(D)ingin Mencapai Batas

- 7 mins

cover film Everest

Judul : Everest

Sutradara : Baltasar Kormákur

Tanggal Rilis : 25 September 2015

Durasi : 121 menit

Genre : Petualangan, Biografi, Drama

Pemeran : Jason Clarke, Ang Phula Sherpa, Thomas M. Wright

_Rob, can you hear me? You’ve gotta keep moving. You’ve gotta come on down. If anyone can make it, you can.” – Jan Arnold

Menonton film yang bersumber dari kisah nyata memang memiliki sensasinya tersendiri. Hal ini disebabkan ekspektasi dan imajinasi cenderung akan lebih rasional dalam menerima setiap adegan hingga emosi pun lebih mudah tersentuh. Hal ini lah yang ku rasakan ketika menonton film Everest, dengan pikiran terjaga bahwa kisah tersebut adalah nyata, aku seakan terseret masuk ke dalam cerita dengan semua atmosfer dan ketegangannya.

Seperti halnya film-film bergenre biografi atau bersumber kisah nyata, kita bisa mengatakan bahwa film ini dibangun cukup ‘netral’ dengan memperlihatkan sesuatu apa adanya, tanpa ada pengarahan perspektif protagonis-antagonis sehingga penonton bisa sepenuhnya mengambil makna tanpa harus terbawa sudut pandang. Ketika kita sibuk bertanya kenapa semua konflik dalam film bisa terjadi, kita tidak akan menemukan jawaban yang pas karena memang tidak ada yang bisa disalahkan selain bahwa semua itu adalah kejadian yang hanya perlu dipetik makna dari dalamnya. Apalagi untuk film Everest, ini semua hanya pertarungan antara manusia dengan alam ekstrim, bagaimana manusia pada titik terlemahnya.

Tentu banyak modifikasi dan bumbu yang ditambahkan dalam pembungkusan tragedi pendakian pada 1996 itu dalam sebuah film. Merekonstruksi sebuah kisah yang telah lama terjadi, apalagi dengan saksi mata yang terbatas dan tempat yang ekstrim, tentu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Namun melihat bahwa penulisan naskah Everest diiringi dengan penelitian dari berbagai referensi, termasuk dengan wawancara langsung ataupun mengadopsi buku-buku dari pendaki yang selamat, seperti “Into the Thin Air” karya Jon Krauker, “After the Wind” karya Lou Kassichke, “The Climb” karya Anatoli Boukreev, “Left For Dead” karya Beck Weather, atau “The Storms” karya Mike Truman, aku tidak terlalu mempermasalahkan akurasi dari plot yang diciptakan pada film dengan kisah yang sesungguhnya. Lagipula, cukup terlihat bahwa Baltasar memang sedikit banyak merangkum keseluruhan kisah dalam plot-plot dramatis untuk mempercantik film, namun tentunya itu tidak akan mempengaruhi akurasi inti sesungguhnya dari kejadian ini.

Film ini secara umum menceritakan ulang tragedi yang memakan 12 korban jiwa dalam sebuah pendakian puncak Everest pada 10-11 Mei 1996. Pada saat itu, 2 konsultan pendakian, Adventure Consulting yang dimiliki Rob Hall dan Mountain Madness yang dimiliki Scott Fischer, bergabung menjadi satu tim karena mendaki pada waktu yang bersamaan. Pendakian yang awalnya berjalan lancar ini mulai menemukan kendala ketika tali bantuan di Tebing Tenggara (South-east Ridge) rusak dan butuh waktu untuk diperbaiki. Hal ini pun menyebabkan mereka terlambat mencapai puncak, padahal ada batasan waktu yang harus dihindari karena adanya ancaman badai yang datang. Diiringi dengan beberapa momen yang cukup tegang seperti bagaimana Rob Hall tetap menemani Doug Hansen yang mulai melemah walaupun sudah sangat terlambat, pendakian ini akhirnya berujung pada tidak selamatnya baik Doug Hansen maupun Rob Hall, dan juga Harold yang berusaha menyelamatkan mereka, serta beberapa pendaki lainnya yang tidak sempat sampai ke camp 4 sebelum badai menerjang.

Yang patut disayangkan dari Everest adalah adanya beberapa kekurangan dari segi konstruksi film, mulai dari penyusunan plot cerita hingga pembangunan karakter tokoh yang membuatku sendiri jadi cukup kebingungan ketika berusaha memahami keseluruhan kisah. Ujung-ujungnya, aku jadi hanya menikmati pemandangan dan ketegangan yang muncul terkait imajinasi betapa ekstrimnya puncak Everest tanpa bisa seratus persen mengerti cerita. Permainan emosinya pun sedikit kurang baik sehingga cenderung menurunkan ekspektasi. Proses pendakian ke puncak baru dimulai pada pertengahan film dan diperlihatkan sangat singkat hingga membuatku sendiri tidak menyadari bahwa mereka “tiba-tiba” sudah sampai di pucak Everest. Walaupun memang ada penyisipan masalah seperti penglihatan Beck yang mengabur atau tali yang rusak untuk mendaki celah Gletser di Tebing Tenggara, namun semua itu terjadi begitu cepat hingga kurang terhayati dengan baik.

Konstruksi karakter tokoh yang ku rasa kurang pun membuatku sedikit bingung mengenai tokoh-tokoh yang disorot sesungguhnya. Yang terjelaskan cukup baik hanyalah Beck Weather dan Rob Hall sendiri, hal ini mungkin disebabkan dua tokoh tersebut lah yang memiliki latar belakang yang membantu membangun cerita menyentuh ketimbang tokoh lainnya. Pada dasarnya, kesulitan mengenali karakter disebabkan mereka semua hampir tidak bisa dibedakan ketika memakai pakaian serba tertutup ketika mendaki. Akhirnya, pemahaman menyeluruh pada cerita pun baru bisa ku dapatkan ketika menonton untuk yang kedua kalinya. Akan tetapi, terlepas dari semua kekurangan itu, film ini cukup berhasil memainkan emosi pada sepertiga akhir film ketika masa-masa kritis Rob Hall untuk bertahan hidup, meskipun memang di sisi lain ‘drama’ Rob Hall sedikit ‘tidak adil’ karena seperti menganggap remeh kematian yang lain, yang tidak terlalu mendapat sorotan. Selain itu, pemaknaan yang bisa didapatkan pun tidak sedikit, karena tentu saja semua ini terkait dengan semangat untuk mencapai suatu gol atau tujuan.

Berbicara tentang makna, hal yang timbul di pikiranku pertama kali setelah menonton film ini adalah pertanyaan dasar mengenai kenapa ada orang-orang yang sangat berkeinginan mempertaruhkan nyawanya hanya untuk mencapai puncak Everest. Tentu saja pertanyaan ini akan mengakar jauh ke konsep tujuan hidup, mengenai apa yang sebenarnya manusia kejar dalam hidupnya. Betapa beragamnya hal ini diperlihatkan dalam Everest yang mana setiap pendaki memiliki alasannya masing-masing, seperti Beck Weather yang cenderung menjadikan gunung sebagai tempat ‘pelarian’ dari beban hidupnya, Doug Hansen yang ingin keberhasilannya mencapai puncak Everest dapat menginspirasi anak-anak sekolah di rumahnya, atau Yasuko Namba yang ingin menaklukkan keseluruhan 7 Summits. Terkadang memang untuk mencapai suatu target kita tidak butuh alasan yang muluk-muluk, yang terpenting adalah semuanya merupakan keinginan murni dari dalam diri. Sayang, masih banyak orang yang memakai alasan-alasan palsu-klise untuk mengejar sesuatu karena cenderung belum memahami jati dirinya sendiri. Ketika kita sudah punya dorongan dari dalam, sesederhana apapun itu, usaha dan proses untuk mengejar dorongan tersebut, apapun resiko dan tantangannya, menjadi makna tersendiri untuk hidup. Hingga akhirnya tiap momen dalam hidup pun termaksimalkan dengan baik, karena terdiri dari usaha dan pencapaian yang berasal dari diri sendiri, seperti apa yang dikatakan seorang kawan, “Matilah karena puas menari, bukan karena lelah berlari.”

Dorongan untuk bertahan hidup pun diperlihatkan cukup jelas pada film ini. Terkadang manusia memang butuh dorongan tersendiri untuk melampaui apa yang menjadi batas limitnya. Hal-hal sederhana seperti keluarga menjadi hal paling dasar yang dimiliki sebagai alasan untuk tidak menyerah pada apapun, apalagi pada kematian. Orang-orang mudah menyerah biasanya karena belum menemukan dorongan ini. Menghidupkan api kehidupan sebenarnya adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan dorongan-dorongan dasar untuk mengoptimalkan kehendak dan kuasa agar lebih bisa punya kontrol pada hidup, dan akhirnya punya kekuatan untuk mengejar yang mustahil. Seperti halnya para pendaki Everest yang hingga saat ini selalu bertambah jumlahnya. Mungkin terkesan konyol untuk mempertaruhkan nyawa hanya untuk mendaki sebuah puncak gunung, namun jika dilihat dari persepektif yang melakukan, tentu ada kepuasan tersendiri ketika berhasil menggapainya.

Everest sebagai puncak tertinggi di Bumi memang bukanlah hal yang remeh untuk ditaklukkan. Mendakinya adalah sebuah ujian untuk mengekstensi batas-batas terjauh kekuatan manusia untuk bertahan hidup. Untuk menguatkan niat dan tekad mendaki sendiri pun belum tentu mudah, apalagi benar-benar melakukannya. Seperti yang dikatakan Rob Hall ketika menjelaskan pada para kliennya, “Human beings simply aren’t built to function at the cruising altitude of a 747. Our bodies will be literally dying. Everest is another beast all together”. Tentu ini tidak main-main, karena kematian lah yang dihadapi. Tragedi 1996 merupakan kejadian di Everest yang memakan korban terbanyak ketiga setelah longsor salju pada 18 April 2014 yang memakan 16 korban dan gempa Nepal pada 25 April 2015 yang memakan 18 korban. Semenjak terjadinya 2 bencana berturut-turut tersebut, para Sherpa (pribumi Nepal yang sering menjadi pendamping untuk para pendaki himalaya) berhenti bekerja untuk waktu yang belum ditentukan. Beberapa perusahaan pendakian pun mulai menutup konsultasi untuk pendakian ke Himalaya.

Everest hanyalah salah satu dari sekian banyak target kehidupan yang bisa dicapai manusia. Sudah sangat sering kita mendengar bahwa selama ada kemauan tentu tidak ada yang mustahil. Well, let’s prove it. Bagi yang kehilangan semangat hidup ataupun kehilangan arah, mungkin rileks sejenak dari kesibukan dan menonton film ini akan membantu untuk membangkitkan lagi apa yang telah meredup. Enjoy!

There is competition between every person on this mountain. The last word always belongs to the mountain.” – Anatoli Boukreev

(PHX)

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora