Ia Bernama Technium

Ia Bernama Technium

- 21 mins

“Sepanjang sejarah manusia, kita telah begitu bergantung pada mesin untuk bertahan hidup. Nasib, rupanya, bukan tanp rasa ironi,”
– Morpheus, dalam film The Matrix (1999) –

Apa yang dikatakan Morpheus di atas sebenarnya akan memberikan bahan kontemplasi dan refleksi yang panjang dan mendalam jika dihayati baik-baik. Teknologi, yang juga terwuijud dalam mesin, telah menjadi dilema dan ironi umat manusia sejak eksistensi bernama manusia itu sendiri ada hingga entah sampai kapan.Diskursus dan ragam bahasan terkait teknologi tidak pernah menjadi makanan yang basi untuk terus dikunyah. Apalagi, kondisi dunia saat ini sudah berada pada era yang mana teknologi seakan menjadi satu dengan kehidupan manusia, membuat semesta ini terbagi menjadi tiga eksistensi besar: alam, manusia, dan teknologi. Awalnya semua hanyalah hubungan antara alam dan manusia, teknologi sekedar perantara antara mereka berdua, namun, sepertinya tumbuhnya teknologi menjadi suatu eksistensi tersendiri yang setara tidak bisa dicegah.

Apa sebenarnya teknologi? Pertanyaan itu menjadi akar utama perbeadaan persepsi dan pandangan mengenai ragam isu dan topik yang terkait dengannya. Ragam jawaban bisa bermunculan, dari yang paling luas hingga yang paling sempit. Kita bisa melihat teknologi cukup sebagai instrumen persepsi indra, sebagai penyingkap realita, sebagai perpanjangan tangan manusia, sebagai alat untuk mengendalikan lingkungan, dan lain sebagainya. Semua memiliki perspektif masing-masing, dan semua dapat dijadikan alasan yang sama kuatnya untuk terus mengembangkan teknologi, atau menolak mentah-mentah perkembangan itu. Mungkin memang ada baiknya kita coba bahas ini bersama.

Antropoteknik

Teknologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, τέχνη atau techne yang berarti keterampilan tangan dan –λογία atau –logia yang berarti ilmu. Keterampilan tangan di sini dapat diartikan dalam bentuk luas yang mana bagaimana manusia menciptakan atau mengerjakan sesuatu. Dari translasi itu dapat diartikan secara langsung bahwa teknologi adalah ilmu keterampilan tangan, atau segala hal yang terkait teknis pengerjaan atau pembuatan sesuatu. Dari sini dapat ditekankan bahwa teknologi memang sesungguhnya adalah kumpulan metode, yang juga terwujud dalam bentuk alat, untuk memudahkan manusia dalam mengerjakan suatu pekerjaan.

Pada awalnya, teknologi terwujud dalam moda survival, artinya merupakan teknik-teknik yang dipelajari manusia untuk bertahan hidup. Pada awal mula peradaban, manusia mencari segala cara untuk dapat bertahan hidup dengan berkembangnya kreativitas dan kecerdasan kepala mereka. Bermula dari penemuan alat-alat sederhana seperti tongkat yang memiliki beragam fungsi, teknologi perlahan berkembang sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya juga peradaban. Ketika suatu alat ditemukan, ia menyingkap realita baru yang mana memperluas cakrawala pengetahuan manusia, baik dari segi wawasan, keterampilan, maupun kebutuhan. Dengan ditemukannya tombak misalnya, kebutuhan manusia jadi terus bertambah ke ragam daging hewan, keterampilan dalam mengasah dan melempar, dan juga wawasan mengenai kehidupan alam liar. Meningkatnya pengetahuan itu pun kemudian memicu kreativitas dan lantas alat-alat baru. Secara perlahan, siklus yang terjadi terus menerus ini lah yang menggerakkan peradaban, ketika satu per satu alat ditemukan yang kemudian menyingkap realita-realita baru untuk manusia kembangkan lagi.

Jika mundur jauh lagi, sebelum ditemukannya tongkat pun pada dasarnya manusia memang sudah cenderung membutuhkan hal-hal teknis untuk melakukan sesuatu, ciri utama yang menyamakannya dengan primata. Ini karena manusia memang homo faber atau makhluk yang menggunakan alat. Sifat keahlian teknis ini diwujudkan dalam betapa fleksibel dan dinamisnya tangan dan kaki manusia. Maka bisa dikatakan, tangan dan kakilah tekonologi pertama manusia. Dengan tangan, manusia bisa menggenggam, memukul, meremas, dan masih banyak lagi pekerjaan dengan adanya 10 jari di tangan. Ketika manusia menciptakan alat pertama pun, itu sekedar perpanjangan tangan untuk meningkatkan lebih meningkatkan kemampuan tangan, dan dengannya, bisa melakukan lebih banyak hal. Penggunaan tangan sebagai “teknologi” pertama pun sebenarnya masih terkait moda survival manusia, karena kebutuhan manusia pada awalnya sebatas kebutuhan paling dasar, yaitu makan dan melindungi diri dari alam. Seiring berkembangnya alat-alat baru, konsep survival manusia berubah dengan semakin meningkatnya juga kebutuhan. Survive tidak lagi sekedar mencari makan dan terlindung dari alam, tapi bagaimana membangun kenyamanan, kemudahan transportasi, menjaga harga diri, hidup bermasyarakat, dan lain sebagainya.

Bagaimana manusia pada awalnya sudah secara inheren memiliki keahlian teknis melalui anggota geraknya (tangan dan kaki) membuat perkembangan teknologi sudah menjadi sesuatu yang sangat natural terjadi pada manusia. Bahkan dikatakan bahwa yang menyebabkan evolusi kera cukup ‘melenceng’ jauh adalah karena luwesnya tangan mereka yang bisa digunakan untuk banyak hal. Tangan primata yang banyak ‘menganggur’ lah yang kemudian memicu kreativitas sederhana seperti kebiasaan membawa tongkat. Terlepas dari benar tidaknya teori evolusi, tapi memang kedinamisan anggota gerak manusia lah yang memicu perkembangan otak yang cepat. Secara natural, tindakan-tindakan baru akan terus menyingkap realita baru yang dengannya menumbuhkan pengalaman dan kecerdasan di kepala. Itulah kenapa kita tidak pernah bisa menghentikan perkembangan yang terjadi pada kepala kita sendiri.

Ketersingkapan realita baru ketika manusia mengembangkan keterampilan teknis atau teknologinya kemudian juga akan menyingkap juga misteri-misteri lain dibalik realita yang masih belum tersingkap. Dengan mengetahui misteri-misteri ini juga, manusia menumbuhkan hasrat ingin tahu yang diwujudkan dalam alat-alat lain, yang juga berikutnya menyingkap realita lebih banyak lagi. Ambillah contoh ketika manusia berhasil membuat api, realita baru tersingkap sekaligus misteri apa yang sebenarnya menjadi penyebab api itu, kenapa ia panas, dan lain sebagainya. Realita mengenai api biasanya cukup dimanfaatkan untuk kemudian memasak makanan, sumber penerangan, dan lain sebagainya, namun misteri yang dimunculkannya juga menimbulkan hasrat untuk ingin tahu lebih lanjut. Di sinilah sains dan teknologi tumbuh beriringan.

Yang perlu ditekankan disini adalah manusia memang pada dasarnya adalah makhluk yang sangat teknis. Adanya alat-alat bantuan teknis merupakan konsekuensi logis dari struktur tubuh manusia dan kebutuhan untuk bertahan hidup. Ya, antropoteknik adalah suatu fenomna yang alamiah, bahwa teknik memang berpusat pada manusia, bahwa teknologi akan selalu berada dalam cakrawala potensi manusia. Dengan demikian, sesungguhnya adanya teknologi sesungguhnya merupkan hal yang sangat natural dan wajar. Lantas, mengapa ia akhir-akhir ini menimbulkan banyak kegelisahan?

Fenomenologi Instrumentasi

Teknologi memang berkembang dan tumbuh secara wajar sebagai akibat fenomena antropoteknik yang pasti terjadi. Ketika teknologi menjadi perpanjangan tubuh manusia, ia juga menjadi perantara antara manusia dengan dunianya. Perkembangan lebih lanjut dari teknologi kemudian membuat tidak hanya anggota gerak saja yang diperpanjang, namun juga beragam fungsi tubuh manusia yang lain. Manusia selalu berusaha agar pekerjaan yang dilakukan oleh tubuhnya, bisa dipermudah dan fungsinya bisa diperluas. Hal ini mengakibatkan realita yang disingkap pun semakin terbuka, yang mana mau tidak mau sangat dipengaruhi oleh teknologi yang menyingkapnya. Jika seperti itu, dunia pun akan ‘terlihat’ secara berbeda, bergantung pada perspektif realita yang tersingkap. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teknologi mempengaruhi persepsi terhadap realita.

Betapa kuatnya persepsi sebagai cara pandang utama manusia ketika melihat dunia membuat segalanya memang sangat bergantung pada persepsi. Persepsi sendiri dipengaruhi oleh pengalaman dan subjektivitas pengamat. Artinya, realita apapun yang dialami oleh manusia lah yang menentukan persepsi selanjutnya manusia pada lingkungannya. Ketika teknologi berkembang pesat dan menjadi bagian tak terpisahkan dari manusia, maka sudah pasti teknologi itu sendiri mempengaruhi persepsi manusia terhadap lingkungannya. Inilah yang kemudian dikatakan teknologi menjadi perantara antara manusia dengan dunia, karena teknologi menjadi perpanjangan tubuh manusia sekaligus instrumen persepsi manusia.

Dalam hal ini, Don Ihde, seorang filsuf teknologi, mencoba melihat instrumentasi persepsi itu dalam 4 hubungan antara manusia, teknologi, dan dunia. Yang pertama adalah hubungan kebertubuhan (embodiement), yang mana manusia dan teknologi menjadi satu kesatuan untuk melihat dunia. Hubungan ini dapat digambarkan dalam relasi sebagai berikut: (manusia-teknologi)-dunia. Contoh sederhana dari hubungan ini adalah kacamata, tongkat untuk orang buta, pakaian, payung, telpon, dan lain sebagainya. Dalam hubungan ini, manusia seakan-akan menyatu dengan teknologi itu sendiri untuk kemudian bersama-sama mempersepsi dunia. Pada kasus pakaian misalnya, persepsi terhadap dunia berubah menjadi lebih hangat ketika manusia memakai/menggunakannya.

Hubungan yang kedua adalah hubungan hermeneutis, yang mana kebalikan dari kebertubuhan, teknologi yang menyatu bersama dunia untuk kemudian manusia “baca” dan persepsikan. Teknologi dalam hubungan ini seakan merupakan representasi dunia untuk membantu manusia melihat dunia. Relasinya berbentuk: manusia-(teknologi-dunia). Contoh dari hubungan ini adalah termometer, jendela, jam, penggaris, dan lain sebagainya. Tiap teknologi mewakili atau memperlihatkan unsur dunia yang berbeda-beda, yang mana seakan cukup dengan membaca teknologi tersebut, kita bisa membaca unsur dunia yang terkait. Ambillah contoh jam, dunia dalam unsur waktu dipersepsikan oleh teknologi untuk kemudian cukup manusia baca. Dunia dan teknologi seakan menyatu, yang mana dalam hal ini, seakan jam adalah waktu itu sendiri. Contoh lain dari hubungan ini adalah instrumen musik, yang mana walaupun tidak terkait dengan kemudahan sebagaimana makna teknik/teknologi, ia mengubah persepsi dunia dalam alunan suara yang indah dan enak didengar.

Hubunganyang ketiga adalah hubungan keberlainan (otherness), yang mana teknologi mewujud sebagai sesuatu ‘Yang-lain’ yang terpisah baik dari manusia maupun dunia itu sendiri. Alih-alih menghubungkan manusia dengan dunia, teknologi dengan hubungan keberlainan malah cenderung mengambil sebagian kecil dunia sesungguhnya untuk kemudian menciptakan dunianya sendiri. Contoh dari hubungan ini adalah layang-layang, komputer, kembang api, dan lain sebagainya. Tidak seperti hubungan kebertubuhan atau hermeneutis yang mana ketika teknologinya diambil atau rusak, persepsi kita pada dunia akan berubah, hubungan keberlainan tidak akan mengubah persepsi kita pada dunia keseluruhan jika teknologi yang terkait diambil atau rusak, dunia yang berubah hanyalah dunia yang tercipta pada teknologi itu. Manusia dengan hubungan ini seakan-akan memasuki atau menciptakan dunianya sendiri yang berbeda dari dunia sesungguhnya secara keseluruhan. Dalam hal ini persepsi manusia terhadap dunia sebenarnya ikut berubah karena seakan ada dua dunia yang dipersepsikan, bahkan dibandingkan.

Sesungguhnya ada satu hubungan lagi yang dicetuskan oleh Don Ihde, yaiut hubungan latar belakang, yang mana teknologi tidak memiliki pengaruh apa-apa pada manusia maupun dunia. Ia hanya menjadi bagian dari pengalaman manusia dalam lingkungannya. Dalam hal ini saya sendiri kurang setuju dengan adanya hubungan ini karenamau tidak mau ketika sesuatu menyatu dengan pengalaman manusia, mau tidak mau ia menjadi bagian dari yang mempersepsikan (manusia) atau yang dipersepsikan (dunia). Ketiga hubungan yang dijelaskan sebelumnya pun tidak menglasifikasikan teknologi secara kaku, karena bisa saja teknologi, seperti handphone, memiliki tiga hubungan itu sekaligus terhadap manusia dan dunia.

Dalam hubungan-hubungan itu, teknologi menjadi instrumen persepsional manusia terhadap dunia. Walaupun persepsi manusia pada realita atau dunia berubah, sesungguhnya dunia yang terlihat tetap apa adanya tanpa diarahkan oleh teknologi itu sendiri. Teknologi hanya membingkai realita dalam persespsi-persepsi tertentu. Ambillah contoh kacamata yang membingkai dunia dengan magnifikasi yang berbeda, fokus penglihatan kita tetap ada pada manusia itu sendiri, tidak diarahkan oleh teknologi. Teknologi hanya mentransformasikan dunia dan menyodorkannya pada manusia, mengenai selanjutnya bagaimana dunia itu diinterpretasikan dan diarahkan kembali pada subjek itu sendiri.

Transformasi realita yang dilakukan pada teknologi mengarah pada dua hal, amplifikasi dan reduksi. Karena realita sesungguhnya tetap memperlihatkan diri apa adanya, transformasi yang dilakukan teknologi hanyalah mengubah fokus bagian-bagian pada realita itu sendiri. Realita tidak mungkin dikurangi atau ditambah, ketika teknologi melakukan magnifikasi atau reduksi pada suatu bagian realita, bagian yang lain pasti akan terjadi sebaliknya. Ambillah contoh satelit GPS, semakin kita bisa melihat secara utuh bahwa bumi itu bulat, semakin kita tidak bisa melihat detail peta rupa buminya, tapi ketika kita bisa melihat detail peta rupa bumi, bumi akan terlihat datar dan kehilangan ‘kebulatannya’.

Realita sesungguhnya adalah satu kesatuan kompleks beragam variabel, sehingga ketika teknologi membingkai dan memecah-mecah realita dalam bagian-bagian untuk kemudian diamplifikasi atau direduksi, pengalaman utuh pada realita itu sendiri akan berubah. Pada contoh lain, teknologi rekaman video membuat kita bisa ‘memotong’ realita suatu peristiwa dalam unsur visual (ini pun terpotong dalam layar persegi panjang) dan audionya saja, namun keseluruhan realita peristiwa tersebut, atmosfernya, suasananya, emosinya, dan beragam unsur lainnya tidak akan pernah bisa ikut terekam. Inilah keseimbangan yang dilakukan oleh realita, ketika teknologi mampu mengamplifikasi suatu bagian realita, bagian lain akan mengalami reduksi. Persepsi realita yang bisa berubah pun tidak sekedar ‘ruang’, namun juga ‘waktu’. Ketika teknologi bisa membuat suatu pekerjaan bisa menjadi lebih singkat, pasti ada unsur realita lain yang hilang akibatnya.

Netralitas Teknologi

Suatu fenomena yang menarik ketika akhir-akhir ini bermunculan istilah-istilah baru yang mengaitkan beberapa aspek peradaban dengan teknologi. Sebutlah teknopreneur, teknokrat, dan juga teknokultur, serta entah tekno-tekno apa lagi yang kelak akan terbentuk. Walau istilah ini mulai bermunculan sekarang, sesungguhnya keterikatan antara teknologi dan peradaban sudah ada sejak teknologi itu sendiri ditemukan. Karena seperti yang sudah terjelaskan sebelumnya, teknologi secara wajar menjadi penyebab berkembangnya peradaban itu sendiri. Hanya karena sekarang lah baru terlihat betapa teknologi sudah menjadi jiwa peradaban itu sendiri lah, istilah-istilah tersebut muncul untuk memperjelas betapa banyak hal harus dikaitkan dengan teknologi.

Sebelumnya dijelaskan bahwa teknologi pada awalnya merupakan perpanjangan tangan manusia, yang kemudian meluas menjadi perpanjangan seluruh tubuh manusia, yang mana fungsi-fungsi organ tubuh diamplifikasi fungsinya menjadi lebih luas dan lebih jauh. Mikroskop menjadi perpanjangan mata manusia, telepon jadi perpanjangan mulut dan telinga manusia, televisi jadi perpanjangan mata dantelinga manusia. Dalam perkembangannya, bahkan tidak hanya fungsi fisik saja yang digantikan dan diamplifikasi oleh teknologi, namun juga energi, waktu, bahkan kemampuan otak. Ketika revolusi industri, teknologi menjadi amplifier energi dan waktu, bukan sekedar organ fisik manusia, dengan ditemukannya mesin-mesin uap yang mengefektifkan proses produksi. Pada tahap lanjut, teknologi mulai menggantikan juga kerja otak dengan ditemukannya komputer pertama kali.

Jika melihat kembali fungsi teknologi pada awalnya dalam moda survival, penting untuk diperhatikan bahwa bertahan hidup yang dimaksud di sini mengalami perubahan makna terus menerus seiring dengan berubahnya kebutuhan. Dengan semakin kompleksnya peradaban, kebutuhan manusia menjadi semakin kompleks, yang secara struktural bisa terlihat dalam piramida Maslow. Itulah kenapa kemudian tidak lagi sekedar tubuh fisik yang digantikan oleh teknologi, tapi juga kecerdasan, kemampuan berlogika, energi, dan lain sebagainya. Kebutuhan manusia untuk menghitung dengan cepat menghasilkan kalkulator, kebutuhan manusia untuk mengumpulkan informasi menghasilkan komputer bermemori dan internet, kebutuhan manusia untuk berkomunikasi jarak jauh menghasilkan telepon atau bahkan media sosial. Kebutuhan-kebutuhan itu bukanlah kebutuhan pokok sebenarnya, tapi sesuai dengan piramida maslow, dengan semakin mudah terpenuhinya kebutuhan paling dasar, maka fokus manusia berpindah ke kebutuhan yang lebih tinggi. Berbeda dengan dulu ketika untuk mencari kebutuhan dasar seperti makanan saja masih cukup sulit.

Ketika semua kebutuhan mulai digantikan oleh teknologi, keseluruhan kehidupan manusia semakin selalu bersentuhan dengan teknologi. Pada titik paling kritisnya, kehidupan manusia kemungkinan akan tergantikan sepenuhnya oleh teknologi, menghasilkan ragam spekulasi mengenai masa depan seperti yang sering diperlihatkan film-film apokaliptik seperti The Matrix. Apakah hal itu mungkin terjadi? Pembahasan mengenai hal ini bisa menjadi perdebatan panjang mengingat kekurangpahaman kita mengenai jiwa dan kesadaran. Ketika seluruh bagian dari kehidupanmanusia diambil alih oleh teknologi pun, masih ada satu hal yang akan tetap membuat teknologi pasti tunduk pada manusia: kesadaran. Seperti yang saya jelaskan, realita yang dipersepsikan maupun ditransformasikan oleh teknologi akan selalu tetap memperlihatkan diri apa adanya, teknologi tidak bisa mengarahkan pengguna yang memiliki kesadaran, karena mau tidak mau sampi detik ini ia masih lah benda mati.

Jika demikian, apakah kemudian kita bisa mengatakan teknologi itu netral? Artinya apapun dampak buruk yang terjadi pada manusia dan dunia, kita sama sekali tidak bisa menyalahkan teknologi. Wacana mengenai netralitas inilah yang kemudian jadi perdebatan panjang antara mereka yang pro-teknologi dan mereka yang anti-teknologi. Akhir-akhir ini mulai terlihat jelas dampak-dampak negatif teknologi, dari budaya hingga ekologi. Lihatlah ragam fenomena di masyarakat sebagai akibat dari adanya teknologi, mulai dari individualitas, reaksioner terhadap berita, dan lain sebagainya. Lihatlah berbagai isu ekologi di berbagai belahan bumi sebagai akibat dari adanya teknologi. Dengan semua dampak nyata tersebut, netralitas teknologi tetaplah menjadi senjata utama para pengembang teknologi untuk tutup mata dan saling tuding.

Menganggap teknologi netral sama seperti menganggap ia hanyalah eksistensi mati yang tidak punya pengaruh apa-apa pada kehidupn manusia. Mungkin juga karena ia dianggap tidak memiliki standar nilai etika baik dan buruk seperti manusia. Slogan “gun don’t kill people, people kill people” bahwa bukanlah pistol yang membunuh, tapi orang yang memegang pistol lah yang membunuh, menjadi argumen utama para penganut netralitas teknologi. Tentu saja sebenarnya jika ditanyakan siapa yang membunuh sesungguhnya, tentu saja orang sebagai subjek yang memiliki kehendak, namun hal tersebut memungkinkan karena adanya eksistensi pistol. Pistol menjadi penyebab subjek memunculkan kehendak untuk membunuh. Adanya relasi antara manusia, teknologi, dengan dunia membuat teknologi tidak pernah bisa dilepaskan dari persepsi subjek. Mungkin saja semua dampak dari teknologi ini bukan salah sepenuhnya teknologi dan semua bergantung pada pemakai, tapi eksistensi teknogi itu sendiri mempengaruhi persepsi pemakai, sehingga teknologi tetap memiliki peran dalam kehendak pemakai.

Teknologi tidak pernah berdiri secara otonom seperti alam, ia ada karena manusia dan ia mempengaruhi realita yang dipersepsikan manusia. Relasi antara teknologi dengan manusia sangatlah penting untuk dicermati sebagai sebuah wacana etika. Banyak nilai-nilai etis yang dilupakan oleh para pengembang teknologi karena hanya terfokus pada fungsi dan manfaat, buta pada dampak dan akibat. Di sisi lain, eksistensi dari teknologi itu sendiri adalah kewajaran yang tidak bisa dicegah. Berkembangnya teknologi adalah hal yang sangat manusiawi, konsekuensi logis dari eksistensi manusia. Lantas apakah kemudian kita menyerah begitu saja pada arus perkembangan teknologi, membiarkan peradaban berkembang tanpa henti hingga melampaui kemampuan manusia untuk mengendalikan dan mengaturnya?

Kembali melihat pistol dan orang, jelas bahwa walaupun pistol itu adalah benda mati, keberadaan pistol itulah yang menyebabkan munculnya kehendak orang untuk membunuh, maka solusi terbaik tentu adalah menghilangkan eksistensi pistol tersebut. Namun menelisik teknologi, apakah mungkin eksistensinya dapat dihapus? Apakah mungkin menghentikan perkembangan teknologi? Mengingat betapa menyatunya teknologi dengan peradaban manusia, menghentikan perkembagan teknologi mungkin sama saja dengan meyuruh manusia tidak melakukan apa-apa dalam hidupnya. Hampir mustahil menghindari hasrat natural manusia sebagai homo faber untuk bekerja dan memanfaatkan alat. Maka ketidaknetralan teknologi itu sendiri tetap membuat ia tak bisa disalahkan karena eksistensinya merupakan akibat wajar dari adanya manusia. Jika demikian, lalu ada apa dengan semua dampak yang diberikan oleh teknologi ini?

Superorganisme Raksasa

Mungkin sebelumnya kita bisa melihat dulu bagaimana relasi teknologi dengan alam. Tepat seperti kata dasarnya, teknologi selalu terkait hal-hal teknis, karena ia pun memakai prinsip mekansitik yang mana segala sesuatu berada dalam rangkai sebab-akibat yang jelas dan kaku. Pemikiran ini sesungguhnya bukanlah pemikiran yang salah, walau ia jelas-jelas berlawanan dengan prinsip alam yang organik. Meskipun pandangan mekanistik ini telah ada sejak lama, bahkan sejak teknologi pertama ada, ia diperkuat oleh tumbuh suburnya rasionalisme dan empirisme sains ketika mekanika klasik dan logika modern lahir. Prinsipnya sederhana, dunia adalah mesin, jika bagian ini begini maka bagian yang lain akan begini, jika yang itu rusak maka cukup perbaiki yang itu dan komponen lain yang terkait dengannya tanpa harus melihat seluruhnya. Logika proporsional yang didasari ‘jika-maka’ menjadi landasan utamanya. Mekanika klasik yang melihat mekanisme alam semesta selayaknya mesin pun mengejawantahkan logika ‘jika-maka’ itu dalam bentuk yang lebih konkret. Terlebih lagi, pandangan mekanistik ini melahirkan prinsip determinisme yang kuat, membuat segalanya seperti sebuah kepastian: jika mengetahui keadaan suatu sistem pada saat tertentu, kita bisa memprediksi semua perilakunya di masa depan.

Determinisme ini pun melekat dalam teknologi. Prinsip sederhana dari determinisme teknologi adalah bahwa jika cara kerja suatu sistem dapat diketahui, kita bisa membuat sistem buatan yang serupa dengannya. Prinsip ini pun jelas sangat lekat dengan pandangan mekanistik yang melihat segala sesuatu seperti mesin. Padahal alam bekerja dengan cara yang berbeda. Lawan dari pandangan mekanistik adalah pandangan organik, yang mana suatu sistem berada dalam jaring-jaring kompleks antar komponen. Tidak ada hubungan sebab-akibat linear yang kaku karena semuanya bekerja secara pararel, terkoordinasi, dan sistemik. Satu bagian terganggu, maka keseluruhan sistem akan terganggu. Pandagan organik harus melihat suatu sistem sebagai satu keutuhan, tidak seperti mekanistik yang melihat sistem sebagai bagian-bagian yang dapat dipecah-pecah.

Jika melepas diri dari kata ‘pandangan’, sesungguhnya memang alam semesta berperilaku secara organik, dari sistem paling sederhana seperti sel, hingga keseluruhan semesta ini sendiri, sedangkan teknologi memang berperilaku layaknya mesin. Yang membuat teknologi dan alam selama ini tidak harmonis adalah perbedaan ini, teknologi memaksakan alam selayaknya mesin. Jelas alam bukanlah pihak yang bisa diajak kompromi dalam hal ini. Ia tidak bisa diubah mau bagaimanapun karena ia bekerja sedemikian rupa sejak awal waktu, menciptakan keseimbangan di semesta. Jika demikian, tentu teknologi lah yang harus mengalah, menyesuaikan diri pada alam, mengubah cara pandang dan perilakunya. Membuat teknologi organik adalah suatu hal yang sebenarnya bisa jadi jawaban untuk pertengkaran antara teknologi dan alam. Tapi apakah mungkin?

Sebenarnya terbentuknya teknologi organik sendiri pun mungkin bisa saja terjadi tanpa harus disengajakan maupun dirancang oleh manusia. Ia seakan terjadi secara natural. Walaupun masih kemungkinan dan spekulasi, perkembangan teknologi saat ini mulai memperlihatkan fenomena terbentuknya teknologi sebagai “organisme”. Dengan revolusi teknologi informasi yang begitu pesat, saat ini dunia semakin menuju terbentuknya sebuah jaringan raksasa yang menghubungkan tiap manusia dan mesin di dunia. Adanya teknologi big data atau internet of things jelas-jelas memperlihatkan kemungkinan ini, yaitu bahwa semua perangkat elektronik di dunia akan terhubung satu sama lain dalam jaring-jaring yang sama. Lalu apa? Salah satu ciri khas sistem yang organik adalah strukturnya yang berupa jaring-jaring. Sistem organik tidak punya “pengendali”, ia bergerak sedemikian rupa dari hasil koordinasi kompleks antar komponennya yang terhubung pararel dan membentuk jaring-jaring. Itulah kenapa sistem organik harus dilihat sebagai satu keutuhan, karena terganggunya satu bagian akan mempengaruhi semua bagian yang terhubung dalamjaring-jaring tersebut, sedangkan keseluruhan komponen itu sendiri saling terhubung.

Jika apa yang selama ini dipropagandakan oleh para pengembang teknologi mengenai akan terbentuknya satu jaringan tunggal raksasa kelak, maka teknologi akan menjadi sebuah makroorganisme virtual, sebuah superorganisme tunggal, yang oleh Kevin Kelly, seorang konservasionis, disebut sebagai Technium. Teknologi dalam keseluruhan – bukan keterpisahan bagian-bagiannya akan memiliki properti dan memperlihatkan perilaku-perilaku yang menyerupai kehidupan. Selayaknya alam semesta, semua sistem yang organik pastilah sistem yang hidup, yang mana hidup di sini diartikan memiliki kemandirian untuk berperilaku dan bertindak, dan memiliki respon tertentu terhadap gangguan luar. Artinya apa, ketika teknologi membentuk sistem yang organik, mau tak mau ia seakan memiliki ‘kesadaran’, sebuah otonomi selayaknya alam. Teknologi seperti televisi ataupun kulkas tidak lagi berdiri sendiri, tapi menjadi bagian dari ekosistem suatu superorganisme raksasa. Kemungkinan inilah yang menjadi landasan ide film The Matrix atau Terminator, yang mana bukan lagi suatu halyang mustahil, karena jelas-jelas dunia kita saat ini sedang bergerak menuju terbentuknya sebuah jaringan raksasa tunggal.

Lantas ketika teknologi berperilaku seperti sistem organik, apakah ia menjadi selaras dengan alam? Inilah pertanyaan besarnya. Ketika teknologi menjadi sebuah sistem organik, perilakunya justru tidak bisa diprediksi. Ia bukan lagi sebuah sistem mekanik, tapi ia menjadi sebuah organisme yang ‘hidup’. Seperti apa kelak dunia dengan terbentuknya Technium, kita hanya bisa berspekulasi. Kebijaksanaan adalah Kunci

Jika kembali melihat akarnya, manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran dan kehendak lah yang seharusnya memiliki kendali atas semua tindak-tanduknya. Teknologi merupakan konsekuensi logis dari sifat alamiah manusia. Lantas apayang bisa kita lakukan?

Wisdom is the key” kata Michio Kaku, seorang fisikawan jepang. Teknologi, beserta sains, adalah potensi besar yang dimiliki manusia. Ia bisa memungkinkan manusia melakukan hampir segala hal, yang dulunya hanyalah imajinasi bisa menjadi sebuah kenyataan. Tapi apakah kemudian kita terlena begitu saja pada potensi ini? Potensi adalah kekuatan dan kekuatan selalu memunculkan tanggung jawab. Manusia bertanggung jawab penuh atas semua yang ia miliki dan lakukan terkait sains dan teknologi. Maka jelas apapun yang menjadi dampak dari sains dan teknologi, sudah menjadi tanggung jawab penuh manusia. Dengan apa kita bisa memikul tanggung jawab? Hanya dengan kebijaksanaan lah semua tanggung jawab dapat dipegang dengan baik. Pikiran yang jernih, hati yang bersih, dan prinsip yang kuat bisa jadi kekuatan tandingan untuk mengendalikan tidak terkontrolnya sains dan teknologi.

Melihat keadaan sekarang, mungkin kita bisa saja pesimis. Dunia dikendalikan oleh modal, etika dan moral mulai dilupakan, serta kesadaran ekologis dan sosial mulai terkikis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korporasilah yang menjadi motor utama perkembangan teknologi sedangkan korporasi sendiri selalu memiliki kepentingan dan ego masing-masing. Di tempat lain, akademisi dan simpatisan ekologi yang menuntut etika dan moral dari perkembangan teknologi dibungkam oleh ketiadaan modal. Pemerintah sebagai pihak ketiga pun hanya bisa berdiam diri dan menonton dalam dilema. Salah satu jalan terbaik untuk memperbaiki semuanya adalah dunia pendidikan, tempat dimana anak-anak yang kelak akan menjadi penggerak dunia di masa depan bisa dibangun kesadaran dan kebijaksnaannya agar memahami bahwa teknologi tidaklah seindah yang terlihat. Walau sebenarnya jalan pendidikan itu sendiri mulai mandul akibat berkuasanya modal dan tidak berdayanya pemerintah, apakah kita akan menyerah? Semua kembali pada diri masing-masing. Renungi dan lakukan apa yang bisa kita lakukan.

If we continue to develop our technology without wisdom or prudence, our servant may prove to be our executioner.
-– Omar Bradley (General, US Army) –-

(PHX)

Alt Text

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora