Pendidikan yang Membebaskan
- 4 minsJudul : Dead Poets Society
Sutradara : Peter Weir
Tanggal Rilis : 9 Juni 1989
Durasi : 128 menit
Genre : Drama
Pemeran : Robin Williams, Robert Sean Leonard, Ethan Hawke
…
“We don’t read and write poetry because it’s cute. We read and write poetry because we are members of the human race.” – John Keating
Kutipan dari John Keating di atas adalah yang membuatku sangat mencintai film yang sarat akan makna pendidikan ini, walau memang kutipan itu aku dapatkan pertama kali dari lagu Senartogok berjudul “Untuk Robin Williams”. Baru akhir-akhir ini, ketika hubunganku dengan unit Lingkar Sastra semakin menguatkan maknanya, aku mengetahui bahwa kutipan itu memang dari Robin Williams dalam perannya sebagai guru sastra Inggris dalam film Dead Poets Society.
Film ini mungkin terkesan biasa bila dilihat dari pembukaannya. Sangat straight to the point, bahwa ini akan berkaitan dengan seorang guru baru yang akan mengajar di sebuah sekolah asrama yang sangat kental dengan tradisi dan kedisiplinan, ditunjukkan dengan jelas pada upacara awal tahun yang langsung menjadi pembuka film ini. Namun prediksi sederhana seperti itu tidak akan cukup untuk menebak alur cerita, walau bisa sedikit diterka pastinya guru baru itu, John Keating (Robin Williams), akan mengajar dengan cara yang unik dan berbeda.
Secara umum, film yang mendapat rating 8.0 IMDb ini menceritakan kehidupan 7 siswa di Welton Academy yang tertarik dengan gaya mengajar Keating pada kelas pertamanya. Dengan semangat Carpe Diem (Seize the day) yang mereka dapatkan dari kelas Keating, mereka berusaha memaksimalkan hidup mereka dengan cara mereka masing-masing. Memang tidak semua anak diceritakan secara detail, hanya Neil Parry (Robert Sean Leonard) yang sangat dituntut oleh ayahnya untuk hanya fokus pada akademik dan dilarang untuk ikut yang lain, termasuk keinginannya menjadi actor drama, Todd Anderson (Ethan Hawke) yang sangat malu dan tidak punya keberanian seperti anak normal pada umumnya, dan Knox Overstreet (Josh Charles) yang jatuh cinta dengan seorang gadis yang telah punya pacar. Selebihnya, Charlie Dalton (Gale Hansen), Richard Cameron (Dylan Kussman), Steven Meeks (Allelon Ruggiero) dan Gerard Pitts (James Waterston) tidak mendapat tempat banyak dalam alur cerita secara spesifik namun hanya bagaimana mereka bersama-sama membentuk sebuah klub yang dulunya pernah ada pada masa Keating sekolah bernama Dead Poets Society.
Kontradiksi antara pendidikan pada realita dengan pendidikan yang seharusnya terlihat jelas pada film ini. Welton Academy yang sangat keras menjadi cermin realita pendidikan yang sangat membatasi keinginan anak-anak dalam memperluas mimpi dan kapabilitasnya untuk menjadi apapun. Paradigma kaku sekolah-kuliah-kerja menjadi batu pengganjal paling besar dalam proses pendidikan masa kini. Keating dalam hal ini menjadi sosok yang memberikan contoh paling ideal proses pendidikan, yang mana seorang guru seharusnya membiarkan anak-anaknya bebas bermimpi dan mengekspresikan diri mereka dengan cara masing-masing, dan bagaimana seharusnya seorang guru bisa memosisikan diri sebagai seorang ayah dan teman baik sekaligus buat murid-muridnya. Kontradiksi ini ditunjukkan dengan dialog singkat antara salah seorang guru, McCalister, yang berkata “Show me the heart unfettered by foolish dreams and I’ll show you a happy man.” dengan Keating yang menjawab “But only in their dreams can men be truly free. ‘Twas always thus, and always thus will be.”
Kebebasan dalam film ini ditunjukkan dengan puisi sebagai bentuk ekspresi terbebas manusia, yang bisa diciptakan siapapun tanpa perlu talenta apapun. Walaupun begitu, sebenarnya tersirat bahwa kebebasan ini bisa berarti apapun, yang penting adalah apa yang menjadi jati diri utama seseorang dan jangan sampai membuat keadaan apapun merenggutnya dari setiap individu. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, bagaimana setiap anak bisa menjadi manusia seutuhnya yang unik dan paripurna. Sayangnya, sistemasi pendidikan seperti kurikulum malah cenderung memenjarakan anak untuk dapat menjadi diri mereka sendiri. Alur yang diciptakan pada Dead Poets Society begitu jelas memperlihatkan hal ini : 7 orang anak yang berusaha membebaskan diri mereka. Tidak heran film ini mendapat gelar best writing Oscar tahun 1990.
Hal yang terpikirkan olehku ketika melihat seorang Keating adalah seandainya setiap guru di Indonesia seperti dia (atau paling tidak satu aja), maka pendidikan di Indonesia akan berkembang dengan sendirinya, sebagaimanapun pemerintah. Karena kunci dari pendidikan ada pada guru, bukanlah pada kurikulum, sekolah, ataupun yang lain. Sayang bahkan semangat menjadi guru sendiri pun belum tentu ada pada setiap guru. Aku terkesima ketika Keating berkata pada Neil ketika ditanya “How can you stand being here?”, yang dijawabnya dengan senyum “Because I love teaching. I don’t want to be anywhere else.”
Realita pendidikan saat ini masih sangat seperti Welton Academy, begitu dangkal mendidik sekedar untuk mempersiapkan tiap siswa untuk masuk perguruan tinggi dan memiliki pekerjaan kelak, karena sesungguhnya puncak dari pendidikan adalah otentitas, keunikan, jati diri yang dihidupi dengan sepenuhnya oleh individu. Sungguh sayang bila seseorang menolak menulis puisi hanya karena itu absurd atau tidak punya prospek, karena apalah makna hidup selain untuk memaksimalkan hidup itu sendiri. Maka bagi siapapun, yang masih terjebak paradigma kaku pendidikan atau sudah tebebas dan mulai meniti jalannya sendiri, aku sangat sarankan untuk menikmati film ini dan mulailah kuasai tiap hari dengan hidup sepenuhnya.
“But poetry, beauty, romance, love, these are what we stay alive for.” - John Keating
Carpe diem!
(PHX)