Intelektualitas Kader Intelektual

Intelektualitas Kader Intelektual

- 21 mins

Setelah setahun menulis Kaderisasi Intelektual, sekarang dalam suasana yang sama, bermunculan tulisan-tulisan mengenai kaderisasi dari beberapa kawan dan adik tingkat. Isi-isinya mendorong tangan ini untuk membuat sebuah tulisan, yang kali ini lebih terperinci, mengenai apa itu yang mereka sebut kaderiasasi.


Manusia pada hakikatnya memiliki dualisme, dua kutub yang selalu menyertai perjalanan panjang kehidupan dan peradaban, yaitu individualitas dan sosialitas. Aspek individualitas akan menghasilkan dunia dalam diri manusia itu sendiri, yang dapat membuatnya memiliki jati diri dan kehendak, keterampilan dan pengetahuan, yang secara bebas ia miliki sebagai seorang individu. Aspek sosialitas menyeimbangkan aspek ini dengan sistem kontrol yang berasal dari manusia lain, menghasilkan suatu dunia kolektif yang lahir dalam pemahaman bersama, jati diri dan kehendak yang tercipta pun kolektif. Aspek sosial ini secara terstruktur kemudian tersusun pada apa yang sekarang dikenal dengan organisasi, atau saudara semaknanya, seperti komunitas, klub, dan lain sebagainya.

Organisasi tercipta dalam rangka kecendrungan pemenuhan penyeimbangan dua kutub manusia. Penciptaan pemahaman kolektif akan menghasilkan tujuan bersama, yang mengesampingkan ego demi kepentingan komunal. Seperti yang sudah saya bahas pada tulisan sebelumnya, pemahaman kolektif ini lah, atau yang lebih nyaman disebut dengan kesepakatan, bersama-sama dengan pelaku atau subyek kolektivitas dari pemahaman itu yang kemudian menjadi dasar organsisasi. Singkatnya, organisasi secara sederhana punya dua pilar, yakni pelaku dan kesepakatan.Untuk membuat suatu organisasi dapat bertindak dinamis, pelaku harus mengalami translasi generasi untuk mempertahankan keberlanjutan dari organisasi tersebut. Sebuah sistem yang stabil harus memiliki alur masuk dan keluar yang konsisten, sehingga isi dari sistem akan selalu terperbarui secara periodik dan teratur. Proses atau mekanisme translasi generasi inilah yang sebenarnya merupakan deskripsi dasar dari apa yang kita kenal dengan kaderisasi.

Inflasi Makna

Pemahaman mengenai kaderisasi ini tercantum dengan sangat sederhana pada pegangan utama rakyat Indonesia dalam berbahasa yang benar dengan baik, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam KBBI Pusat Bahsaa edisi ketiga, kaderisasi diartikan sebagai pengaderan, yang memiliki arti lebih lanjut sebagai proses, cara, perbuatan mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader. Kader sendiri pun diartikan sebagai perwira atau bintara dalam ketentaraan atau orang yg diharapkan akan memegang peran yang penting dalam pemerintahan, partai, atau semacamnya.

Pusat bahasa telah membuat arti sedemikian rupa agar tetap cocok dengan zaman karena bahasa adalah aspek yang selalu berkembang. Kaderisasi memang pada dasarnya adalah proses pembentukan atau rekrutmen yang sering dipakai oleh militer ataupun partai. Dalam pengertian kader itu sendiri pun KBBI menjelaskan pada makna keduanya bahwa sebenarnya tidak hanya militer atau partai saja, namun pemerintahan dan bentuk lain yang serupa adalah juga merupakan ranah kaderisasi. Secara general, yang dimaksud oleh KBBI sebagai “pemerintah, partai, dsb” adalah organisasi, atau sekelompok orang yang punya kesepakatan bersama.

Secara etimologis, kader mulanya berasal dari bahasa perancis, cadre, yang bermakna harfiah sebagai “a frame of picture” atau framework. Lebih jauh lagi, sebelum cadre dipakai dalam bahasa perancis pertama kali pada 1830, cadre bermula dari bahasa itali quadro, yang terserap dari bahasa latin quadrum yang memiliki arti (1) empat (2) kotak (3) bentuk reguler dari suatu benda. Sehingga memang, kotak atau square merupakan konsep awal dari sebuah bingkai atau frame yang kemudian menjadi bermakna sebuah rangka atau framework dalam bahasa Perancis. Dari makna dasar ini, kata cadre berkembang ke bahasa-bahasa lainnya dengan makna yang tak jauh berbeda. Seperti bahasa Belanda, Hungaria, Norwegia, Jerman, dan Swedia, yang semuanya memiliki kata kader dengan arti yang sama, yakni kerangka atau frame. Hal ini kemudian dipakai dalam militer untuk menyebut kerangka dasar (skeleton) pembentukan sebuah resimen baru. Tentu saja kerangka dasar ini tidak sekedar sebuah struktur, melainkan orang-orangnya juga, sehingga oleh Wikitionary, salah satu makna kata cadre sebagai bahasa inggris adalah the officers of a regiment forming the staff.

Lebih menariknya lagi, ternyata kata cadre kemudian dipakai pada abad ke-20 untuk menyebut kelompok-kelompok aktivis-aktivis radikal seperti komunis. Partai komunis pada masa kekuasaan Trotsky atau Lenin pun pernah memiliki “cadre names” sebagai nama semu atau nama alias. Hal ini yang akhirnya membuat kamus Oxford memasukkannya sebagai salah satu arti cadre, yang mana tertulis di dalamnya : (1) A small group of people specially trained for a particular purpose or profession (2) group of activists in a communist or other revolutionary organization (3) member of an activist group. Wikitionary pun menambahkan arti lain dari cadre yaitu : (chiefly in communism) The core of a managing group, or a member of such a group.

Hal ini kemudian berkembang hingga menjadi arti umum dari cadre dalam bahasa Inggris, bergeser dari asal mula maknanya yaitu kerangka. Dalam Cambridge Advanced Learner Dictionary edisi ke-3 terulis makna cadre sebagai : (1) a small group of trained people who form the basic unit of a military, political or business organization (2) a member of such a group, atau oleh Oxford Dictionary sebagai (1) A small group of people specially trained for a particular purpose or profession (2) group of activists in a communist or other revolutionary organization (3) member of an activist group. Untuk lebih umumnya lagi, kamus Miriam-Webster memaparkan makna cadre dengan lebih lengkap : (1) frame, framework (2) a nucleus or core group especially of trained personnel able to assume control and to train others; broadly : a group of people having some unifying relationship (a cadre of lawyers), (3) a cell of indoctrinated leaders active in promoting the interests of a revolutionary party, (4) a member of a cadre.

Dari semua itu, dapat disimpulkan arti cadre secara umum sebagai orang-orang yang tergabung secara khusus pada suatu kelompok atau organisasi. Hal ini yang kemudian diserap ke bahasa Indonesia sebagai kader. Dikarenakan organisasi-organisasi yang butuh kemampuan atau doktrin khusus pada anggotanya kebanyakan adalah partai dan militer, maka kader sering dikaitkan dengan dua hal itu. Namun luasnya, ia tetap berlaku untuk semua organisasi yang memiliki doktrin atau nilai tersendiri yang harus dimiliki oleh anggotanya.

Perlu dicermati bahwa pada KBBI edisi keempat yang dikeluarkan 2008 kemarin, terdapat perbedaan kecil namun penting ketimbang KBBI edisi ketiga yang terbit pada 2005. Pada KBBI edisi III, tertulis pengertian dari kader sebagai (1) perwira atau bintara dl ketentaraan; (2) orang yg diharapkan akan memegang peran yg penting dl pemerintahan, partai, dsb; dan pengertian dari pengaderan sebagai proses, cara, perbuatan mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader, sedangkan pada KBBI edisi IV, tertulis pengertian kader sebagai (1) perwira atau bintara dl tentara; (2) orang yg (diharapkan) akan memegang pekerjaan-pekerjaan yg penting dl pemerintahan, partai, dsb; dan pengertian dari pengaderan sebagai hal mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader. Satu hal yang signifikan pula adalah, kata kaderisasi dihapus dari daftar lema.

Pusat Bahasa tentu sudah mempertimbangkan banyak hal sebelum melakukan perubahan. Revisi berikutnya, yaitu KBBI edisi V sebenarnya direncanakan akan terbit tahun 2013, hanya saja karena satu dua hal yang saya belum mengerti, KBBI itu belum terbit hingga sekarang. Namun terlepas dari hal itu, hilangnya kata kaderisasi pada KBBI, kata pengaderan pun berubah dari “proses, cara, perbuatan”, menjadi hanya “hal”. Artinya, apapun yang berkaitan dengan pendidikan kader adalah pengaderan, tidak hanya prosesnya. Terlebih lagi, kata kaderisasi kemungkinan bukan lagi kata yang tepat untuk dipakai atau sudah tidak relevan lagi penggunaannya.

Nah itu sedikit tentang bahasa, tapi saya menemukan fenomena menarik yang terjadi di dunia mahasiswa. Mungkin karena bandel atau polos, makna dari kaderisasi malah berkembang sedemikian rupa hingga menyinggung-nyinggung ranah makna kata lain. Bahkan ada yang bilang kaderisasi sama saja dengan pendidikan. Tentu saja Ki Hajar Dewantara bisa marah bila tahu hal ini. Fenomena ini mungkin bisa dikatakan sebagai inflasi makna, memodifikasi istilah dari Larry Gonick, inflasi bahasa, yang berarti menghasilkan kata-kata baru yang terlalu membesar-besarkan arti sehingga mengakibatkan makna awal sejumlah kata jadi hilang. Kaderisasi malah seakan menjadi sesuatu yang sakral, bagaikan ritual suci yang menjadi keniscayaan.

Inflasi ini terkadang bisa menjadi indikasi banyak hal. Salah satu kemungkinan adalah kurangnya kesadaran para guardian of value yang tidak lain adalah pendidikan atau tepatnya intelektualitas dalam penggunaan bahasa yang tepat. KBBI menjadi seakan formalitas yang dianggap terlalu kaku dan tidak mencerminkan keadaan. Jika memang seperti itu, apa gunanya Pusat Bahasa merepotkan diri memeriksa setiap kata dan meneliti realita akan kemungkinan munculnya kata baru atau perlu dihilangkannya kata yang lain? Para pemuda Indonesia sudah dengan jelas pada 1928 pada sumpahnya yang terkenal untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Sumpah itu tidak sekedar pernyataan, melainkan bentuk penghormatan akan kebutuhan adanya persamaan makna dan persepsi. Dalam rangka mewujudkan sumpah itu, dibuatlah Kamus Besar Bahasa Indonesia pertama kali pada 1988 sebagai pedoman kita untuk berbahasa.

Pendidikan Organisasi

Sekarang, terlepas dari masalah bahasa, marilah kita bahas kaderisasi, atau setelah ini akan kita sebut sebagai pengaderan (karena kaderisasi sudah musnah dari kamus) secara komprehensif. Seperti yang telah saya jelaskan pada awal tulisan ini, organiasi secara sederhana cukup terdiri dari dua pilar, kesepakatan dan pelaku. Pada kenyataannya, untuk organisasi yang cukup terstruktur, terdapat pilar ketiga yaitu implementasi, yang merupakan penjabaran kesepakatan untuk dapat dilaksanakan secara rapi. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga adalah salah satu contoh dari pilar ini.

Kesepakatan awal yang terbentuk dari suatu organisasi tentunya terumuskan dari orang-orang yang memiliki pandangan dan keyakinan yang sama. Artinya ada kesamaan belief system yang membuat orang-orang ini mengelompok dan membuat sebuah kesepakatan. Belief system yang dimiliki secara kolektif akan membentuk suatu sistem nilai yang dipegang bersama. Sistem nilai inilah yang kemudian menjadi identitas mereka, identitas organisasi tersebut. Sehingga memang, jati diri suatu organisasi biasanya terletak pada belief system para pelakunya. Orang-orang yang memiliki belief system yang sesuai dengan organisasi inilah yang sebenarnya disebut sebagai kader, atau cadre. Menjaga sistem nilai dan kesepakatan ini secara konsisten akan menentukan keberlanjutan dari organiasi tersebut dan bagaimana ketercapaian organisasi tersebut dalam melaksanakan kesepakatan dan tujuan bersama mereka. Namun tentunya apabila penjagaan nilai ini dilakukan secara statis oleh orang yang sama dan kondisi yang sama, tidak akan ada perubahan yang terjadi, dan dapat dikatakan organisasi tersebut tidak berkembang, walau mungkin dapat berkelanjutan dengan kesepakatan atau tujuan sederhana.

Agar suatu organisasi dapat berkembang, atau minimal adanya delta perubahan dari suatu kondis ke kondisi berikutnya pada frame waktu yang berbeda, diperlukan dinamisasi yang berjalan secara teratur dan konsisten. Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah menjelaskan bahwa proses dinamisasi ini berupa siklus yang meregenerasi diri sendiri. Dunia memang selalu berjalan dalam sebuah siklus. Karena apapun pada akhirnya merupakan perputaran yang membuat perubahan adalah hal yang pasti terjadi. Suatu sistem agar dapat berjalan melakukan perputaran ini sedemikian sehingga adanya proses maju, pembaharuan dari kondisi awal ke kondisi berikutnya. Adanya perbaruan kondisi ini terjadi bila ada alur masuk dan keluar yang dinamis dan stabil. Suatu sistem tertutup, yang mana tidak ada sesuatu yang masuk atau keluar dari sistem akan mengalami perputaran kosong, tidak menimbulkan perubahan apapun pada sistem. Hal ini tentunya juga terjadi pada sistem sosial, yang dalam bentuk sederhana adalah organisasi.

Bentuk organisasi yang ideal sebenarnya adalah yang berupa sistem organik, yakni sistem yang dapat mereproduksi dirinya sendiri. Walau pada kenyataanya, paradigma organisasi mayoritas masih bersifat mekanistik, bagaikan mesin, akibat dari paradigma modern yang lahir dari Newton dan Descartes. Hal itu tidak akan saya bahas di sini, namun yang terpenting adalah siklus atau proses mengulang pada diri sendiri adalah ciri suatu sistem yang stabil. Karena ada dua aspek dari organisasi, tentunya dua hal inilah yang harus mengalami rotasi secara rutin untuk terus memperbarui diri. Pilar pertama, kesepakatan, berputar seiring dengan kondisi dan pelakunya, dalam suatu mekanisme yang sebenarnya alami terjadi pada setiap sistem sosial. Manusia selalu cenderung adaptif terhadap keadaan, sehingga perubahan adalah keniscayaan, termasuk kesepakatan itu sendiri. Namun untuk pilar kedua, pelaku, rotasi seperti apa yang diperlukan? Tentu saja perlu adanya alur masuk dan keluar yang membuat pelaku organisasi tersebut selalu dinamis.

Alur ini tentunya tetap harus mempertahankan sistem nilai yang ada dalam organisasi. Hal ini membuat tidak semua orang dapat menjadi bagian dari organisasi. Tentu saja hanya mereka yang memiliki belief system yang cocok dengan sistem nilai dari organisasi yang dapat masuk. Mekanisme penjaminan sistem nilai inilah yang dinamakan pengaderan.

Bagaimana mekanisme pengaderan ini terjadi? Tentu saja melalui proses penanaman sistem nilai itu sendiri. Hal ini hanya dapat dicapai melalui proses pendidikan karena memang terlihat pengertian dari pengaderan adalah hal mendidik dan membentuk. Secara sederhana pendidikan sendiri dapat dimaknai sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Di sinilah bagaimana pengaderan dapat membentuk manusia dengan nilai-nilai yang sesuai dengan sistem nilai organisasi. Sebenarnya di sisi lain, pendidikan dalam makna yang lebih luhurnya adalah proses memanusiakan manusia. Apabila hanya tertuju pada suatu sistem nilai dengan doktrin tertentu, pendidikan akan kehilangan jati dirinya. Dengan demikian, pengaderan hanyalah bentuk kecil dari pendidikan. Pengaderan hanya mengarah pada doktrin-doktrin yang sesuai dengan sistem nilai organisasi. Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa pengaderan adalah pendidikan organisasi.

Ia bernama KM-ITB

Dalam bentuk khusus, bagaimana mekanisme pendidikan organisasi dalam rangka perputaran dinamis demi perkembangan suatu organisasi dapat dilihat dengan seksama contoh nyatanya pada apa yang kami kenal dengan Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung, sebuah organisasi kemahasiswaan di kampus tempat saya kuliah. Sebagai organisasi, pilar pertama yang dimiliki KM-ITB sungguhnya sangat kuat. Tersebutlah apa yang dikenal sebagai Rancangan Umum Kaderisasi (saya tidak akan mempermasalahkan bahasanya karena RUK muncul sebelum KBBI edisi IV terbit), Konsepsi, dan AD/ART.

Pelaku dari KM-ITB adalah mahasiswa yang saya golongkan sebagai “intelektual muda”, yang tentunya walaupun muda tetap harus memiliki jiwa seorang intelektual, yang merupaka produk akhir pendidikan formal. Karena pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, tentunya intelektual adalah manusia yang memiliki kesadaran utuh sebagai manusia. Dengan kesadaran ini, intelektual sesungguhnya adalah manusia paling bebas, seperti apa yang dijelaskan oleh Paulo Freire dalam “Pendidikan Kaum Tertindas” bahwa pendidikan yang ideal seharusnya membebaskan, karena dengan adanya kesadaran lebih terhadap jati dirinya sendiri, seorang manusia tentu dapat memiliki kehendak lebih terhadap dirinya sendiri. Intelektual pula lah yang saya pikir merupakan agent of change, guardian of value, dan ironstock yang sesungguhnya. Hanya karena era reformasi yang terlalu menyoroti mahasiswa sebagai pelaku yang ‘terlihat’, inflasi makna juga terjadi pada kata yang satu ini. Padahal sudah sangat jelas KBBI mendefinisikannya secara sederahana sebagai orang yg belajar (pelajar) di perguruan tinggi. Satu lagi penyelewengan bahasa oleh para pemuda sendiri. Jika ingin dipelajari lebih lanjut, segala perubahan yang terjadi di Indonesia selalu dipelopori oleh intelektual, bukan mahasiswa. Ini yang akhirnya membuat saya mengatakan bahwa mahasiswa terjebak arogansi ke-maha-an, hanya karena ada kata maha membuat ia seakan dewa. Kemahasiswaan pun menjadi bagaikan agama, dogma-dogma tak perlu kita tanya, melupakan bahasa dan realita.

Terkait hal itu, KM-ITB sudah sangat jelas mendeskripsikannya pada konsepsi dalam bentuk nama lain dari intelektual, yaitu insan akademis. Terjabarkan cukup detail mengenai apa yang seharusnya menjadi hakikat seorang insan akademis. Pada intinya, dengan apa yang disebut didalam konsepsi sebagai ‘watak ilmu’, intelektual cenderung lebih memiliki kebebasan untuk memandang dan memiliki gagasan, kebebasan ini yang membuat intelektual seharusnya bisa ‘membebaskan’ orang lain yang tidak dapat menempuh pendidikan. Dari sinilah muncul peran-peran mahasiswa dan tetekbengek-nya yang selalu jadi retorika hingga mulut berbusa. Terlepas dari hal itu, jati diri sebagai insan akademis atau intelektual inilah yang seharusnya menjadi landasan KM-ITB melakukan pengaderan sebagai organisasi kemahasiswaan.

ITB sebagai sebuah institusi pendidikan sebenarnya mengemban tanggug jawab besar, apalagi karena ia merupakan salah satu pabrik intelektual yang cukup besar. Pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia seharusnya dapat menghasilkan sosok intelektual seutuhnya sebagai manusia. Tentunya dengan masuknya dualisme kutub individualitas dan sosialitas dalam hakikat manusia, seorang intelektual tidak hanya memiliki modal individu (human capital) berupa pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, tapi juga modal sosial (social capital) berupa kohesi sosial, kepercayaan, tindakan kolektif, kerja sama, dan lain sebagainya. Adanya modal sosial yang baik seharusnya menimbulkan rasa tanggung jawab moral yang tinggi, namun pada realitanya, proses pendidikan yang dilalui di perguruan tinggi, atau lebih khususnya ITB, tidak dapat memenuhi aspek tersebut hanya melalui proses di kelas, penelitian, tugas-tugas, ataupun menyibukkan diri di laboratorium. Hal ini yang kemudian disadari sebagai sebuah lubang besar dari intelektualitas yang akan tercipta. Resikonya, sarjana-sarjana yang lahir dari ITB hanya sekedar menjadi profesional-profesional yang tidak punya kemampuan sosial, minim tanggung jawab, dan individualistik. Yang dikejar hanyalah tempat bekerja dengan gaji segunung, melupakan desa-desa kecil yang butuh bantuan otak-otak cemerlang. Sebagaimana tertulis pada konsepsi : “Sikap guru besar yang bertanggung jawab dan kepakarannya dalam lingkungan ilmu adalah sumbangan yang besar dalam pembentukan karakter ini, tetapi itu saja belumlah cukup. Mahasiswa sendiri juga harus ikut serta mendidik dirinya sendiri (learning by themselves) dengan tetap berpedoman pada nilai kebenaran ilmiah.” Di situ pun dikatakan mengenai sikap guru besar yang bertanggung jawab saja tidak cukup, apalagi dengan realitanya sekarang, kebanyakan guru besar acuh tak acuh terhadap keadaan mahasiswa mereka.

Lubang pada intelektualitas inilah yang memicu perlunya adanya organisasi kemahasiswaan. Muncullah kesepakatan bahwa memang diperlukan wadah untukmengembangkan lebih intelektualitas dari mahasiswa demi menambal lubang yang ada. Inilah tujuan utama pengaderan dalam organisasi kemahasiswaan, yang sebenarnya secara konseptual telah terpaparkan secara rinci pada RUK. Saya hanya ingin mengutip sedikit isi dariRUK yang dengan jelas mengatakan bahwa pengaderan adalah proses pendidikan untuk membentuk karakter, sebagaimana tertulis: “Secara konseptual, kaderisasi organisasi kemahasiswaan terpahami sebagai proses pendidikan. Merupakan kegiatan berpikir, bepengalaman, sebagai kesatuan proses yang akhirnya membentuk karakter.”

Pengaderan pada dasarnya adalah pilihan, karena ia berkaitan mengenai bagaimana seseorang masuk organisasi. Namun karena sangat bersikonya lubang yang tercipta pada intelektual ini, proses pengaderan organisasi kemahasiswaan dirasa perlu oleh seluruh mahasiswa, yang kemudian diciptakan seakan-akan “wajib” dengan mencantumkan dalam AD/ART bahwa seluruh mahasiswa S1 ITB otomatis menjadi anggota KM-ITB, yang dengan demikian memiliki kewajiban untuk mematuhi aturannya dan mengikuti alur pengaderannya. Walau bagi saya sejak dulu terkesan menindas – bayangkan saja, tanpa diberi kesempatan memilih, tiba-tiba saya menjadi anggota KM-ITB, padahal saya tidak pernah meminta – dengan tingginya resiko yang ada akibat dari sistem pendidikan yang terlalu berbasis human capital di Indonesia ini, “pemaksaan” tiap mahasiswa ITB untuk patuh tanpa bertanya pada alur pengaderan yang ada menjadi terasa perlu untuk dilakukan, walau tentunya eksekusi tidak semudah apa yang telah terkonsep dengan rapi. Penggiringan seluruh mahasiswa untuk masuk sebagai anggota organisasi bernama KM-ITB pun tidak menjamin semua mau untuk mematuhi konsep dan kesepakatan yang ada.

Hal seperti ini yang sebenarnya peran penting pengaderan. Karena salah satu tujuan penting adanya pengaderan sebelum memasuki suatu organisasi selain penanaman doktrin organisasi adalah penanaman loyalitas pada jiwa sang kader. Loyalitas adalah aspek penting dari berdirinya pilar pelaku dalam organisasi. Apabila ada proses pengaderan yang kurang sempurna, yang mana sistem nilai dan dogma orgaisasi kurang tertancap dalam pikiran kader, yang bisa timbul adalah kader-kader yang tidak loyal, yang malah bisa jadi “sampah” di organisasi tersebut. Dengan proses pengaderan yang baru ada ketika orang sudah masuk suatu organisasi, seperti KM-ITB, loyalitas yang terbentuk pun setengah-setengah. Efektivitas organisasi berkurang jauh. Ini bagaikan langsung menelan bulat-bulat makanan sebelum dikunyah.

Namun sayangnya, melihat kondisi yang ada, dari lingkungan yang tercipta hingga kondisi perkuliahan yang ada di ITB, memang cukup sulit untuk menciptakan sebuah sistem pengaderan yang ideal, yang berupa siklus keluar dan masuk, yang dapat menjaga kestabilan dari sistem itu sendiri. Kapasitas organisasi KM-ITB tidak sebanding dengan jumlah anggota yang serta merta dimasukkan begitu saja sekitar 3600 tiap tahunnya. Yang terjadi malah distorsi dan kesalahpahaman, para mahasiswa tidak sadar bahwa ia sebenarnya telah masuk secara “paksa” menjadi anggota KM-ITB. Sadar sebagai anggota saja tidak ada, apalagi sadar untuk dikader. Ini mengakibatkan efektivitas dari pengaderan di ITB bagaikan entropi yang sangat tinggi, pembakaran sempurna, seluruh energi hanya berubah menjadi panas, seperti apa yang terjadi pada OSKM.

Pentingnya proses pengaderan sebagai media seleksi pada sistem organisasi apapun sebenarnya tidak dapat dipandang sebelah mata. Apa yang masuk harus sesuai dengan yang diperlukan dan kapasitasnya. Apabila overload, yang terjadi hanyalah kesia-siaan dan ketidakstabilan. Suatu negara misalnya, apabila jumlah penduduknya melebihi yang dapat ditanggung pemerintahnya, akan menghasilkan ketimpangan yang tinggi. Akan banyak penduduk yang tidak terurus. Seperti halnya KM-ITB, yang mana ketimpangan di sini bukan dari segi ekonomi, tapi dari segi keaktifan dan kualitas.

Dari segi kontennya pun, banyak terjadi pergeseran dari yang seharusnya dikonsep dalam kesepakatan yang sudah ada. Suatu sistem, apabila komponenya ada yang corrupt, atau tidak berjalan semestinya, akan cenderung bergeser dari jati dirinya yang semula. Intelektualitas banyak terlupakan sebagai jati diri sesungguhnya mahasiswa. Yang ada malah bualan-bualan kosong dengan gini-gitunya mahasiwa, sekali lagi terbawa arogansi ke-maha-an.

Kembali pada kontemplasi

Ketika saya membaca secara tuntas konsepsi, RUK, dan AD/ART dari KM-ITB, saya melihat betapa mengagumkannya sistem yang dirancang. Tapi seperti kata pepatah, jauh ideal dari realita. Memang eksekusi terkadang jauh dari harapan. Hal ini karena kesadaran akan intelektualitas itu sendiribanyak berkurang di kalangan mahasiswa ITB. Kaderisasi (baca: pengaderan) yang disebut-sebut selama ini melupakan banyak aspek intelektualitas di dalamnya. Bagaimana seorang intelektual harus memiliki ideologi, tanggung jawab moral, dan lain sebagainya hanya menjadi angan-angan belaka. Terwujud pun hanya tumbuh pada segelintir orang tertentu sebagai akibat entropi pengaderan yang terlalu tinggi.

Pengaderan sebagai proses penanaman nilai seharusnya dapat menjadi saringan besar para intelektual untuk dapat terbina lebih lanjut. Terlepas dari kegagalan sistem pendidikan yang kurang bisa berorientasi pada social capital, organisasi kemahasiswaan seharusnya dapat menjadi penyokong kegagalan tersebut, menjadi back-up untuk menambal apa yang kurang. Sehingga, pengaderan pada organiasi kemahasiswaan menjadi sama pentingnya dengan pendidikan itu sendiri.

Mahasiswa sejak dahulu sebagai intelektual muda memiliki kelebihan tersendiri dalam hal ideologi dan pandangan. Kepolosan mahasiswa yang masih bersih dari kepentingan membuat intelektualitas yang seharusnya dimiliki mahasiswa masih suci dan lugu. Berbeda dengan para intelektual senior yang sudah memiliki banyak gagasan dan kecenderungan dalam berpikir, membuat intelektualitas seakan kehilangan fungsinya. Pentingnya intelektualitas tidak bisa menjadi bahan perbandingan antar mahasiswa dan guru besar. Kelebihan dan kekurangan kedua golongan intelektual tersebut seharusnya saling melengkapi demi menjalankan tugas suci intelektual sebagai yang telah bebas dan menempuh penuh proses pendidikan. Ketidakberhasilan guru besar dan institusinya (ITB) untuk menciptakan intelektual murni ini yang menjadikan organisasi mahasiswa memiliki tanggung jawab besar sebagai “insitusi cadangan” untuk melakukan proses pendidikan.

Secara khusus ke KM-ITB, terlihat sebuah dilema yang cukup rumit mengenai sistem pengaderan yang terjadi. Seperti yang telah terpaparkan di atas, pengaderan yang dilakukan mendahului rekrutmen mengahsilkan ketimpangan yang cukup besar dalam hal kualitas kader. Fungsi seleksi pada pengaderan harus diterapkan dengan baik apabila ingin menghasilkan organisasi dengan kader-kader ideal. Namun betapa dilemanya karena gabungan faktor yang ada di ITB membuat hal itu menjadi tidak memungkinkan. Akhirnya yang muncul adalah usaha-usaha desperate untuk minimal menumbuhkan semangat awal dari para kadernya daripada melakukan pengaderan yang rumit. OSKM adalah salah satu usaha itu. Dengan keadaan seperti ini, OSKM memang menjadi dirasa perlu walau itu sebenarnya secara naif kita mengabaikan fungsi dari pengaderan itu sendiri. Ada banyak hal yang dinafikan dalam proses seperti OSKM, namun justifikasi pada akhirnya dilakukan demi mempertahankan sistem yang cenderung sudah tidak stabil ini. Kalaupun dikatakan stabil, ia jauh dari ideal dan cita-cita.

Seharusnya keadaan seperti ini segera mendapat perhatian penuh agar ketidakefektivan yang terjadi tidak berulang. Betapa sayangnya sistem sebagus yang dijelaskan di konsepsi tidak tercapai dengan maksimal. Di sini diperlukan kesadaran tinggi mengenai ketidakidealan eksekusi dengan yang dikonsep serta keberanian melawan kebiasaan. Bagaimana itu dapat terjadi tetap bergantung pada pelakunya. Apabila pelaku organisasi selama ini merasa adem ayem saja mengulang hal yang sama, artinya konsepsi telah jauh dari kesadaran mereka. Padahal sudah jelas bahwa hal seperti ini merupakan hal yang harus segera mendapat insentif penuh pemikiran untuk mendapatkan solusi yang baik.

Organisasi kemahasiswaan melupakan lubang mana yang seharusnya ditambal dalam intelektualitas, berujung pada fokus terhadap hal yang tidak perlu.

Tidak bisa dipastikan bentuk yang ideal dari organisasi kemahasiswaan maupun sistem pengaderannya seperti apa. Namun yang jelas, kesadaran dalam diri masing-masing terlebih dahulu diperlukan sebelum bertindak lebih lanjut. Organisasi terbentuk atas adanya kesepakatan kolektif, dan sebagai intelektual, kesepakatan itu harus terus dibentuk ulang melalui diskusi yang akademis. Sekali lagi bagaimana melakukannya, tetap harus diawali dari kesadaran, karena bagaimanapun, untuk menciptakan diskusi yang tepat sasaran, intelektualitas itu sendiri harus tertanam pada pelakunya. Dengan keadaan seperti sekarang ini, marilah kita terlebih dahulu bertanya pada diri masing-masing, sudah adakah intelektualitas pada diri kita?

To be wholly devoted to some intellectual exercise is to have succeeded in life.
– Robert Louis Stevenson –

(PHX)

Alt Text

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora