Balada Korupsi Indonesia

Balada Korupsi Indonesia

- 22 mins

“Orang yang cemburu sepertiku, jika bercermin membelah cermin. Jika Pemilu-menjual suara. Jika tak punya uang-jadi penipu. Jika punya uang-jadi rentenir. Jika menjadi supporter-menyalah-nyalahkan wasit. Jika mencintai-menyakiti. Jika menjadi politisi-korupsi.”
– Andrea Hirata –

Belum lama ini tengah hangat isu mengenai revisi UU KPK yang menjadi landasan yuridis berdirinya lembaga yang selama ini dipercaya cukup efektif menangkap dan mengadili pesakitan-pesakitan parasit negara. Mungkin memang wacana terkait korupsi adalah wacana yang bisa membuat hati, telinga, dan pikiran gatal sendiri dengan campuran sensasi antara jengkel, sedih, dan bingung disebabkan betapa wacana ini selalu menghiasi berita-berita sepanjang tahun. Kita sebenanrya bisa memandang korupsi ini dengan beragam cara. Memang tidak bisa dipungkiri sistem dan keberjalanan mekanismenya memberi pengaruh yang cukup besar terkait probabilitas terjadinya tindakan-tindakan yang merugikan negara. Itu lah yang menjadi fokus utama isu yang akhir-akhir ini tengah berkembang terkait terancamnya KPK untuk dilemahkan, karena memang keberadaan KPK adalah salah satu bentuk penekanan probabilitas terjadinya tindakan korupsi dari segi sistem. Dengan menyempitkan celah-celah kesempatan untuk melakukan tindak pidana korupsi, niat-niat untuk melakukan itu bisa ditekan. Ya tentu saja, kesempatan adalah sebab utama mengapa manusia bertindak.

Perbaikan sistemik dengan adanya KPK tidak perlu dinafikan sebagai salah satu usaha yang signifikan. Tapi sebagai anak matematika yang terbiasa mengabstraksi segala sesuatu, aku mencoba membawa wacana ini ke arah lain, toh pengetahuanku mengenai studi kultural maupun ilmu sosial-politik tidaklah banyak. Sebenarnya, korupsi hanyalah satu dari sekian banyak tindakan yang dikategorikan buruk secara moral dan etika, hanya saja karena pendefinisian kita yang terlalu sempit lah membuat kita menganggap korupsi hanyalah sekedar tindakan yang melanggar hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dan merugikan negara (definisi korupsi berdasarkan UU Tipikor). Terkait hal tersebut, siapa lagi yang bertugas menanamkan moral dan etika kalau bukan dunia pendidikan?

Menelisik Dasar

Apa sebenarnya korupsi? Sederhana deh. Pernah lihat di komputer ada istilah “corrupted file”? Kita bisa mengartikan hal tersebut sebagai berkas yang rusak. Korupsi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris corruption yang berkata dasar corrupt. Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa perancis corruptus, atau lebih jauh lagi dari bahasa latin n corrumpō/corrumpere, yang mana semuanya secara umum bermakna “merusak”. Menarik dari situ, anggaplah bahwa korupsi merupakan tindakan yang secara umum merusak, seperti yang akhirnya dicantumkan pada KBBI Edisi IV yang menuliskan: korup a 1 buruk; rusak; busuk; 2 suka menerima uang sogok; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Jadi tindakan merugikan negara hanyalah subhimpunan dari semesta tindakan korupsi. Melihat korupsi secara umum sebagai sebuah tindakan yang merusak memberi jalan untuk mengaitkannya dengan moralitas manusia.

Terkait hal tersebut, wacana moralitas bukanlah hal yang bisa dengan sederhana dan singkat terbahas. Ribuan tahun manusia mendiskusikan hal yang sama terkait apa yang baik dan apa yang buruk, dan bagaimana menciptakan keselarasan antar tindakan manusia. Subwacana moralitas yang paling utama mewarnai peradaban adalah apa yang kita kenal dengan kebebasan. Sudah menjadi hal yang wajar bahwa hasrat manusia paling dasar adalah hasrat untuk bebas, dalam hal apapun. Dengan kebebasan seseorang bisa merasa memiliki hidupnya sendiri secara utuh. Namun sayang, dengan hidup berkelompok, kebebasan seseorang pastilah berbenturan dengan kepentingan orang lain, karena pada dasarnya setiap orang saling memengaruhi satu sama lain. Benturan kepentingan ini lah yang memicu munculnya norma atau tata aturan dalam suatu masyarakat, agar relasi antar kuasa bisa ditata agar lebih teratur.

Sudah begitu banyak tata aturan tercipta semenjak manusia mengenal peradaan yang teratur. Semua pada intinya dibangun dengan niatan yang sama untuk menengahi semua kepentingan agar bisa tercipta keteraturan. Sayang, adanya sistem tata aturan tidak sama dengan menekan hasrat manusia untuk bebas. Bahasa lain dari kebebasan sebenarnya adalah kekuasaan, sejauh apa wewenang manusia untuk melakukan sesuatu. Itulah kenapa ketika tata aturan masyarakat sudah terbentuk pun, pertarungan antar kuasa untuk saling memperjuangkan kebebasan kepentingan masing-masing pun tidak akan pernah lepas. Hal ini yang kemudian mendinamisasikan dunia bertahun-tahun hingga saat ini. Usaha mencari keteraturan di tengah hasrat manusia untuk terus memperjuangkan kebebasannya.

Bisa saja keteraturan itu diciptakan dengan menyamaratakan semua kebebasan yang dimiliki oleh anggota masyarakatnya. Namun adanya stratifikasi sosial, baik secara formal ataupun kultrual, hal itu tidak dapat diwujudkan. Bagaimana juga membuat tata aturan ketika tidak ada yang menegakkannya? Namun ketika ada yang menegakkan tata aturan, artinya akan ada sekelompok orang yang memiliki kuasa atau kebebasan lebih ketimbang lainnya. Terciptalah kesenjangan, stratifikasi kebebasan manusia dalam suatu kelompok masyarakat, yang mana memiliki banyak bentuk, dari stratifikasi ekonomi hingga stratifikasi pengetahuan. Dari sini pula lah muncul konsep penindas-ditindas, borjuis-proletar, penguasa-jelata, dan lain sebagainya, yang memunculkan ragam ideologi yang sesungghnya memperjuangkan hal yang sama: kebebasan.

Masuk dalam konteks negara, sekarang kita berada dalam kelompok masyarakat bernama Indonesia yang memiliki tata aturan yang tersusun dalam beragam undang-undang dan peraturan. Semua tata aturan, yang berdiri di atas asas Pancasila memang tentu diniatkan untuk mengakomodiasi semua kebebasan dan kepentingan anggota masyarakatnya. Kita semua tahu, satu per satu sistem dicipta untuk menjawab tujuan itu, hingga secara pasti, selalu ada orang-orang yang memiliki kuasa atau kebebasan lebih untuk melakukan sesuatu. Ketika hal ini terjadi, selalu ada kecenderungan manusia untuk memenuhi hasrat dasarnya, yaitu memperluas kebebasan itu, entah dengan keuntungan yang besar, aksesibilitas terhadap sesuatu, atau keleluasan untuk melakukan sesuatu. Tentu saja dengan tata aturan yang sudah dibuat untuk membuat distribusi kebebasan agar seadil mungkin, ketika ada yang keluar dari koridor aturan tersebut dan mendapatkan kebebasan lebih, ada kebebasan dari orang lain yang terambil. Inilah yang menjadi dasar filsafat moral sesungguhnya, atau kalau pakai bahasa OSKM: kebebasan substansial, yaitu bagaimana hak-hak manusia tercipta selama tidak mengganggu hak-hak yang lain. Ketika ambillah contoh seorang pejabat menerobos batas kebebasan untuk kepentingan diri sendiri dengan mengambil untung pada suatu proyek, ada uang yang seharusnya tersalurkan pada orang-orang tertentu menjadi tidak dapat tersalurkan. Ketika orang-orang terkait seharusnya bisa menikmati penyaluran uang yang “diambil” secara bebas oleh pejabat tadi, kebebasan orang-orang terkait untuk memanfaatkan penyaluran itu jadi terambil. Penggunaan kebebasan yang berlebih ini cenderung membuat keseimbangan kebebasan yang diatur dalam tata aturan tadi terlanggar, sehingga bisa dikatakan sebauah tindakan yang merusak, yang membuat ia bisa diberi istilah “korupsi”.

Memeriksa Akar

Dengan semua itu, lantas bagaimana? Ya ketika melihat fenomena korupsi merupakan wacana moralitas , tentu yang harus kita lihat adalah subjeknya, yaitu manusia. Tindakan apapun memang selalu terkait dengan subjektivitas pelaku, yang mana dalam hal ini harus melihat penyebab mengapa pelaku melakukan hal tersebut. Jika mengambil alur siklus dasar, apa yang manusia alami menentukan apa yang manusia pahami, apa yang manusia pahami menentukan apa yang manusia lakukan, dan apa yang manusia lakukan menentukan kembali apa yang manusia alami. Sehingga bertanya mengapa manusia melakukan sesuatu harus ditarik mundur hingga ke seluruh pengalaman hidupnya. Itulah kenapa dalam konteks moralitas, pembunuh paling bejat pun tidak bisa dihukum begtiu saja, karena pasti ada sebab dalam pengalaman hidupnya mengapa ia bisa membunuh, dan tentu saja dengan itu, rehabilitasi adalah hukuman paling manusiawi secara moral.

Untuk masalah hukum, banyak pendapat bisa muncul sebenarnya. Misalnya dengan alasan untuk memunculkan efek jera, pelaku korupsi harus dihukum mati walau jelas bertentangan dengan moralitas, yang mana tidak ada manusia yang salah sepenuhnya. Namun terlepas dari hal itu, mungkin yang perlu dipikirkan dalam konteks masyarakat adalah bagaimana mengarahkan pengalaman dan pemahaman masyarakatnya, karena seperti diagram alir tadi, keduanya akan menentukan bagaimana seseorang bertindak, atau secara sederhana, akan membentuk karakter masyarakat. Dengan apa karakter masyarakat dibentuk secara massif? Apa lagi kalau bukan dengan proses pendidikan.

Perbaikan sistemik dengan reformasi birokrasi atau penguatan lembaga seperti KPK memang perlu, tapi apakah itu akan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya? Tentu tidak, karena akarnya ada pada sebab musabab kenapa orang-orang bisa dengan mudahnya melakukan tindakan korupsi, tentu hal ini secara jauh melihat bagaimana ia berkembang sejak kecilnya. Seperti halnya bagaimana membersihkan gelas yang terus menerus diisi air kotor, tentu akan sangat sulit untuk memisahkan kotoran yang sudah terlarut dalam air. Cara terbaik adalah dengan mengganti sumber air ke gelas tersebut dengan air jernih hingga semua air kotor itu terdorong keluar dengan sendirinya. Melakukan perbaikan sistemik adalah bagaimana kita membuat saringan agar kotoran yang masuk di gelas bisa tersaring, tapi tentu itu tidak akan menyelesaikan masalah. Lantas ada apa dengan pendidikan di Indonesia saat ini sehingga tetap saja pelanggar-pelanggar aturan terus menerus muncul di masyarakat?

Hal ini tidak bisa dijawab secara parsial, karena proses pendidikan adalah proses yang kontinyu dan harus dilihat secara utuh. Kekeliruan pada masa sekolah dasar tidak bisa serta merta dapat diperbaiki pada sekolah menengah, apalagi mengingat alur pembelajaran manusia sangatlah rumit. Selain itu juga, tidak hanya pendidikan formal di sini memainkan peran, namun juga pendidikan informal, dari orang tua dan lingkungan. Tapi apakah sesederhana itu? Tentu saja tidak, karena dalam hal ini pelaku pendidik melibatkan banyak komponen yang mana harus memiliki kesadaran yang sama terkait seberapa jauh batasan pendidikan yang baik ditanamkan. Ketika orang tua memikirkan anak itu harusnya seperti A, dan sekolah memikirkan B, maka pendidikan tidak akan bisa berjalan secara menyeluruh dan optimal. Di sinilah tantangan utamanya, apalagi, ada variabel lingkungan yang tidak terkontrol. Dengan majunya teknologi seperti sekarang ini, sehebat-hebatnya orang tua mencegah pun alur informasi terlalu deras untuk ditahan, kecuali jika tinggal di tengah hutan. Terkait hal itu, penyaringan informasi lebih diperlukan, namun tentu saja membutuhkan usaha yang tidak mudah. Sayang, pada realitanya, dengan beragam sebab, orang tua selalu memberikan kebeasan pada anaknya tanpa adanya pendampingan intensif, terlebih lagi, tidak ada kerja sama yang baik antara sekolah dan rumah karena perspektif pendidikannya yang begitu beragam.

Pada intinya, masalah terkait pendidikan ini sudah mengakar sedalam-dalamnya hingga ke tataran kesadaran akan pendidikan itu sendiri. Aku cukup yakin lebih dari 50%pelaku pendidik (guru dan orang tua) belum memiliki kesadaran yang utuh terkait pendidikan yang baik seharusnya seperti apa. Dilema ini diperparah dengan adanya komersialisasi pendidikan, yang mana anak-anak cenderung disekolahkan sekedar agar kelak bisa mendapat pekerjaan, bukan karena ilmu. Padahal secara ideal, sekolah (apapun, dari SD hingga PT) punya dua fungsi, yaitu pengajaran intelektual dan pengajaran moral, namun kecenderungannya hanya sebatas pengajaran intelektual itu pun mengalami banyak penyimpangan karena adanya tuntutan-tuntutan lain (selebihnya baca penindasan pendidikan bagian 1 dan bagian 2). Standarisasi yang ada secara nasional pun cenderung penilaian yang mengukur kecerdasan, bukan yang mengukur kebaikan atau karakter. Hal ini mengakibatkan fokus-fokus sekolah hanyalah pada keterampilan dan pengetahuan, bukan pada kebaikan. Ditambah lagi, standar kebaikan orang-orang bisa sangat berbeda-beda.

Membahas detail terkait banyaknya ironi di dunia pendidikan Indonesia akan menjadi pembahasan panjang tersendiri, karena permasalahanya cukup luas dan kompleks. Maka cukup sekarang mari kita lihat halini dalam perspektif pencegahan tindak korupsi. Mungkin ketika sudah dalam tataran nasional, tindakan ini memang begitu terlihat nyata karena memang lingkupnya sudah sangat besar. Untuk melihat akarnya, kenapa tidak melihat analogi tindakan korupsi dalam tataran nasional ke dalam tataran yang lebih kecil. Kita tentu sudah banyak tahu iklan-iklan anti korupsi yang memperlihatkan bahwa tindakan sederhana seperti menyontek merupakan cikal bakal tindakan korupsi pada tataran yang lebih besar nantinya. Tentu banyak hal-hal kecil lain yang selama ini disepelekan sesungguhnya kelak menjadi tindakan yang berpengaruh cukup besar. Itulah sebenarnya pembentukan karakter tidak bisa dilakukan setengah-setengah, harus utuh dan komplit. Bagai membangun sebuah bendungan yang kokoh, karena ada retak sedikit bisa mengakibatkan runtuhnya keseluruhan struktur. Dalam hal ini memang pendidikan yang bersifat totalitas yang mana pendidik bisa mengawasi, membimbing, dan membina peserta didiknyasepanjang waktu yang mungkin lebih berhasil dalam mencetak karakter secara utuh, ambillah contoh pesantren atau pendidikan militer. Namun itu sendiri pun tidak cukup, karena pada akhirnya mengingat manusia adalah eksistensi yang sangat tidak sederhana, banyak variabellain bisa masuk untuk memengaruhi.

Pada tataran mahasiswa sendiri hal ini bisa cukup terlihat, mengingat masukan peserta didik pada pendidikan tinggi merupakan hasil bertahun-tahun pendidikan sebelumnya. Walau sebenarnya tidak bisa digeneralisasi secara cuma-cuma, terkadang menjadi tanda tanya tersendiri bagiku ketika melihat perilaku-perilaku sederhana seperti istilah lobbying satpam, mengadakan kegiatan tanpa izin, dana proposal yang digelembungkan, ketidakrapihan arsip, manipulasi surat, mudahnya membolos, titip absen, dan hal-hal lainnya yang sebenarnya pada realitanya hanya menjadi lelucon sehari-hari seakan semuanya adalah kewajaran. Tidakkah ada yang pernah coba membayangkan pada lingkup besarnya , semua tindakan kecil itulah yang menghasilkan tindakan-tindakan penggelembungan dana proyek, kongkalikong antar kepentingan, dan banyak hal-hal lainnya. Pertanyaan sederhana yang mempertanyakan mengapa lulusan ITB masih bisa tejerat kasus korupsi pun bisa ku jawab secara sederhana juga. Idealisme yang terbangun selama jadi mahasiswa tidaklah utuh karena hal-hal sepele dan kecil diabaikan, bahkan justru dianggap wajar dan dijadikan kebiasaan. Kita terlalu jauh memikirkan idealisme yang besar-besar sedangkan idealisme kecil-kecilan seperti tidak menyisakan makanan sebutir nasi pun sering disepelekan. Dianggap tidak relevan? Cih, karakter yang meremehkan hal kecil itulah yang sesungguhnya membuat orang-orang ketika berada di atas awan semakin tidak mampu melihat hal-hal akar rumput. Mungkin ketika kita di sini bisa saja meremehkan pertanggungjawaban 500 rupiah yang mana mungkin hanya 0.0001 % dari total dana sesungguhnya, tapi dalam tataran nasional, 0.0001% itu bisa sama dengan jutaan rupiah. Hal kecil? Ya tentu saja, tapi kebiasaan melihat hal besar membuat kita lupa dengan hal tersebut.

Dilema budaya

Berbicara pendidikan tidak akan lepas dari membicarakan budaya, karena seperti kata Ki Hajar sendiri, budaya terbentuk dari hasil pendidikan. Sesungguhnya dalam sektor pendidikan sendiri, tiap tahunnya tentu pasti selalu ada penyempurnaan, apa lagi tentu sudah banyak orang-orang yang menaruh perhatian lebih pada dunia krusial ini, walau pada akhirnya pada tataran praktiknya sangatlah sulit untuk diwujudkan. Kenapa? Karena yang berperan penting untuk mewujudkan kesadaran pendidikan yang utuh adalah pendidik-pendidiknya. Sayangnya, dalam lingkup pendidik sendiri pun masih sedikit yang benar-benar sadar akan makna sesungguhnya pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Bisa kita lihat dengan mudah ada berapa banyak guru yang benar-benar ‘mendidik’, ketimbang yang sekedar mengajar. Maka jika ditarik mundur, pendidik-pendidik sendiri masih perlu dibangun kesadaran akan pendidikannya. Namun siapa yang bisa mewujudkan itu? Pada akhirnya semua hanya akan menjadi lingkaran setan tersendiri. Diklat-diklat yang diberikan pada guru pada akhirnya cenderung hanya formalitas yang hanya memberi pengetahuan teknis ketimbang karakter itu sendiri. Lagipula apa yang bisa ditanam pada seseorang yang cenderung sudah melewati bertahun-tahun hidup yang mengeraskan karakter utamanya? Guru-guru itu sendiri pun merupakan hasil pendidikan dengan sistem yang sama. Lingkaran setan? Ya. Asalnya dari mana? Marilah memutar terus lingkaran itu mundur hingga melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Mengawali lagi dengan pertanyaan , tidakkah merasa aneh ketika Indonesia, yang dikatakan memiliki kearifan lokal yang mengakar secara budaya pada seluruh nusantara memiliki indeks persepsi korupsi pada urutan ke-88 dunia? Apa jangan-jangan kearifan lokal itu hanyalah utopia dari hegemoni masa lalu? Ataukah justru, kearifan lokal itu sendiri yang sebenarnya menjadi penyebab tumbuh suburnya korupsi di negeri ini? Tentu bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab, tapi tentu itu hal yang tidak bisa kita abaikan mengingat sejarah menjadi bagian penting pembentukan identitas. Seperti halnya karakter manusia ditentukan oleh pengalamannya sejak lahir, maka karakter Indonesia pun ditentukan dari perjalanan sejarahnya.

Terkait hal tersebut, mungkin kita perlu melihat ke belakang bagaimana keadaan dulu ketika belum ada kaum ras kulit putih dari manapun menginjakkan kaki di nusantara. Dulu, masyarakat nusantara secara mayoritas cenderung memegang hukum adat, tidak tertulis dan cenderung bersifat lisan, kebiasaan, tradisi, dan turun-temurun. Walau mungkin ada sebagian kecil kerajaan yang mungkin sudah memiliki catatan tertulis, namun tetap adat lah yang menjadi warna utama. Hal ini juga memang didasarkan pada kecendeurngan pemikiran timur, termasuk Indonesia ,yang lebih menekankan hidup pada moralitas dan kebaikan, ketimbang pemikiran barat yang lebih banyak mempertanyakan eksistensi, metafisis, rasionalitas, dan sebagainya. Lihatlah Cina atau Jepang yang juga memiliki kearifan loka l yang mengakar pada budayanya, yang mana juga sangat menekankan pada moralitas dan kebaikan. Dengan terbiasanya masyarakat nusantara pada hukum adat, yang mana tanggung jawab moral lebih berperan untuk menciptakan ketarturan di dalam masyarakat, yang mana kontrol datang dari sesama masyarkat, atau mungkin raja.

Kemudian, datanglah kapal-kapal dari arah barat untuk mencari rempah-rempah, dari portugal, spanyol, lalu belanda, yang akhirnya menjajah nusantara selama 3,5 abad. Tentu saja di sini lah terjadi benturan budaya antara barat dan timur. Begitu kontras perbedaan budaya ini sehingga alkulturasi yang terjadi tidaklah sederhana. Salah satunya aperbedaan itu adalah kecenderungan nusantara yang menggunakan adat dan tradisi sebagai tata aturan dengan kecenderungan barat yang sudah memakai hukum pidana tertulis. Perbedaan sistem hukum ini menciptakan karakter hibrida yang mana masyarkat nusanatara yang cenderung terbiasa melakukan sesuatu karena tanggung jawab moral, menjadi tanggung jawab formal. Efeknya apa? Bisa sangat beragam. Betapa berbahayanya proses alkultasi yang tidak matang sebenarnya tidak bisa dipandang remeh. Lihatlah contoh ketika anak-anak desa yang mencoba sok-sokan bergaya urban namun akhirnya malah jadi terlihat aneh.

Tidak terbiasanya masyarakat nusantara dengan sistem hukum tertulis lah yang membuat mekanisme kaku birokrasi tidak mudah dipahami dengan baik dan cenderung dilanggar. Terlebih lagi, sifat masyarakat Indonesia yang cenderung kommunal membuat rasa ingin membantu atas dasar pertemanan atau kekeluargaan bisa cukup tinggi. Sayangnya, paradigma barat yang cenderung individualistik perlahan teralkulturasi juga namun dalam bentuk yang tidak sempurna. Akhirnya apa, muncullah pelanggaran-pelanggaran atas nama kepentingan pribadi namun disokong ragam bantuan atas dasar perkawanan. Perhatikan bahwa memang rasa tidak enak untuk menolak permintaan tolong di masyarakat Indonesia bisa lebih besar ketimbang masyarakat luar, khususnya barat. Terbiasanya masyarakat Indonesia terhadap kontrol sosial dengan adanya hukum adat juga membuat rumitnya birokrasi akan mudah diterobos, sedangkan virus individualistik dari barat membuat kontrol sosial ini semakin minim. Jadi sederhananya, budaya yang sudah tertanam kuat di masyarakat melebur dengan budaya yang cenderung berlawanan dengannya secara tidak sempurna. Kearifan lokal tentu terkikis dengan budaya rasionalis barat, namun sifat-sifat dasar komunal seperti hasrat untuk membantu, gotong royong, rasa tidak enak untuk menolak, dan lain sebagainya masih ada, membuatnya terarah ke hal negatif, jadi gotong royongnya dalam hal korupsi deh.

Tentu saja apa yang ku gambarkan tadi adalah abstraksi kasar dari yang sesungguhnya terjadi. Proses alkulturasi budaya nusantara dengan budaya barat terjadi cukup rumit mengingat sejarah nusantara juga panjang dan penuh lika-liku. Namun memang apa yang ku lihat adalah proses alkultuasi ini terjadi secara tidak lengkap dan sempurna, membuat rakyat Indonesia jadi “banci”, sudah ikut-ikutan kebarat-baratan tapi tidak bisa move on dari budaya lokalnya. Semangat untuk membangun kembali kearifan lokal jadi hanya semacam formalitas agar ya Indonesia masih ada sesuatu yang bisa dibanggakan lah. Jika memang mau membangun kearifan lokal, blok apapun yang datang dari barat dan bangun segalanya dengan kaki sendiri. Lihatlah jepang yang mana meniti dan mengembangkan semuanya dengan tangan dan kaki sendiri, walau memang menyerap ilmu dan teknologi dari luar, bukan sekedar memasukkan begitu saja tanpa ada saringan, agar budayanya tidak ikut masuk, atau paling tidak tersaring dengan baik. Selain itu, keragaman budaya di Indonesia membuat masyarakat nusantara tidak bisa berjuang bersama untuk mempertahankan budaya yang dimilikinya. Orang sunda tidak akan paham dengan apa kearifan lokal jawa yang harus dijaga, atau sebaliknya. Sedangkan melirik jepang, satu negara cenderung memiliki budaya yang sama, sehingga mereka bisa melestarikannya secara komunal dan massif. Itulah mengapa hingga saat ini, budaya di Jepang tidak terkikis, bahkan mengalami modernisasi juga tanpa harus kehilangan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya.

Dilema bukan? Apa yang seharusnya menjadi kebanggaan justru bisa jadi yang menyebabkan kehancuran. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi slogan kaku karena Tunggal di sini tidak berada dalam persepsi yang sama. Pancasila yang dibuat dengan semangat menyatukan ragam budaya dalam satu nilai yang sama pun pada praktiknya tidak terhayati dengan baik. Pada akhirnya karena budaya kita begitu beragam dan terpisah-pisah, akan mudah dikikis sedikit demi sedikit, dikontaminasi oleh budaya barat yang akhirnya menghasilkan budaya hibrida yang kit a miliki sekarang, semangat bergotong-royong untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Hukum adat sudah mengikis dan kontrol sosial semakin hilang. Orang-orang semakin sibuk dengan dirinnya sendiri, padahal sifat yang tidak terbiasa dengan hukum tertulis kaku masih ada. Jadi deh semua tindakan korupsi yang kita lihat sekarang.

Lantas apa? Sayangnya semua hal ini terjadi layaknya sebuah kewajaran sejarah. Apa yang bisa dilakukan ketika memang faktanya telah terjadi seperti itu? Kita mungkin perlu melihat ke depan baiknya seperti apa. Tapi sayang, melakukan perbaikan melalui dunia pendidikan sendiri untuk meluruskan kembali budaya yang kita miliki dan menanamkan nilai-nilai yang seharusnya, serta membentuk karakter masyarakat pun mengalami banyak dilema seperti yang ku paparkan di atas. Serba salah. Maju kena mundur kena. Di tulisanku yang lain pun, aku menjelaskan betapa merananya Indonesia ini: Jika tidak ingin tertinggal, mau tak mau kita harus mengikuti kompetisi global, namun hal itu akan mengarahkan pendidikan semakin terkomersialisasi dan hanya terfokus pada keterampilan dan intelektualitas semata, namun jika pendidikan ingin diresotorasi ke kodrat sesungguhnya untuk menumbuhkan kembali jati diri masyarakat, yah kita harus siap ditinggal negara-negara yang tengah lomba lari di luar sana.

Terkait dilema budaya yang kita hadapi saat ini, marilah ingat kembali apa kata Soekarno: “Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu. Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bistik tetapi budak. Tradisi Bangsa lndonesia bukan tradisi tempe. Kita di zaman purba pernah menguasai perdagangan di seluruh Asia Tenggara, pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau Afrika atau Tiongkok”

Kembali dalam Kontemplasi

Yah, memang alangkah lucunya negeri ini. Terlalu banyak dilema yang menghambat kita untuk memperbaiki diri. Tekanan muncul dari beragam arah, tekanan global dari luar untuk terus bersaing, menuntut kita untuk terus menciptakan intelektual-intelektual handal yang terampil dan inovatif, atau tekanan lokal dari dalam untuk memperbaiki mental bangsa, menuntut kita untuk memprioritaskan pembangunan sektor pendidikan agar kembali ke jalur yang benar sebagai sebuah proses memanusiakan manusia demi tegaknya kembali jati diri bangsa. Ketika pada akhirnya kita terus maju bersaing pun, kita tidak berdiri di atas mana-mana, karena jati diri kita perlahan terus mengikis.

Terkait hal tersebut, semangat pemerintah sekarang yang mengedepankan kemandirian bangsa dengan trisakti sesungguhnya hal yang patut diapresiasi. Jika berbicara secara khusus mengenai tindakan korupsi, slogan reformasi birokrasi dan revolusi mental adalah konsep yang tidak main-main, karena memang dua itulah kunci perbaikan negara saat ini. Reformasi birokrasi untuk pencegahan tindakan korupsi dari sistem, dan revolusi mental untuk pencegahan tindakan korupsi dari pelakunya. Tap tentu itu adalah konsep ideal. Praktiknya? Luar biasa tidak mudah. Kenapa? Karena yang berperan untuk mewujudkannya haruslah dari semua pihak. Jika semangat itu hanya ada di pemerintah, hasilnya akan nihil. Bagaimana pemerintah mau reformasi birokrasi jika UU KPK aja direvisi seperti itu, pakai ada namanya dewan pengawas lah. Dari masyarakat sendiri tetap saja tidak menghargai birokrasi-birokrasi yang ada dengan banyaknya penyelewengan sistem. Bagaimana juga pemerintah mau revolusi mental jika masih banyak dosen yang meremehkan telat atau ketidakhadiram mahasiswa di kelasnya. Bagaimana pemerintah mau mewujudkan kemandirian jika kesadaran politik rakyatnya tidak dibangun dan justru dibodohi. Kesadaran untuk perbaikan harus ada di semua lini.

Aku tidak terlalu mempermasalahkan revisi UU KPK. Kenapa? Karena baunya politis banget. Di sini aku hanya mengabstraksi fenomena korupsi ini lebih luas agar kita sadar bahwa adanya KPK hanyalah satu jalan untuk pemberantasan korupsi Karena ku rasa percuma apabila pendidikan di Indonesia masih seperti sekarang. Koruptor baru akan terus lahir dan bermunculan. Ujung-ujungnya KPK hanya capek sendiri. Absurd. Seperti sisifus yang tidak henti-hentinya membawa batu ke puncak gunung yang akhirnya jatuh lagi. Tidak perlu lah sampai dinamai “Pendidikan Anti-Korupsi” karena itu hanya akan jadi formalitas. Toh, yang namanya pendidikan anti-korupsi ya pendidikan secara keseluruhan. Kita tidak bisa melihat kasus adanya tindakan korupsi ini secara parsial saja, karena itu terkait karakter utuh seorang manusia yang dibangun dalam sebuah sistem pendidikan terstruktur dari PAUD hingga PT. Slogan “Berani Jujur” pun hanya akan menyempitkan pandangan bahwa korupsi hanya masalah ketidakjujuran, padahal korupsi adalah secara utuh terkait erat dengan moralitas dan karakter seorang manusia keseluruhan.

Lalu apa yang bisa kita lakukan ke depannya? Sebagai mahasiswa ya cukup dengan mendukung pemerintah dengan semangat yang sama, menyebarkan kesadaran yang sama seluas mungkin, di tambah dengan terus membekali idealisme dalam diri agar kelak siap bertarung di medan perang sesungguhnya. Karena toh kampus ini pada akhirnya hanyalah barak-barak pelatihan bagi para tentara intelektual untuk kelak siap bertarung memperbaiki bangsa. Lah tapi kalau barak-nya sendiri melenceng dari tujuan? Hah, itu tentu jadi bahasan lain, ketika kampus sendiri juga kehilangan jati diri.

Ya cukup sadari jugalah bahwa banyak tindakan-tindakan kecil sesungguhnya merupakan tunas dari tindakan korupsi. Bukankah ketika kita tidak masuk kelas alias bolos, kita mengorupsi uang orang tua kita yang sudah membayar kita kuliah untukmemasuki kelas tersebut? Apakah kesadaran itu ada di tiap mahasiswa? Ya ketika melihat seperti ini, aku merasa wajar-wajar saja jika satu dari lulusan ITB kelak akan jadi koruptor. Seperti yang ku blang sebelumnya, kebiasaan meremehkan hal kecil lah yang kelak akan menjadi tindakan korupsi pada tataran yang lebih besar. Pentingnya idealisme sekeras mungkin tanpa ada toleransi adalah salah satu bentuk pembentengan diri dari hal-hal tersebut.

Apa yang kupaparkan toh bisa jadi tidak sepenuhnya tepat. Tapi kalaupun tidak tepat, semoga memang lebih ada harapan. Karena aku sendiri cenderung pesimistis terhadap semua ini. Terakhir, pada akhirnya semesta tidak terdiri atas atom, tapi terdiri atas kisah, demikian pula Indonesia. Sekarang sebagai salah satu pemain dalam kisah ini, mengapa tidak berusaha berperan lebih? Memang ku akui, sepertinya butuh jiwa yang sangat sangat sangat sangat optimis untuk tetap semangat membangun Indonesia dengan dilema seperti yang ku paparkan di atas. Apakah kita kelak memang akan menjadi bangsa yang besar, seperti yang diimpikan oleh pendahulu-pendahulu kita, hanya bisa dijawab dalam diri masing-masing. Jadi, renungkanlah!

(PHX)

Alt Text

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora