Permainan Media

- 4 mins

cover film Wag The Dog

Judul : Wag The Dog

Sutradara : Barry Levinson

Tanggal Rilis : 17 Desember 1997

Durasi : 97 menit

Genre : Komedi, Drama

Pemeran : Dustin Hoffman, Robert De Niro, Anne Heche

They’re war slogans, Mr. Motss. We remember the slogans, we can’t even remember the fucking wars. You know why? That’s show business.” – Conrad Brean

Pernah menonton film “Di Balik Frekuensi?”? Ya, film karya Ucu Agustin yang sudah berkali-kali ditayangkan dimana-mana mengingat isinya yang cukup ‘menggelitik’ itu memperlihatkan bagaimana jurnalisme penyiaran di Indonesia cenderung disalahgunakan oleh konglomerasi media. Mungkin untuk beberapa orang, apa yang dipaparkan dalam film itu cukup mengejutkan dan membuat diri bertanya kembali kebenaran informasi dan kenetralan media. Apa yang sesungguhnya terjadi di dunia media sebenarnya bisa jauh lebih memuakkan. Hal itu lah yang juga diperlihatkan dalam salah satu film keluaran 1997, Wag The Dog, yang menceritakan bagaimana media dimanfaatkan untuk memanipulasi citra seorang presiden menjelang pemilihan umum.

Di sutradarai oleh Barry Levinson, Wag The Dog mencoba memperlihatkan apa yang sebenarnya terjadi di balik layar ketika suatu isu tehangatkan oleh media publik. Media pada dasarnya memang punya hak untuk mengatur apa saja yang bisa diberitakan atau dijadikan Headline selama memegang etika jurnalistik. Namun tak bisa dipungkiri bahwa media pasti dimiliki atau dikelola oleh sekelompok orang, entah pemerintah entah swasta, yang mana tentu selalu memiliki celah untuk masuknya kepentingan. Dengan begitu kompleksnya kondisi masyarakat, apa yang bisa diberitakan pada suatu waktu tentu tidak sedikit, atau bahkan bisa ‘dibuat-buat’ tanpa banyak yang akan curiga, sehingga pengaturan pemberitaan selalu bisa jadi bahan permainan.

Wag The Dog secara umum mengisahkan mengenai bagaimana Conrad Brean (Robert DeNiro), seorang Spin Doctor –dalam kamus Miriam-Webster diartikan sebagai “a person (such as a political aide) whose job involves trying to control the way something (such as an important event) is described to the public in order to influence what people think about it”–, bersama Winifred Ames (Anne Heche), salah seorang penasihat Presiden, melakukan manipulasi media untuk mencegah menyebarnya skandal yang melibatkan Presiden Amerika saat itu yang mana akan mengancam popularitasnya beberapa hari sebelum pemilihan umum. Segera sebelum berita itu keluar di koran pagi hari, tengah malamnya Brean dan Annes merancang pengalihan isu yang kemudian meminta tolong Stanley Motts (Dustin Hoffman), seorang produser Hollywood. Bersama Motts dan kawan-kawannya, Conrad menciptakan sebuah perang ‘fiksi’ di Albania untuk kemudian diberitakan sebagai pengalih isu. Dengan beragam skenario yang diciptakan, Conrad dan Motts akhirnya berhasil meningkatkan popularitas Presiden sehingga membuatnya terpilih kembali pada pemilihan.

Hal yang menarik dari Wag The Dog adalah bahwa seakan film ini merupakan prediksi terhadap masa depan. 2 tahun setelah film ini dirilis, Bill Clinton mengalami hal yang serupa, yaitu sebuah skandal seks dan pararel dengannya permasalahan militer dengan Iraq. Hal yang berbeda mungkin adalah bahwa konflik perang yang muncul tidak lah direkayasa seperti halnya perang Albania yang dipalsukan pada Wag The Dog. Entah apakah mungkin perekayasaan berita seekstrim perang luar negeri seperti pada film memang benar-benar terjadi di dunia nyata, mengingat film ini sendiri merupakan kisah fiksi, apalagi dengan beberapa hal yang terasa kurang wajar seperti begitu mudahnya merekayasa adanya “pahlawan” fiksi. Walaupun begitu, cukup logis bila pemilik kepentingan akan bisa melakukan dan memanfaatkan apapun untuk mencapai tujuanya, apalagi bagi yang punya modal dan jaringan yang memadai.

Terlihat bahwa sepanjang film, Presiden yang dimaksud pada film tidak diperlihatkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa terkadang permainan ‘belakang’ seperti yang diperlihatkan pada Wag The Dog justru tidak diketahui oleh pemilik kepentingan sesungguhnya. Dalam konteks negara, banyak hal perlu dilakukan untuk menjaga citra Presiden, sehingga secara terstruktur, beragam usaha dilakukan bahkan tanpa sepengtahuan Presiden sendiri. Kalaupun tahu, tidak akan mendetail, karena tentu bisa jadi usaha yang dilakukan terasa “kotor”, namun sebenarnya wajar dalam dunia bawah tanah. Hal ini juga diperlihatkan dari bagaimana Motts pada ujungnya dibunuh karena dianggap akan menyebarkan informasi yang ia ketahui terkait apa yang terjadi di balik menangnya Presiden.

Terlepas dari semua komentar itu, seperti biasa, daripada aku terlalu banyak berkata-kata, mending langsung tonton saja filmnya! Dengan nuansa komedi, plus begitu menariknya alur kisah yang dibangun, film ini tidak akan mengecewakan, bahkan akan menjadi bahan diskusi yang hangat mengenai ironi media sebagai pemegang kepercayaan publik. Dengan begitu banyaknya celah permainan kepentingan yang ada di balik layar kaca, masih percaya dengan Televisimu? Mengutip salah satu slogan yang cukup sering muncul: “Matikan TV-mu dan mulailah membaca!”

Producing is being a samurai warrior. They pay you day in, day out for years so that one day when called upon, you can respond, your training at its peak, and save the day!” – Stanley Motts –

(PHX)

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora