Antara Intelektual dan Sebuah Institut 5: Plaza Widya Nusantara
- 17 minsPagi itu awalnya aku cukup heran mengapa Saraga begitu ramai. Awalnya ku kira keramaian itu hanya bersumber dari acara-acara olahraga biasa yang memang cukup sering diadakan di Saraga. Namun seiring kakiku melangkah, ku menyadari bahwa itu merupakan bagian dari rangkaian perayaan ulang tahun ITB ke-57. Terhitung siang kala itu, namun sepertinya acara masih berlangsung ramai dengan ragam pernak-pernik dan tentu saja, makanan. Otak mahasiswaku tanpa pikir panjang memanfaatkan semua momen itu untuk sekedar mengisi perut agar pengeluaran bisa ditekan hari itu. Well, terima kasih ITB yang dalam rangka ulang tahunnya membuatku bisa sedikit kenyang di pagi hari dengan lontong, gule, tahu, dan susunya.
Sepertinya, hanya itu rasa terima kasih yang bisa kuucapkan terkait ulang tahun ITB. Selain itu? Entah. Tak ada rasa apa-apa selain formalitas antar bapak-bapak tua di sana. Mungkin memang mahasiswa dirasa tak perlu memaknai ulang tahun perguruan tinggi yang cukup tua ini. Toh apalah refleksi yang bisa mahasiswa berikan, kita tidak banyak tahu menahu apa itu perguruan tinggi selain tempat mendapatkan gelar dan ijazah. Mungkin juga memang ulang tahun cukup menjadi rutinitas budaya tahunan yang cukup dimeriahkan dengan ragam formalitas dan perayaan. Seperti apa sebenarnya aku sendiri tidak tahu, entah aku yang tidak mengikuti atau memang pada dasarnya seperti itu. Yang ku tahu hanyalah sebuah ironi, yang mana seminggu sebelum hura hura ulang tahun itu, ITB memandulkan dirinya sendiri sebagai tempat reproduksi intelektualitas melalui penciptaan kebebasan akademis seluas-luasnya.
Ya, tepat seminggu sebelum rangkaian dies natalis, ITB secara terang-terangan tidak mengizinkan adanya sebuah diskusi dari mahasiswa yang membahas isu LGBT dengan alasan bahwa isu tersebut kontroversial dan pembicara yang cenderung sepihak, tanpa memberikan tawaran solusi atau alternatif apapun. Ya, jalan ditutup begitu saja. Bahkan ketika akhirnya para mahasiswa mencoba tetap mengadakan diskusi di tempat yang lebih privat pun, acara dibubarkan secara paksa. Yah. Mungkin sudah tidak ada lagi ruang privat di ITB. Tapi terlepas dari hal itu, kejadian tersebut secara tidak langsung memberi banyak refleksi terkait tujuan ITB sesungguhnya selain membanggakan hal-hal yang berbau preuner-preuner.
Memang banyak yang perlu direfleksikan dalam dies natalis 57 tahun ITB ini, apalagi belakangan ini ITB cenderung berturut-turut mengeluarkan kebijakan dan larangan yang cenderung sepihak dan sangat rentan dipertanyakan alasannya. Apakah ITB sekarang sudah sesuai dengan tujuan perguruan tinggi sesungguhnya? Terkait hal itu, alangkah menarik bila kita menelisik sebuah catatan cita-cita luhur seorang rektor terkait seperti apa seharusnya kampus ganesha ini. Ya, catatan itu terabadikan hingga saat ini di sebuah tugu yang selama ini hanya jadi latar belakang foto-foto narsis para pengunjung atau bahkan anak ITB sendiri. Entah dibaca atau tidak, mungkin sekarang saatnya mengambil perenungan terhadap tugu itu. Ya, tugu Plaza Widya.
Tempat Ini Diberi Nama Plaza Widya Nusantara
Melihat baris pertama, akan lengsung terlontarkan petanyaan. Kenapa? Kenapa tempat ini, kampus Ganesha ini, institut terbaik bangsa ini, perlu diberi nama Plaza Widya Nusantara? Lagipula apa itu Plaza Widya Nusantara? Melihat secara bahasa, frase itu campuran. Plaza berasal dari bahasa Spanyol untuk menggambarkan tempat terbuka untuk umum (ruang publik) di perkotaan, seperti lapangan atau alun-alun, sedangkan widya dan nusantara berasal dari bahasa Sanskerta. Widya atau vidya dapat secara langsung diartikan sebagai pengetahuan, sedangkan nusantara merupupakan penggambaran wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatra hingga Papua.
Untuk nusantara, ia tidak memiliki arti yang pasti pada dasarnya, karena ia secara morfologi merupakan gabungan dari nusa (pulau-pulau) dan antara (dari inggris berarti relasi/inter, sedangkan dari sanskerta berarti laut, seberang, atau luar). Sehingga secara bahasa, sesungguhnya nusantara merujuk pada pulau-pulau luar, atau pulau seberang. Jika melihat sumber asal mula istilah ini muncul, luar yang dimaksud adalah luar jawa, mengingat istilah nusantara tercatat dipakai oleh Gajah Mada dalam sumpahnya yang terkenal, sumpah palapa, untuk menggambarkan wilayah-wilayah di luar pengaruh budaya Jawa namun berada dalam kekuasaan Majapahit. Tak jelas batas-batas wilayah nusantara yang sesungguhnya, namun dalam beberapa deskripsi, seperti yang tertulis pada kitab Negarakertagama, istilah nusantara merujuk pada wilayah gabungan Indonesia, Malaysia, Singapore, Brunei, Timor Leste, dan sebagian filipina saat ini. Namun pada penggunaan modern, secara sempit nusantara hanya dikaitkan dengan wilayah Indonesia saja. Istilah nusantara sesungguhnya penggambaran kewilayahan yang terpisah-pisah, yang mana ingin dipersatukan oleh Gajah Mada, sehingga istilah ini menyimbolkan sebuah semangat persatuan yang tinggi. Ketika berkata nusantara, artinya kita berbicara pada suatu hal yang sangat beragam dan terpisah, namun terikat dalam satu nama.
Gabungan semua frasa itu bisa menghasilkan makna bahwa nama Plaza Widya Nusantara menyiratkan semacam cita-cita untuk menjadikan suatu tempat sebagai bersatunya perbedaan-perbedaan dari seluruh nusantara atas nama pengetahuan. Plaza Widya Nusantara semacam semangat baru Gajah Mada namun melalui pengetahuan sebagai pemersatu. Bayangkan, demi menuntut ilmu pengetahuan, beragam manusia dari beragam budaya dan daerah berkumpul di satu tempat, bersatu dengan semangat yang sama. Hal ini secara konteks bisa dikaitkan dengan arti nusantara secara sempit, yakni Indonesia, yang mana terpisah-pisah laut dengan beragam budaya berbeda, tetapi butuh persatuan dan kesatuan yang sangat kuat untuk berada di bawah satu nama bangsa. Di sini tersirat jelas harapan untuk menjadikan pengetahuan inisebagai media untuk bersatu. Lantas kenapa kampus ganesha kita ini diberi nama Plaza Widya Nusantara? Terjawablah ia dalam 4 pasal yang menyiratkan tujuan sesungguhnya dari eksistensi perguruan tinggi.
Supaya Kampus Ini Menjadi Tempat Anak Bangsa Menimba Ilmu, Belajar Tentang Sains, Seni, dan Teknologi
Pasal pertama dari tugu Plaza Widya ini cukup jelas menggambarkan harapan agar kampus menjadi tempat untuk transfer dan pengajaran ilmu, yang mana ilmu yang dimaksud dikhususkan pada sains, seni, dan teknologi. Hal ini terkait dengan arti Widya sendiri yang bermakna pengetahuan atau kebijaksanaan. Secara gamblang, kampus ITB memang diharapkan menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin menimba ilmu. Dalam hal ini, ketika ditambahkan dengan kata Nusantara, tempat menimba ilmu ini dikhususkan untuk anak-anak bangsa di seluruh nusantara.
Yang jadi pertanyaan di sini adalah, mengapa hanya dikhususkan pada sains, seni, dan teknologi, ketika ada cabang-cabang ilmu lain seperti sosial, filsafat, politik, dan lainnya? Apakah karena faktor sejarah, maka ke depannya ITB akan terus hanya terfokus pada sains, teknologi, dan seni? Jika melihat sejarah, sebenarnya cikal bakal ITB, yakni THB atau Technische Hoogeschool te Bandoeng, hanya memfokuskan diri pada teknologi saja. Baru kemudian pada 1947, THB dilebur menjadi bagian dari Universiteit van Indonesie te Bandoeng yang memiliki 4 fakultas, yakni Faculteit van Exacte Wetenschap (Fakultas Ilmu Pengetahuan Eksakta), Faculteit van Technische Wetenschap (Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik), Universitaire Leergang voor Lichaamsoefening (Balai Pendidikan Universiter Guru Pendidikan Jasmani), dan Universitaire Leergang voor de Opleiding van Tekenleraren (Balai Pendidikan Universiter Guru Seni Rupa). Setelah sempat bergabung dulu dengan Arsitektur pada 1959, seni rupa dan desain menjadi fokus tersendiri dengan dibuatnya FSRD pada 1984. Melihat dari situ, memang unusr sains-teknologi-seni telah terbangun sejak masa didirikannya Universiteit van Indonesie te Bandoeng, walaupun unsur teknologi lah yang mendasari konsep THB pada awalnya.
Pada posisinya saat ini, ITB bahkan sudah tidak sekedar berbicara mengenai sains, teknologi, dan seni lagi. Dengan adanya SAPPK, SBM, dan departemen Sosioteknologi di FSRD, perspektif kampus ini terhadap ilmu seharusnya meluas, walaupun memang belum bisa terintegrasikan dengan baik. Apalagi dengan munculnya wacana diadakannya jurusan ilmu ekonomi dibawah fakultas Ekonomika sebagai usulan dari keputusan rapat pleno Majelis Wali Amanat ITB 30 Januari lalu, kerangka keilmuan di ITB semakin mengalami generalisasi. Bisa saja dengan pikiran positif kita mengatakan memang pengembangan teknologi tidak bisa lepas dari pembahasan ekonomi, namun bila tidak ada integrasi dan komunikasi yang baik antar keilmuannya, jurusan-jurusan tambahan itu hanya akan jadi pelengkap belaka, bukannya pendukung.
Pada tulisanku yang lain, terbahas bahwa dengan keadaan ITB yang seperti sekarang pun, ITB sudah menjadi institut yang pincang, karena intelektualitas yang terbangun tidak tersinergikan secara utuh antar seluruh elemen keilmuan. Dalih-dalih enterpreneurial pun dibawa-bawa untuk mengaitkan pengembangan ilmu dan teknologi dengan pengembangan riset dan inovasi yang mandiri untuk kemajuan, walau pada akhirnya berujung pada konsep dan paradigma kapitalisasi ilmu yang semakin menyingkirkan jauh tujuan luhur pendidikan. Apabila memang kampus ini merupakan tempat anak bangsa menimba ilmu. Biarlah mereka menimba ilmu seluas-luasnya tanpa perlu paradigmanya diarahkan pada apapun. Usaha ITB untuk memperluas perspektif keilmuannya adalah hal yang patut diapresiasi, namun jangan sampai semua jurusan-jurusan tambahan itu hanya sekedar penghias belaka tanpa adanya dialog ataupun komunikasi yang bisa memperluas perspektif.
Bukankah semurni-murninya ilmu hanyalah untuk kebijaksanaan? Bukankah ilmu pada dasarnya adalah bekal kita untuk bisa menjalani hidup dengan lebih arif dan baik? Nama “teknologi” mungkin hanya akan membuat pembelajaran di kampus ini hanya berarah pada pembangunan dan pengembangan, serta terkapitalisasinya ilmu melalui konsep preneur-preneur-an, atau separah-parahnya, penciptaan buruh-buruh baru untuk korporasi raksasa di luar sana. Ya itu hanya mungkin. Semoga aku salah, namun sepertinya memang perlu, ITB berganti nama agar pandangan terhadap kampus ini tidak menjadi stereotip terhadap teknologi saja, namun meluas menjadi tempat untuk belajar ilmu apapun yang bisa dipelajari.
Supaya Kampus Ini Menjadi Tempat Bertanya ,dan Harus Ada Jawabnya
Cogito Ergo Sum, kata Descartes setengah milenium yang lalu. Aku berpikir maka aku ada, sebuah klausa terkenal yang dianggap menjadi landasan filsafat modern. Hal ini kemudian diperluas lagi oleh Iwan Pranoto dalam salah satu tulisannya di Kompas menjadi Dubito Ergo Cogito, Cogito Ergo Sum. Ya, semua dikatakan berawal dari Dubito, keraguan. Dari keraguan lah lantas orang-orang berpikir, kemudian proses berpikir itu yang menjadi bukti sederhana eksistensi diri.
Aku teringat Aristoteles pernah mengatakan, “satu-satunya doronganku hanyalah rasa ingin tahu”. Salah satu keunikan manusia ketimbang makhluk lainnya aku rasa memang satu ini, rasa ingin tahu, perasaan yang menjadikan manusi a mampu berevolusi dengan begitu pesat hingga dapat mentransformasi zaman dan keadaan menjadi seperti sekarang ini. Dari rasa ingin tahu, manusia pasti akan terdorong untuk mencari tahu, yang mana pengetahuan baru akan terus menciptakan rasa ingin tahu baru, mengingat betapa kompleksnya semesta ini. Lantas darimana rasa ingin tahu ini berasal? Seperti apa yang dikatakan pak Iwan, dari keraguan lah kita kemudian mempertanyakan sesuatu, dan dari pertanyaan-pertanyaan itulah muncul rasa ingin tahu terhadap jawabannya, mendorong kita untuk berpikir.
Pengetahuan baru selalu tercipta dalam siklus ingin tahu-mencari tahu ini. Dari sini juga keilmuan berkembang secara gradual sejak manusia mulai mampu bernalar secara sitematis. Sehingga jelas, pencarian ilmu selalu bermula dari bertanya, dan mencari jawabnya. Inilah yang kemudian menjadi pasal kedua Plaza Widya Nusantara. Dari pasal satu, kampus menjadi wadah untuk belajar ilmu, dengan beberapa sumur pasti untuk langsung ditimba, ya melalui kelas, ya melalui dosen. Tapi apakah hanya sumur-sumur saja sumber ilmu di kampus ini? Tentu tidak. Kampus menjadi wadah untuk belajar bukan lah berarti menjadi satu-satunya penyedia ilmu. Kampus seharusnya cukup menciptkan suasana dan fasilitas yang baik untuk tergalinya ilmu lebih dalam lagi, bukannya hanya puas pada sumur-sumur yang sudah ada.
Ilmu selalu bersumber dari dorongan untuk bertanya, maka kampus ini sebagai sebuah wadah pembelajaran ilmu, seharusnya juga memfasilitasi segala hal untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan, namun kampus bukanlah penyedia jawabannya. Hal inilah yang menjadi landasan kebebasan akademis, yang mana segala usaha untuk mencari ilmu pengetahuan tidak boleh dibatasi oleh apapun. Kampus sesungguhnya merupakan gerakan moral tempat lahirnya produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan apapun. Bahkan pada bentuk klasiknya, Academia dulunya hanya berisi ruang-ruang untuk diskusi bebas. Kelas adalah ruang berdialektika, bukannya tempat penyuapan ilmu dan doktrinasi oleh dosen. Alangkah konyol mengingat beberapa waktu yang lalu diskusi di kampus ini dilarang hanya karena isu yang diangkat cenderung kontroversial dan pembicara dianggap tidak seimbang. Ya ketika dianggap tidak seimbang, datanglah dan seimbangkan, karena sesungguhnya semua sivitas adalah manusia berakal yang bisa berpikir dan berpendapat.
Sebagai tempat bertanya dan harus ada jawabnya, seharusnya kampus ini memberikan wadah seluas-luasnya untuk berdiskusi, berdialektika, berkumpul, berkegiatan, dan hal-hal lainnya. Batasan jam malam kampus dan tidak 24-jamnya perpustakaan menjadi contoh ironi dari pasal kedua plaza widya. Lantas bagaimana kami bisa bertaya dan mencari jawaban bila ruang dan waktu untuk mencari jawaban itu terbatasi? Tuntutan-tuntutan akademis membuat otak-otak semakin terarah hanya pada ilmu-ilmu yang disuapi, tidak memberi ruang untuk berkontemplasi, berfilsafat, dan bernalar. Apakah ketika isu cenderung kontroversial, lantas bertanya menjadi terbatasi? Lantas untuk apa tempat ini diberi nama Plaza Widya, tempat berkumpul mencari ilmu? Jadi teringat apa kata Socrates, hidup yang tidak pernah dipertanyakan adalah hidup yang tidak layak dijalani. Yah, mungkin memang kehidupan kami di kampus ini sudah tidak layak dijalani lagi.
Supaya Kehidupan di Kampus Ini Membentuk Watak dan Kepribadian
Tahapan lebih lanjut dari pembelajaran ilmu dan kebebasan akademis adalah penyempurnaan kedewasaan dan pemahaman sehingga terbentuknya watak dan kepribadian. Terbentuknya watak mungkin memang tidak bisa menjadi implikasi langsung dan penuh dari adanya ilmu, namun ketika kebebasan untuk bertanya dan berpendapat di kampus ini terbuka seluas-luasnya, toleransi dan penghargaan antar pendapat akan terbentuk dan menciptakan kerukunan akademis. Terbudayakannya diskusi bebas dengan ragam topik, sekontroversial apapun, akan menciptakan suasana saling menghargai dengan baik dan menghapus watak-watak yang cenderung memaksakan pandangan dan paradigma pada orang lain. Adanya pendapat-pendapat menjatuhkan, omongan di belakang, pemaksaan pemikiran, sentimen pemahaman, dan hal semacamnya merupakan indikasi tidak terbentuknya suasana akademis yang baik. Membiasakan diri untuk bermain argumen, bukan sentimen, akan membantu pola pikir untuk tidak menciptakan kekeliruan bernalar atau logical fallacy, terutama Ad Hominem, yang paling sering terjadi. Watak lapang dada, menerima pendapat, dan berpikir positif pun akan terbentuk dengan sendirinya bila suasana akademis bisa diciptakan.
Kepribadian-kepribadian lainnya, seperti kedisiplinan, pun harus diterapkan secara intelek, dengan pemberlakuan aturan yang tidak sepihak, membuka wadah aspirasi dan diskusi seluas mungkin, dan komunikasi yang baik antara sivitasnya. Kepatuhan terhadap aturan hanya akan baik terbentuk bila hal itu dilandasi dan didasari dengan pemahaman pribadi untuk melaksanakannya. Namun, hal ini tidak akan bisa tercipta bila cenderung ada unsur tekanan dan ancaman di dalamnya. Apa bedanya kampus dengan negara otoritarian bila seperti itu? Alangkah ironis bila kampus yang seharusnya menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan berpendapat, justru feodal dan semena-mena. Pertanyaannya, apakah itu terjadi di kampus ini? Mungkin belum, atau mungkin juga sudah, tergantung perspektif, namun bila melihat kasus-kasus ketika dunia maya ramai oleh perang sentimen yang cenderung kurang dewasa, seperti pada Pilpres, Pemilu IA, atau yang paling dekat, diskusi LGBT beberapa hari yang lalu, jelas hal-hal tersebut menunjukkan watak dan kepribadian sivitas dan alumninya belum terbentuk dengan baik.
Jika melihat dari perspektif lain, perguruan tinggi cenderung dianggap hanya sebagai tempat pengembangan ilmu saja, karena pendidikan karakter sudah dirasa cukup dilakukan hingga sekolah menengah. Inilah paradigma yang keliru. Ini jugalah yang membuat beberapa dosen begitu mudahnya tidak peduli keadaan mahasiswanya, hanya peduli pada pengajaran ilmu ketimbang pembentuka karakter yang diajar. Penerapan-penerapan sederhana dengan dosen menghargai mahasiswanya, tepat waktu masuk kelas, komunikasi yang baik, menegur dengan baik bila ada kesalahan, tidak semena-mena, dan lain sebagainya adalah beragam cara untuk membantu mewujudkan kehidupan kampus yang membentuk watak dan keperibadian. Pembinaan yang baik dalam hal berkegiatan pun menjadi hal yang penting, mengingat banyak hal-hal kecil diremehkan, seperti penggelembungan proposal, padahal menjadi cikal bakal tindakan korupsi di masa mendatang (baca: Balada Korupsi Indonesia).
Nusantara ini memilik i kearifan lokal yang beragam, yang seharusnya bisa menjadi karakter utama bangsa ini. Mengapa kampus ini diberi nama Plaza Widya Nusantara, agar tidak sekedar ilmu yang diutamakan, namun juga bagaimana ilmu itu saling bertukar dan diimplementasikan dengan baik melalui diskusi antar beragam suku di nusantara, agar kenusantaraan itu juga menubuh dalam pembelajaran ilmu sehingga kehidupan di kampus ini bisa membentuk watak dan kepribadian. Tapi sayang, pada realitanya? Entahlah. Mungkin memang tidak perlu heran bila kelak satu per satu alumni kampus ini masuk penjara.
Supaya Lulusannya Bukan Saja Menjadi Pelopor Pembangunan, tetapi Juga Pelopor Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, semurni-murninya ilmu sesungguhnya adalah untuk membangun kebijaksanaan, untuk membekali hidup agar bisa memahami keadaan dan bertindak dengan baik. Ketika kemudian ilmu dapat diimplementasikan untuk pembangunan dan penciptaan teknologi sebenarnya hanyalah poin plus dari ilmu itu sendiri. Memang, sejak revolusi industri, ilmu semakin tercoreng nama baiknya dan mengalami pergeseran makna jauh dari tujuan luhur sesungguhnya. Itulah mengapa sekarang paradigma kelulusan adalah bagaimana kelak dengan ilmu itu, kita bisa bekerja, atau dalam pikiran yang lebih idealis, bagaimana kelak ilmu itu bisa membantu pembangunan bangsa. Tapi apakah ilmu hanya untuk itu?
Dari definisi pendidikan sebagai proses memanuisakan manusia, intelektual sebagai produk utama perguruan tinggi seharusnya sudah mendekati manusia seutuhnya, dalam artian manusia yang telah matang dan memiliki kesadaran penuh terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk yang bebas dan berkehendak. Tentu dalam hal ini, mengingat 3 pasal sebelumnya, intelektual hasil lulusan pendidikan tinggi seharusnya berilmu, berwawasan luas, dan berwatak serta berkepribadian, yang mana dengan itu, tidak hanya pembangunan lah yang bisa diberikan pada bangsa, namun persatuan dan kesatuan.
Masuk ke pasal terakhir, di sinilah alasan utama ada kata “nusantara” pada frase Plaza Widya Nusantara. Nusantara sebelumnya bisa diartikan sebagai istilah untuk wilayah yang terpisah –pisah dengan beragam budaya yang berbeda-beda. Meskipun begitu, wilayah-wilayah ini berada dibawah satu nama bangsa: bangsa Indonesia. Tentu butuh rasa persatuan yang sangat tinggi untuk bisa menyatukan semua perbedaan-perbedaan itu, yang menjadi mimpi utama Gajah Mada. Maka diberilah kampus ini nama Plaza Widya Nusantara. Agar apa? Agar rasa persatuan itu bisa diwujudkan melalui proses pendidikan yang dilalui di dalamnya, dengan ilmu dan wawasan yang luas, rasa lapang dada, toleransi, dan penghargaan terhadap semua pendapat, kedewasaan dalam berargumen, mencari kebenaran, dan berkehidupan, serta watak dan kepribadian yang luhur, baik, dan kuat.
Tentu masih rendah bila kampus ini hanya dianggap sebagai tempat penyedia pekerja, tempat berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, tempat dihasilkannya pembangun-pembangun bangsa. Kampus ini harus bisa lebih jauh dari itu. Seperti yang diimpikan Gajah Mada dalam Sumpah Palapanya. Dengan kehidupan yang dilalui di kampus ini, seharusnya persatuan dan kesatuan bangsa bukan hanya angan-angan. Dengan kehidupan yang dilalui di kampus ini, seharusnya tidak ada lagi saling caci maki dan pendapat yang menjatuhkan di dunia maya. Dengan kehidupan yang dilalui di kampus ini, seharusnya pertengkaran politik bersifat membangun, bukan sekedar konflik kepentingan yang tidak dewasa. Dengan kehidupan yang dilalui di kampus ini, seharusnya tidak ada lagi konflik antar suku dan agama. Dengan kehidupan yang dilalui di kampus ini, seharusnya semua pemimpinnya akan berada dalam satu suara ketika berbicara terkait kesejahteraan bersama, ketika berbicara terkait kebahagiaan rakyat yang direnggut, ketika berbicara terkait sumber daya yang dirampok, atau ketika berbicara tentang tata aturan yang adil dan membangun.
Ah, tapi sayang. Mungkin aku sedang bermimpi. Bangun! Maka aku lihat dengan mataku di kampus ini, sentimen tumbuh dengan kesuburan, ketidakpedulian dan keapatisan menjadi kewajaran, kepentingan luar menjadi pegangan, kegiatan dilatarbelakangi keuntungan, melanggar aturan dianggap kewajaran, kebebasan diberi keterbatasan, prospek kerja menjadi tujuan, korporasi menjadi buruan, kewirausahaan menjadi kebanggaan, afiliasi mendasari keyakinan, dan…. Sudahlah, aku tak kuat lagi. Mungkin aku terlalu pesimis dan berpikir negatif. Sepertinya aku lebih baik tetap bermimpi saja, dan lihatlah! Di pojok sana sekelompok mahasiswa lagi berdiskusi dengan asiknya, di pojok yang lain buku-buku melimpah ruah diserbu sekelompok mahasiswa lainnya dengan mata haus akan ilmu, di tempat lainnya lemari penuh dengan karya tulis mahasiswanya memperindah pandangan, kelas-kelas diperhangat dengan pikiran-pikiran yang jernih dan penuh rasa ingin tahu, para ateis, agnostik, dan religius mengobrol santai sambil meneguk kopi hangat, perpustakaan terbuka selebar-lebarnya sepanjang waktu, beragam kegiatan seni dan olahraga memenuhi setiap sudut dan menghiasi telinga dengan keributan yang menyejukkan. Inilah Plaza Widya Nusantara!
(PHX)