Penindasan Pendidikan

Penindasan Pendidikan

- 18 mins

Tidak bisa disebut lanjutan, tapi hanyalah rangkaian dari 2 tulisan sebelumnya: Penindasan Pendidikan dan Penindasan Pendidikan 2


Pendidikan adalah inti dari pembangunan, inti dari kemajuan, dan inti dari peradaban. Pendidikan adalah sebuah proses agar setiap manusia dapat mengutuhkan dirinya sendiri dalam kehidupan. Pendidikan secara luhur bermakna bagaimana seseorang menemukan jalan hidupnya. Namun sayang, bagaikan sebuah kutukan, apa yang awalnya diharapkan untuk menjadi hasil dari pendidikan, justru balik menyerang pendidikan itu sendiri, menciptakan ironi dalam peradaban manusia.

Wacana tentang pendidikan lantas tidak jarang bermunculan. Tanpa bosan beragam diskusi dan pemikiran tertuang di beragam tempat oleh berbagai kelas masyarakat. Dari mahasiswa hingga para pakar tiada henti menguras ide dan gagasan untuk mencari tahu bagaimana sesungguhnya sistem pendidikan terbaik buat bangsa ini agar semua manusianya berkembang dan dapat membangun negeri ini dengan semestinya, termasuk juga apa yang ku lakukan melalui tulisan ini. Apalagi, sebuah momen untuk refleksi datang kembali di tahun ini, hari pendidikan nasional. Walaupun sebenarnya, mungkin ini hanya rangkuman dari tulisan-tulisan ku sebelumnya ditambah beberapa pembahasan tambahan. Ya tak apalah, refleksi memang harus dilakukan berulang-ulang selagi terus memperbarui gagasan.

Sebuah Akar

Mungkin ketika muncul sebuah pertanyaan, pertanyaan yang cukup sering dimunculkan oleh orang-orang gelisah dengan negeri ini, ‘Apa sebenarnya akar dari semua permasalahan di Indonesia?’ Dengan mantap dan yakin bisa ku nyatakan bahwa jawabannya adalah pendidikan. Well, komponen utama negeri ini adalah rakyatnya alias manusia-manusianya. Apakah suatu negeri akan hancur atau bangkit akan ditentukan oleh semua manusianya. Bagaimana infrastruktur, perekonomian, dan segala macam hal lainnya dibangun, semua ditentukan oleh manusia-manusianya. Lantas selama kualitas manusia dari suatu negeri itu bisa dikatakan baik, maka kualitas negeri itu bisa dipastikan akan baik. Bahkan bisa ku katakan bahwa kekayaan terbesar negeri ini bukanlah dari sumber daya alamnya, tapi dari yang mengelolanya, dari manusia-manusianya, yang mana secara sejarah telah terbentuk dengan ragam budaya dan karakter yang mulia dan pantas untuk dibanggakan. Oleh karena itulah berbicara tentang pendidikan sama seperti berbicara tentang masa depan suatu bangsa.

Secara umum bisa dikatakan pendidikan merupakan proses pembentukan manusia. Mengingat manusia merupakan makhluk yang kompleks, tentu proses pembentukannya juga tidak bisa sederhana. Hal ini membuat permasalahan pendidikan tidak bisa disederhanakan dalam satu ranah saja, namun mau tidak mau terkait satu sama lain dengan semua ranah-ranah lainnya. Bila dicoba sederhanakan, manusia, selayaknya objek-objek lain pada umumnya, bisa kita pandang memiliki dikotomi aspek, yakni intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik adalah yang inheren terkandung, sedangkan yang ektrinsik adalah yang berasal dari luar dan bisa terwujudkan. Untuk mudahnya, dalam konteks manusia, unsur intrinsiknya adalah karakter dan jati diri, sedangkan unsur ekstrinsiknya adalah pengetahuan dan keterampilan. Ketika dikatakan pendidikan adalah proses membentuk manusia, maka harus diperjelas unsur apa yang dikembangkan. Kerancuan dua unsur ini lah yang kemudian menjadi salah satu sebab paradigma pendidikan saat ini cenderung bergeser.

Mana yang harus diutamakan antara pengembangan unsur intrinsik atau unsur ekstrinsik dari manusia dalam suatu proses pendidikan telah menjadi perbedaan pendapat tersendiri, karena hal ini lah yang menentukan paradigma pendidikan selanjutnya. Jika memakai pemikiran Ki Hajar Dewantara, tentu prioritas utama adalah unsur intrinsik, yang mana pendidikan merupakan pembentuk kepribadian dan kemerdekaan batin bangsa Indonesia. Ki Hajar menganggap kepribadian adalah kunci utama kualitas manusia, karena kepribadian lah yang membentuk budaya, dan dengan budayalah jati diri Indonesia bisa diperjuangkan dan dipertahankan. Tanpa kepribadian yang kuat, akan percuma semua ilmu pengetahuan lainnya karena keperibadianlah yang menentukan akan diapakan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Ketika dikotomi paradigma ini diperluas dalam konsep pembangunan bangsa, paradigma umum ini lah yang akan menentukan bagaimana sistem pendidikan yang baik seharusnya diterapkan. Anggaplah unsur intrinsik bangsa adalah jati diri dan budayanya sedangkan unsur ekstrinsik bangsa adalah perekonomian, kemajuan teknologi, serta infrastrukturnya, maka ketika seseorang memandang bahwa yang terpenting dari bangsa ini adalah unsur ekstrinsiknya, maka itulah yang akan diterapkan dalam pendidikan, itulah yang akan jadi paradigma pembangunan manusianya, dan itulah yang akan jadi pemahaman seluruh produk didikannya. Dikotomi ini sangat terlihat antara orde lama dan ordebaru, yang mana Soekarno sangat fokus pada kemandirian dan kuatnya jati diri bangsa, sedangkan Soeharto fokus pada pembangunan dan perekonomian bangsa.

Ladang penuh Dilema

Pertanyaan selanjutnya adalah, paradigma mana yang sesungguhnya paling tepat untuk membangun bangsa? Secara ideal, tentu jika memungkinkan, kedua unsur ini harus dikembangkan secara simultan karena memang saling melengkapi. Sebab jika tidak, manusia yang dihasilkan akan pincang hanya ke salah satu unsur. Namun pada kenyataannya, dua hal ini tidak mudah untuk dikembangkan secara bersamaan. Bagaikan ketidakpastian Heissenberg, ketika fokus ke salah satu maka yang lainnya cenderung terabaikan. Dalam konteks negara, tentu pengembangan manusia fokus pada kemandirian budaya dan kepribadian membutuhkan waktu yang tidak sebentar sehingga akan membuat perkembangan perekonomian maupun pembangunan bangsa tidak akan bisa secepat jika mengikuti persaingan yang ada. Itulah yang dibawa oleh Soekarno yang mana menekankan tak masalah perkembangan lambat tapi berdiri di atas kaki sendiri.

Melihat bahwa keutuhan manusia sangat ditentukan oleh kemerdekaan hak dan pikirannya, maka pembangunan karakter dan kepribadian sudah sewajarnya menjadi prioritas utama. Membangun kepribadian bagaikan membangun fondasi dasar bangunan bernama manusia. Terbentuknya kepribadian akan menguatkan jati diri yang terkait. Maka seperti yang telah ku jelaskan pada tulisan yang kedua, puncak dari proses pendidikan adalah keunikan diri, yaitu ketika seseorang telah menemukan identitas dan jati dirinya sendiri. Ketika seorang manusia telah menentukan jati diri, maka kepribadiannya sudah terbentuk dan secara otomatis kemandiriannya. Lihatlah orang-orang besar di dunia, mereka adalah orang yang unik pada dirinya sendiri, mereka adalah orang-orang yang tahu siapa dirinya dan bisa menemukan jalannya sendiri. Namun, tentu hal ini tidak bisa dibentuk dengan singkat. Sangatlah tidak mudah yang namanya pencarian jati diri. Apalagi jika ingin diterapkan dalam suatu sistem, paradigma pengajarannya harus mengarah pada berbasis subjek.

Mengingat proses pengembangan manusia yang fokus pada unsur intrinsik manusia tidaklah singkat, butuh kesabaran lebih dan kekuatan tekad dari semua elemen untuk kemudian bisa secara utuh menguatkan jati diri bangsa. Godaan persaingan global yang terfokus pada unsur ekstrinsik manusia yang membuat pembangunan negara akan mudah, cepat, dan menguntungkan menjadi tantangan utama dalam pendidikan. Tarik-tarikan fokus pengembangan manusia ini kembali pada pilihan dan paradigma penguasa sesungguhnya. Sayang, dengan adanya tragedi 1965, dan berkuasanya orde baru, paradigma pengembangan bangsa dibelokkan ke arah pembangunan perekonomian dan infrastruktur. Lebih sayang lagi, paradigma ini berkuasa selama 30 tahun lebih, satu generasi penuh. 30 tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk membuat ideologi dan paradigma seseorang terdoktrin dan tercuci otaknya sehingga melupakan tujuan luhur dari pendidikan.

Selama orde baru, pendidikan hanyalah pabrik untuk menciptakan tenaga kerja dan sekrup-sekrup industri untuk membangun perekonomian dan infrastruktur bangsa. Konsep link and match antara industri dan institusi pendidikan sudah menjadi hal yang wajar. Ketika reformasi terjadi, seharusnya yang direformasi bukan hanya sistem, namun keseluruhan paradigmanya. Sulitnya adalah, 30 tahun berkuasa membuat doktrin orde baru begitu mengakar sehingga tetap terbawa bahkan hingga saat ini, 18 tahun paska reformasi. Permasalahannya adalah, keadaan masa kini sudah sangat berbeda dengan dulu, yang mana saat ini globalisasi sudah menjadi Tuhan yang dipatuhi semua negara. Globalisasi, yang mengaburkan batas-batas wilayah maupun batas-batas budaya menjadikan dunia menjadi arena persaingan raksasa. Ketika Indonesia butuh kembali menemukan jati dirinya yang hilang ditenggelamkan 30 tahun kekuasaan orde baru, negeri ini sudah terlanjur terseret persaingan global, yang mana hanya punya satu hukum: survival of the fittest, yang mau mengikutilah akan aman dan yang tidak akan tertinggal.

Dengan arus global yang begitu kuat, diperlukan tekad yang kuat untuk berontak dari globalisasi, karena itulah satu-satunya cara pendidikan kembali pada jalurnya yang benar. Sedangkan berontak dari globalisasi berarti akan tertinggal dari perlombaan gila-gilaan yang tengah terjadi. Tak usah dalam skala global, MEA yang selama ini diagung-agungkan sendiri sudah menjebak Indonesia dalam kubangan persaingan yang tidak bisa begitu saja ditinggalkan. Inilah yang aku katakan dalam tulisan pertama sebagai penindasan terhadap pendidikan. Akhirnya apa? Pendidikan terjebak dalam dilema yang besar antara memenuhi kebutuhan ekstrinsik negara atau mengisi fondasi intrinsik negara yang selama ini dikikis oleh budaya global. Sekarang semua mata mau tidak mau mengarah pada kerja, wirausaha, ataupun segala hal yang bersifat praktis. Tujuan utama pendidikan sebagai pengutuh manusia hanya jadi slogan tanpa makna. Produk menjadi yang sangat utama ketimbang proses. Ya, sekarang pendidikan adalah dilema bagiku. Ia selalu serba salah. Semua orang tahu ia begitu penting tapi paradigma masih terjebak pragmatis. Ia dipuja-puja sekaligus dilupakan. Ia diagungkan sekaligus diremehkan.

Tridharma versus Tut Wuri

Seperti yang aku katakan di awal, pendidikan adalah kunci semua permasalahan bangsa, maka bila pendidikan saja tidak bisa dimerdekakan, maka semua jalan lainnya akan tertutup dengan sendirinya, terjebak dalam lingkaran setan. Maka adalah suatu keharusan besar untuk segera membenahi pendidikan. Tapi dengan terjebaknya pendidikan dalam penindasan globalisasi, apakah lalu tidak ada jalan keluar? Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, membangun dua unsur manusia secara simultan tidaklah mudah. Sedangkan untuk hanya prioritas pada unsur intrinsik sendiri, butuh pemimpin yang benar-benar tegas untuk bisa keluar dari arus global dan mulai berusaha berdiri di kaki sendiri. Membiarkan paradigma dalam arah unsur ekstrinsik tentu juga hal yang buruk. Maka satu-satunya jalan adalah mencari jalan tengahnya: pengembangan kedua unsur manusia bisa saja dilakukan dalam satu sistem yang sama namun tidak perlu dilakukan secara bersamaan. Maksudnya apa? Kembangkan manusia secara bertahap dan dengan pembagian paradigma yang jelas: kembangkan dulu karakternya baru kemudian pengetahuan dan keterampilannya.

Apa yang terjadi selama ini adalah paradigmanya tercampur aduk, atau bahkan semuanya hanya mengarah pada pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan dasar dan menengah cenderung terfokus pada pengetahuan dan keterampilan sedangkan pendidikan tinggi sedikit-sedikit masih berfokus pada karakter. Padahal dua tahapan pendidikan ini seharusnya memakai paradigma yang berbeda. Konsep tut wuri handayani, yang jadi slogan Kemendikbud, yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara merupakan konsep pendidikan untuk pembangunan fondasi karakter pada anak didik. Kenapa? Membangun karakter tidak bisa serta merta hanya diajarkan, tapi harus dengan teladan, bimbingan, dan dorongan –ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Sedangkan konsep tridharma adalah konsep pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan, bukan lagi pada karakter manusianya. Tridharma membawa tiga aspek acquistion (penggalian), transmission (pemindahan), dan application (penerapan) yang merupakan aspek-aspek pengajaran ilmu pengetahuan, bukan lagi pendidikan. Pembahasaan kata ‘pendidikan’ pada tridharma menyempitkan makna pendidikan itu sendiri, karena yang dimaksud pendidikan pada tridharma adalah transfer ilmu pengetahuan, bukan pembentukan karakter.

Konsep perguruan tinggi sendiri sedari dulu memang dibangun sebagai pusat intelektual, tempat berkembangnya ilmu pengetahuan, bukan tempat mendidik lagi. Kampus itu tempat bertanya dan harus ada jawabnya, kata pasal kedua tugu Plaza Widya Nusantara ITB. Jelas, ketika negeri ini punya masalah dan harus bertanya, maka kampus haruslah bisa memberi jawaban alias solusinya. Paradigma pendidikan tinggi haruslah sudah menjadi pusat pencarian solusi atas beragam permasalahan bangsa, pusat berkembangnya kebudayaan, pusat tumbuhnya peradaban.

Selain itu, paradigma pengajaran yang dimaksud dalam pasal pertama tridharma perguruan tinggi sendiri lebih bermakna pada pengajaran cara berpikir maupun metodologi dalam pengembangan pengetahuan itu sendiri, bukan sekedar transfer informasi begitu saja. Sungguh merugi bila masuk perguruan tinggi hanya sekedar untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan mentah. Seperti apa yang dikatakan oleh Alfred Whitehead, “kalau sekedar bertujuan menyampaikan informasi dan pengetahuan, tak satupun universitas punya justifikasi apa pun untuk tetap berdiri sejak berkembangnya mesin cetak di abad ke limabelas!” Apalagi di zaman informasi seperti saat ini, yang mana kuliah-kuliah daring sudah melimpah, beragam jurnal dan buku elektronik bebas diakses, Google dan Wikipedia siap pakai, masuk perguruan tinggi bukan lagi menjadi satu-satunya jalan untuk berpengetahuan. Usaha pemerintah Jokowi yang memisahkan dua tahap pendidikan ini ke dua kementerian memang patut diapresiasi. Dengan seperti ini, pembagian paradigmanya jelas, bahwa Kemendikbud menfokuskan diri pada pengembangan karakter sedangkan Kemenristekdikti fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan. Penggabungan pendidikan tinggi dengan riset dan teknologi juga merupakan suatu langkah yang sangat memperjelas peran sesungguhnya dari pendidikan tinggi. Dengan pembagian paradigma seperti ini, dua fokus yang saling tarik menarik bisa ditengahi walau sebenarnya bukanlah solusi yang terbaik.

Ketika berbicara yang ideal, tentu saja pendidikan tinggi seharusnya tetap memiliki paradigma pengembangan karakter, tapi tidak sebagai pendidik tapi sebagai pusat perkembangan dan pematangan budaya bangsa. Ketika pendidikan dasar dan menengah hanya fokus pada mendidik, menanamkan nilai, dan menumbuhkan kepribadian, pendidkan tinggi seharusnya merupakan proses untuk mematangkan itu semua agar lulusannya menjadi pelopor pembangunan kemandirian bangsa. Itulah mengapa sinergi antar semua keilmuan menjadi hal yang tidak boleh diremehkan dalam kehidupan pendidikan tinggi. Proses dialektika, dialog, diskusi, dan komunikasi antar cabang ilmu pengetahuan merupakan hal yang krusial agar pemahaman yang terbentuk dari lulusannya utuh dan tidak pincang.

Oleh karena itu, ketika berbicara mengenai hak untuk memperoleh pendidikan, akses untuk masuk ke perguruan tinggi tidak bisa sepenuhnya menjadi parameter. Apa yang dialami di perguruan tinggi adalah pengajaran dan pematangan pengetahuan, bukanlah pendidikan dalam definisi luhurnya, yang mana terwujud dalam tut wuri handayani. Dengan paradigma sebagai pusat pengembangan pengetahuan, sudah sewajarnya bila perguruan tinggi harus dengan sengaja ikut berlari dalam arena global, berusaha menjadi world-class university atau semacamnya, sudah sewajarnya pula dengan otonomi yang dimiliki dan juga subsidi yang terbatas dari pemerintah, perguruan tinggi mengatur keuangannya sedemikian rupa agar bisa ikut bersaing. Lagipula, dengan akses informasi yang luar biasa dahsyat seperti saat ini, hak untuk sekedar mendapatkan pengetahuan sudah tercecer dimanapun ada akses internet, tinggal petik saja. Lantas untuk apa lagi orang bayar mahal-mahal masuk ke perguruan tinggi? Apa lagi yang dikejar? Apakah salah ketika lantas kemudian biaya pendidikan tinggi menjadi mahal?

Inilah paradigma yang masih terbawa oleh aura globalisasi. Ketika informasi dan pengetahuan sesungguhnya sudah melimpah ruah, pendidikan tinggi hanya menjadi formalitas untuk legalisasi semua pengetahuan itu dalam satu kertas bernama ijazah dan satu gelar di ujung nama. Maka berapa pun UKT yang dibayarkan oleh tiap mahasiswa, itu hanya akan berujung pada sebuah gelar sarjana, bukan lagi ilmu dan kematangan karakter. Lagipula jika ditinjau lebih jauh lagi, untuk apa setiap orang butuh gelar? Apa lagi kalau bukan menjadi senjata pribadi untuk menghadapi so-called persaingan global, entah di dunia usaha maupun dunia kerja.

Sedikit Melihat Realita

Aku pernah bertanya pada salah seorang lulusan doktor manajemen pendidikan, apa yang sebenarnya menjadi akar masalah dalam dunia pendidikan sekarang? Jawabannya sederhana: impelementasi. Semua masalah sesungguhnya ada pada akar rumput, bagaimana guru-guru mendidik dengan semestinya, bagaimana sekolah terkelola dengan baik, bagaimana semua 8 standar pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam PP No. 19/2005, yakni kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan terakhir penilaian pendidikan, bisa terimplementasikan dengan semestinya.

Semua hal yang terjadi di akar rumput lah yang mengakibatkan seakan-akan regulasi yang berlaku dari atas tidak tepat sasaran. Dalam hal ini bukan berarti aturan dan kebijakan yang berlaku dari atas adalah hal yang sempurna, namun pengubahan terus menerus di tataran kebijakan tidak akan berarti apa-apa bila sesungguhnya akar rumput tidak dibenahi dengan baik. Ambillah contoh anggaran, yang mana hampir sebagian besar tersedot untuk gaji dan tunjangan guru, dengan beragam program sertifikasi dan peningkatan mutunya, pertanyaan yang akan muncul adalah, apakah lantas guru-guru yang telah diberi pelatihan maupun diberi kesejahteraan lebih dengan tunjangan sertifikasi kemudian bisa meningkatkan kualitas pengajarannya sehingga peserta didik yang dihasilkan akan jadi lebih baik?

Contoh lain, dana BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri) yang jumlahnya mengamai penurunan tahun ini mengakibatkan beasiswa PPA (Peningkatan Potensi Akademik) ditiadakan. Pertanyaannya adalah, beasiswa PPA itu sendiri sudah disalurkan pada siapa saja dan seberapa pengaruh ia dalam peningkatan potensi akademik. Aku mungkin hanya bisa mengambil sampel dari ITB karena di sini lah aku berkuliah. Penerima beasiswa cenderung bukanlah mahasiswa-mahasiswa yang benar-benar membutuhkan dana, namun sekedar membutuhkan tambahan dana. Terlebih lagi, penyaluran PPA cenderung tidak maksimal sehingga selalu seakan-akan ‘sisa’ dan membuat beasiswa itu dibagikan cuma-Cuma tanpa syarat macam-macam sebagaimana mestinya sebuah beasiswa. Entah apa yang terjadi di kampus lain, namun penyerapan dana pendidikan yang tidak maksimal inilah yang mengakibatkan anggaran di tahun berikutnya tentu akan berkurang.

Dalam persentasi yang diberikan oleh pak Abdul Kharis, anggota Komisi X DPR RI, dalam sebuah seminar, disebutkan bahwa dalam LRA (Laporan Realisasi Anggaran) 2015, daya serap kemenristekdikti hanya 82,5 %, maka salahkah bila kemudian anggaran pada tahun berikutnya menurun? Selain itu, kalaupun anggaran itu akhirnya tetap atau bahkan meningkat, apakah itu berarti perbaikan dalam kualitas pendidikannya? Tentu tidak. Karena permasalahan utama bukan ada pada atas, namun pada implementasi di akar rumput.

Amanat UUD 1945 yang menyatakan bahwa anggaran pendidikan seminimalnya 20% dari total anggaran sesungguhnya tidak pernah terlanggar. Tapi kenapa pendidikan seakan tidak pernah mengalami perubahan signifikan? Apakah kurang? Tentu tidak, melihat ada begitu banyak sektor yang harus diurus dalam suatu negara, satu sektor mengambil porsi seperlima tentu bukan proporsi yang sedikit. Maka yang perlu ditinjau adalah bagaimana 20% anggaran itu dialokasikan. Satu hal yang menyedihkan dari hal ini adalah, interpretasi pendidikan dalam amanat UUD 1945 itu disalahartikan dalam paradigma yang luas, sehingga kementerian lain atas dalih pelatihan pun mendapatkan sebagian dari alokasi itu. Selain itu, pengalokasian terbesar adalah untuk tunjangan profesi guru yang mendapatkan jatah 17 % dari 20% alokasi untuk pendidikan, sedangkan seperti yang ku jelaskan sebelumnya, pada tataran akar rumput, tunjangan ini patut dipertanyakan. Mungkin ukuran kinerja guru paska tunjangan menjadi kajian tersendiri, namun yang ingin ku tekankan di sini adalah, masalah dalam pendidikan bukanlah pada tataran kebijakan, tapi pada akar rumput. Mau kurikulum diganti tiap tahun pun, mau UU PT dirombak tiap tahun pun, mau anggaran pendidikan dinaikkan terus tiap tahun pun, apabila masalah-masalah implementasi pada akar rumput tidak diselesaikan, semua itu tidak akan memberi pengaruh signifikan.

Sayangnya, di sinilah kita bertemu kembali pada ladang dilema. Untuk memperbaiki permasalahan akar rumput, birokasi dan mental tiap individunya perlu dibenahi. Dengan cara apa? Itulah mengapa kita mengenal istilah reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai good governance dan melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan dan sumber daya manusia aparatur. Sayangnya, semua perbaikan sistem penyelenggaraan itu sangat ditentukan pada sumber daya aparaturnya, yang mana diperlukan memiliki karakter dan mental yang kuat untuk melaksanakan birokrasi dengan efektif dan efisien. Di sinilah konsep revolusi mental masuk. Tapi, bukankan untuk merevolusi mental satu-satunya jalan adalah pendidikan? Sedangkan pendidikan sendiri memiliki banyak masalah akar rumput yang memerlukan revolusi mental aparatur penegaknya. Lah? Lingkaran setan dong. Ya, inilah satu lagi ladang dilema yang menyekap dunia pendidikan kita.

Refleksi Hari Pendidikan

Ya, dunia pendidikan banyak masalah. Itu bukan hal yang baru, bahkan sudah memuakkan bagiku. Tapi marilah melihat semua masalah ini dalam gambaran yang utuh dan holistik. Ketika akhirnya fokus pemerintah pada infrastruktur mengakibatkan pendidikan terlihat diabaikan, mungkin kita perlu melihatnya sebagai konsekuensi logis tertindasnya pendidikan dalam arena globalisasi. Sebuah pilihan yang sulit memang, ketika munculnya MEA dan semakin derasnya arus global, berontak darinya untuk fokus pada pengembangan pendidikan akan menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah. Selain itu, kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa naiknya anggaran pendidikan sebesar 3 triliun rupiah merupakan hal yang kurang tepat karena gain and risk dari perubahan ini yang ‘katanya’ dialihkan pada anggaran infrastruktur belum bisa sepenuhnya kita bandingkan.

Anggaran pendidikan tidak pernah kurang dari 20% total anggaran, sebagaimana diamanatkan konstitusi. Hal itu sudah teratur sedemikian rupa sebagai bagian dari hak semua warga negara untuk memperoleh pendidikan. Apakah naik atau turun di sekitar itu bukanlah sebuah masalah selama kita bisa memahami latar belakangnya. Lagipula, semua kembali lagi pada implementasi. Anggaran yang besar akan terbuang percuma tanpa implementasi yang baik, sedang bila kita mau observasi pada tataran akar rumput, permasalahan di sana tidaklah sedikit.

Melihat pada pendidikan tinggi, paradigma yang dipegang seharusnya memang berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah. Dengan melimpahnya informasi, pendidikan tinggi bertransformasi hanya menjadi ladang mendapatkan gelar dan ijazah. Maka ketika banyak permaslahan mengenai dana muncul, mungkin bisa dikatakan bahwa yang terjadi adalah kapitalisasi gelar, bukan kapitalisasi pendidikan ataupun ilmu, karena daya tawar pendidikan tinggi bukan lagi pada dua hal itu.

Maka apakah kapitalisasi pendidikan, seperti yang akhir-akhir ini menjadi wacana hangat, benar-benar terjadi? Ah, mungkin bukan pendidikan yang dikapitalisasi, tapi paradigma berpikir itu sendiri, paradigma yang menindas pendidikan, membuatnya terkekang dalam ladang dilema tanpa jalan keluar.

Tapi.

Apakah benar-benar tidak ada jalan keluar?

Tentu ada. Dalam hal ini tawaranku tidak berubah seperti yang ku tuliskan pada tulisan kedua, bahwa semua kembali pada hal paling terkecil. Puncak utama pendidikan adalah keunikan diri, ketika seseorang telah menemukan jati dirinya. Maka pendidikan merupakan sebuah proses hidup ketika usaha-usaha dan tindakan-tindakan membuat diri selalu berkembang dan belajar. Maka apa reformasi terbaik dalam pendidikan? Ya, reformasilah dirimu sendiri, sebagai sosok diri yang unik dan utuh. Selanjutnya apa? Sebarkan kesadaran itu perlahan dengan hal-hal sederhana, melalui tulisan, diskusi, atau bahkan gerakan. Selanjutnya, jadilah guru untuk sesama dengan saling mengingatkan dan menasihati. Dari semua itulah fondasi akar rumput bisa diselesaikan. Laksanakan dengan sabar, dan ikhlas kuatkan diri untuk berontak dari arus, dan konsistenkan diri dengan usaha-usaha dan prinsp yang teguh, maka beberapa tahun kemudian, mungkin kita bisa tersenyum melihat hasilnya, ketika semua orang utuh dengan jati diri masing-masing, yang kemudian bersama-sama membangun ulang jati diri bangsa. Ya, mungkin. Daripada melelahkan diri menuntut yang tak tertuntut.

Selamat Hari Pendidikan Nasional! Mari terus mengutuhkan diri!

Salam,

Menteri Pusat Studi Arsip dan Kajian Kebijakan KM ITB

(PHX)

Alt Text

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora