Penindasan Teknologi
- 18 mins“Humanity is acquiring all the right technology for all the wrong reasons.”
– R. Buckminster Fuller –
Setelah sekian lama tidak menuangkan opini, terutama untuk wacana terkait teknologi, kajian yang diadakan HMIF dan MG beberapa hari yang lalu cukup memberiku sedikit hasrat untuk kembali berkata-kata. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya pula, kajian tanpa tulisan bagaikan lulus tanpa wisuda. Maka daripada hanya menjadi hiburan untuk segelintir mahasiswa di malam selasa, sekaligus nostalgia tulisan lama terkait hal yang sama, ku coba tuliskan ulang pembahasan terkait teknologi beserta kaitannya dengan keadaan kini.
Tanpa perlu basa-basi, kita semua tahu, dunia tengah berada pada era informasi, era ketika segalanya bertransformasi menjadi bentuk yang berbeda, bentuk yang mungkin membuat sebagian dari kita heran dan bertanya-tanya. Penemuan sibernetika beserta turunan-turunannya memang bagai sebuah revolusi tersendiri untuk dunia, seperti halnya ditemukannya api, mesin cetak, ataupun mesin uap. Semuanya merupakan penemuan krusial terkait bergantinya, atau mungkin, bergesernya, basis peradaban manusia pada suatu era.
Apa yang ku tulis sekarang hanya melengkapi apa yang telah terjelaskan di dua tulisan saya sebelumnya (Dalam Penjara Teknologi dan Ironi Informasi). Sesungguhnya wacana mengenai teknologi bisa menjadi suatu wacana menyeluruh yang harus dikupas dengan hati-hati. Dampak yang ditimbulkan dari perkembangan teknologi ini telah membuat dunia berada dalam transisi besar-besaran pada hampir semua sektor, membuat segalanya seakan tidak stabil dan terasa berbeda. Perubahan yang terjadi begitu cepat pun membuat kita menjadi tertatih-tatih mengikuti dan akhirnya hilang arah, bingung telah berada dimana. Beragam identitas mengalami krisis jati diri, kehilangan landasan, ataupun terjebak dalam tekanan perubahan. Yang bertahan dengan diri yang lama akan diasingkan, dikucilkan, dan dipaksa untuk mengikuti, sedangkan yang ikut berubah, ada yang dengan sadar berusaha memaksimalkan segalanya dan mengarahkannya secara optimis ke arah yang lebih baik, sedangkan yang tidak sadar kebingungan meraba-raba apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Di tengah semua kebingungan ini, alangkah baiknya berbagai renungan dan kontemplasi dilakukan untuk segera menemukan jalan keluar dari kabut pekat ilusi teknologi. Kegagalan bersikap dan bertindak di masa transisi akan beresiko membuat kita tidak mampu menghadapi masa depan yang semakin tak terprediksi dengan baik. Apakah kita akan mengarah pada kondisi seperti film the matrix, terminator, oblivion, ataupun film-film apokaliptik lainnya sangat bergantung pada bagaimana semua teknologi ini tersikapi. Janji-janji manis manfaat teknologi bagaikan sebuah ilusi tajam yang mengaburkan mata semua orang dari dampak-dampak buruknya. Ini adalah sebuah era baru yang tidak bisa dianggap remeh.
Marilah sebelumnya kita coba melihat teknologi sebagai suatu era baru yang menggeser basis peradaban sebelumnya. Namun, dalam hal ini perlu kita ciptakan partisi perspektif terhadap teknologi, bahwa sesungguhnya teknologi memang telah ada sejak asal mula terbentuknya peradaban manusia, dan bahwa apa yang terjadi di era saat ini adalah berkembangnya teknologi informasi. Dunia telah mengalami sejarah panjang dan melalui berbagai era semenjak manusia memulai peradabannya. Banyak bentuk pembagian periode telah dilakukan oleh para sejarawan ataupun ilmuan lainnya untuk memetakan keseluruhan linimasa agar bisa dianalisis dengan baik, seperti pembagian berdasarkan kondisi sosial, yang mana ada zaman kegelapan, renaissance, kemudian pencerahan, ataupun pembagian berdasarkan paradigma mekanika yang dikembangkan, yang mana ada zaman fisika klasik, kemudian fisika modern. Lalu bagaimana dengan teknologi? Dari segi apa kita melihat periodisasi zaman ketika kita melihat teknologi informasi ini membentuk suatu era baru dengan ciri khasnya sendiri?
Pergeseran Kuasa
Jika ingat piramida kebutuhan Maslow, kita ketahui bahwa kebutuhan manusia secara umum bisa dipetakan berbentuk piramida dengan urutan paling bawah dari kebutuhan fisiologis, diikuti rasa aman, kemudian hubungan sosial, penghargaan, dan paling atas aktualisasi diri. Piramida kebutuhan ini mengurutkan alur pencarian kebutuhan manusia dari yang paling dasar, yang mana dalam hal ini adalah kebutuhan makan, minum, tidur, seks, dan semacamnya.Sekarang, bila dilihat dalam periodisasi perkembangan peradaban, “kebutuhan dasar” manusia cenderung meningkat secara perlahan seiring dengan berkembanganya teknologi
Teknologi sesungguhnya berkembang dari kebutuhan manusia yang selalu meningkat. Ketika manusia “butuh” sesuatu, manusia cenderung mencari cara untuk mengefektifkan dan mengefisienkan tindakannya untuk mendapatkan kebutuhannya.Seperti halnya dulu perkakas sederhana seperti panah diciptakan untukmemudahkan manusia berburu. Ketika alat baru tercipta, realitas yang bisa dijangkau manusia semakin meluas dan akhirnya menumbuhkan kebutuhan baru. Kebutuhan baru ini pun kemudian memicu penemuan alat baru. Siklus terus menerus ini lah yang menggerakkan roda peradaban dan membuat teknologi tidak pernah berhenti berkembang. Ketika kebutuhan semakin banyak, ketersediaan yang terjangkau terkadang terbatas, terutama ketika manusia mulai berkelompok dalam populasi yang banyak. Kebutuhan yang terbentur dengan keterbatasan inilah yang kemudian memunculkan konflik untuk pertama kalinya dalam peradaban manusia.
Kebutuhan yang dimaksud di sini meluas menjadi konsep kepentingan dan persepsi, yang hingga saat ini menjadi pemicu utama konflik dalam kehidupan sosial. Di sinilah peran kekuasaan masuk sebagai cara untuk mengatasi konflik. Adanya kuasa terhadap kebutuhan-kebutuhan yang ada membuat semua kebutuhan itu terurusi di bawah satu koordinasi, sehingga konflik-konflik bisa dikendalikan. Ambillah contoh ketika zaman primitif, yang mana kebutuhan yang ada masihlah sangat dasar, yaitu kebutuhan fisiologis. Maka seseorang yang paling kuat di antara mereka lah yang kemudian dihormati dan diikuti karena kekuatannya memberinya kuasa atas kebutuhan akan makanan. Kita akan lihat disini bahwa ternyata karena teknologi membuat kebutuhan manusia selalu berkembang, maka teknologi bisa perlahan menggeser pusat kuasa dari peradaban.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa peradaban manusia bisa diperiodisasikan berdasarkan pergeseran basis kuasa yang terjadi. Pada awal mula peradaban, seperti yang saya contohkan sebelumnya, basis kuasa masihlah pada kekuatan fisik, yang mana disebabkan kebutuhan manusia masih berada pada tingkatan paling dasar. Seiring dengan waktu, dengan perkembangan teknologi terus menerus terjadi, kebutuhan jug a mengalami perkembangan. Dalam piramida Maslow, tingkatan selanjutnya adalah kebutuhan akan rasa aman dan hubungan sosial. Hal ini diindikasikan oleh mulai menetapnya manusia dari yang sebelumnya nomaden, menciptakan desa-desa sederhana sebagai bentuk hubungan sosial kolektif paling sederhana setelah keluarga. Dengan menetapnya manusia ini, pertanian, perkebunan, dan peternakan mulai berkembang, yang akibatnya Tentu saja, tanah. Ya, dengan menetapnya manusia dan terbentuknya sistem sosial sederhana, maka kuasa akan kebutuhan manusia berpusat pada tanah. Orang yang menguasai tanah akan menguasai kebutuhan manusia. Tanah juga lah yang membuat bagitu banyak konflik terjadi selama ribuan tahun.
Era kuasa berbasis tanah ini berlangsung cukup lama. Selama itu kebutuhan manusia juga berkembang terus menerus secara perlahan mengikuti perkembangan teknologi. Ketika kebutuhan pada piramida Maslow berikutnya, penghargaan diri, pun mulai perlahan muncul, tanah masih terus menjadi basis kuasa dengan sedikit perlahan bergeser ke arah kapital ketika konsep perdagangan muncul. Ketika dunia memasuki era feodal, tanah dan kapital menjadi satu kesatuan kuasa, yang mana kepemilikan atas tanah bukan lagi berbasis perebutan namun jual-beli, menandakan kebutuhan manusia mulai beranjak satu tingkat ke arah penghargaan diri (self-esteem).
Ketika revolusi industri terjadi, yang ditandai dengan ditemukannya teknologi uap, kendali atas kesejahteraan bergeser pada seberapa mampu kita melakukan produksi besar-besaran dan akhirnya bisa menguasai arus komoditas dan perdagangan. Tanah bergeser sepenuhnya ke arah kapital sebagai basis kuasa. Munculnya pemikiran kapitalisme klasik yang dimunculkan oleh Adam Smith pada abad ke-18 pun menandakan era ini. Kapital menguasai semua kebutuhan manusia hingga tataran penghargaan diri, bahkan sedikit aktualisasi diri. Pada era ini, manusia tidak lagi hidup untuk sekedar mencari makan, rasa aman, ataupun berhubungan sosial, namun hidup untuk bagaimana ia bisa berkarya dan dihargai. Kebutuhan atas self-esteem inilah yang kemudian menyebabkan munculnya pertentangan kelas ketika industri-industri mulai memperkerjakan buruh-buruh tanpa adanya penghargaan yang seimbang.
Dengan berkembangnya industri dan teknologi produksi, teknologi tetap berkembang terus dengan kebutuhan manusia yang tak pernah berhenti bertambah. Kebutuhan manusia semakin terekstensi naik hingga ke puncak piramida Maslow, yaitu aktualisasi diri. Hal ini memuncak dengan ditemukannnya internet pada abad 20 yang menandakan mulai bebasnya arus informasi. Beragam batas-batas yang awalnya menghalangi manusia untuk berkembang mulai terhapus dan melebur. Tanpa adanya keterbatasan untuk mengetahui sesuatu, seakan segalanya sangat mungkin untuk dilakukan. Hampir keseluruhan kebutuhan dalam piramida Maslow dapat terpenuhi dengan teknologi informasi, dari kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri. Dunia pun memasuki era ketika segalanya bisa dijawab dengan teknologi, maka mau tidak mau pusat kuasa pun bergeser. Karena semua kebutuhan mulai dipusatkan dalam basis informasi, maka mereka yang mengendalikan informasi lah yang berkuasa.
Stratifikasi Baru
Telah kita lihat sebelumnya bahwa perkembangan teknologi sejak awal mula peradaban terus menaikkan kebutuhan dasar manusia yang dari awalnya hanya sebatas kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan akan aktualisasi diri yang saat ini sangat mudah terwujud melalui teknologi informasi. Berdasarkan hal itu, peradaban pun dapat dipartisi menjadi 4 era, yaitu klasik, ketika semua kuasa berbasis kekuatan, kemudian era agraria, ketika kuasa berbasis tanah, era industri, ketika kuasa berbasis kapital, dan terakhir, era informasi, ketika kuasa berbasis informasi.
Lantas ada apa dengan era-era berdasarkan basis kuasa tersebut? Adanya basis kuasa membuat manusia mengalami penstrataan berdasarkan kuasa yang ia miliki. Memakai bahasa lain, kita katakan kuasa lah yang menjadi penyebab munculnya kelas-kelas sosial. Ketika era industri dimana basis kuasanya adalah kapital, maka kelas sosial yang terbentuk pun berdasarkan atas kapital, yang mana dalam pemikiran Marx dilihat dalam kepemilikannya terhadap faktor produksi, menghasilkan adanya klasifikasi borjuis dan proletar. Secara umum, sebenarnya apa yang Marx tesiskan dalam hal ini adalah bahwa setiap periode sejarah selalu memiliki pertentangan antara 2 kelas, antara yang tertindas dan yang menindas. Tentu saja, hal ini jelas karena kuasa cenderung menciptakan ketertindasan bagi mereka yang tidak memiliki.
Sesungguhnya kelas-kelas sosial ini juga ada pada era sebelumnya, namun tidak dalam bentuk kepemilikan pada faktor produksi. Karena pada era agraria basis kuasanya adalah tanah, maka kelas sosial yang terbentuk pun berdasarkan kepemilikan tanah. Pada zaman feodal, sederhananya masyarakat terdiri dari para tuan tanah dan rakyatnya, sedangkan selain daripada itu, kuasa atas tanah cenderung direpresentasikan dengan sistem monarki yang mana masyarakat terbagi menjadi kaum bangsawan dan rakyat jelata. Sama halnya dengan era industri, dua kelas ini cenderung bersifat dikotomi menindas dan tertindas. Sudah banyak sejarah mengisahkan bagaimana para pemilik tanah ataupun kaum bangsawan cenderung sewenang-wenang dalam kuasanya hingga mengakibatkan ketidakadilan pada rakyat jelata. Melihat jauh lagi ke era klasik, hal yang sama pun lebih jelas terjadi ketika semuanya masih berbasis kekuatan fisik. Memang, prinsip yang kuat menindas yang lemah sudah mengakar dalam peradaban manusia.
Lalu bagaimana dengan era informasi? Bagaimana stratifikasi sosial yang terbentuk? Bila melihat lebih jauh lagi, ada sedikit kompleksitas terbentuk daripada sesederhana dua kelas yang saling bertentangan. Pada setiap pergantian era, sesungguhnya tidak semua masyarakat mengikuti pergantian tersebut dengan kecepatan yang sama. Hal ini akan menyebabkan kelompok-kelompok masyarakat yang beragam berdasarkan kuasa apa yang telah dijadikan basis. Ambillah contoh ketika era agraria sudah mulai dimasuki oleh sebagian peradaban pada abad ke-8, bangsa viking masih berada pada era klasik dengan kekuatan fisik sebagai basis kuasanya. Sehingga semakin berkembangnya teknologi, masyarakat semakin sulit “menyatu” dalam satu sifat yang sama, karena diversifikasi kelasnya semakin merentang, ada yang masih sangat “primitif” dan ada yang sudah sangat jauh modern.
Stratifikasi sosial yang terjadi pada era modern pun kemudian terbagi dalam beberapa tingkatan. Yang pertama adalah antara mereka yang memiliki akses terhadap teknologi dengan mereka yang tidak, yang kedua adalah antara mereka yang hanya menganggap teknologi sebagai sumber daya (hanya digunakan) dengan mereka yang menganggap teknologi sebagai aset (digunakan sekaligus dijadikan media yang bisa dimanfaatkan), kemudian terakhir antara mereka yang mengendalikan dengan mereka yang tidak. Stratifikasi bertingkat ini yang kemudian menyebabkan berbagai fenomena yang tak biasa dalam masyarakat. Munculnya istilah netizen adalah salah satu efek dari stratifikasi kelas yang pertama.
Apakah dalam hal ini ada pertentangan kelas yang terjadi? Tentu ada. Bahkan seperti yang saya bilang, stratifikasi dari era sebelumnya pun bisa masih tertinggal, walaupun tidak lagi sekental pada eranya. Seperti halnya pertentangan antara borjuis dan proletar pun saat ini masih ada, terutama di negara berkembang, walaupun ketika dunia sudah bergerak dalam era informasi. Akan tetapi, karena era informasi yang kita masuki bisa dikatakan masih belia, maka pertentangan kelas di dalamnya belum terlihat kental, yang ada malah pertentangan kelas era industri terbawa dengan pemanfaatan kuasa terhadap informasi.
Aktivisme 2.0
Pada dasarnya yang membuat manusia berhasrat untuk bergerak adalah ketika ia memiliki kebutuhan untuk diperjuangkan. Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemenuhan kebutuhan ini memiliki keterbatasan dan cenderung akhirnya menghasilkan konflik antar individu. Dengan terciptanya kelas-kelas sosial, perebutan dalam pemenuhan kebutuhan cenderung menjadi penyebab timbulnya pertentangan antar kelas. Keinginan yang kuat untuk memperjuangkan kebutuhan akhirnya lah yang menghasilkan hasrat manusia untuk bergerak, menghasilkan tindakan-tindakan aktif untuk membawa perubahan. Tindakan-tindakan aktif inilah, apapun arahnya, yang kemudian kita sebut sebagai aktivisme.
Secara bahasa, aktivisme sendiri diartikan sebagai kegiatan aktivis (KBBI edisi III, terhapus pada KBBI edisi IV). Kata aktivis sendiri dalam KBBI edisi IV didefinsikan sebagai orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, pemuda, wanita, dsb) yang bekerja aktif dalam organisasinya, yang mana pada KBBI edisi III memiliki definisi tambahan, yaitu seseorang yang menggerakkan. Jika diperumum, maka aktivisme merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan secara aktif untuk menggerakkan. Aktivisme masyarakat lah yang sejak dulu membuat suatu keadaan atau sistem sosial dinamis, karena aktivisme muncul dari keinginan untuk berubah.
Dalam masyarakat yang berkelas, pertentangan terkadang sulit dihindari, apalagi jika adanya ketimpangan pemenuhan kebutuhan di dalamnya. Sejak dulu aktivisme ini terwujud dalam pemberontakan, insureksi, advokasi, demonstrasi, revolusi, atau hal-hal serupa. Aktivisme ini jugalah yang membuat tatanan masyarakat selalu berganti-ganti untuk terus menyesuaikan diri. Hingga zaman industri, bentukan ataupun metode aktivisme tidak banyak berganti, karena walaupun basis kuasanya berubah, bentuk dunia yang dialami tidak berubah. Namun, hal ini mengalami anomali dalam era informasi.
Era informasi menciptakan “dunia lain” tempat manusia bisa berkumpul, sebutlah ia dunia maya, dunia dibalik sinyal-sinyal internet. Adanya dunia maya ini lah yang juga menjadi faktor adanya stratifikasi bertingkat yang terbentuk di masyarakat. Di dunia nyata, sisa-sisa pertentangan kelas borjuis-proletar atau kelas berbasis kapital masih ada pada beberapa tingkatan, terutama mereka yang tidak banyak terpapar teknologi informasi. Pada tulisan saya yang sebelumnya telah saya jelaskan bahwa mayoritas pengguna teknologi informasi adalah kelas menengah, kelas yang sudah berada di zona aman dan tidak terlalu terusik dengan pertentangan kelas kapital. Kelas menengah ini kemudian membentuk kelas lagi di dunia maya, seperti yang saya jelaskan sebelum ini, yaitu antara mereka yang memanfaatkan teknologi sebagai resource dan mereka yang memanfaatkannya sebagai aset. Tidak ada pertentangan yang nyata antara dua kelas di dunia maya ini karena keduanya sama-sama konsumen, hanya berbeda dari cara penggunaan. Terakhir antara mereka yang menguasai teknologi ini menciptakan kelas lagi yang juga sebenarnya tidak memiliki pertentangan yang signifikan karena tidak adanya ketertindasan yang nyata antar satu sama lain.
Lantas anomali seperti apa yang terjadi? Karena ada banyaknya stratifikasi kelas yang mungkin bahkan tidak saling bersentuhan satu sama lain, aktivisme yang terbentuk terkait masalah-masalah yang muncul pun terdiferensiasi. Kelas menengah yang termakan konsumerisme terhadap teknologi kemudian membentuk mental-mental virtual (baca tulisan sebelumnya). Kelas menengah ini, dengan mental virtualnya, yang merasa aman namun “sok peduli”, kemudian memanfaatkan dunia maya sebagai media untuk bergerak. Maka muncullah berbagai gerakan-gerakan sederhana yang cenderung tidak dilandasi dasar yang kuat dan hanya bersenjatakan keinginan untuk membantu seperti gerakan sekian like ataupun petisi, atau sesimpel membagi artikel-artikel atau info-info tertentu terkait isu yang hangat. Hal inilah yang kemudian disebut oleh salah seorang kawan sebagai like activist atau keyboard warrior. Aktivisme yang memanfaatkan dunia maya ini yang akhirnya memunculkan istilah aktivisme 2.0, suatu aktivisme dengan bentuk baru yang berbasis web 2.0.
Apakah dengan berkembangnya teknologi informasi maka kemudian kita mengeneralisasi bahwa segalanya perlu dilakukan berbasis dunia maya? Fenomena aktivisme 2.0 dapat menimbulkan tanda tanya besar karena sesungguhnya di era informasi ini sendiri, pergerakan-pergerakan mulai kehilangan jati dirinya karena tidak memahami keadaan yang baru. Beberapa orang mungkin bisa mengatakan bahwa ini saatnya kita memanfaatkan dunia maya sebagai basis pergerakan. Apalagi, efektifitas dari teknologi informasi memang tidak perlu dipertanyakan lagi, seperti agaimana propaganda, penyebaran isu, penggalangan suara maupun dana dapat dilakukan dengan mudah . Namun, sesungguhnya apa dan siapa yang diperjuangkan bisa salah sasaran bila hanya memanfaatkan teknologi informasi.
Di dunia nyata, masih banyak kelompok masyarakat yang masih memakai basis kuasa industri atau bahkan agraria. Mereka tidak terpapar teknologi informasi sehebat kelas menengah atas, sehingga apapun yang terjadi di dunia maya hampir tidak berefek sama sekali pada kehidupan mereka. Karena pada dasarnya teknologi hanyalah instrumen persepsional, yang bisa digerakkan melalui dunia maya hanyalah persepsi penggunanya, yang mana mayoritas kelas menengah, maka dapat dikatakan bahwa aktivisme 2.0 hanya sesuai untuk hal-hal yang dekat dengan kelas menengah. Untuk mereka-mereka yang masih jauh dari teknologi informasi tetap membutuhkan aktivisme-aktivisme lama yang mana bantuan langsung lebih diutamakan. Namun aktivisme lama sendiri sudah mengalami penurunan peminat karena cenderung ribet dan tidak cocok dengan mental-mental virtual yang sudah terbentuk.
Melihat keadaan ini, kita sebenarnya hanya bisa mencoba mengambil jalan tengah, walau entah seberapa efektif. Ke depannya keadaan bisa terus berubah dengan perkembangan teknologi yang melesat cepat, meninggalkan kita terdiam dalam spekulasi. Kolaborasi antara metode lama dan baru, aktivisme biasa dengan 2.0, pada akhirnya bisa menjadi solusi terbaik untuk menjawabnya, paling tidak untuk keadaan saat ini. Karena sebagian besar masyarakat merupakan kelas menengah, dan satu-satunya cara efektif untuk menggerakkan mereka adalah melalui dunia maya, maka gerakan-gerakan aktivisme 2.0 sederhana bisa dilakukan untuk pengarahan persepsi, propaganda isu, dan penggalangan resource baik moral maupun material yang kemudian dimanfaatkan lebih lanjut oleh segelintir aktivis lama yang masih mau bergerak dan turun langsung ketimbang berkutat di dunia maya. Ketika semua ini bisa dijalankan dengan baik, dampak yang diberikan pun bisa lebih optimal. Dalam hal ini kita pun perlu hati-hati dalam melihat konteks permasalahan yang ingin dihadapi, karena permasalahan yang berbeda perlu penanganan yang berbeda juga. Pada beberapa kasus bisa saja teknologi informasi murni tidak diperlukan, pada kasus yang lain mungkin lebih optimal bila banyak memakai teknologi informasi.
Penjara Persepsi
Aktivisme 2.0 ini sebenarnya dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk di dalamnya strata paling tinggi pada era informasi ini, yaitu para penguasa teknologi itu sendiri. Ketika facebook menyediakan fasilitas mengganti foto profil akun menjadi berlatar bendera perancis pasca kejadian di Paris beberapa hari yang lalu, persepsi pengguna pun terarah dengan mudah. Penggantian foto profil lantas dijadikan bentuk solidaritas sebagai seorang ‘aktivis’ yang peduli dengan permasalahan yang ada di dunia. Padahal selain permasalahan di Paris, masih banyak yang perlu dipedulikan. Mental-mental virtual yang terbentuk pun membuat masyarakat dunia maya (netizen) menjadi bagaikan unsur alkali, sangat reaktif. Sangat sedikit yang benar-benar memahami suatu permasalahan secara menyeluruh dan sesuai konteks. Kondisi ini perlu disiasati agar tidak menjadi sesuatu yang memburuk. Itulah kenapa propaganda-propagada sederhana namun berkonten sangat diperlukan di tengah keadaan masyarakat yang begitu mudah memasukkan sesuatu ke dalam otaknya tanpa saringan apapun.
Ketidakberdayaan masyarakat terhadap dunia maya ini yang kemudian menghasilkan ketertindasan semu. Kenyamanan-kenyamanan yang diberikan oleh teknologi informasi memciptakan ilusi yang mengaburkan apa yang sesungguhnya terjadi. Perhatikan bahwa teknologi informasi merupakan media yang sangat ampuh dalam pengarahan persepsi, maka secara tidak langsung mereka yang memiliki kuasa terhadap semua informasi punya kuasa terhadap persepsi masyarakat juga. Ya mirip-mirip dengan kapital, hanya saja tidak berupa materi yang terlihat. Bahkan pada titik yang ekstrim, sesungguhnya kebebasan persepsi kita sudah direnggut dengan adanya teknologi informasi. Ini menciptakan ketertindasan dalam perspektif stratifikasi sosial ketiga yang saya sebutkan di atas, antara yang menguasai informasi dengan pengguna.
Dengan semua yang terjadi pada era informasi ini, seakan tidak ada pertentangan atau semacamnya yang terkait basis kuasa ini. Dalam hal ini, pada era informasi, ketertindasan yang terjadi sebenarnya menjadi sangat halus dan hampir tidak terlihat. Bila sebelumnya pada era industri sudah jelas apabila ada kesenjangan secara kapital maka cenderung akan memunculkan ketertindasan, maka kali ini kesenjangan yang ada pun tidak terasa dan tidak mengusik diri, bahkan cenderung membuat nyaman. Para pengguna teknologi bagaikan berada duduk santai di wilayah aman dengan tembok persepsi sementara di luar sana pertarungan antar kelas masih terus terjadi, berusaha peduli namun malas untuk sekedar beranjak keluar dari zonanya. Terjun langsung melihat realita memang sangat diperlukan untuk membentengi diri dari penjara persepsi teknologi yang mana realita tersaring menjadi ilusi-ilusi di balik layar berpendar. Pada akhirnya kita ditawarkan dua pilihan, seperti The Matrix, mengambil pil merah dan tetap menikmati semua ilusi yang ada, atau mengambil pil biru dan memberontak keluar dari penjara persepsi yang ada, membentengi diri, dan melihat realita yang sesungguhnya. Pil biru sendiri banyak bentuknya, bisa dengan menguatkan landasan, perbanyak terjun ke realita, atau membatasi penggunan. Entah apakah kita akan terus jadi narapidana kenyamanan teknologi atau membebaskan diri semua bergantung pada apa yang kita yakini dan sadari.
Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi, entah berbentuk apa kondisi masyarakat di masa depan. Kebutuhan yang terus berkembang selalu dijawab oleh teknologi yang terus bertransformasi. Pada saat ini, semua kebutuhan, darikebutuhan fisiologis, rasa aman, hubungan sosial, penghargaan, hingga aktualisasi diri, seakan bisa dipenuhi semua oleh dunia maya. Meninjau masa lalu, kita melihat bagaimana masyarakat selalu memiliki konflik dan pertentangan terkait kuasa terhadap pemenuhan kebutuhannya yang pada akhirnya mempartisi dunia dalam penindas dan tertindas. Namun dengan era informasi seperti sekarang ini, ketertindasan sudah memasuki tahap paling berbahaya, yaitu persepsi dan pikiran. Karena jika pikiran saja tertindas, maka apa lagi kebebasan yang kita miliki sebagai manusia sejati?
“The Internet is so big, so powerful and pointless that for some people it is a complete substitute for life.”
– Andrew Brown –
(PHX)