Penindasan Pendidikan 2
- 19 minsSudah bukan hal yang asing lagi bagi siapapun, terutama kaum intelektual, bahwa pendidikan merupakan kunci utama transformasi sosial, atau dalam istilah lain, pendidikan bisa dikatakan sebagai agent of change sistem sosial apapun. Tidak mungkin tidak, pendidikan secara umum adalah proses pembentukan manusia dalam sistem sosial itu sendiri, dan apapun manusia yang terbentuk akan sangat menentukan arah perubahan yang terjadi ke depan.
Tidak perlu saya ulas lagi pembahasan panjang mengenai pendidikan, namun sedikit saya bahas kembali sedikit, bahwa pendidikan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai proses memanusiakan manusia. Mungkin telah banyak pendapat yang keluar mengenai definisi pendidikan, namun secara umum semua dapat dimampatkan dalam suatu pemahaman ringkas bahwa pada dasarnya seseorang belajar atau mendidik diri adalah dalam rangka untuk memaksimalkan hidup sepenuhnya. Sehingga, proses pendidikan memang proses untuk hidup, yang dalam hal ini dengan menjadi manusia seutuhnya yang memiliki potensi dan keunikannya sendiri-sendiri. Dapat kita lihat bagaimana pada awalnya setiap orang mencari gurunya sendiri, berkelana dari satu tempat ke tempat lain dalam usaha untuk memuaskan hasrat dan keingintahuannya, hingga menjadi “terdidik” memang adalah sebuah hasrat kehidupan.
Pergeseran Makna
Pendidikan secara fundamental adalah suatu proses yang sangat mulia, bahkan begitu sakral dalam kehidupan manusia. Proses pendidikan sendiri sebenarnya adalah suatu proses yang wajar terjadi dan pasti terjadi secara alami seiring dengan berkembang dan tumbuhnya kesadaran dalam pikiran manusia. Dapat kita refleksikan pada beberapa peradaban kuno, yang mana anak-anak pada umur tertentu dibiarkan lepas untuk mencari jalan hidupnya sendiri, karena sesungguhnya tidak ada pembelajaran yang lebih baik selain dari diri sendiri. Seperti kata pepatah yang masih sangat berlaku hingga saat ini, “pengalaman adalah guru terbaik”, sebenarnya subjek dan objek pendidikan adalah sama, yaitu diri sendiri. Keberadaan orang lain, baik individu maupun dalam bentuk institusi, hanyalah pemberi petunjuk jalan, pendukung, dan pembimbing dalam proses pendidikan yang dijalani sendiri tiap manusia. Perspektif ini lah yang seharusnya menjadi perspektif utama pendidikan. Kecepatan dan arah perkembangan setiap manusia hanya bisa ditentukan yang bersangkutan. Siapapun tak pernah punya hak untuk menilai ataupun membanding-bandingkan bagaimana seseorang mendidik dirinya sendiri dalam perjuangannya untuk menjadi manusia seutuhnya. Karena sesungguhnya perspektif ini secara implisit mempertegas keunikan tiap manusia. Tidak ada yang bisa mendefinisikan diri selain diri sendiri. Perkembangan manusia pun terjadi secara alami dan murni.
Sistem pendidikan berbasis subjek ini telah bertahan begitu lama dari pertama kali peradaban muncul. Bahkan ketika academia mulai dibangunoleh Plato pada masa Yunani sebagai sebuah tempat dimana orang-orang berkumpul dan belajar bersama pun, itu hanya menjadi sebuah wahana diskusi dan mengembangkan diri. Tidak ada doktrin atau hal khusus yang diajarkan, Plato hanya menunjukkan beberapa masalah untuk dipelajari dan diselesaikan oleh yang lain. Berbagai orang berkumpul disana untuk berdialektika dan belajar dengan caranya sendiri-sendiri. Sistem sekolah pada awal perkembangannya pun memakai perspektif serupa pada peradaban lain, seperti di China dan India, yang mana sekolah hanyalah wadah agar tiap murid bisa mengembangkan dirinya masing-masing.
Namun, seiring dengan berkembangnya peradaban, bermunculan kebutuhan untuk memusatkan pengajaran mengenai hal tertentu agar setiap anak memiliki pengetahuan yang sama. Sistem pemusatan ini berawal pada kekaisasaran Bizantium dari dunia militer yang jelas memang membutuhkan penyeragaman pemahaman dan doktrin pada setiap orang. Sistem sekolah yang seperti ini terus berkembang hingga Bizantium runtuh pada abad ke-15. Secara pararel, pengembangan sistem sekolah serupa muncul pada dunia islam pertama kali di Madinah dalam bentuk madrasah, yang pada awalnya hanya menjadi tempat pengajaran agama islam. Baru ketika memasuki kekhalifahan, ilmu-ilmu rasional lain seperti matematika dan astronomi mulai ikut diajarkan. Sistem pengajarannya sebenarnya tidak dapat dikatakan terpusat, namun hanya terarahkan agar tetap berada dalam koridor agama yang tepat. Di Eropa sendiri, sistem sekolah pertama kali muncul pada abad ke-12 untuk mengajarkan bahasa Latin. Meskipun dengan sebab dan tujuan yang berbeda-beda, semuanya menjadi cikal bakal berkembangnya sistem sekolah yang terpusat pada guru atau pengajaran, memisahkan antara subjek dan objek pendidikan.
Hal ini secara tidak langsung mentransformasi makna pendidikan sendiri menjadi lebih sempit. Pendidikan menjadi sekedar transfer ilmu dari yang lebih tahu kepada yang kurang. Sekolah pun berkembang menjadi sekedar formalisasi dari proses transfer ilmu ini, bukan sebagai tempat untuk menghabiskan waktu luang untuk mengembangkan diri, seperti makna dasarnya, skhole, yang berarti waktu luang. Usaha untuk mengembangkan diri pun tersempitkan menjadi cukup sekedar memasuki sekolah formal. Mungkin memang pada awalnya bentukannya, sekolah tidak murni menjadi pusat “penyuapan” ilmu, seperti sistem madrasah pada masa kekhalifahan sendiri pun, guru hanya bertindak untuk menjaga koridor pemahaman agar tidak melewati batas-batas agama. Basis pendidikan masih pada baca dan tulis mandiri. Namun sayangnya, semua benar-benar berubah ketika revolusi teknologi menyerang.
Kapitalisasi Manusia
Sebenarnya bagaimana ini bermula merupakan sesuatu yang bisa ditarik mundur terus, namun dapat diambil suatu titik balik peradaban yang menimbulkan transformasi begitu masif dalam seluruh kehidupan manusia. Titik balik itu adalah revolusi industri. Revolusi yang dimulai pada pertengahan abad ke 18 ini mengubah banyak aspek kehidupan manusia. Bagaimana tidak, berbagai bentuk proses produksi mengalami efisiensi besar-besaran, mengakibatkan peningkatan kemampuan pemenuhan kebutuhan manusia yang tidak sedikit. Apalagi yang paling bisa memengaruhi kehdupan manusia selain kebutuhan itu sendiri? Maka dengan revolusi yang ditandai dengan diciptakannya mesin uap ini, terjadi pertumbuhan penduduk dan pendapatan rata-rata yang berkelanjutan dan belum pernah terjadi sebelumnya. Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara di dunia pun meningkat dan tercipta lah sistem ekonomi kapitalisme modern.
Apakah itu hal yang salah? Mungkin tidak. Karena apa yang salah dari sebuah kemajuan? Namun sayangnya, dampak dari revolusi industri ini ternyata begitu besar di masa depan. Dengan bermunculannya teknologi-teknologi baru manufaktur yang sangat meningkatkan efisiensi produksi, kesenjangan antara pemilik modal dengan yang tidak menjadi sangat besar. Pemilik modal akan lebih punya kemampuan lebih untuk memiliki faktor produksi dan menciptakan keuntungan yang lebih besar lagi dengan produksi komoditas. Usaha-usaha kecil pun gulung tikar dan sektor-sektor kecil, terutama pertanian, mulai ditinggalkan karena terjadi urbanisasi besar-besaran yang disebabkan munculnya pusat-pusat keramaian baru di kota. Namun, peralihan faktor produksi dari manusia ke mesin jelas membuat jumlah tenaga kerja yang meledak akibat urbanisasi tidak dapat diimbangi dengan lapangan kerja yang semakin sedikit, upah tenaga kerja pun semakin minim dan jaminan sosial mereka pun semakin sulit.
Dampak utama yang cukup nyata dari perubahan ini adalah terciptanya perspektif bahwa perkembangan teknologi modern bisa sangat memakmurkan manusia, hingga akhirnya berujung pada orientasi pengembangan manusia yang beralih menuju berbasis pengetahuan dan keterampilan. Menciptakan manusia yang hakiki adalah dengan membuat manusia itu berpengetahuan dan cukup terampil sehingga kelak dapat bekerja dengan layak dan bisa bersaing dalam dunia perindustrian. Perspektif seperti ini sangat menggeser paradigma pendidikan yang semakin berbasis pada kompetensi dan melupakan semua aspek lainnya dalam perkembangan manusia. Standarisasi pun terjadi dimana-mana. Nilai seorang manusia dikuantifikasi berdasarkan pengetahuan dan keterampilannya. Cukup dengan selembar ijazah bisa memberi cap bahwa seorang manusia layak pakai atau tidak. Manusia punberalih menjadi setara dengan komoditas, punya harga dan punya daya jual. Maka dari itu bahkan dianggap bahwa revolusi industri adalah peristiwa paling penting yang pernah terjadi dalam sejarah kemanusiaan sejak domestikasi hewan dan tumbuhan pada masa Neolitikum.
Revolusi ini sendiri sebenarnya hanyalah cikal bakal dari raksasa yang pada dua abad berikutnya tumbuh besar dan menciptakan era kemanusiaan yang baru. Raksasa ini bernama globalisasi. Perkembangan teknologi modern yang dimulai dari lahirnya mesin uap terjadi begitu pesat karena tuntutan dari kebutuhan manusia itu sendiri dan didorong dari kompetisi yang tercipta dari sistem ekonomi kapitalis. Apalagi dengan dikembangkannya sibernetika pertama kali pada masa dua perang dunia menciptakan revolusi lain yaitu revolusi informasi, yang mana batas-batas melebur dan akhirnya lahir globalisasi sebagai bentuk penyatuan dunia dalam satu sistem sosial raksasa. Sayangnya, globalisasi lahir ketika masyarakat dunia mulai berpegang pada sistem ekonomi kapitalis yang sangat bernuansa kompetisi. Akhirnya, sistem sosial dunia yang terbentuk dari globalisasi pun menjadi suatu arena kompetisi raksasa. Ini yang saya jelaskanbdalam tulisan saya yang pertama sebagai penindasan terhadap pendidikan negara-negara berkembang, yang mau tidak mau tertuntut untuk mengubah perspektif pendidikannya menjadi berbasis kompetensi demi dapat bersaing dalam arena pertarungan global.
Hal ini yang kemudian yang membuat sekolah menjadi benar-benar hanya formalisasi transfer ilmu dan kompetensi demi standarisasi manusia. Kurikulum yang diajarkan di sekolah hanya disesuaikan pada kebutuhan industri, yang secara tidak langsung “memaksa” murid, karena kebutuhan mencari ilmu bukan muncul dari murid tapi dimunculkan oleh sekolah dan tuntutan kompetisi. Pendidikan pun mengalami penyempitan makna besar-besaran. Di Indonesia sendiri, hal ini jelas secara nyata terlihat dengan adanya prinsip link and match antara pendidikan tinggi dengan kebutuhan industri. Istilah kasarnya, pendidikan hanyalah pabrik tenaga kerja. Manusia hanya menjad kapital untuk diperjualbelikan dengan selembar ijazah, sebuah standarisasi yang mematikan potensi keunikan tiap manusia.
Kutukan Peradaban
Jelas semua yang terjadi pada perkembangan teknologi modern dari revolusi industri hingga saat ini memicu pengerdilan makna pendidikan menjadi jauh dari cita-cita luhurnya, yaitu memanusiakan manusia. Namun jika kita bertanya pada apa yang sebenarnya mengakibatkan revolusi teknologi itu sendiri muncul, jawabannya akan sulit ditemukan selain bahwa itu memang bagian dari berkembangnya peradaban. Sudah menjadi kewajaran bila manusia memang selalu mencari kemudahan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kewajaran sederhana itu bersama keingintahuan lah yang memicu perkembangan manusia sejak berkembangnya akal. Ditemukannya kapak dan perkakas sederhana pada awal peradaban merupakan bentuk usaha manusia untuk mencari kemudahan.
Bahkan lebih dalam lagi, jika ditanya mengenai apa yang menjadi dasar berkembangnya teknologi, bisa dikatakan jawabannya adalah hasrat manusia itu sendiri, kemalasan-kemalasan yang ditransformasikan menjadi sebuah usaha untuk mengefektifkan usaha itu sendiri. Namun, disertai nilai estetika dan keingintahuan manusia yang besar terhadap segala sesuatu, kemalasan ini menjadi sebuah kreativitas, produk dari potensi kemanusiaan yang bisa muncul pada siapapun, yang mencerminkan keunikan tiap manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa produk dari pendidikan adalah keunikan, karena ketika seseorang meraih kepercayaan penuh pada pengembangan dirinya sendiri, ia bisa berkembang secara alami menjadi manusia seutuhnya dan menciptakan jati diri yang kuat, suatu keunikan diri, yang pada masa kini sangat langka ditemukan sebagai akibat dari standarisasi dan penyempitan makna pendidikan.
Pada awalnya, berkembangnya peradaban pun berbasis hal-hal serupa. Yunani dikatakan beradab bukan dari ilmu dan teknologinya yang berkembang, namun dari karya-karyanya , baik dalam hal seni, bangunan, maupun pemikiran. Yang menjadi corak adalah bagaimana orang-orangnya berkembang dengan seluas-luasnya menjadi apapun, pengrajin, seniman, filsuf, dan lain-lain. Sebenarnya hal ini tidak hanya terjadi pada Yunani, peradaban serupa pun sama, yang menjadi corak adalah karya-karya manusianya yang beragam dan unik, mencerminkan pendidikan orang-orangnya. Karena tentu, dalam maknanya yang luas, terdidik adalah termanusiakan secara murni dan alami. Sistem pupil (murid yang mengabdi pada seorang guru) pada masa kuno menjadi simbol betapa pendidikan sangat berbasis hasrat tiap subjek, karena murid lah yang mencari gurunya sendiri! Bukan saat ini yang mana anak-anak bersekolah tanpa hasrat apapun selain untuk lulus dan menyamakan standar pada kompetisi global.
Keunikan yang ada pada tiap individu dalam tataran kolektif disebut sebagai budaya, suatu ciri khas dari sekelompok manusia sebagai bentuk pendefinisian identitas mereka. Karena itulah, budaya merupakan hasil dari proses pendidikan, dan budaya lah yang sebenarnya menjadi cermin peradaban. Sehingga bisa dikatakan, peradaban adalah produk dari pendidikan. Namun dalam proses lanjutnya, peradaban sendiri, karena direfleksikan dari budaya, mendefinisikan kebutuhan masyarakatnya,menghasilkan tuntutan pada pendidikan, yang kemudian berlanjut lagi secara siklik membentuk peradaban, diiringi dengan faktor-faktor lain seperti perang atau munculnya penemuan besar.
Lalu dengan demikian, apa yang terjadi pada saat ini? Tumbuh suburnya ilmu pengetahuan pada abad pencerahan (paska renaissance) mengubah paradigma perabadan menjadi berbasis ilmu dan teknologi, apalagi dengan adanya revolusi industri seperti yang terjelaskan sebelumnya. Hal ini kemudian mendefinisikan ulang kebutuhan masyarakat ketika itu menjadi berorientasi pada pengetahuan dan keterampilan. Perubahan orientasi ini lah yang kemudian menghasilkan tuntutan pada pendidikan untuk mengubah paradigmanya menjadi berbasis kompetensi. Pergeseran paradigma ini yang kemudian secara siklik semakin memicu perkembangan teknologi dan semakin menciptakan peradaban yang berbasis ilmu dan teknologi. Sayangnya, pergeseran paradigma ini memiliki efek samping, yaitu dengan pendidikan yang berbasis kompetensi, yang menjadi fokus utama hanyalah modal manusia (human capital) atau apa yang dimiliki individu, melupakan modal sosial (social capital) atau potensi yang dimiliki manusia secara kolektif. Dengan fokus utama terletak pada modal manusia, tercipta suasana kompetisi yang begitu kental sehingga memicu berkembangnya budaya individualistik yang akhirnya bersama globalisasi menjadi corak peradaban masa kini.
Jika dilihat mundur pun, tumbuh suburnya ilmu pengetahuan pada abad pencerahan dipicu dari kebebasan berekspresi yang menjadi corak peradaban renaissance yang merupakan simbol berhasil terbebasnya masyarakat dari gereja katolik pada era sebelumnya, yaitu abad pertengahan. Pada renaissance, sekolah-sekolah bebas berbasis seni dan sains mulai bermunculan sebagai bentuk bangkitnya lagi budaya setelah dikekang dogma. Munculnya sekolah-sekolah ini yang kemduian mendefinisikan ulang paradigma pendidikan yang akhirnya berujung pada abad pencerahan. Semua proses berkembangnya peradaban ini merupakan proses siklik yang alami antara pendidikan dan budaya, diiringi dengan faktor-faktor lain seperti jatuhnya Bizantium, Perang Salib, penemuan Galileo, dan lain sebagainya. Sehingga apa? Apa yang terjadi hingga saat ini pun merupakan akibat dari proses alami peradaban yang dalam keberjalanannya membawa manusia kepada era dimana kompetisi adalah corak utama.
Dengan demikian, peradaban pun menjadi suatu sebab yang tidak bisa diapa-apakan lagi. Hingga akhirnya apapun keadaan pendidikan saat ini, semuanya merupakan bagian wajar dari berkembangnya peradaban. Tidaklah ada yang bisa disalahkan dari paradigma pendidikan saat ini, karena ia merupakan hasil tuntutan dari kebutuhan masyarakatnya, yang terdefinisikan dari peradaban yang berkembang saat ini. Maka bagaikan kutukan, pendidikan berada dalam kondisi yang tertekan, tidak bisa berbuat apa-apa selain mencari cara mengubah sumber kutukan itu sendiri, yaitu peradaban.
Kembali ke akar rumput
Sebenarnya menjadi sebuah pesimisme bila kita menganalisis pendidikan saat ini terhadap sebabnya. Semua sistem yang ada saat ini tertindas oleh globalisasi, yang tidak memberikan pilihan lain selain mengikuti atau tertinggal. Sedangkan eksistensi globalisasi sendiri merupakan suatu bentuk kewajaran, konsekuensi logis dari berkembangnya peradaban saat ini. Mengubah pendidikan pun selalu menjadi simalakama, terutama bagi penentu kebijakan. Apa yang bisa kita lakukan ketika pendidikan sendiri under pressure oleh kondisi yang sesungguhnya suatu kewajaran? Pada akhirnya, pendidikan selalu tertatih-tatih mempertahankan maknanya di tengah tuntutan dari peradaban. Ketika pada suatu titik kelak pendidikan murni kehilangan maknanya, maka masih adakah yang dinamakan manusia seutuhnya? Mungkin masih, jika ada yang bisa membebaskan diri dari sistem dan paradigma yang menindas ini.
Setelah semua permasalahan yang jelas ada, mungkin sudah saatnya berbciara solusi. Dialektika mengenai reformasi pendidikan, terutama di Indonesia sudah berulang kali terjadi, mulai dari tataran penentu kebijakan hingga praktisi akar rumput. Namun dalam perspektif peradaban yang sudah saya paparkan sebelumnya, terlalu idealis bagi saya bila reformasi ini bisa dilakukan pada sistem. Yang bermain dalam tataran sistem bukanlah satu atau dua sektor, melainkan keseluruhan aspek menjadi satu bagian yang tak terpisahkan. Karena memang perubahan peradaban tidak pernah sekedar mengubah sebagian, namun keseluruhan dari masyarakat yang terkait, yang sebenarnya semuanya berorientasi pada satu hal, yaitu budaya. Ketika berpikir untuk melakukan revolusi sistem pendidikan sendiri pun tidak akan pernah terlepas dari bagaimana tuntutan tenaga kerja, pengalokasian dana, penegakan hukum, perkembangan industri, dan berbagai hal lainnya yang tak terpisahkan. Apalagi ketika semua sudah berada dalam satu naungan peradaban, yang jelas tak bisa diapa-apakan lagi selain dicoba sesuaikan.
Pendidikan dalam bentuk murninya sebenarnya merupakan suatu bentuk proses yang akan sangat sulit disistemasikan, dalam tataran sekolah sekalipun, apalagi dalam bentuk luas, seperti negara. Pendidikan selalu berkaitan dengan individu, karena pendidikan terkait dengan bagaimana manusia berkembang. Ketika proses pendidikan dilakukan secara kolektif, mau tak mau tercipta standarisasi yang akan membuat keunikan individu bisa terabaikan. Inilah yang saya lihat sebagai kesulitan utama melakukan reformasi pendidikan ketika sistem sosial sudah menjadi begitu kompleks, berbeda dengan pada masa Yunani yang mana sistem sosial masih tergolong sederhana, sehingga masih sangat mungkin untuk mencipta sekolah seperti Akademianya Plato.
Dengan keadaan seperti ini, bukan berarti tidak mungkin untuk melakukan reformasi, dan bukan berarti mustahil juga menyelamatkan generasi berikutnya dari pengaruh peradaban dan memutus lingkaran yang ada sehingga bisa menciptakan budaya dan peradaban baru yang sesuai. Selalu ada dua cara dalam mengubah sesuatu, sederhananya, dari atas, alias melalui sistem, dan dari bawah, alias langsung ke akar rumput. Yang kedua inilah harapan utama pendidikan saat ini.
Pendidikan pada hakikatnya berbasis pada perkembangan individu, bagaimana seseorang mengembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya. Memang, subjek dan objek pendidikan seharusnya sama, karena hanya dirilah yang bisa mengembangkan dirinya sendiri. Namun, keberadaan faktor di luar diri sebagai penunjuk jalan menjadi hal yang juga krusial dalam keberhasilan proses pendidikan. Faktor ini dapat dilihat dalam 3 hal, yaitu keluarga, lingkungan, dan pendidikan formal. Maka dengan 3 hal ini lah reformasi paling utama bisa dilakukan.
Reformasi Pendidikan
Berkaitan dengan keluarga, hampir sebagian besar sekolah gagal mendidik adalah karena dari awal tidak terdidik dengan baik oleh orang tuanya. Kemampuan orang tua dalam mendidik adalah kunci utama pendidikan setiap anak. Kesalahpahaman orang tua mengenai proses pendidikan sering menjadi faktor utama orang tua terlalu memercayakan anaknya pada sekolah formal. Tidak ada pendamping terbaik dalam menentukan bagaimana anak mengembagkan diri selain orang tua, terutama ibu. Apalagi dengan sistem sekolah saat ini yang begitu berbasis kompetensi, pendidikan formal hanyalah media penyalur ilmu, bagaimana ilmu itu diolah adalah suatu bentuk proses pendidikan yang lain. Maka apa? Bagi yang belum menjadi orang tua, persiapkanlah diri dengan baik, jangan yang dipersiapkan hanya untuk nikah dan kerja, tapi juga untuk menjadi orang tua karena sesungguhnya beban moral menjadi orang tua jauh lebih berat ketimbang jalan hidup yang lain. Bukankah bercita-cita menjadi ibu/bapak yang baik buat anak-anaknya kelak adalah mimpi yang paling mulia?
Selanjutnya, mengenai lingkungan, adalah bagaimana bisa tercipta kondisi saling mendukung untuk mengembangkan diri sebebas-bebasnya. Apa lagi yang bisa dilakukan selain bagaimana kita mentransformasikan ide agar menjadi bentuk inspirasi atau dorongan kepada yang lain untuk melakukan hal yang sama? Siapapun bisa menjadi pendidik dengan terus mengaktualisasi diri sepenuhnya, menciptakan ide dan pemikiran, menyebarkan idealisme dan semangat pada siapapun untuk melakukan hal yang sama, yaitu mengembangkan diri dengan maksimal sebagai bentuk proses pendidikan pada diri sendiri. Dalam hal ini lingkungan adalah faktor yang sangat dinamis, karena komponennya tidak hanya satu-dua orang, namun kolektif dalam suatu kelompok atau bahkan berbagai kelompok. Tidak pernah ada yang salah dari bagaimana seseorang dalam suatu lingkungan, yang terpenting adalah ia dapat berkembang di dalamnya, karena sekali lagi, proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.
Terakhir, mengenai pendidikan formal, ini adalah satu-satunya hal yang sangat berkaitan dengan sistem pendidikan. Namun terlepas dari bagaimana sistemnya, yang dalam hal ini berarti menepis 7 standar dari 8 standar nasional pendidikan*) yang ditetapkan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), kunci utama dalam pendidikan formal jika kembali pada hakikat pendidiikan itu sendiri adalah yang paling dekat dengan peserta didik sendiri, yaitu guru. Pendidikan bukanlah sesuatu yang pada dasarnya tidak bisa distandarisasi karena berkaitan dengan keunikan bagaimana tiap individu berkembang. Namun, karena semakin kompleksnya sistem sosial, apalagi dipicu dengan corak peradaban saat ini yang memang berorientasi pada kompetensi, standarisasi ini pun diciptakan. Namun terlepas dari bahwa sebenarnya 8 standar ini punya peran yang juga penting mengenai bagaimana pelaksanaan pendidikan dapat berjalan dengan baik, standar pendidik adalah yang paling memengaruhi bagaimana anak dapat benar-benar berkembang sesuai dengan tujuan luhur pendidikan.
Sistem guru dan murid (master and pupil) pada dasarnya sudah ada pada tiap peradaban. Namun fungsi guru bukanlah sekedar menjadi pemberi ilmu, namun sebagai pendamping dan pembimbing, sebagai teman dan saudara, sebagai contoh dan pendorong, bahkan bisa dikatakan pengganti orang tua di luar rumah. Perspektif guru sekarang pun banyak mengalami pergeseran, apalagi paradigma guru besar (dosen) yang dianggap sudah tidak punya tujuan mendidik lagi. Padahal, antara guru SD dan guru PT sesungguhnya punya beban moral yang sama. Apalagi, guru PT (dosen) adalah penentu terakhir bagaimana sesorang dikatakan paripurna (baca: lulus) menempuh semua proses pendidikan. Ditambah lagi, ketertarikan dan minat terhadap profesi guru saat ini sangat rendah di kalangan para penuntut ilmu. Paradigma terhadap guru pun seringkali salah yang hanya dianggap hanya punya fungsi pengajaran, bukan pendidikan.
Maka gerakan-gerakan akar rumput terhadap proses pendidikan formal adalah yang sangat diperlukan dalam reformasi pendidikan. Karena bila bergantung pada sistem, bagaimana guru dibina, pengawasannya, dan lain-lain, batasannya terlalu banyak karena berkaitan dengan suatu kompleks peradaban. Itulah kenapa gerakan seperti Indonesia Mengajar atau Anak Bertanya menjadi poin penting dalam mengoptimalkan setiap komponen untuk turun langsung ke akar rumput untuk memutus semua lingkaran setan yang ada. Tentu saja, banyak cara kreatif sederhana yang dapat dilakukan untuk mengarah ke sana. Bahkan, sekedar rutin menuliskan gagasan-gagasan melalui media sosial pun adalah suatu proses mendidik, karena selalu ada harapan semua gagasan itu bisa menginspirasi orang lain untuk menciptakan gagasan-gagasan lainnya, suatu efek domino yang bisa berdampak luas dari hal-hal kecil. Namun, semua itu terkait dalam bagaimana kita menjadi diri sendiri. Kembali pada hakikat utama pendidikan, bagaimana kita bisa mendidik bila kita sendiri belum terdidik. Artinya, bagaimana kita bisa memanusiakan yang lain bila kita sendiri belum memanusiakan diri.
Puncak utama pendidikan adalah otentitas atau keunikan diri, dengan seseorang telah menemukan idealismenya sendiri, ciri khasnya sendiri, jati dirinya sendiri. Itulah pendidikan! Lihatlah Zuckerberg, Michelangelo, Galileo, Einstein, atau siapapun, mereka adalah orang yang berhasil mendefinisikan diri mereka sendiri, dan mereka menciptakan jalan mereka sendiri, bukan menjadi pengikut ataupun korban peradaban. Bukan sistem, sekolah, atau bahkan orang tua yang berhak menentukan diri seseorang mau menjadi seperti apa, tapi hanya diri sendiri. Maka apa reformasi terbaik dalam pendidikan? Reformasi lah diri sendiri dalam suatu kesadaran penuh sebagai manusia, sebagai diri yang otentik, sebagai diri, sebagai Aku, bukan sebagai yang lain. Itulah yang paling utama, menjadi diri sendiri! Selanjutnya apa? Sebarkan kesadaran itu secara perlahan melalui hal-hal sederhana, tuliskan gagasan, sebarkan ide, tularkan idealisme, ciptakan karya, semangati dan dukung segala bentuk pengembangan diri. Pada tahap selanjutnya, jadilah guru untuk sesama dengan saling mendampingi dan membimbing, genggam tangan setiap orang dan bekerja samalah dalam harmoni, kembangkan kreativitas dan buatlah sendiri atau ikut membantu gerakan-gerakan sederhana yang berbasis akar rumput.
Secara sederhana, di tengah kutukan peradaban yang menindas pendidikan ini, mulailah segalanya dengan menjadi diri sendiri, kemudian transformasikan seluruh otentitas dan kesadaran diri dalam bentuk tindakan-tindakan yang berpengaruh pada orang lain. Karena pendidikan hanyalah bagaimana kita semua menjadi manusia sepenuhnya, bukan sekedar menjadi pengikut zaman, robot peradaban, sekrup industri, atau budak korporasi.
“Pendidikan bukan persiapan untuk hidup. Pendidikan adalah hidup itu sendiri”
– John Dewey –
(PHX)