Literasi Bukanlah Keberaksaraan!
- 23 minsSebuah makhluk cenderung cukup sering disebut-sebut akhir-akhir ini. Biasanya muncul dari kalangan intelektual, di tempat lain muncul di kalangan aktivis dan praktisi, pada beberapa tempat bahkan sudah mulai muncul dari mulut-mulut masyarakat pada umumnya. Ia sepertinnya begitu sakral, dianggap sebagai suatu kunci dari beragam permasalahan, dianggap sebagai penolak bala dari bermacam anomali bangsa, dianggap akar dari sebuah pohon raksasa pengembangan manusia. Begitu hebatnya ia, sehingga seakan-akan, jika seluruh rakyat Indonesia bisa merengkuhnya dengan baik, maka Indonesia tanpa ragu akan menjadi sebuah bangsa yang sakti, bebas dari segala jahat dan korupsi, yang sering menjadi ironi dalam negeri ini.
Makhluk apa pula itu? Orang-orang menyebutnya dengan berbagai nama, tapi merujuk pada objek yang sama. Sebutlah ia literasi. Sebuah terminologi tanpa definisi, tak tercantum dalam KBBI, bahkan thesaurus pun tak peduli. Namun, tentu bahasa merupakan entitas yang berkembang, tak peduli kitab suci kamus tak memberi sabda, para cendikia bisa mulai memberi fatwa, apalagi ini bukanlah kata asli indonesia, namun adopsi dari lain budaya. Ada yang bilang, literasi merupakan keberaksaraan, ada lagi yang lebih jelas mengatakan, literasi merupakan kemampuan baca dan menulis, sedangkan ada pula yang menambahkan bahwa kemampuan berhitung termasuk literasi. Ah, yang namanya makna tentu tak mudah dicipta. Maka tak perlu lagi ku urus definisi, yang telah ku jelaskan cukup detail pada tulisan sebelum ini (Literasi Mencari Arti).
Dalam berbagai perenungan, ku rasa selalu ada makna yang lebih dalam dari segala sesuatu, karena toh, tak ada eksistensi yang tak punya arti, bahkan angin yang meniup rambutku di suatu hari pun punya makna yang dapat digali. Renungan ini telah lama terjalani, namun sempat mengendap dalam pekatnya memori, yang kemudian terangkat kembali setelah kemarin hari berdiskusi. Lantas, ada apa dengan literasi, sehingga ia sesakti batu pemberi abadi, atau sesakral benda peninggalan nabi?
Universalisasi Literasi
Mulai dengan definisi sederhana, kerap dikatakan bahwa literasi adalah segala hal terkait baca dan tulis. Lagipula, kita tentu perlu menghargai moyang-moyang darimana kata literasi ala Indonesia ini berasal. Maka, sebutlah ia berasal dari suatu kata yang merujuk pada teks atau tulisan atau sistem-sistem yang menyertainya. Bayangan pertama kita akan teks adalah segala sesuatu yang mana ada huruf-huruf terangkai di dalamnya, meskipun itu hanya berupa kumpulan simbol yang mungkin saja tidak ada artinya sama sekali. Tidak salah memang. Lagipula, penggunaan kata teks, baik yang versi Indonesia, maupun saudara-saudaranya di bahasa lain, memang merujuk pada hal-hal tersebut. Teks pidato kah, teks surat kah, teks catatan kah, teks apapun itu.
Mari memunculkan sedikit pertanyaan yang terkadang bagi beberapa orang yang tidak terlalu senang kajian mendalam tentu akan menjengkelkan, apa itu teks? Bahasa berkembang layaknya ras dan budaya, ia bisa dikaitkan satu sama lain berdasarkan asal muasalnya. Kita bisa perhatikan beberapa kemiripan bahasa-bahasa di Eropa, yang memang merupakan satu kesatuan lidah dalam kilas balik sejarah, kesatuan bahasa yang sering disebut proto-indo-eropa. Maka, untuk mengetahui pertanyaan di kalimat pertama paragraf ini, kita perlu melihat akar bahasanya, atau bahasa kerennya, etimologinya.
Teks, dalam bahasa Indonesia merupakan serapan langsung dari text dalam bahasa Inggris. Sebagaimana etimologi sebagian dari kata dalam bahasa inggris, text juga berasal dari bahasa latin, textus, yang dalam pengertian modernnya berarti sesuatu yang tertulis, risalah, atau dokumen. Sayangnya, yang namanya bahasa bukanlah sesuatu yang statis. Seperti halnya kita sering menemui kata-kata dalam bahasa Indonesia yang mengalami pergeseran makna, seperti ustaz, atau mahasiswa, yang tentu dipengaruhi banyak faktor, termasuk budaya dan kejadian-kejadian khusus yang terjadi pada selang suatu masa. Textus dalam pengertian klasiknya justru merupakan bentuk pasif dari Texo yang berarti menenun atau menganyam. Penggunaanya ya tentu pada hal-hal seperti kain. Namun, penggunaan kata Texo sering juga bertindihan dengan makna ‘menjalin’, dan ini berlaku lebih luas, yakni pada kerajinan-kerajinan tangan, hasil kayu, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan bapaknya kata ini merupakan bahasa Yunani klasik, techne, yang berarti keterampilan tangan (craft), kata yang sekarang ini sering terangkat karena merupakan moyang juga dari kata teknologi. Ada apa dengan menjalin, menenun, atau menganyam sehingga sekarang kata untuk kegiatan-kegiatan tersebut bertransformasi menjadi sesuatu yang terkait dengan aksara?
Sekitar dua milenium yang lalu, awal-awal mulainya sistem Anno Domini, ada seorang orator Roma yang cukup terkenal, bernama Marcus Fabius Quintilianus. Keterkenalannya disebabkan ia bisa dikatakan termasuk orang pertama yang mengembangkan teori – dan praktiknya – mengenai retorika. Tentu saja, ia seorang orator, ia belajar bagaimana caranya berbicara yang baik dengan benar. Konon, dalam suatu kesempatan ia pernah berkata (tentu dalam bahasa latin), “after you have chosen your words, they must be weaved together into a fine and delicate fabric.” Ia menggunakan terminologi textus untuk kata fabric dalam kalimat itu. Ratusan tahun kemudian, entah dalam suatu sebab akibat langsung atau ada kejadian-kejadian lainnya yang memicu, kata textus pun dipakai untuk merujuk pada kata-kata yang ‘dijalin’ dan kita pun memahaminya sebagaimana kita pahami saat ini. Hal ini juga menjelaskan mengapa kata tekstil, tekstur, dan teks memilki kemiripan. Ya sebagaimana seorang saudara cenderung memiliki kemiripan karena berasal dari orang tua yang sama, demikian juga kata.
Lantas kenapa? Apalah artinya sebuah nama, kata Shakespheare, maka apalah artinya juga istilah-istilah dan asal mulanya. Bagaimana kita menggunakan kata saat ini tentu mungkin hanya bergantung pada arti saat ini, tanpa perlu terpengaruh ribuan tahun yang lalu arti aslinya seperti apa. Tapi tentu saja, sebagaimana kepak sayap kupu-kupu bisa memiliki makna tersendiri terhadap terjadinya tornado di suatu tempat lain, maka demikian juga kata.
Teks, merupakan jalinan huruf-huruf atau kata-kata yang kemudian dalam pola tertentu membentuk makna yang mungkin awalnya tidak ada ketika kata-kata itu terpisah. Sebagaimana kita mengutip satu ayat dalam kitab suci tanpa memahami keseluruhan konteks kitabnya, atau bagaimana kita membaca kata-kata Karl Marx mengenai agama adalah candu tanpa memahami keseluruhan konteks pemikirannya, atau bagaimana kita menyaksikan anehnya Nuh membuat kapal di tengah daratan tanpa memahami keseluruhan konteks maksudnya, selalu ada makna yang hanya akan muncul ketika melihat secara utuh dan tak akan terlihat jika hanya memandang sepotong-sepotong. Inilah yang dalam istilah modern, dikenal sebagai emerging properties, yang kemudian bisa diterjemahkan sebagai sifat kemunculan.
Sifat kemunculan merupakan sifat yang universal, ada di segala sesuatu. Contoh sederhananya adalah sistem organisme dalam biologi. Kumpulan sel-sel, bila dilihat satu per satu secara terpisah, atau melihat hanya sebagian saja, hanya akan menampakkan sifatnya sebagai sel, tidak lebih tidak kurang. Namun, jika kumpulan sel tersebut dilihat secara utuh sebagai sebuah jaringan, maka ada sifat yang muncul sedemikian rupa seakan-akan satu jaringan itu merupakan satu entitas baru, bukan lagi kumpulan entitas lama. Sifat ini pula lah yang menjadi prinsip dasar lahirnya makhluk bernama statistik. Sekelompok objek, terkadang tidak dapat menunjukkan kesamaan apapun jika dilihat secara terpisah-pisah, namun bila dilihat sebagai satu keutuhan, selalu ada sifat yang muncul, memberi deskripsi tersendiri kelompok objek tersebut, yang tak akan pernah terlihat jika dilihat satu per satu.
Eh, apa aku ngelantur terlalu jauh? Apa hubungannya sifat kemunculan itu dengan dunia literasi? Tentu saja ini masih berkaitan, dan sebagaimana apa yang baru saja kujelaskan, segala sesuatu yang berkaitan hanya akan memunculkan makna tertentu jika dilihat secara utuh. Jika seseorang kemudian tiba-tiba membaca tulisan ini hanya pada paragraf sebelumnya, orang tersebut tidak akan pernah paham bahwa ini adalah tulisan mengenai literasi, yang hanya bisa terlihat jika tulisan ini terbaca secara utuh.
Jika kita mundur ke etimologi dari teks sendiri, kita bisa memperumum makna teks menjadi segala sesuatu yang terjalin sedemikian rupa dalam suatu pola tertentu. Mengapa di sini kita masukkan aspek pola? Karena pola inilah yang menentukan muncul atau tidaknya makna dari sekumpulan objek. Itulah yang membedakan secara jelas antara komunitas dan ekosistem dalam sistem biologi. Ada pola tersendiri yang tercipta antar komponen-komponen dalam suatu ekosistem sedemikian sehingga suatu ekosistem seakan-akan menjadi satu kesatuan entitas hidup sendiri, dengan sifat-sifat khas yang mencirikan dia, yang tak akan terlihat jika kita melihat segelintir komponen saja. Pola inilah yang mentransformasi makna-makna terpisah menjadi satu makna baru yang utuh dan khas.
Pola-pola ini lah yang kita pindai dengan mata dalam suatu proses membaca teks. Ketika kita, melalui mata, bisa mendeteksi rangkaian huruf ‘T’, ‘E’, ‘K’, dan ‘S’ yang berdampingan dan diapit ruang kosong, maka kita tengah membaca sebuah kata ‘teks’, yang kita interpretasi lebih lanjut dalam makna yang telah kita konstruksi dalam pikiran. Bila kita perluas makna teks menjadi segala kumpulan objek yang terjalin dalam suatu pola, tidak hanya rangkaian kata-kata, tapi objek apapun, kita pun tidak bisa hanya sekedar memandang bahwa proses baca dan tulis hanyalah sebuah proses pemahamaan terhadap huruf, atau sering disebut dengan istilah melek aksara. Proses baca tulis merupakan proses universal menginterpretasi dan mencipta makna dari pola-pola yang ada.
Membaca adalah proses sensorik, proses mendeteksi dan mengidentifikasi makna dalam pola-pola yang ada pada objek apapun, sedangkan menulis adalah sebaliknya, proses mencipta makna melalui pola-pola yang disusun sedemikian rupa. Bagi yang muslim, tentu memahami dengan jelas bahwa perintah iqra’ (bacalah), yang diyakini merupakan wahyu pertama yang turun kepada Muhammad, merupakan sebuah konsep universal dari membaca, karena Muhammad merupakan seorang buta huruf. Semesta ini penuh dengan makna, dan bahkan, tak ada eksistensi yang tak memiliki makna. Namun, hanya dengan proses membaca yang utuh lah makna itu akan memperlihatkan dirinya. Sama halnya dengan membaca teks aksara, teks semesta ini berada dalam suatu konteks dan makna yang terlihat akan sangat bergantung pada seberapa utuh kita melihat konteks.
Hal yang sama berlaku juga untuk proses sebaliknya, menulis. Secara universal, segala hal yang bisa menciptakan makna bisa digolongkan dengan menulis. Maka segala tindakan aktif pun merupakan proses menulis, karena setiap tindakan akan menimbulkan riak makna bagi yang terkena pengaruh langsung ataupun tidak. Pada dasarnya, kita melakukan kedua tindakan itu hampir setiap saat, kita selalu membaca setiap kali ada informasi masuk melalui kelima indra, dan kita selalu menulis setiap kali kita bertingkah laku atau bertindak apapun dengan seluruh sistem gerak tubuh. Kemampuan literasi yang sesungguhnya adalah bagaimana kita bisa menjalani kedua proses ini dalam kehidupan secara utuh sehingga hidup bisa dimaksimalkan semaksimal mungkin.
Pemanusiaan Manusia
Dengan universalisasi makna dari literasi, maka segala hal yang dilakukan manusia sejak lahir hingga meninggal merupakan proses literasi yang berlangsung terus menerus. Maka jelas bahwa literasi merupakan komponen penting dalam pengembangan manusia. Ia jantung dari pendidikan. Manusia memaknai dirinya sendiri, memaknai kehidupannya sendiri, dengan memaknai apa yang ia lihat dan apa yang ia lakukan. Itulah proses baca dan tulis, dan jelas, bahwa aksara bukanlah penentu mutlak dari hal ini.
Mungkin kita memang tak perlu mengubah pengertian bahwa literasi merupakan perihal baca dan tulis. Namun, menyempitkan proses baca tulis pada objek keberaksaraan saja tentu tidaklah mengutuhkan makna sesungguhnya dari literasi itu sendiri. Aksara sendiri baru muncul di Sumeria pertama kali ketika beragam sistem kemasyarakatan lainnya, dari pertanian, pemerintahan, hingga perdagangan, telah muncul sebelumnya. Cukup sukar dikatakan bila aksara yang menunjang berkembangnya pikiran manusia berikutnya ketika zaman pra-aksara sendiri, pikiran dan keterampilan manusia juga tetap bisa berkembang sedemikian rupa, meski tak bisa dipungkiri bahwa aksara yang memungkinkan peradaban secara fisik berkembang melalui pengabadian pemikiran dan pengetahuan via teks yang distandarisasi.
Apalagi, jika literasi kerap dikaitkan dalam dunia pendidikan sebagai keterampilan paling dasar yang harus diajarkan pada anak-anak. Calistung, begitu disingkatnya. Bagaimana kita menganggap bahwa membaca, menulis, dan menghitung merupakan kemampuan fundamental bagi setiap manusia sebelum ia bisa mempelajari yang lainnya kemudian menjadi konsep yang begitu mengakar dalam dunia pendidikan. Itulah kemudian yang memicu sakralisasi literasi sebagai akar utama berkembangnya intelektualitas manusia. Orang-orang yang kurang bisa membaca dan menulis lantas dianggap sebagai manusia yang tidak bisa berkembang, tidak intelek, atau tidak berpendidikan. Apakah lantas atas nama literasi dalam konteks keberaksaraan, pendidikan manusia dibatasi hanya pada keterampilan pada permainan kata-kata?
Munculnya aksara dalam sejarah manusia memang merupakan sebuah revolusi yang cukup besar. Aksara memungkinkan penyalinan pola-pola abstrak di alam semesta yang belum tentu setiap orang bisa membacanya dengan baik, dalam sebuah sistem pola yang distandarisasi sedemikian rupa sehingga manusia-manusia lain bisa turut membaca pola alam tersebut. Tentu saja pada perkembangan awalnya, sistem pola ini hanya diciptakan untuk mengabadikan, atau bahasa kininya, mencatat, risalah tindakan manusia dalam sistem kemsyarakatan mereka pada waktu itu. Sistem pola tertua yang berhasil ditemukan, yakni Cuneiform alias aksara paku ala Sumeria kuno, digunakan pada zamannya untuk mencatat proses dagang. Seiring dengan semakin kompleksnya sistem kemasyarakatan yang tercipta, segala aktivitas yang terjadi di dalamnya pun semakin rumit untuk sekedar di atur mengandalkan memori belaka. Maka mereka pun berpikir bagaiamana caranya informasi sederhana yang tercipta dari aktivitas dagang manusia bisa disalin sedemikian rupa agar dapat kembali dibaca oleh setiap orang tanpa memicu ambiguitas dalam pemahaman.
Sejak saat itu, manusia pun mengenal keabadian. Implikasi terpenting dari munculnya aksara adalah terabadikannya informasi ataupun makna apapun yang dapat dituliskan. Kita bisa mendapatkan makna dari apa yang terjadi pada perang dunia ke II tanpa kita harus secara langsung terlibat di dalamnya ataupun kita bisa memperoleh makna dari apa yang dialami oleh Marco Polo di Mongolia tanpa harus berada di zaman tersebut dan melihat langsung kejadiannya. Semua makna bisa melintasi ruang dan waktu dan mengabadikan diri dalam teks beraksara. Proses membaca yang dahulunya hanya bergantung pada kelima indra secara langsung dan hanya bisa dibagikan pada sesama melalui lisan yang tentu akan terbatas pada memori dan frekuensi percakapan yang memungkinkan terjadinya penyebaran informasi, bertransformasi menjadi hanya cukup membutuhkan indra visual dan bisa digandakan dan dibagikan tanpa batas dan tanpa mengubah isi. Apa yang ditemukan di suatu zaman akan selalu dapat tersimpan rapi dan menjadi batu pijakan untuk penemuan-penemuan di generasi berikutnya. Itulah kemudian yang membuat aksara menjadi pionir utama pengembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki peradaban manusia.
Akan tetapi, apakah kemudian aksara menjadi penentu berkembangnya manusia? Ku rasa tidak. Peradaban berkembang melalui elemen-elemen ekstrinsik dari manusia, namun tidak melalui manusianya. Peradaban berpijak dari penemuan-penemuan yang terus menerus terperbarui, atau melalui ilmu-ilmu yang terus menerus disempurnakan. Semua penemuan dan ilmu itu memang kemudian menopang kehidupan manusia dalam berbagai media, mentransformasi cara dan metode manusia dalam melakukan sesuatu, namun sekali lagi, tidak manusianya. Manusia secara intrinsik tetap tak berubah dari zaman ke zaman. Hasrat manusia untuk membunuh lima ribu tahun yang lalu sama dengan hasrat membunuh manusia pada masa kini. Yang berubah, hanyalah medianya. Yang berubah hanyalah elemen ekstrinsiknya. Aksara memang memungkinkan manusia pada zaman sekarang untuk memahami semua ilmu yang berkembang dari manusia-manusia zaman-zaman sebelumnya, tapi itu tidak berarti bahwa kita bisa berkembang lebih dengan itu. Sebagaimana semua manusia di tiap zaman, kita baru mencoba hidup ini untuk yang pertama kalinya, dan sebagaimana semua tindakan yang dilakukan pertama kali, tak ada buku apapun yang bisa menghindarkannya dari kesalahan.
Seandainya ada buku mengenai cara berenang yang baik dengan benar, setiap manusia yang belum pernah masuk air, meskipun sudah hafal mati buku tersebut, tetap akan kesusahan ketika pertama kali mencoba berenang. Berkembangnya ilmu pengetahuan setinggi apapun tidak menjamin apa-apa mengenai kualitasnya sebagai sesosok manusia yang utuh. Menjadi manusia adalah proses terus menerus mencoba setiap momen kehidupan yang memang baru kita alami pertama kali ini, agar tanpa henti bisa mengalami dan membaca pengalaman tersebut sebagai bahan pemahaman yang lebih matang akan makna yang ia miliki sebagai manusia. Bagaimana kita bisa menjadi manusia yang utuh ya tentu dengan memaksimalkan proses mencoba tersebut, melakukan sesuatu, mengalami, dan memaknai apa yang dialami, sebuah siklus yang tak boleh putus. Itulah proses literasi yang universal, bagaimana kita menuliskan hidup kita melalui pengalaman tanpa henti dan bagaimana kita membaca pengalaman tersebut dengan makna-makna yang utuh.
Banyak pilihan yang terbentang bagi setiap manusia mengenai proses baca-tulis kehidupan seperti apa yang akan ditempuh. Manusia dengan kompleksitas pikiran dan jiwanya bisa menciptakan berbagai hal sebagai pengisi hidup. Menyempitkan proses literasi kehidupan hanya dalam keberaksaraan hanya akan menyempitkan makna dari manusia itu sendiri. Kita bisa menulisi kehidupan ini dengan berbagai hal tanpa harus bisa menulis aksara, dan kita bisa membaca banyak hal dalam kehidupan ini tanpa harus bisa membaca aksara. Keterampilan dasar untuk itu telah ada secara natural dalam indra-indra dan otak kita semua, karena itu lah yang menjadikan kita manusia, bukan hewan.
Aku dulu termasuk orang garis keras dalam hal keberaksaraan, berprinsip bahwa seharusnya setiap orang harus minimal bisa membaca dan menulis dalam konteks aksara. Membaca dan menulis merupakan simbol intelektualitas menurutku, dulu, yang mana di dalam prosesnya, siklus perputaran ilmu pengetahuan dan pemikiran terjadi dan menjadi kunci penting berkembangnya diri sebagai manusia. Cukup logis sebenarnya, karena apa sulitnya membaca dan menulis? Untuk orang sepertiku, tentu aku terjebak dalam kerangka berpikir orang yang berada dalam lingkungan literasi aksara yang kental. Sayangnya, aku mulai menemukan bahwa banyak orang yang mau bagaimanapun, akan mengalami kesulitan dalam dalam bermain kata untuk menulis, atau memiliki ketidaknyamanan ketika membaca teks aksara. Lantas apakah itu berarti kemampuan baca dan tulis menjadi standar mutlak kualitas intelektual maupun kehidupan manusia? Apakah seluruh lapisan masyarakat memang perlu dianjurkan untuk dapat rajin membaca ataupun pandai menulis?
Seseorang pernah berkata, “jika kita mengajarkan ikan cara untuk terbang, maka kita akan membuat ikan tersebut merasa bodoh seumur hidup” (banyak yang bilang ini kata-kata Einstein, hanya saja hal seperti itu perlu diklarifikasi, apalagi mengingat tidaklah penting siapa yang mengucapkan). Setiap manusia memiliki perannya sendiri-sendiri dalam kompleksiitas kehidupan seperti halnya setiap spesies memiliki niche-nya sendiri-sendiri dalam suatu ekosistem. Manusia memiliki ragam cabang peran berkaitan dengan intelejensianya secara umum, dan intelejensia tidaklah selalu mengenai keberaksaraan. Intelejensia manusia bisa merentang jauh, dari musik hingga kinestetik, dari logis hingga mistis. Untuk bisa secara utuh memaksimalkan proses literasi kehidupan, setiap manusia perlu mengenali perannya masing-masing, baru bisa kemudian menjalaninya dengan optimal.
Itulah yang seharusnya dicapai dan dikejar dalam sebuah proses pendidikan, yakni pemahaman utuh akan diri sendiri dan kesadaran penuh untuk memaksimalkannya. Dalam tulisanku yang lain (Penindasan Pendidikan 2), telah terjelaskan bahwa puncak dari proses pendidikan yang sesungguhnya adalah keunikan diri, ketika seorang manusia telah paham siapa dirinya dan mampu mengekstensinya hingga titik terjauh. Ya, pendididkan adalah proses memanusiakan manusia, yang mana secara siklik proses membaca pengalaman dan menuliskan tindakan mengiringi hingga keutuhan diri dicapai. Itulah yang seharusnya diajarkan pada masyarakat, bukan sekedar bahwa setiap orang harus bisa baca dan tulis aksara, namun bisa baca dan tulis atas kehidupan yang mereka alami. Aktivitas literasi harus diekstensi agar tidak sesempit aktivitas baca dan tulis dengan buku-buku yang menumpuk atau tulisan-tulisan yang berceceran, namun menjadi sebuah aktivitas penyaluran hidup agar menjadi manusia seutuhnya.
Penyatuan dengan Keseharian
Terkadang, atau mungkin bahkan selalu, manusia melakukan sesuatu atas dasar hasrat personal terlebih dahulu, sebelum kemudian pikiran berusaha mencari-cari rasionalisasi atas hasrat tersebut. Alasan selalu muncul belakangan, sebagai pembenaran atas hasrat yang muncul dari individu sebagai wujud kehendak personal. Seperti halnya burung berkicau bukan untuk menghibur kita, mereka hanya senang melakukan itu. Di dalam kondisi ketika alasan muncul mendahului dan ia tidak bisa memicu hasrat apapun untuk muncul, dorongan untuk melakukan sesuatu akan cenderung kecil hingga bahkan tidak ada sama sekali. Jika seperti itu, yang ada hanyalah tekanan dan keterasingan akan tindakan yang ia lakukan sendiri, yang pada level tertentu akan menciptakan disorientasi kehidupan. Sederhananya, melakukan sesuatu yang tidak didasari oleh keinginan hanya akan membuat diri sendiri tidak menikmati dan memahami apa yang dilakukan, sehingga akhirnya menciptakan kebingungan akan hidup sendiri.
Ketika sistem yang ada di lingkungan, baik sistem formal berupa pendidikan atau pemerintahan, maupun sistem informal berupa hubungan kemasyarakatan, menciptakan tuntutan sehingga alasan selalu mendominasi sebelum hasrat punya kesempatan untuk berkehendak, kita akan terbiasa melakukan sesuatu yang bukan kita inginkan, yang semakin lama akan semakin menciptakan jarak antara keseharian dengan jati diri. Hal ini sering terjadi, sehingga membuat seakan-akan tiap tindakan yang dilakukan oleh setiap orang di masyarakat bukanlah miliknya sendiri, namun hanyalah tindakan yang sekedar ‘perlu’ untuk dilakukan. Kehidupan akan kehilangan arah dan akhirnya diri kehilangan makna sebagai manusia.
Eit, kenapa tiba-tiba membahas mengenai hasrat? Untuk bisa memahami peran diri masing-masing dalam kehidupan, kita butuh paham apa yang sesungguhnya kita inginkan dan senangi dari dalam diri, tanpa ada embel-embel alasan apapun yang menyertai. Ketika seseorang memang senang membaca buku, maka ia akan membaca buku tanpa alasan karena ia hanya ingin melakukan itu. Jika kemudian muncul berbagai pembenaran bahwa membaca buku akan meningkatkan wawasan dan bla bla bla, itu tidak lah penting. Ingin terlebih dahulu, alasan muncul kemudian. Karena hanya dengan keinginan yang murni lah kita bisa memaksimalkan peran kita sebagai manusia.
Kita pun cenderung hanya memiliki dua pilihan, mengondisikan hasrat sedemikian rupa sehingga kita bisa menyenangi apa yang kita lakukan, atau, konsisten terhadap hasrat murni dalam diri dan memperjuangkannya hingga keutuhan diri bisa dicapai. Dua-duanya sama-sama sulit, apalagi di zaman ketika beragam tuntutan menerpa tanpa memberi kesempatan hasrat untuk berkreasi. Yang jelas, keduanya bisa diusahakan hingga pada titik tertentu, sehingga antara hasrat dan alasan yang datang dari lingkungan bisa berdamai dalam titik temu. Hal ini bisa dilakukan dnegan melebur hasrat diri dengan keseharian menciptakan satu kehidupan yang selaras, atau memisahkan kedua hal tersebut dan menjalaninya secara pararel namun saling menyeimbangkan.
Abstrak? Sederhananya begini. Ketika seseorang memiliki intelejensia lebih pada musik dan selalu lebih berhasrat ke arah sana, maka bisa saja ia terus menjalani dan meliterasikan hidupnya melalui musik. Jika hasrat itu begitu besar, ia berhak memperjuangkan itu tanpa peduli tuntutan hidup lainnya meskipun ada kemungkinan ia harus hidup seadanya. Tapi di sisi lain, ia bisa saja tetap menjalani hasratnya sebagai musik, namun juga menjalani kehidupan lain, sebagai seorang teknisi misalnya, dengan kuliah di jurusan teknik dan berkarir di dalamnya. Melakukan sesuatu yang bukan datang dari jati diri memang cenderung sukar, tapi itu lah yang kemudian harus diimbangi dengan hasrat yang ia miliki untuk menjaga antara semangat untuk terus memaksimalkan hidup. Satu hal yang penting, hasrat tidak boleh dimatikan karena dari situ lah manusia bisa memanusiakan dirinya dengan semangat literasi terus menerus. Membaca dan berkarya, mengamati dan mengungkapkan.
Ada orang yang dalam kesehariannya berjualan, namun selalu ada saat ketika ia membaca habis buku-buku filsafat dan berdiskusi. Ada lagi orang yang kesehariannya menjadi guru, namun di waktu lain ia melepas hasratnya dan menjadi seorang musikus. Tapi tentu, ada juga yang kesehariannya menjadi seniman dan ia memang memaksimalkan seluruh waktu dan energinya ke sana, melebur hasrat dengan keseharian. Keduanya pilihan, namun untuk yang peleburan diri dengan keseharian, hidup tentu akan menjadi lebih maksimal, dan kita bisa mengutuhkan diri seutuh-utuhnya sebagai manusia yang unik dan berhasrat. Itu lah mengapa terkadang aku pribadi senang ketika melihat seorang pengamen yang terlihat bangga dengan suara dan musiknya, sesusah apapun hidup yang ia harus jalani, atau seorang petani yang menikmati setiap waktunya di ladang, sesulit apapun hidup yang ia harus tempuh. Itulah makna hidup yang sesungguhnya, bukan dari kemudahan dan kenyamanan yang didapatkan dengan uang atau material fisik, tapi kemaksimalan dan keutuhan yang diperoleh dengan pemanusiaan diri.
Proses utama literasi, baca dan tulis, akan mentransformasi hasrat menjadi bentuk yang lebih produktif. Membaca bukanlah sekedar kemampuan memahami suatu tulisan atau buku dan menulis bukanlah sekedar kemampuan menciptakan tulisan, tapi lebih dari itu, membaca adalah bagaimana ia bisa memahami apa yang ada di sekitarnya, dari hal sekecil air mengalir hingga semesta yang luas tak berhingga, dan kemudian mengekspresikannya dalam karya-karya bentuk apapun. Menulislah, dengan puisi, dengan lagu, dengan lukisan, dengan film, dengan foto, dengan penemuan, dengan teori, dengan gerakan, dengan kepemimpinan, dengan ladang yang subur, dan dengan senyuman orang. Segala hal bisa menjadi karya kita. Meleburlah dengan diri dan keseharian dan kita bisa menjadikan tiap detik yang kita lalui sebagai karya! Atau kata seorang kawan, bertransformasilah, sehingga kita sendiri adalah karya itu.
Karya Einstein bukanlah teori relativitas lagi, namun Einstein sendiri telah melebur dirinya bersama fisika dan menjadi karya. Kita bukan lagi melihat relativitasnya, namun selalu lebih sering melihat Einsteinnya dan seakan-akan semua kutipan yang keluar darinya merupakan kalimat yang berharga untuk dipegang. Begitu banyak orang-orang besar dunia sepanjang sejarah melebur dirinya sendiri bersama keseharian, memang melakukan sesuatu yang ia berhasrat di dalamnya, tanpa peduli betapa sulitnya hidup yang harus dilalui. Sebutlah satu per satu, Gandhi, Tan Malaka, Marco Polo, Darwin, dan lain sebagainya. Hal seperti itu hanya bisa dilakukan ketika kita bisa memurnikan hasrat secara utuh, membersihkannya dari embel-embel alasan yang terkadang tercipta belakangan. Meneliti ya memang karena ingin, menulis ya memang karena ingin, bertualang ya memang karena ingin. Mereka hanya senang melakukan itu.
Mengutuhkan diri sendiri memang bukanlah proses yang mudah. Dalam terminologi Islam, kita sering menyebutnya sebagai kaffah. Sebegitu utuhnya hingga setiap gerakan kecil dari dalam tubuh merupakan bagian dari kesadaran diri. Mengapa perlu seutuh itu? Karena seperti apa yang ku jelaskan di awal, semesta ini memiliki prinsip emergence, sifat yang hanya akan muncul ketika melihatnya secara utuh dalam satu kesatuan. Ketika sesuatu itu utuh, seakan-akan ia menjadi entitas yang sama sekali baru dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan entitas lamanya ketika dilihat terpisah-pisah. Membaca diri pun demikian, membaca pengalaman pun demikian, menuliskan karya pun demikian, menuliskan kehidupan pun demikian. Harus utuh untuk memunculkan makna yang sebelumnya kita tak pernah bisa ketahui. Dalam kondisi seperti ini, manusia bisa melihat apa yang orang lain tak bisa lihat. Banyak terminologi untuk mendeskripsikan hal ini. Moksa lah, pencerahan lah, makrifat lah. Intinya sama, mengutuhnya diri sendiri sebagai manusia, dengan proses literasi yang maksimal akan tiap tindakan yang dijalani.
Begitulah literasi. Tidak sesempit bermain aksara. Dapatlah ia kita anggap sakral dan begitu krusial, namun jika kita memahaminya sebagai proses baca-tulis secara universal. Sungguh setuju jika memang menghidupkan literasi akan memajukan bangsa ini semaju-majunnya. Namun tentu, itu bukan hal yang mudah. Keberaksaraan sendiri tentu juga merupakan hal yang penting, namun itu bukan syarat mutlak untuk hidup. Bisa mengidentifikasi tulisan sudah cukup, tidak perlu diiringi kemampuan menciptakan tulisan atau membaca panjang jika memang tidak nyaman dengannya. Membaca keadaan secara kritis lah yang merupakan kemampuan literasi yang penting, tanpa perlu banyak bacaan mengenai ini itu. Menuliskan ekspresi secara produktif lah yang merupakan kemampuan literasi yang penting, tanpa perlu menjadi sebuah artikel atau makalah ini itu.
Jika dibilang Indonesia tengah mengalami krisis literasi, itu adalah karena minimnya kemampuan membaca keadaan dengan baik, dan bagaimana menuliskan ekspresi sebagai respon dari bacaan tersebut. Toh, wawasan yang luas memang bukan jaminan akan bijaksananya respon yang diberikan terhadap keadaan, mengingat anomali di dunia maya telah begitu absurd hingga kita tak bisa membedakan mana kaum intelektual mana kaum awam. Manusia bukan ditentukan dari pengetahuannya, dan dengan itu, bukan juga dari buku-buku yang dibacanya, tapi dari keutuhannya dalam menjalani hidup, membaca yang dialami secara utuh dan kritis, dan kemudian mentransformasikannya dalam tulisan ekspresi yang juga utuh dan kritis. Kehidupan adalah teks rumit yang bukan memerlukan kemampuan keberaksaraan untuk memahaminya, tapi kemurnian hasrat untuk menjadi diri manusia yang utuh.
Dengan demikian, terakhir, seperti yang selalu ku tekankan pada diriku sekarang, ku tekankan pula pada semua orang yang mau membaca tulisan ini secara utuh dari awal hingga titik ini: Berhentilah membaca, berlatihlah praktik, berupayalah mengalami!
(PHX)