Musik Adalah Semesta

- 5 mins

cover film August Rush

Judul : August Rush

Sutradara : Kirsten Sheridan

Tanggal Rilis : 21 November 2007

Durasi : 114 menit

Genre : Drama, Musik

Pemeran : Freddie Highmore, Keri Russell, Jonathan Rhys Meyers, Robin Williams

You know what music is? It’s God’s little reminder that there’s something else in this universe besides us. Harmonic connection between everything, even the stars.” –- Wizard –

Aku tak mengerti musik, atau mungkin lebih tepatnya aku tak punya sense apapun tentang musik, hanya bisa menikmati, namun August Rush telah mengajarkanku banyak hal. Film yang disutradarai Kirsten Sheridan ini bisa ku katakan luar biasa. Tanpa perlu memikirkan beberapa kejanggalan, film ini telah menunjukkan plot, permainan emosi, tekanan, dan makna yang sangat pas untuk dinikmati oleh siapapun, apalagi bagiku yang selalu menilai film dari gabungan fungsi hiburan dan fungsi pembelajarannya.

Walau tak punya bakat musik, siapapun punya telinga yang sama untuk bisa mendengarkan bagaimana dunia ini tersusun dalam berbagai simfoni. Tak butuh bisa memainkan nada sendiri atau mencipta lagu sendiri untuk dapat menilai bagaimana musik yang indah dinikmati atau tidak. Bahkan, hanya dengan mendengar suara angin bertiup, burung berkicau, besi berdentang dari pembangunan, deru kendaraan yang secara periodik membuktikan efek doppler di pagi hari yang tenang, diiringi keteraturan nafas dan denyut jantung, sudah menjadi orkestra tersendiri bagi mereka yang bisa menghayatinya. Ini inti utama dari apa yang disampaikan dalam film ini, seperti hal sederhana yang dikatakan August Rush (Freddie Highmore), “The music is all around us, all you have to do is listen.

Aku baru mengerti arti dari kenapa film ini berjudul August Rush pada tengah-tengah film, membuatku mau tak mau tak bisa menonton tanpa ekspektasi. Walau memang penikmat film yang baik adalah yang bisa menikmati dengan “zero-expectation”, agar semua terlihat sebagaimana adanya, ekspektasi untuk sebuah film yang juga dimainkan oleh Robin Williams sulit dihilangkan. Selagi menanti Robin yang akhirnya muncul pada sepertiga kedua film sebagai sesuatu yang bisa ku bilang semi-antagonis, August Rush bisa memainkan emosiku dengan baik melalui sebuah permainan ekspektasi yang bagus. Jika melihat secara keseluruhan, cerita yang tertulis sebenarnya bisa dikatakan biasa, bahkan bagiku klise untuk beberapa bagian, namun film sesungguhnya punya aspek tersendiri yang bisa memperindah sebuah cerita, dan itulah yang berhasil disajikan oleh Kirsten Sheridan dengan sempurna. Mungkin di sini letak perbedaan sutradara wanita dengan pria, yang mana wanita lebih bisa menyajikan aspek emosi dan perasaan dengan cukup baik.

Bagi mereka yang melankolis (termasuk aku), menonton film ini mungkin akan membuat air mata mengalir. Bagaimana tidak, sebuah keluarga yang terpisah 10 tahun bisa bersatu kembali hanya karena musik. Gabungan perjuangan seorang ibu demi menemukan anaknya yang ternyata masih hidup setelah selama 10 tahun diketahuinya telah meninggal dan seorang anak yang dianggap yatim piatu namun merasakan kehadiran orang tuanya di luar sana dan hanya menyerahkan hidupnya pada firasatnya terhadap musik sudah cukup untuk membuat film ini menggugah hati. Apalagi, berbagai musik yang mengiringi August Rush sangat mewarnai film ini menjadi tidak sekedar visualisasi sebuah kisah, namun sebuah karya seni hibirida sastra-visual-suara yang tidak biasa. Mungkin terkesan berlebihan, tapi itulah apa adanya. Makna dan pembelajaran yang terkandung dalam August Rush pun tidak dangkal bila mendapat sedikit refleksi dan kontemplasi.

Musik, seperti halnya seni lainnya, merupakan bentuk ekspresi kebebasan manusia. Estetika tidaklah sekedar berkata ‘indah’, namun bagaimana semua yang dipersepsi oleh indra mendapat makna tertingginya dalam kesadaran tiap individu. Musik, juga seperti puisi, adalah milik setiap manusia, karena hanya dengan semua itu, dengan seni, roman, cinta, rasa, manusia bisa hidup selayaknya manusia. Seperti halnya yang orang-orang sebut sebagai “bakat”, perbedaan mendasarnya hanyalah kepekaan diri terhadap aspek-aspek tertentu, seperti nada. Namun, jika memperluas gambarannya, musik sesungguhnya tidak terbatas pada nada, namun semua keteraturan yang membentuk harmoni bisa disebut sebagai musik. Ketika seseorang peka pada nada, dengannya lah ia mendengar suara dunia, namun mendengar semesta tidaklah harus melalui nada, karena begitu banyak cara semesta memperlihatkan keindahannya, mulai dari betapa indahnya ekspansi taylor suatu fungsi atau betapa indahnya DNA mausia bereplikasi. Itulah tarian semesta, semua harmoni adalah musik. Itulah makna sesungguhnya dari yang dikatakan August, “Listen. Can you hear it? The music. I can hear it everywhere. In the wind… in the air… in the light. It’s all around us. All you have to do is open yourself up. All you have to do… is listen

Sebenarnya banyak makna lain yang tersampaikan di film ini, seperti bagaimana keadaan anak jalanan yang dimanfaatkan dengan pendekatan sederhana. Terkadang anak yang memiliki latar belakang keluarga yang bermasalah akan lebih mudah terpengaruh. Ditunjukkan dengan perkataan Arthur, “Wizard? He gave me his pIace at the Square. My parents? They ain’t gave me nothing.”, yang menunjukkan bahwa hanya dengan ajakan sesimpel tempat bernaung dan bermain gitar, seorang anak bisa dengan mudah jadi ATM bagi yang ingin memanfaatkan. Walau sebenarnya hal-hal seperti itu bisa memicu anak untuk berkembang, namun secara tidak langsung itu juga membatasi, karena hanya diwadahi seadanya dan berbasis kepentingan. Bagaimana August yang awalnya dibangkitkan semangat bermusiknya oleh Wizard namun tetap pada akhirnya dibatasi untuk dapat berkembang dengan caranya sendiri hanya karena kepentingan si Wizard. Memang uang bisa sangat menguasai paradigma. Tak ku sangka juga, karena ku pikir bagaimana Robin Williams pada awalnya masih memperlihatkan wibawanya seperti biasa dalam memerankan Wizard yang memotivasi August untuk terus bermusik, tapi pada akhirnya jadi tokoh antagonis yang hanya memanfaatkan August untuk kantongnya sendiri. Citra Robin jadi turun bagiku karenanya.

Mungkin cukup itu saja, karena film ini hanya pantas untuk dinikmati sendiri, seperti halnya lagu tidak bisa sekedar diceritakan namun harus didengarkan. Ini bukan sekedar sebuah film keluarga yang biasa-biasa, namun ini adalah pertunjukkan yang akan membuatmu melewatkan 114 menit tanpa terasa. Terasa mengherankan bagiku ketika melihat film ini hanya mendapat rating 7.6 di IMDb, mungkin karena film ini masih terasa klise bagi beberapa orang yang berekspektasi tinggi. Menutup review ini, aku ingin mengutip komentar salah satu reviewer lain : “This is truly a symphony of a film. You’ll enjoy it, your children will enjoy it, and you will walk out of the theater knowing that, for once, your ticket money was well spent.” Jadi, bagi kalian yang ada waktu sejenak, relakskan lah diri dengan sedikit hiburan namun sarat makna seperti August Rush.

Sometimes the world tries ot knock it out of you. But I believe in music the way that some people believe in fairy tales.” – August Rush –

(PHX)

Alt Text

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora