukup liar dan tidak terarah, yang melamar pekerjaan ke tempat Phillippe (François Cluzet), seorang milyader yang menderita tetraplegia (kehilangan fungsi seluruh anggota geraknya akibat kecelakaan), untuk mendapatkan uang kesejahteraannya (semacam tunjangan buat pengangguran yang tengah mencari kerja). Phillippe yang melihat sisi lain dari Driss memberi tantangan untuk bekerja padanya selama sebulan, setelah itu ia bisa memutuskan apakah dapat lanjut atau tidak. Selama sebulan itu Driss pun memasuki dunia Phillippe yang serba tidak mampu dengan kecatatannya, namun tingkah Driss yang tidak terlihat mengeksklusifkan atau prihatin pada Philippe membuat Philippe merasa nyaman dan lebih dihargai. Mereka pun akhirnya berteman baik. Keseluruhan kisah pada film ini menunjukkan bagaimana dunia Driss dan Philippe bersatu dan menghasilkan banyak makna kehidupan.

Rekonstruksi kisah nyata Philippe Pozzo di Borgo, memang tidaklah seratur persen serupa. Perbedaan yang sangat jelas mendasar adalah tokoh Driss, yang pada film direpresentasikan oleh seorang negro Africa, sesungguhnya bernama Abdel di dunia nyata dan sama sekali tidak berkulit hitam. Olivier Nakache dan Eric Toledano mengaku bahwa penggantian ini disebabkan oleh subjektivitas mereka yang nyaman bekerja sama dengan Omar Sy pada Tellement Proches (2009) dan ingin ia bermain lagi. Aku sendiri kurang menangkap logikanya, akan tetapi Abdel sendiri tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Toh secara keseluruhan, kisah yang disajikan telah diusahakan semirip mungkin. Hal ini diakui oleh Pozzo di Borgo dan Abdel sendiri, walau memang pada film tetap tercantum banyak inovasi dan pengembangan.

Melihat apa yang dikisahkan pada Intouchables membuatku sangat kagum dengan Philippe. Hidup dengan hampir seluruh tubuh lumpuh bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Bayangkan saja, yang Phillippe dapat gerakkan dan rasakan hanyalah tubuh bagian leher ke atas, sisanya mati rasa. Tanpa adanya motivasi dan dorongan hidup yang kuat, keadaan seperti itu tentu akan bisa dengan mudah menjatuhkan mental dan jiwa seseorang. Dalam hal ini Driss memanusiakan Philippe dengan memperlakukan dan menganggapnya manusia biasa seperti pada umumnya. Memang, penghargaan dan pengakuan manusiawi secara setara sangat diperlukan untuk membangun jiwa seseorang agar tetap sehat untuk menghadapi hidup. Inilah mengapa diskriminasi bentuk apapun bisa berakibat negatif terhadap kesehatan jiwa seseorang. Kenyamanan yang didapatkan oleh Philippe dari perlakuan Driss terhadapnya akhirnya memberi Philippe senyum baru untuk kehidupan setelah sekian lama berada dalam kehampaan Tetraplegia.

Ikatan memang tidak butuh macam-macam syarat untuk dapat terbentuk. Yang terpenting adalah adanya keikhlasan dan keberterimaan satu sama lain. Setia menjadi tangan dan kaki seorang teman yang lumpuh butuh keikhlasan yang sangat tinggi, suatu hal yang mungkin cukup sulit di dapatkan ketika karakter manusia saat ini semakin egosentris. Pendapat dan karakter yang berbeda bukanlah halangan dalam terciptanya ikatan antar manusia, karena yang penting adalah saling menerima, bukan saling mengerti. Lihatlah Driss dan Phillippe yang bagaikan langit dan bumi baik dalam hal latar belakang, sifat, hingga cara pandang, namun pada akhirnya mereka menjadi teman dekat bahkan hingga detik ini, walaupun mereka sendiri telah memiliki keluarga dan kehidupan masing-masing yang terpisah.

Sebagai sebuah film berbahasa selain inggris, Intouchables memang mendapat cukup menarik perhatian dunia, terbukti bagaimana film ini memenangkan penghargaan Best Foreign Language Film dalam African-American Film Critics Association (AAFCA) Award, Award of the Japanese Academy, Black Film Critics Circle Awards, Cinema Brazil Grand Prize, Denver Film Critics Society Award, dan sekian banyak penghargaan lainnya untuk nominasi yang sama. Film Intouchables merupakan film perancis kedua yang kutonton setelah Paris Je T’aime (2006), namun itu cukup untuk mematangkan rasa cintaku pada film perancis. Mungkin aku terlalu mudah menggeneralisasi, tapi aku merasa bahwa film Perancis memiliki ciri khas tersendiri dalam beberapa hal yang sulit ku deskripsikan. Apalagi dengan bahasa yang terkesan sulit terucap namun terasa enak didengar, film Perancis memiliki daya tarik tersendiri untuk ditonton dan dinikmati. Selama ini paradigma perfilman mayoritas masyarakat Indonesia sangatlah kaku, sempit, dan lebih terfokus pada film-film produksi Hollywood hingga sering mengesampingkan film-film keluaran negeri lain, salah satunya adalah Perancis. Keragaman perfilman dunia sesungguhnya perlu diberi perhatian khusus, namun sayang, bioskop-bioskop komersil di Indonesia cenderung hanya menayangkan film-film dari PH (Production House) ternama saja. Sedangkan festival-festival film sendiri, dimana film-film berkualitas ditayangkan, tidak memiliki daya tarik bagi masyarakat awam pada umumnya.

Akhir kata, terkadang kita perlu memperluas tontonan kita untuk melihat bagaimana beragam kisah dari seluruh dunia ditayangkan dalam bentuk yang berbeda untuk memberi kita pembelajaran yang berbeda juga. Intouchables sebagai sebuah film rekonstruksi kisah nyata telah menyiratkan sangat banyak makna kehidupan yang dapat kita petik dengan perspektif masing-masing. Hidup bukanlah hanya bermimpi tinggi atau berambisi muluk-muluk, tapi cukup bagaimana kita menghargainya dan memaknainya secara total dan maksimal.

(PHX)

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora