Meninjau Kesadaran

- 5 mins

cover film Shutter Island

Judul : Shutter Island

Sutradara : Martin Scorsese

Tanggal Rilis : 19 Februari 2010

Durasi : 138 menit

Genre : Misteri, Thriller

Pemeran : Leonardo DiCaprio, Ben Kingsley, Mark Ruffalo

Sanity’s not a choice, Marshall. You can’t just choose to get over it” – Dr. John Cawley

Film yang bergenre horor sesungguhnya tidak harus terkait dengan hal-hal gaib atau semacamnya. Karena salah satu ciri khas dari horror itu sendiri adalah permainan reaksi emosi dari penonton yang ditimbulkan dari rasa takut dan kejutan-kejutan. Hal inilah yang ditunjukkan oleh salah satu film Leonardo Di Caprio yang berjudul Shutter Island. Ya, film ini menakutkan, tapi bukan karena darah yang bertumpahan atau hantu yang muncul tiba-tiba. Film ini menakutkan karena bermain dengan mental dan pikiran manusia, kita sendiri.

Shutter Island sesungguhnya merupakan novel yang dikarang oleh Dennis Lehane yang dikategorikan bergenre phsycological horror. Cerita yang dibangun penuh dengan lika-liku dan membawa para penikmat untuk selalu bermain dengan tanda tanya akan realita yang sesungguhnya. Apalagi, Martin Scorsese sebagai sutradara memang memiliki sense of thriller yang berbeda. Keseluruhan aspek film, mulai dari suara latar yang selalu menciptakan atmosfer tegang, pemandangan yang tenang dan damai maupun menyesakkan, adegan yang selalu mengalir perlahan sehingga mempertahankan fokus, hingga alur cerita yang tak pernah lepas dari twist membuat yang menonton akan selalu menahan napas dan terikat dalam rasa penasaran.

Jika dilihat secara umum, mungkin akan terasa biasa. Namun jika diperhatikan dengan seksama, alur cerita yang dibuat sangatlah cantik, terdesain dengan sangat rapi. Dimulai dari seorang marshall (semacam polisi khusus), Edward ‘Teddy’ Daniels (Leonardo Di Caprio), bersama rekannya, Chuck Aule (Mark Ruffalo), yang pergi ke sebuah penjara sekaligus rumah sakit jiwa pada sebuah pulau kecil terisolasi bernama Shutter Island untuk menginvestigasi kasus lepasnya salah seorang pasien secara misterius. Teddy sendiri memiliki intensi khusus dalam kasus ini, yaitu mencoba mencari pembunuh istrinya dan menyelidiki konspirasi yang ia curigai terjadi di Ashecliffe terkait eksperimen pada manusia. Dengan semua keanehan yang ia temui di Shutter Island, ia semakin menyadari bahwa ia telah masuk dalam jebakan konspirasi yang ia selidiki. Dari zat kimia yang disisipkan dalam aspirin, makanan, maupun rokoknya, permainan trauma dan memori, hingga penekenan realita-realita palsu untuk menggaggu kepercayaannya pada realita yang sesungguhnya, Teddy terjebak dalam semua skenario yang disiapkan untuk menyingkirkannya. Bagian akhir dari cerita ini sesungguhnya sedikit menggantung dan kurang jelas, namun yang dapat aku sendiri simpulkan adalah bahwa Teddy masih bisa sadar sepenuhnya dengan dirinya sendiri dan lebih memilih untuk “mati” dibedah dan kehilangan kesadarannya, daripada hidup sadar dengan realita palsu, yaitu bahwa ia adalah pasien di Ashecliffe karena telah membunuh istrinya.

Cerita yang disajikan dalam Shutter Island sebenarnya membuatku kembali mempertanyakan ulang makna kesadaran. Seperti yang mungkin kita sering dengar selama ini dalam psikologi bahwa di balik kesadaran, manusia dikendalikan oleh persepsi lebih dalam dan mendasar pada jiwa manusia, sebutlah namanya alam bawah sadar. Mudahnya, alam bawah sadar menjadi kacamata utama persepsi manusia terhadap apa yang ia indrai, termasuk kenyataan yang ia terima atau percaya. Alam bawah sadar ini sendiri dibentuk dan ditempa oleh pengalaman dan serangkaian memori sejak seseorang lahir. Betapa kuatnya persepsi ini menentukan bentuk informasi yang masuk di kepala kita, bahkan realita yang diterima sendiri pun bisa berbeda. Banyak kelainan psikologis didasari pada gangguan alam bawah sadar yang akhirnya membuat seakan seseorang memiliki realitanya sendiri. Ketika alam bawah sadar sendiri yang menentukan bagaimana kesadaran kita mempersepsi dunia, sedangkan alam bawah sadar hanya ditentukan oleh pengalaman dan memori, hal ini seakan berarti bahwa kita tidak punya kehendak atas kesadaran kita sendiri. Sederhananya, seperti siklus yang membentuk manusia: apa yang kita lakukan menentukan apa yang kita alami, apa yang kita alami menentukan apa yang kita persepsikan, dan apa yang kita persepsikan menentukan apa yang kita alami. Makna kehendak bebas pun hancur di sini.

Seperti yang dikatakan Dokter Cawley, kesadaran/kewarasan (sanity) bukanlah pilihan, karena ia dibentuk oleh jutaan faktor kompleks dari lingkungan. Makna kewarasan sendiri pun menjadi relatif, karena sangat bergantung pada realita yang ia persepsikan. Ketika realita yang dipersepsikan seseorang berbeda dari khalayak umum, maka ia akan dianggap tidak normal, bahkan tidak waras, membuat apapun yang dikatakannya menjadi semacam bualan yang tidak perlu ditanggapi. Inilah yang pola yang dimanfaatkan oleh pihak Ashecliffe untuk “menyingkirkan” siapapun yang dianggap ancaman, termasuk Rachel Solando, mantan dokter di sana yang kemudian dianggap gila agar apapun yang ia ungkapkan tidak akan dihiraukan. Sebuah mekanisme pertahanan diri yang sangat luar biasa. Metode pembungkaman seperti ini bahkan lebih kejam daripada sekedar dibunuh atau diasingkan, karena dalam hal ini, objek yang dibungkam bahkan dipermainkan pikiran dan kesadarannya, diasingkan secara halus, dan dicabut kemanusiaannya. Pikiran sesungguhnya bukan hal yang pantas untuk dipermainkan. Bahkan, setertindas-tindasnya seseorang, pikiran adalah benteng kebebasan terakhir seorang individu. Ketika pikiran sendiri ditindas, maka apalagi kemanusiaan yang tersisa ia miliki.

Ide yang mendasari cerita ini bisa ku katakan sangatlah jenius. Makna yang terkandung di dalamnya secara implisit memperlihatkan makna kemanusiaan yang sesungguhnya. Menonton Shutter Island akan membawa kita pada pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai jati diri dan kesadaran. Sesungguhnya pikiran dan kesadaran memang harta terakhir yang dimiliki seorang manusia. Bisa saja kita dipenjara, disiksa, dibunuh, diasingkan, dan hal-hal lainnya, tapi selama kita masih bebas dalam pikiran, kita masih belum kehilangan kemanusiaan kita. Dengan banyaknya makna yang bisa didapatkan, ditambah beragam aspek film yang tidak bisa dikatakan biasa, Shutter Island sangatlah direkomendasikan untuk ditonton.

Which would be worse - to live as a monster, or to die as a good man?” –- Teddy Daniels

(PHX)

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora