Dalam Penjara Teknologi

Dalam Penjara Teknologi

- 18 mins

“Aku takut suatu hari teknologi akan melampaui interaksi manusia. Dunia akan memiliki generasi idiot”
– Albert Einstein –

Zaman telah membawa kita dalam suatu kondisi yang cukup ironis. Menimbulkan berbagai tanda tanya baru, yang tak pernah muncul sebelumnya. Dunia sekarang berada pada kondisi dimana masalah tidak terlihat sebagai masalah, padahal masalah itu telah jelas terlihat nyata di depan mata. Mungkin memang dunia saat ini terlihat begitu nyaman dan aman. Tentu saja! Teknologi ada dimana-mana, apalagi sekarang yang membuat susah orang? Ya, dunia memang terasa indah ketika kita dengan mudahnya menghubungi kawan yang jauh hanya dengan menyentuh sebuah layar berpendar. Ya, dunia memang terasa indah ketika informasi apapun bisa mengalir begitu mudahnya layaknya sungai di musim berhujan. Ya, dunia memang terasa indah ketika tak perlu lagi berjalan berjam-jam untuk mencapai tempat yang jauh. Ya, dunia memang indah. Namun apakah memang sepenuhnya indah dengan semua teknologi yang ada?

Saya akan membahas detail tentang teknologi pada tulisan saya yang lain, kelak. Namun di sini, saya akan lebih mencoba menyempitkan pembahasan pada berbagai hal yang dekat dengan kita semua. Ambillah contoh mahasiswa. Dunia kemahasiswaan sesungguhnya berada dalam kondisi yang ironis. Tentu saja, kemahasiswaan sekarang terlihat begitu nyaman dan aman. Tentu saja, dengan teknologi yang kita pegang bersama, apalagi sekarang yang membuat susah mahasiswa? Tidak ada lagi Soeharto yang harus diturunkan, tidak ada lagi tentara yang harus dilawan, tidak ada lagi susah payah. Bukankah kemahasiswaan sekarang indah? Namun kenapa saat ini malah timbul keributan baru, seakan tidak terima dengan tiadanya masalah? Ah iya, masalah kuorum, partisipasi, kepedulian, keinginan untuk bergerak, dan lain-lain mulai muncul ke permukaan, yang coba diselesaikan dengan strategi-strategi namun tetap tanpa hasil. Ya kemahasiswaan saat ini memang indah, kita hanya perlu belajar dan fokus kuliah, tidak ada gangguan apapun. Namun apakah memang sepenuhnya indah dengan semua teknologi yang ada?

Badai Informasi

Badai! Ketika berbagai partikel di udara mulai bergerak tak tentu arah, menerbangkan apapun yang terlalu ringan untuk mempertahankan posisinya, membuat segalanya terlihat chaos, mengaburkan jarak pandang, membuat bingung keadaan.

Pernahkan melihat badai pasir, badai laut, atau sekedar badai biasa? Kalaupun tidak pernah melihat langsung, paling tidak pastilah teknologi media sekarang sudah membuat kita mampu melihat tanpa harus mengalami. Tentu saja sangat kacau, badai selalu merusak, mengacaukan apapun yang dilewatinya. Nah, sekarang bayangkan yang diterbangkan badai-badai tersebut adalah informasi, bukan debu, air, ataupun pasir. Itulah dunia maya saat ini. Ya, Badai. Ketika berbagai informasi bergerak begitu bebasnya, terkadang tak tentu arah, menerbangkan idealisme apapun yang terlalu ringan untuk mempertahankan keyakinannya, membuat segalanya terlihat chaos, mengaburkan paradigma, membuat bingung keadaan.

Revolusi teknologi terbesar saat ini memang di sektor informasi. Sejak von Neuman menemukan konsep sibernetika dalam sistem selama perang dunia II, para teknisi mentransformasikannya menjadi sebuah jaringan informasi, yang menembus semua batas, menciptakan raksasa bernama globalisasi, dan mulai menciptakan virus-virus baru dalam problematika hidup manusia.

Informasi pada akhirnya menemukan dunia yang hampir tak memiliki hukum. Dunia yang sebebas-bebasnya. Dunia yang kita kenal dengan dunia virtual atau dunia maya. Informasi mulai bebas bertindak, terkontrol oleh suatu rangkaian ayat-ayat yang kita tulis sendiri, yang bernama algoritma. Dalam salah satu episode TED Talks, Kevin Slavin menggambarkan dunia kita saat ini hanya berdiri di atas kumpulan algoritma, yang semakin jauh dari realita sesungguhnya. Dalam penjelasannya, Kevin menyebut manusia saat ini “writing the unreadable”, yang membuat kita kehilangan pengertian apa yang sesungguhnya terjadi saat ini di dunia yang telah kita buat ini.

Yang membuat informasi begitu berevolusi begitu cepat adalah penemuan sistem otomisasi mesin melalui algoritma. Cukup hanya dengan meniru sistematika logika manusia, berbagai algoritma mulai ditulis untuk mengontrol berbagai informasi yang ada dalam sebuah otomisasi. Apa yang terjadi adalah kita mulai kehilangan kontrol terhadap dunia informasi. Ini adalah efek lain dari alienasi sains, yaitu ketika terapan-terapan sains mulai jauh (terasingkan) dari pemahaman manusia, dan membuat orang awam hanya bisa menggunakan tanpa memahami. Kita sudah saat ini sering melihat bagaimana sekarang informasi menjadi begitu liar dan bebas dalam berkeliaran, menimbulkan berbagai fenomena sosial yang kita sadar dengannya, namun bingung harus berbuat apa.

Inilah badai! Ketika kita hanya bisa melihat dan berlindung, sedih ketika mengetahui dampak yang terjadi namun tak bisa berbuat apa-apa, dinyamankan oleh keadaan, tidak punya keberanian untuk berdiri, menantang, dan menjauh. Lebih-lebih, badai informasi yang terjadi di dunia maya terbawa dalam otak pengguna. Menimbulkan kekacauan kepercayaan secara psikologis. Bayangkan ketika dalam sehari ada ribuan informasi masuk ke kepala kita. Tanpa ada kesempatan untuk menyaring ataupun merenungi, berbagai informasi baru mulai terus muncul, menimbulkan chaos dalam pikiran, hingga akhirnya perlahan mengikis idealisme. Terkadang pun membuat kita bingung, dan lebih saling menyalahkan. Ketika informasi begitu mudahnya didapat, tingkat kepercayaan kita akan semakin murah. Ibarat uang yang tiba-tiba berserakan dan begitu mudah didapatkan, nilai uang itu akan turun. Demikian pula nilai informasi, yang maknanya semakin tereduksi.

Dalam dunia akademis, hal ini memicu banyak hal, termasuk yang dikenal dengan istilah inflasi akademis. Ketika informasi atau ilmu pengetahuan begitu mudahnya di dapat, apa gunanya lagi ada perguruan tinggi selain untuk memberikan gelar? Maka, ditambah berbagai faktor lainnya, gelar saat ini mengalami inflasi standar. Sarjana bukan lagi syarat cukup yang ingin dicapai mayoritas masyarakat. Ini bisa jadi mengindikasikan dua hal, makna informasi yang semakin tereduksi dan membuat orang semakin berorientasi hasil dan bukan pada proses, atau memang kebutuhan akan pengetahuan masyarakat sekarang meningkat, dipicu oleh begitu terbukanya batas-batas pikiran manusia sehingga menghasilkan efek ketidakpuasan informasi.

Dua hal tersebut sama-sama disebabkan oleh teknologi. Yang pertama, ketika proses untuk mendapatkan informasi sudah lagi bukan menjadi hambatan, yang dikejar oleh para pelajar adalah nilai, gelar, sertifikat, dan lain-lain yang sifatnya produk, bukan lagi sebuah perjuangan untuk memahami dan menghayati ilmu pengetahuan sebagaimana mestinya. Orientasi kuliah pun sebatas keahlian yang dapat menghasilkan sesuatu, bukan pemahaman, pengetahuan, ataupun kebijaksanaan dalam menjadi intelektual. Yang kedua, teknologi membuat batas wawasan manusia meningkat, yang artinya batas kepuasan manusia semakin terekstensi sebagai akibat dari “murah”nya informasi untuk didapatkan saat ini. Ini bukanlah hal yang buruk, namun berakibat tidak baik bila mendominasi. Salah satu efeknya adalah manusia semakin berorientasi pada otak, melupakan kecerdasan-kecerdasan lainnya, dari kinestetik hingga visual. Dengan kata lain, hal ini menurunkan secara drastis kreativitas masyarakat modern. Dapat kita lihat ketertarikan ataupun pandangan terhadap jurusan-jurusan berbasis seni-humaniora saat ini mulai dikesampingkan.

Inilah yang secara tidak langsung menimbulkan berbagai fenomena yang kita alami saat ini. Ketika masyarakat (termasuk mahasiswa) mulai sangat reaktif terhadap informasi, krisis jati diri, minim idealisme, kehilangan semangat bergerak, hilangnya kepedulian, dan masih banyak lagi permasalahan lainnya sebagai akibat dari teknologi. Bila ditelusuri pun, hampir semua masalah di dunia modern saat ini timbul dari teknologi informasi. (Selebihnya mengenai dampak teknologi informasi bisa baca Ironi Informasi)

Fenomena Kelas Menengah

Sekarang baru kita kerucutkan kenapa mahasiswa bisa menjadi korban utama dalam revolusi teknologi ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir semua mahasiswa adalah pengguna smartphone. Cukup dari satu fenomena itu, kita dapat bertanya, kenapa smartphone begitu mudahnya menyebar dan menjadi gaya hidup?

Hal ini terkait dengan sebuah objek sosial dalam stratifikasi masyarakat. Disengaja ataupun tidak, sistem sosial selalu terbagi dalam kelompok-kelompok atau golongan-golongan. Teori keadilan mengatakan bahwa pada dasarnya manusia dilahirkan sama. Namun walaupun begitu, kita tidak pernah (atau tidak mungkin) hidup persis sama. Hidup adalah perbedaan dari satu ke satu orang, dari satu bangsa ke satu bangsa, dari satu budaya ke satu budaya. Perbedaan cara hidup ini lah yang menciptakan secara semu dan tidak langsung apa yang kita kenal dengan stratifikasi sosial.

Pada dasarnya ada 3 pengelompokan dalam stratifikasi ini, kelas, status, dan partai politik. Dalam konsep kelas, pengelompokan dlakukan berdasarkan orang-orang yang berada di dalam situasi kelas yang sama. Situsi kelas ini dartikan oleh Max Weber sebagai probabilitas atau kemungkinan orang seseorang untuk memperoleh barang, posisi, dan kepuasan batin. Hal ini digeneralisasikan oleh Karl Marx hanya dengan melihat dua ekstrim, yaitu kelas pemilik modal, atau bojuis, dan kelas penjual tenaga kerja, atau proletar. Namun di antara dua kelas ini, ada suatu eksistensi yang mengalami ketidakjelasan status karena sifatnya yang “palsu”, karena cenderung sekedar mengikuti ketimbang memiliki jati diri. Eksistensi inilah yang kita kenal saat ini sebagai kelas menengah, kelas yang dikatakan berpotensi besar menentukan arah gerak Indonesia, karena pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia adalah kelas menengah.

Perilaku sosial yang dilakukan oleh kelas menengah cenderung tidak stabil dan selalu berubah-ubah. Posisi di tengah sebenarnya adalah suatu ruang yang masih lapang, kosong. Dalam paham ini, memang “kelas di tengah” adalah sesuatu yang baru dalam tahap awal untuk menjadi dan belum terwujud, semacam sesuatu yang bergerak tak sampai-sampai ke tujuan. Karena itu, siapapun yang mendaku berada di tengah adalah kaum profiteur atau oportunis, cenderung meniru dan masih mencari identitas. Hal ini sangat erat keterkaitannya dengan mahasiswa yang cenderung masih tanpa-kelas, sehingga berada dalam ketidakjelasan dan masih mencari jati diri. Dalam mencari identitas ini, orang-orang “tengah” ini cenderung bersifat menggunakan materi sebagai bentuk identifikasi diri, semacam narsisme untuk mengikuti mode agar diakui sebagai kelas yang lebih tinggi. Kesenjangan yang tinggi antara kelas borjuis dan proletar memang membuat orang-orang cenderung cukup mengikuti gaya hidup yang dilakukan oleh kelas borjuis untuk menaikkan identitasnya agar serupa. Ini lah yang menghasilkan sifat utama dari kelas menengah, yaitu konsumerisme .

Lalu apa hubungannya dengan teknologi? Nah, pada dasarnya mayoritas teknologi yang komersial saat ini cenderung mengalami designer fallacy, atau mengalami pergeseran tujuan dari awal pembuatannya. Contoh sederhana adalah sibernetika sendiri, yang awalnya diciptakan pada perang dunia ke II untuk sistem pelacakan dan komunikasi, namun ketika mulai dikomersialkan, para investor dan masyarakat (pengguna) sendiri menggeser fungsi itu secara perlahan untuk disesuaikan dengan kehidupan masing-masing. Penyesuaian ini, ketika berhasil melintasi rangkaian seleksi sosial, akan berubah menjadi gaya hidup atau lifesyle. Hal ini lah yang juga terjadi pada gadget seperti smartphone atau media sosial seperti line.

Gadget dan media ini awalnya tidak pernah diperuntukkan untuk anak-anak sekolah, atau mungkin juga mahasiswa. Ia berfungsi secara khusus sesuai pada pekerjaan yang membutuhkan, yang cenderung dipakai oleh kelas pemilik modal, seperti pengusaha, korporat, politisi, militer, atau pemerintah. Sebelum smartphone menjadi sebuah gaya hidup, fungsi smartphone bagi mahasiswa pada dasarnya sama sekali tidak signifikan selain memanjakan mereka yang malas. Maka dari itu, jawaban paling jauh yang bisa diberikan kaum kelas menengah ketika ditanya mengenai kenapa menjadi konsumen teknologi hanyalah karena itu memudahkan, tanpa peduli efek sampingnya yang begitu luas. Kelas menengah menganggap diri modern melalui perilaku sosial dan gaya hidup mengonsumsi aneka benda yang mewakili kelas sosial tertentu. Jadi, kelas menengah cenderung berusaha mentransendensi kelasnya melalui barang-barang yang mereka pakai atau konsumsi, termasuk teknologi.

Fenomena kelas menengah yang terjadi pada kalangan mahasiswa cenderung diawali dengan adanya stabilitas kelas antara orangtua dan anak. Artinya, gaya hidup yang dibawa mahasiswa turun langsung dari gaya hidup orangtuanya, yang mungkin sudah berada pada kelas pemilik modal. Jika kita melihat beberapa perguruan tinggi ternama, mayoritas mahasiswa yang masuk adalah masyarakat menengah ke atas. Hingga akhirnya, terjadi distribusi gaya hidup dalam sistem kemahasiswaan sendiri. Smartphone dan teknologi informasi lainnya yang awalnya hanya dimiliki segelintir mahasiswa yang keluarganya memiliki kelas sosial tinggi, mulai menyebar dan berubah menjadi gaya hidup, hingga akhirnya menjadi sesuatu yang dirasa “kebutuhan”.

Kapan sesuatu menjadi sebuah gaya hidup, dan kapan ia menjadi kebutuhan? Sederhananya adalah dengan bertanya mengenai kenapa seseorang memakai sesuatu itu. Ketika jawaban cenderung mengarah pada ketidakpahaman fungsi, maka sesuatu itu telah menjadi gaya hidup, menjadi sebuah budaya konsumerisme yang irasional. Inilah kenapa terkadang banyak praktisi mengatakan bahwa dunia kelas menengah adalah dunia yang sama sekali tidak rasional, karena mereka mengonsumsi hanya untuk sebuah identitas, sekedar meniru atau mengikuti.

Designer fallacy pun semakin meluas tanpa terkontrol. Kebutuhan pemakaian smartphone dalam menunjang pembelajaran bagi mahasiswa cenderung dilandasi kemalasan dan ketiadaan semangat juang yang tinggi dalam menuntut ilmu. Hal ini juga dipicu dengan adanya internet, terutama Google yang begitu memudahkan sehingga mengaikbatkan efek psikologis yang tinggi, yang saya namakan dengan virtual mind, suatu kemalasan yang sistematis, dengan dalih logis namun benar-benar irasional.

Dunia Irasional

Salah satu ironi utama yang tercipta dari teknologi informasi adalah semakin tidak rasionalnya pikiran di zaman yang semakin rasional. Secara logis, dengan modernisasi yang terjadi secara global, rasionalitas seharusnya akan semakin tertanam dalam cara berpikir manusia. Dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, segala hal yang berkaitan dengan manusia cenderung semakin rasional, dari penyelenggaraan negara, pemahaman agama, hingga pembaharuan budaya. Namun menariknya, ternyata pada suatu titik, hal ini berpengaruh secara berkebalikan pada perilaku-perilaku manusia yang cenderung tidak dapat mengikuti arah perkembangan rasionalitas ini, menghasilkan irasionalitas dalam bergaya hidup.

Sederhananya, jarak antara perkembangan pengetahuan dengan masyarakat awam semakin merentang jauh, membuat perkembangan ini hanya dapat diikuti pada sebagian konsep saja dan melupakan konsep lainnya. Contoh sederhananya adalah usaha-usaha mencocokkan agama dengan ilmu fisika yang sering dilakukan beberapa orang, termasuk ulama sendiri, tanpa memahami sepenuhnya keseluruhan konsep, yang akhirnya menghasilkan “cucoklogi” yang memaksakan dan cenderung malah irasional.

Mengecilkan sudut pandang pada teknologi, hal ini berkaitan erat dengan semakin kentalnya designer fallacy dalam setiap produk konsumsi teknologi. Ketika seseorang hanya menggunakan suatu alat tanpa memahami keseluruhan konsep dari alat tersebut, ia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya semua dampak yang terjadi dari alat tersebut, membuatnya hanya menjadi “korban”. Sebelumnya telah dibahas mengenai badai informasi yang tak terkontrol, karena yang memahami keseluruhan konsep dari teknologi informasi hanya sebagian kecil orang. Sayangnya, sebagian kecil orang ini, anggaplah para intelektual dan teknisi teknologi, tidak dapat mengontrol penyebaran produknya dalam dunia sosial yang notabene memiliki banyak variabel.

Hal ini disebabkan dua hal. Pertama, produk apapun dalam teknologi hanya dikendalikan oleh yang memiliki modal, bukan yang mengembangkan atau yang memahami keseluruhan konsep. Kedua, adanya kepincangan pada mayoritas perguruan tinggi saat ini, terutama yang terfokus pada teknik, dalam memberikan pendidikan pada mahasiswanya. Yang diajarkan dalam institut-institut berbasis teknik hanya bersifat keahlian, tidak menyinggung hal-hal yang bersifat humaniora atau filsafat demi pemahaman yang baik mengenai dampak suatu eksistensi baru di dalam masyarakat. (Lebih lanjut mengenai kepincangan ini dapat dibaca di Antara intelektual dan sebuah institut 3)

Ketika teknologi informasi ini menjadi gaya hidup dan secara perlahan melekat dan menjadi gaya hidup mayoritas masyarakat yang belum mampu memahaminya dengan baik, terjadilah berbagai fenomena yang mungkin terlihat aneh, yang sebenarnya bentuk abstrak indikasi ketidaksesuaian keberadaan teknologi itu pada sistem sosial yang terkait. Masyarakat akhirnya hanya menjadi korban trend dan gaya hidup. Ketika sesuatu terjadi, kita hanya bisa berkomentar dan berpendapat, yang jelas menunjukkan kebingungan kita pada kondisi. Hal ini cukup ironis, karena bagaikan rokok, dampak negatif teknologi sudah cukup jelas terlihat, namun karena memudahkan dan membuat nyaman, atau mungkin karena bingung dan tidak memahami sepenuhnya, masyarakat lebih memilih terus memakainya. Sudah banyak contoh yang tidak perlu disebutkan satu-satu memperlihatkan efek samping tak terkontrol dari teknologi, yang mana semuanya menunjukkan bahwa perilaku masyarakat saat ini cenderung irasional secara sadar.

Virtual Mind

Terakhir, kenapa teknologi pada judul tulisan ini disebut sebagai “penjara” adalah lebih karena efeknya yang memang memenjarakan pikiran. Salah satu bentuk penjara ini adalah yang telah dibahas sebelumnya, yaitu penjara tren yang mengurung identitas melalui gaya hidup yang menuntut seseorang bertindak secara irasional, naif terhadap dirinya sendiri. Cara pandang masyarakat teknologi mulai terbatasi hanya pada bagaimana suatu produk dapat memberinya identitas melalui tindakan konsumsi dan meniru. Hal ini jelas membuat seseorang terasingkan pada jati dirinya sendiri, menghasilkan fenomea yang dikenal dengan krisis identitas.

Dengan berbagai sebab yang telah terjelaskan sebelumnya, dari munculnya globalisasi hingga fenomena kelas sosial, teknologi tanpa bisa dipungkiri telah sangat melebur dengan kehidupan manusia. Bila diibaratkan, sekarang manusia dan teknologi bagaikan laba-laba dan jaringnya. Manusia sudah seakan tidak bisa hidup tanpa eksistensi teknologi. Hal ini yang secara fenomenologis dijelaskan Martin Heidegger sebagai ge stell, yaitu sifat membingkai (enframing) dari teknologi. Kemelekatan teknologi dengan manusia membentuk bingkai semu dalam pikiran manusia yang tanpa sadar membatasi cara pandang terhadap dunia yang dipersepsi. Contoh sederhana adalah ketika terjadi kepadaman listrik, manusia seakan bingung untuk melanjutkan aktivitasnya, karena baginya telah terbingkai bahwa tidak mungkin beraktivitas tanpa listrik. Bagi kita sekarang pun sebagai mahasiswa, seakan sudah sangat sulit membayangkan kuliah tanpa adanya internet. Pembingkaian ini jelas merupakan penjara virtual yang sangat menurunkan limit dari kemampuan manusia, yang pada awalnya jelas dapat hidup beradaptasi dengan semua keterbatasan.

Bentuk lain dari penjara ini adalah meleburnya antara yang nyata dengan yang maya. Ini terkait dengan apa yang disebut Jean Baulliard sebagai hiperrealitas, suatu bentuk realita baru yang mana di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian. Dalam hal ini persepsi-persepsi maya terbawa ke dunia nyata dan sebaliknya. Namun, persepsi-persepsi ini tidak diiringi kesiapan dan pemahaman yang kuat, akibat dari kesenjangan yang tercipta sebagai efek writing the undeadable yang saya jelaskan sebelumnya. Persepsi maya-nyata melebur, namun pemahaman merentang jauh. Inilah hiperrealitas.

Untuk dapat membayangkan ini, cobalah kita berpikir, kenapa anak-anak terkadang jauh lebih nyaman bermain secara digital (video game) daripada bermain langsung dengan lingkungan yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan semua bentuk luka atau kerugian yang dapat dirasakan pada dunia nyata tidak akan terjadi di dunia maya. Dalam dunia virtual, bila kita terluka, kita tidak akan langsung merasakan sakit, bila kita gagal, kita akan mudah restart atau mengulang hal yang sama berkali-kali, bila kita melakukan apapun, kita akan merasa aman dalam melakukan itu karena kerugiannya tidak akan langsung dirasakan.

Peleburan ini membuat orang semakin berparadigma secara virtual. Dalam dunia komunikasi contohnya, seseorang akan lebih mudah beretorika dan saling ejek melalui media sosial ketimbang langsung mengatakannya di dunia nyata. Hal ini terus terjadi seiring dengan berkembangnya teknologi yang semakin memudahkan, membuat kenyamanan dunia maya menghasilkan kemalasan sistematis di dunia nyata. Untuk apa kita repot-repot datang suatu forum bila komunikasi bisa mudah dilakukan online? Untuk apa kita datang jauh-jauh ke kelas bila buku literatur sudah bisa didapatkan di mana-mana? Hal ini mengakibatkan munculnya istilah yang disebut salah seorang teman sebagai click activist (merasa aktivis hanya dengan mengklik “share” atau “like” pada isu-isu booming) atau keyboard warrior (yang begitu gencar membuat komentar-komentar singkat di dunia maya). Rasa aman dan nyaman dalam dunia maya ini yang saya sebut sebelumnya sebagai virtual mind. Efek psikologis dari teknologi begitu dalam tertanam dalam kehidupan hingga kita tidak lagi sadar dampaknya secara langsung. Yang terlihat saat ini hanyalah implikasi-implikasi permukaan yang selalu menjadi permasalahan utama kita sekarang. Mulai dari masalah kuorum, partisipasi, hingga kepedulian, bila ditarik akarnya, semua berasal dari teknologi. Namun bagaikan rokok, orang lebih cenderung mencari alternatif solusi lain ketimbang langsung menghentikan sebabnya yang begitu menggoda, begitu nyaman, dan begitu memudahkan.

Bingkai-bingkai semu dari teknologi saat ini begitu kuat mengurung pikiran hingga kita sendiri tidak merasakannya. Namun bila kita perhatikan lebih seksama, manusia saat ini terpenjara oleh semua teknologi yang mereka pakai, korban dari ciptaan sendiri. Teknologi transportasi mulai membingkai konsep tentang jarak, teknologi komunikasi mulai membingkai konsep tentang percakapan, teknologi informasi mulai membingkai konsep tentang makna, dan masih banyak lagi pembingkaian yang membuat kita teralienasi dengan kemanusiaan kita sesungguhnya. Kita sekarang sudah bukan lagi menjadi manusia yang seutuhnya, karena sebagian besar dari kemampuan kita sudah direduksi dan dibingkai secara perlahan oleh adanya teknologi. Yang kita punya saat ini hanyalah emosi dan perasaan, membuat kita saat ini menjadi cenderung reaktif terhadap segala sesuatu.

Dalam dunia irasional, apa lagi yang dapat mengendalikan emosi? Pada akhirnya, kelak, mungkin, seluruh rasionalitas yang dimiliki manusia pindah sepenuhnya pada teknologi, membuat kita menjadi makhluk murni irasional, kembali turun derajat dan mengalami devolusi, menciptakan dominasi baru dunia ekologis, suatu makhluk baru bernama technium. Kita hanya punya dua pilihan, benar-benar melawan atau paling tidak menjaga jarak pasti dan tegas dengan teknologi untuk menjaga agar kemanusiaan kita tidak banyak terkikis, atau mengikuti arus dengan dalih “memanfaatkan”, namun sayang, mayoritas orang saat ini cenderung memilih yang kedua, selalu memandang teknologi sebagai sesuatu yang mengagumkan dan harus dikembangkan. Cinta buta pada manfaat, lupa akan akibat. Padahal, tanpa ada tindakan tegas dari yang menyadari ini, kita hanya tinggal menunggu waktu hingga fenomena seperti film The Matrix benar-benar terjadi, kita hanya tinggal menunggu waktu hingga kemanusiaan akan hanya menjadi debu yang diterbangkan angin.

Kalian yang masih punya hati tentu bisa sangat memahami betapa fatalnya dampak teknologi pada manusia. Jadi tunggu apa lagi? Masih mau jadi korban dan bingung pada keadaan? But, who knows? Pilihan tetap ada pada diri masing-masing

“Matrix adalah dunia impian ciptaan komputer yang dibuat untuk mengendalikan kita untuk mengubah manusia menjadi seperti ini (baterai)”
– Morpheus, dalam film The Matrix (1999) –

(PHX)

Alt Text

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora