Kaderisasi Intelektual

- 11 mins

Mengikuti hakikat, menuruti hasrat, manusia dari waktu ke waktu selalu berada dalam pola yang tidak jauh berbeda. Pola yang tergambar seksama dalam rangkaian sejarah yang telah terlaksana. Semua terangkum dalam dua kutub dasar manusia, sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial, yang bila bergabung dalam bentuk jamak akan membentuk suatu sistem kompleks bernama masyarakat atau komunitas, suatu hal yang memiliki suatu bentuk kesepakatan dari berbagai ego individu anggotanya sebagai hasil dari proses abstrak interaksi dan komunikasi sosial. Kesepakatan ini, bersama manusia sebagai pelakunya, menjadi pilar utama penopang berdirinya masyarakat. Dalam arus waktu, pelaku dalam masyarakat akan terus berubah, tapi tidak dengan kesepakatan, ia akan tetap ada dan dipertahankan melalui penurunan secara sistematis dan siklik dari generasi ke generasi.

Dalam hal ini, masyarakat tak dapat diartikan secara sempit sebagai hanyalah kumpulan manusia yang menempati suatu tempat tertentu, ia adalah segala bentuk kelompok yang terbentuk saat manusia berinteraksi dan membentuk suatu nilai. Apabila pola yang sama berlaku pada seluruh manusia, tentu saja hal yang sama juga terjadi di kampus tempat saya menuntut ilmu saat ini, Institut Teknologi Bandung. Dengan sebutan bernama Keluarga Mahasiswa, pola yang sama terjadi dengan dasar dua pilar penopang yang menjadi ciri khas masyarakat tersebut, pelaku dan kesepakatan. Pelakunya, yang tentu adalah mahasiswa, yang secara khusus lebih ditekankan sebagai bagian dari kaum intelektual, bersama dengan kesepakatan, berupa nilai-nilai atau budaya yang tercipta dari proses interaksi yang berlangsung di antara mereka, berdiri bersama memertahankan keberadaan masyarakat sederhana namun kompleks ini.

Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung, seperti halnya masyarakat yang wajar sesuai hakikat, akan memertahankan kesepakatan yang telah terbentuk dan diturnunkan secara sistematis, dalam suatu proses yang kita kenal dengan kaderisasi. Maka dari generasi ke generasi, akan terus terjadi penjagaan nilai-nilai kemahasiswaan untuk memertahankan berdirinya pilar kokoh keluarga mahasiswa yang saat ini kita kenal dengan nama Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa atau disingkat OSKM. Walaupun pada tahun-tahun sebelumnya nama dapat berubah, namun proses yang terjadi tidaklah jauh berbeda. Intinya pun tetap sama, dan bahkan temanya pun bersaudara. Jika dilihat seperti ini, sebenarnya apa yang terjadi di kampus ini tiap tahunnya adalah hal yang lumrah terjadi di mana manusia berkumpul dan berinteraksi, namun tiap tahun selalu saja ada yang memunculkan tanda tanya ataupun permasalahan dalam proses siklik ini, seakan-akan OSKM adalah suatu hal yang penuh dengan kebobrokan dan ketimpangan mengenai esensi keberadaannya. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Apabila terdapat tanda tanya, marilah kita jawab dengan seksama. Dalam dua pilar pembentuk utama masyarakat, tentunya tidaklah kuat apabila tidak ada kesinambungan antara satu dengan lain, sehingga perlu sebuah penghubung yang marilah kita sebut dengan impelementasi. Lebih luasnya lagi, komponen atau pilar yang ada, terproses secara siklik, yang merupakan ciri utama organisasi, istilah yang lebih keren dari masyarakat. Siklus ini secara formal terdiri 3 tahap, dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan. Yang pertama adalah bentuk turunan kesepakatan atau konsep yang ada, yang kedua adalah turunan lanjutan dari perencanaan yang tercipta untuk dieksekusi pelaku dalam masyarakat, dan yang ketiga adalah pembalikan siklus sebagai syarat utama sebuah masyarakat yang dinamis dan berkembang.

Melihat terlebih dahulu komponen yang ada, mahasiswa sebagai kaum intelektual telah menjadi bahan utama ratusan kajian dan pembicaraan, walau masih banyak yang terkesan retoris-idealis, namun pemahaman akan hal ini dirasa telah mumpuni di kalangan mayoritas. Walaupun begitu, untuk persamaan persepsi, intelektual dapat dipahami sebagai golongan manusia yang terdidik, atau telah menempuh proses pendidikan yang utuh. Karena pendidikan sendiri secara sederhana dapat dideskripsikan sebagai proses pemanusiaan manusia, maka seorang intelektual tentu saja adalah sosok manusia yang utuh dan sadar akan hakikat dirinya sebagai manusia, dengan ilmu adalah komponen utamanya. Secara umum, intelektual ITB dengan universitas lainnya sebenarnya tak akan jauh berbeda, namun melihat sistem dan lingkungan yang ada, intelektual kampus ini akan memiliki sifat khas yang nyata dalam bertindak dan berpikir (Baca pada artikel yang akan datang : Antara intelektual dan sebuah institut). Perbedaan ini tentu akan menghasilkan kesepakatan atau nilai dan budaya yang berbeda pula tentunya. Secara pasti, tidak dapat diketahui apa yang sebenarnya budaya yang kita pegang dalam kemahasiswaan, karena memang bersifat abstrak dan tradisi. Keluarga Mahasiswa ITB secara khusus berusaha merincinya dalam sebuah naskah bernama Rancangan Umum Kaderisasi (RUK) sebagai usaha otentikasi dan pengabadian nilai-nilai kemahasiswaan yang ada pada kampus ganesha. Sejauh ini tidak ada masalah yang terlihat karena dari pelaku dan kesepakatan yang ada sendiri telah terdeskripsikan dengan jelas. Lalu dimana masalah berada?

Sekarang tidaklah berguna kedua pilar ini kuat apabila tidak selaras dan terhubung antar satu sama lain dalam hal yang sebelumnya disebut sebagai impelementasi, antara kesepakatan yang ada menjadi perencanaan, dan dari pelaku menjadi pelaksanaan. Untuk pelaku menjadi pelaksanaan adalah masalah penyesuaian, kemampuan, dan kemauan pelaku dalam melaksanakan proses, namun untuk proses penurunan yang pertama tidak semudah yang terkira. Karena kesepakatan, dalam hal ini RUK, masih bersifat sangat luas dan abstrak, menurunkannya dalam bentuk perencanaan yang dapat dieksekusi akan selalu menghasilkan miss, disintegrasi, atau kehilangan makna dalam setiap prosesnya. Objek kompleks seperti manusia tidak akan pernah memiliki ukuran yang pasti, apalagi dalam hal keberhasilan kaderisasi, sehingga terkadang perencanaan yang terlalu kaku dan terlalu terfokus pada parameter keberhasilan akan banyak kehilangan esensi dan jauh dari konsepsi awal. Ini mungkin disebabkan oleh Institut Teknologi Bandung yang bermayoritas mahasiswa berbasis sains dan teknologi sehingga metode ilmiah yang bersifat empiris-kuantitatif sangat melekat kuat dalam paradigma berpikir sehingga bahkan objek sosial yang lebih pantas dianalisis dan diukur secara abstrak-kualitatif pun berusaha diukur dengan pasti melalui parameter-parameter yang eksak. Pada akhirnya banyak esensi yang hilang menguap saat perencanaan masih berbasis parameter keberhasilan yang kaku. OSKM pun pada akhirnya mengalami hal yang sama, kehilangan esensi dari awal penurunan konsepsi.

Beranjak menuju analisis selanjutnya, dua pilar yang telah diturunkan tadi terproses dalam 3 tahap utama dalam keberjalanan organisasi yang berputar terus secara siklik dan dinamis sebagai bentuk hidupnya sebuah masyarakat. Pelaksanaan dari tiap tahap saya rasa tak ada yang perlu dipertanyakan karena secara realita hal tersebut memang tidak perlu menjadi bahan permasalahan. Namun, seperti yang sering terjadi di Indonesia, yang menjadi masalah adalah selalu adanya ketidaksinambungan antara tahap yang satu dengan tahap yang lain. Entah di DPR, entah di KM-ITB, saya rasa sama saja. Yang dilaksanakan belum tentu sesuai dengan yang direncanakan, yang dilaporkan belum tentu sesuai dengan yang dilaksankan, dan yang direncanakan berikutnya tidak sesuai dengan yang dilaporkan atau evaluasi pelaksanaan sebelumnya. Mungkin memang tidak sengaja, mungkin terjebak tradisi, ujung-ujungnya hal yang sama terulang terus tiada henti tiap tahun. Statis, jalan di tempat, atau bahkan mengalami penurunan. Tema OSKM tiap tahun bahkan tidak jauh berbeda satu sama lain, dari tahun 2008 bertemakan “Dinamisasi dan Soliditas untuk Kerakyatan”, lanjut di 2009 “Kolaborasi dalam Satu ITB”, tahun 2010 bertemakan “Produktivitas dalam Keberagaman Karya”, pada 2011 temanya “Semangat berkemahasiswaan untuk Indonesia”, tahun kemarin, saat saya jadi peserta bertemakan “Integrasi Intuk Indonesia”, dan sekarang tahun ini cuma dihilangi satu kata menjadi “Untuk Indonesia”. Mungkin memang kata-katanya berbeda, tapi saya tidak melihat perbedaan yang signifikan dari tiap tema tersebut. Apa karena anak ITB semakin tdak kreatif masalah tema, saya tidak tahu. Selain tema, metodenya pun kakak-beradik, hampir tidak ada perbedaan sedikit pun. Seakan tidak ada kajian khusus yang perlu meninjau ulang semua esensi yang ada dari nol. Mungkin di sini sangat diperlukan pertanyaan-pertanyaan akan makna budaya dan tradisi dalam suatu organisasi. Nilai mungkin memang perlu dipertahankan, tapi melalui 3 tahap yang menjadi ciri masyarakat yang dinamis, budaya akan terus berkembang, bukannya yang usang tetap didewakan. Mungkin memang benar seperti yang pernah dikatakan seorang alumni, “Kemahasiswaan bagai agama, boleh ditanya tapi jangan kebanyakan nanya.”

Tahap ketiga dari siklus ini, pelaporan atau evaluasi, sebagai proses utama pembalik siklus, yang menentukan apakah suatu organisasi akan maju atau mundur, yang mungkin perlu mendapat perhatian khusus. Entah bagaimana proses penurunan materi dan metode OSKM di tiap tahunnya, tapi seakan, semua hanya berada dalam batas tradisi dan idealisme ego semata. Hal ini berujung pada sebuah kaderisasi tanpa dasar yang jelas. Saya sendiri belum pernah melihat kita bertindak layaknya seorang intelektual, lakukan penelitian, studi banding, survei lapangan, kajian literatur secara menyeluruh, temukan metode yang paling tepat dalam sebuah kaderisasi dengan dasar yang kuat.

Terlepas dari hal khusus seperti RUK, kaderiasi dalam kemahasiwaan secara umum sebenarnya cukup sebagai pematangan karakter seorang intelektual, di tambah pendidikan sistemik dari institusi resmi yang ada. Apabila hanya sekedar bertindak idealis-kritis tapi kosong tanpa dasar teori dan metode penelitian yang jelas, apa itu mencerminkan posisi pelaku sebagai seorang intelektual? Mungkin memang benar, kita berada dalam kampus yang terjebak tradisi.

OSKM adalah sebuah proses yang wajar dan sangat diperlukan dalam hal penjagaan nilai-nilai positif yang ada dalam kemahaiswaan, pada khususnya pada lembaga pendidikan unik seperti ITB. Namun apabila impelementasi yang menghubungkan komponen dengan proses, komponen dengan komponen, ataupun proses dengan proses berada dalam kesenjangan, makna dan esensi dari konsep atau kesepakatan inti di awal akan terkikis sedikit demi sedikit hingga hanya tersisa secuil yang dapat mencapai target atau objek kaderisasi. Ini bagai mesin berentropi besar, efisiensi kecil, banyak energi hilang dalam tiap prosesnya, sehingga usaha yang terpakai sangatlah kecil dibanding sumber energi utama di awal proses.

Terlebih lagi, proses penanaman nilai dalam pikiran manusia yang cukup berumur dan berisi seperti mahasiswa bukanlah suatu hal yang dapat dilakukan dalam waktu sekejap mata. Butuh waktu yang tidak singkat untuk suatu nilai agar dapat sepenuhnya tertanamkan erat dalam kepala. Seorang peneliti sosial saja akan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk sekedar mengamati dan memahami sepenuhnya budaya yang ada dalam suatu masyarakat, apalagi untuk ditanamkan dalam karakter. Apabila fokus perhatian kita terlalu terpaku pada satu acara besar seperti OSKM dan pada akhirnya melupakan proses-proses kecil sesungguhnya yang harusnya terjadi secara kontinyu dan intensif, kata kaderisasi ini sendiri pun yang akhirnya kita pertanyakan. Melihat lebih dalam lagi, terlihat jelas bagaimana fokus OSKM hanya menekankan pada pemberian kesan, bukannya efektifitas penanaman. Apa yang akan teringat oleh peserta kaderisasi hanyalah opening dan closing, bukannya materi yang diberikan ataupun mata acara lainnya.

Cukup kita pahami dengan sederhana, untuk menanamkan nilai pada 3600 anak pada waktu hanya 1 minggu tentu saja hanya akan seperti sebuah pembakaran murni, perubahan entropi dalam keadaan maksimum, tak ada yang berubah menjadi usaha, efektifitas mendekati nol, dan semua energi hanya akan terbuang menjadi panas lingkungan. Karena tertekan oleh waktu ataupun pengkader, yang terjadi di OSKM nilainya bukan tertanam, tapi terpahami dalam bentuk pembenaran yang terkadang bisa menjadi absurd. Pembenaran-pembenaran ini timbul karena tidak adanya ruang berpikir yang bebas dan luas karena waktu yang sempit dan adanya tekanan yang menghalangi pikiran untuk berpikir jernih. Apalagi dengan adanya evaluasi materi yang sangat meruntuhkan identitas kita sebagai seorang intelektual yang paham akan makna berpikir jernih dan etika berpendapat. Di bawah tekanan, yang ada hanyalah kepalsuan ilusif. Apa ada mahasiswa baru yang berani mempertanyakan semua materi yang masuk? Tidak, kalaupun ada hanya sedikit. Tentu saja mereka langsung hanya mengangguk-angguk dengan beragam materi yang diberikan dalam waktu singkat dan bila ditanya akan segera menjawab secara normatif-ideal-retoris yang telah terprogram untuk menjadi jawaban paling benar. Tinggal menunggu waktu hingga semua materi itu menguap menjadi angan-angan idealisme.

Pikiran manusia yang kompleks membutuhkan pendekatan psikologis yang bertahap dan rutin untuk dapat dilebur bersama suatu budaya. Hal ini sebenarnya bisa terjadi secara tidak langsung, namun pada akhirnya budaya yang melebur adalah budaya yang nyata ada di ITB, arogansi, kebanggaan diri yang berlebih, bervisi tinggi, berorientasi pekerjaan, dan lain-lain, bukannya budaya yang idealis namun mengambang pada pikiran segelintir orang saja, yang katanya diharapkan dapat ditanamkan melalui OSKM. Mungkin kita harus pertanyakan 11 budaya yang disebutkan dalam setiap OSKM, itu memang budaya kita yang telah ada sejak dulu, atau budaya yang masih dalam tahap angan-angan untuk dicapai? Jika itu masih hanyalah harapan, janganlah sebut itu budaya. Marilah kita buka bersama KBBI untuk sekedar menyegarkan pikiran : bu·da·ya n 4 cak sesuatu yg sudah menjadi kebiasaan yg sudah sukar diubah;

Mungkin karena memang ITB adalah miniatur Indonesia, bahkan kesalahan yang terjadi pun mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Jika ditanya penyebab korupsi, atau masalah lainnya, sebenarnya terletak pada kesenjangan antar 3 tahap di atas. Tapi terlepas dari masalah itu, ITB tetaplah berbeda sebagai sebuah institusi pendidikan, sebuah pabrik yang produknya secara ideal adalah intelektual-intelektual yang utuh dan sempurna sebagai manusia yang sadar dan siap menjadi benteng terakhir pertahanan negara terhadap krisis global. Apakah OSKM sebagai gerbang utama kaderisasi intelektual masih cukup efektif untuk menanamkan intelektualitas dalam kemahaiswaan, cukup tanyakan pada diri masing-masing. Toh pada akhirnya dalam mengikuti hakikat dan menuruti hasrat, manusia dari waktu ke waktu selalu berada dalam pola yang tidak jauh berbeda. Semua terangkum dalam dua kutub dasar manusia, sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial. Entah apa pun sebutan untuk pelakunya, biarpun itu intelektual. Bahkan mungkin intelektualitas sebagai harapan bangsa hanyalah sebatas bentuk ideal yang tak pernah ada, atau mungkin itu memang sebuah realita yang tersembunyi, siapa yang tahu?

(PHX)


Catatan:
Ini hanyalah pandangan sederhana dari seorang anak nonlap yang mencoba mengkritik konsep dan esensi dari OSKM, bukan pada pelaksanaannya. Jadi maaf bila berbeda pandangan atau menyinggung perasaan anak lapangan. Dari judul sendiri dapat kita cermati bahwa yang ingin saya tekankan disini adalah perumusan metode yang dipakai untuk mengkader intelektual seperti apa :)

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora