Antara Intelektual dan Sebuah Institut 3: Keseimbangan Ilmu

Antara Intelektual dan Sebuah Institut 3: Keseimbangan Ilmu

- 16 mins

Kasus yang terjadi dekat ini mengenai penjualan sks, terlepas itu disengaja atau tidak, mengindikasikan adanya ketidakseimbangan keilmuan yang terjadi di ITB, membuat perguruan tinggi ini makhluk yang pincang. Akhirnya setelah lama melepas pena, tulisan kembali dapat mengalir dari pikiranku dengan lepas, terwujud dalam sebuah refleksi kecil mengenai institut tempat ku menuntut kebijaksanaan saat ini. Dengan mengingat kembali wawancara lamaku dengan pak Yasraf Amir Pilang (Dosen SR) dan kuliah umum mengenai ITB dan perubahan budaya yang ku ikuti semester lalu, aku berusaha merangkai sedikit kegelisahan dalam sebuah untaian opini sebagai layaknya seorang intelektual polos yang hanya ingin mencari kebenaran… di tengah terjangan zaman yang begitu kompleks dan penuh tanda tanya.


“Orang yang menjadikan kebenaran tergantung kepada salah seorang ahli ilmu saja, maka orang itu lebih dekat kepada pertentangan“
– Goenawan Mohamad –

Pembahasan mengenai intelektual adalah sebuah diskursus yang sangat panjang, mengingat betapa krusialnya golongan ini dalam peradaban manusia. Pada dua tulisan sebelumnya, penulis telah mencoba menjabarkan beberapa aspek mengenai fenomena intelektualitas dan bagaimana keadaannya dalam sebuah institusi tempat penulis meniti ilmu saat ini, Institut Teknologi Bandung.

Sejak pertama kali berdiri sebagai TH pada 1920, ITB telah menjadi salah satu perguruan tinggi di Indonesia yang (sebenarnya) memegang peran penting sebagai pusat utama pengembangan intelektualitas di negeri ini. Dulu ia telah sempat melahirkan founding-fathers bangsa ini, dilanjutkan oleh banyak birokrat negara dan pengusaha sukses, termasuk yang berjaya pada rezim Soeharto. Pada masa selanjutnya lantas sempat melahirkan pemikir-pemikir yang kritis dan berontak, hingga akhirnya kini masih lumayan melahirkan pemimpin-pemimpin daerah, enterpreneur-enterpreneur cerdas, korporat-korporat besar, selain para birokrat, politisi, koruptor, ataupun oportunis. Walau tidak dapat dikatakan sebuah penurunan, namun kondisi masa kini dalam hal intelektualitas, khususnya di kampus ganesha ini, mencerminkan banyak ironi yang entah disadari atau tidak.

Melihat keadaan, zaman saat ini memang tengah berpacu dalam sebuah fenomena yang memiliki banyak implikasi. Perkembangan yang terjadi benar-benar berada dalam sebuah wujud yang baru, dengan kecepatan yang sangat baru, wajah baru, bentuk baru, yang mana semua ke-baru-an ini membuat hampir tiap eksistensi semakin menjauh dari jati dirinya sendiri. Hal ini berimbas pada hampir semua bentuk identitas, termasuk intelektual sendiri. Apabila fenomena seperti ini tidak dapat ditanggapi dengan bijak, para intelektual pada akhirnya hanya akan menjadi korban perubahan, bukan motor perubahan itu sendiri.

Kampus dan budaya

Jika dilihat secara sederhana, sebenarnya pada dasarnya yang dimaksud dengan PT, kampus, universitas, atau yang serupa dengan hal tersebut, adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang mencintai ilmu pengetahuan. Seperti “Academia”, yang dulu didirikan oleh Plato sebagai tempat berlangsungnya dialektika dalam wujud cinta orang-orang yunani saat itu terhadap ilmu pengetahuan.Tapi seperti apa yang dikatakan cinta dengan ilmu pengetahuan, itu diwujudkan dalam sebuah tindakan atau proses, yang menjadi aktivitas utama dalam kampus.

Kampus tempat mencari, sederhananya, kata seorang dosen.

Pencarian adalah proses paling utama dalam kehidupan manusia. Pada umumnya, manusia hidup memang selalu mencari, apapun, yang bisa ia anggap dan pegang sebagai makna hidupnya. Dengan dunia yang begitu luas dan kompleks ini, pencarian itu menjadi sebuah proses tanpa batas, baik waktu maupun ruang. Apapun bisa dicari sampai kapanpun. Sudah menjadi “kutukan” manusia ketika keberadaan akalnya memberikan konsekuensi logis untuk sadar akan ketidaktahuan, yang kemudian menuntut untuk mencari tahu. Bahkan aristoteles pun menjadikan rasa penasarannya sebagai pegangan utama dia hidup. Ketika hasil pencarian seseorang dicatat, diarsipkan, direnungkan, disistemasikan, dan kemudian dikelompokkan, lahirlah ilmu. Dan ketika ilmu muncul, muncul pulalah peradaban. Maka, sejak awal perkembangan akal manusia, semangat mencari inilah yang mendasari lahirnya peradaban.

Mencari adalah wujud konkret dari kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. Rasa cinta ini lah yang selama berabad-abad menjadi energi utama pembangunan peradaban, dari Babilonia hingga masyarakat global seperi saat ini. Fondasi-fondasi peradaban berasal dari hasil-hasil pencarian ini.

Hasil dari pencarian apapun pada dasarnya akan menimbulkan kesadaran tersendiri bagi yang menemukan, mulai dari makna hidup hingga etika. Namun apabila ditemukan secara kolektif melalui dialektika dan diskusi, maka yang muncul pun kesadaran kolektif, apa yang hingga saat ini kita kenal dengan kebudayaan. Maka tidak lah aneh ketika kampus, atau perguruan tinggi, disebut sebagai “penjaga budaya”. Ini seperti apa yang dikatakan kalapaking sebagai tujuan univetsitas : “Menjadi koordinator dan pendorong dalam usaha mempelajari dan memperkembangkan ilmu-ilmu dan memberi penerangan kepada masyarakat dalam membangun kebudayaan baru dan tata negara baru.”

Institut Pincang

Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, mengingat dunia begitu luas dan kompleks, berjejaring dan saling terkait antar aspeknya, proses pencarian ini hampir tanpa batas, atau minimal tidak mungkin hanya terbatasi pada hal-hal tertentu tanpa memikirkan hal-hal lainnya. Itulah kenapa dulu ilmu itu satu, karena segalanya saling terkait. Para filsuf dan saintis pada awal-awal peradaban pun multi-disiplin. Seiring dengan berkembangnya ilmu, diciptakanlah klasifikasi pengetahuan agar lebih sistematis dan mudah dipelajari. Namun sayangnya, klasifikasi ini menciptakan sekat-sekat antar ilmu yang semakin renggang dan membuat cabang ilmu menjadi “individualis”. Hal ini berakibat pada sempitnya wawasan pencari ilmu menjadi “specialist”, melihat secara stereotip, dan berpikir mekanistik (menganggap dunia seperti mesin, bisa dipecah menjadi bagian-bagian kecil yang terpisah satu sama lain). Padahal, ilmu pada dasarnya adalah satu, dan akan menjadi “pincang” apabila hanya melihat satu aspek dari sekian banyak aspek dari suatu objek permasalahan.

Ambillah contoh dalam hal pembangunan jalan tol. Ketidakseimbangan dialektika dalam menganalisis permasalahan ini hanya akan membuat kita melihat hal tersebut dalam pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana membuat jalannya awet, bagaimana agar dana efektif, bagaimana struktur tanahnya agar kuat, mekanisme pembangunannya seperti apa, dan lain sebagainya. Hal seperti ini melupakan aspek-aspek moral, budaya, etika, dan hal-hal lainnya yang sering diabaikan. Dalam membangun sebuah jalan tol, tentu saja analisis seperti pemukiman sekitar itu budayanya seperti apa, etikanya bagaimana, seberapa dampak kepada kehidupan mereka, efek sosio-kulturalnya bagaimana, secara moral apakah pantas melakukan pembangunan itu, dan lain sebagainya. Adakah orang yg menganalisis setelah adanya jalan besar orang suku melayu jadi konflik terus?

Pincangnya ilmu ini ternyata berakibat sangat luas. Ilmu pun menjadikehilangan esensinya, karena semakin dikerucutkan, bahkan hingga ke hal teknis. Hakikat cinta dengan pengetahuan pun menjadi hilang, yang ada adalah tuntutan-tuntutan yang berbau politis-ekonomis.

Di Indonesia, hal ini disebabkan oleh perspektif masa orde baru yang berorientasikan pada pembangunan. Ketika ekonomi-industri menjadi prioritas utama, segala aspek kena imbasnya, termasuk pendidikan. Pada akhirnya pendidikan pun yang awalnya punya tujuan mulia memanusiakan manusia, mengalami pergeseran paradigma menjadi bertujuan untuk menghasilkan manusia-manusia yang berperan dalam industri, atau dengan kata lain menjadi pabrik tenaga kerja. Tentu saja yang terkena pengaruh adalah pendidikan tinggi, karena memang di sinilah puncak proses pendidikan formal. Pendidikan tinggi pun turut berorientasi pada kerja, hingga akhirnya, ilmu benar-benar mengalami reduksi makna. Ketika reformasi, hal ini seakan hanya seperti berganti nama, yang dulunya link and match, menjadi triple-helix,KBK, atau lainnya, intinya adalah pendidikan yang berfokus pada kompetensi, agar nantinya ketika lulus siap pakai.

Peran perguruan tinggi dalam pembangunan sebenarnya memang sangat tinggi, tapi hal itu akan menjadi sangat tidak seimbang apabila hanya difokuskan pada satu aspek saja. Jika kembali ke hakikat, karena tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, pendidikan tinggi sebagai puncak pendidikan formal seharusnya merupakan proses terakhir untuk menghasilkan manusia-manusia paripurna, yang siap jiwa dan pikiran, yang telah “mencari” dan menemukan jawabannya dengan kesadaran penuh. Itulah kenapa bisa dikatakan di ITB, bahwa mahasiswa adalah putra-putri harapan bangsa. Namun apakah sesuai harapan? Dengan keadaan pincang seperti saat ini, tentu saja tidak, menjadi harapan perusahaan-perusahaan yangbutuh tenaga kerja mungkin iya, tapi belum untuk bangsa.

Sosioteknologi

Faktor Indonesia yang masih negara berkembang mungkin berpengaruh. Karena jika melihat keadaan di negara maju, misalnya di MIT, kebutuhan tenaga kerja sudah tidak lagi menjadi fokus utama. Mereka tidak hanya menghasilkan tenaga-tenaga professional namun juga pemikir-pemikir. Di sana mereka memiliki STS (Science, Technology, and Society) sebagai penyeimbang. Analisis-analisis dengan perspektif yang berbeda pun dapat muncul. Konsep-konsep filosofis dari teknologi ada yang “mengurus”, sehingga sistem kritik pun berjalan, produk apapun jadi bisa terjaga dan tekontrol dengan baik.

ITB sebenarnya memiliki hal yang serupa STS-nya MIT. Kita di sini memiliki departemen sosiotekologi, yang menyediakan dan mengurus kuliah-kuliah umum sosial-humaniora sebagai penyeimbang. Namun hal ini tidak berjalan dengan semestinya. Seakan departemen ini hanya sekedar “yang penting ada” sebagai justifikasi kepincangan yang terjadi. Karena pada kenyataannya, mata kuliah umum hanya menjadi tempat mahasiswa memburu nilai, dengan adanya istilah “paket A” dan kuliahnya pun relatif mudah. Padahal topik-topik yang disediakan termasuk bagus, dari filsafat sains sampai kontroversi isu sosial. Banyak yang merasa topik-topik seperti itu sama sekali tidak berhubungan dengan keilmuannya, yang menjadi indikasi betapa sempitnya ruang berpikir mahasiswa ITB. Saya pribadi sendiri pun sangat kecewa ketika melihat kuliah filsafat sains yang menurut saya luar biasa menarik, hanya menjadi “ladang nilai” bagi mahasiswanya yang saya lihat tidak menunjukkan minat sedikit pun saat kuliah.

Kejadian yang terjadi belum lama ini pun menjadi ironi yang luar biasa terhadap ITB. Seorang mahasiswa, walaupun memang akhirnya terbukti tidak serius karena dijebak oleh kawannya, menjual SKS mata kuliah umum pada forum jual-beli ITB di dunia maya. Hal ini adalah efek nyata dari perspektif mahasiswa ITB yang memperebutkan mata kuliah umum hanya untuk hal-hal remeh seperti nilai. Sudah tidak asing lagi bagi kami mahasiswa ITB bahwa kebanyakan mata kuliah umum bersifat “paket A”. Kebutuhan terhadap ilmu sosioteknologi sebagai penyeimbang kompetensi yang didapat di jurusan sama sekali nihil dalam pikiran mahasiswa ITB. Hanya segelintir mahasiswa yang benar-benar mengambil mata kuliah umum karena benar-benar merasa tertarik dengan ilmunya.

Hal ini diperparah dengan adanya dogma-dogma yang bersifat menyempitkan luasnya makna ilmu. Usaha-usaha agama untuk memodernisasi dogmanya dengan mencocok-cocokkan perkembangan ilmu dengan prinsip-prinsip agama secara tidak langsung menyempitkan perspektif ilmu dan membuat agama sendiri pun menjadi kehilangan jati diri. Seperti apa yang dikatakan oleh Bambang Sugiharto, dosen filsafat Unpar, yang menyebutkan kondisi faktual saat ini di ITB salah satunya adalah : “Intelektualitasnya menghadapi pengkerdilan dan ketertutupan oleh dogmatisme hard-science, agama dan etnosentrisme baru (fundamentalisme ilmiah, religius dan kultural)”.

ITB under pressure

Jika kembali melihat keadaan yang ideal, perguruan tinggi seharusnya merupakan “agent of change” dan “guardian of value”, hal yang selama ini dianggap hanya menjadi peran mahasiswa. Sebenarnya yang terjadi adalah karena dalam sejarah perguruan tinggi mengalami keterikatan dengan kepentingan, fungsi itu pun tidak terlaksana dengan baik dan akhirnya turun ke mahasiswa yang masih cenderung “bebas”.

Sebagai gudangnya intelektual, ITB memiliki peran penting dalam memimpin gerak perubahan budaya. ITB ideal seharusnya paling terdepan dalam hal respons kritis-kreatif atas perubahan dan trendsetter pemikiran-pemikiran baru ke arah perubahan. Mengingat ITB juga merupakan salah satu dari 5 perguruan tinggi terbesar se-Indonesia, beban dan peran ITB dalam mengarahkan perubahan sangat besar. Namun sayangnya, karena belum hilangnya bekas-bekas orde baru. beban ini masih sering disalahartikan sebagai beban untuk menghasilkan sarjana-sarjana siap pakai, bukannya beban membentuk intelektual yang paripurna, berintegritas dan tidak pincang.

ITB mengikuti arus, bukan membentuk arus, kata seorang dosen.

Globalisasi telah menjadi tekanan besar buat Indonesia sejak awal pertama kali muncul ketika teknologi informasi mulai berevolusi. Ketika batas-batas negara mulai dihapuskan, dunia menjadi bagaikan colosseum yang mena semua negara terjun menjadi gladiator untuk bertahan pada arena yang sama. Hal ini menjadi tekanan besar bagi negara-negara berkembang yang tertuntut habis-habisan untuk mengikuti arus persaingan yang ada. Seperti yang saya tulis dalam tulisan saya yang lain, “Penindasan Pendidikan”, dampak utama dari kompetisi ini adalah terciptanya seleksi ‘hukum alam’, yang mana yang kuat adalah yang dapat bertahan, yang lebih terampil adalah yang dapat berdiri dalam badai globalisasi. Konsep ini adalah konsep persaingan berbasis kompetensi. Karena ketika negara maju sudah ”merebut” peran dalam pengembangan ilmu, negara-negara berkembang hanya dapat mengikutinya dengan mensuplai tenaga kerja untuk menunjang itu.

Tekanan ini yang membuat Indonesia mengalami kesulitan untuk move on dari perspektif pembangunan orde baru. Pendidikan menjadi sulit untuk dikembalikan pada tujuan utamanya, begitu pula perguruan tinggi, tidak terkecuali ITB. Hal yang terpampang setiap ada mahasiswa baru pun hanya menjadi retorika, yang lebih saya baca menjadi, “ Selamat Datang Calon Pemimpin Korporasi”.

Sebenarya, dengan adanya UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang memberi hak otonomi kepada ITB sebagai PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum), ITB punya kesempatan untuk bergerak seluas mungkin untuk terbebas dari tekanan. Hal ini menuntut komitmen dan integritas dari pimpinan-pimpinan ITB sendiri, dari rektor hingga kaprodi. Tekanan arus global yang menerjang Indonesia seharusnya tidak turut menerjang ITB, yang bisa menjadi the last stand buat Indonesia untuk mempertahankan nilai-nilai dasar intelektualitas tanpa harus terbawa kompetisi.

Namun sayangnya, ITB terbawa ambisi-ambisi yang akhirnya menyeret ITB kembali pada kompetisi. Target ITB untuk menjadi world-class university sangat tidak diimbangi dengan penigkatan kualitas nilai-nilai seperti moral, etika, karakter, dan budaya. Yang terjadi hanyalah kita bersaing di dunia internasional tapi kehilangan jati diri. Jika ingin mengikuti insitut ternama seperti MIT, ikuti pula lah keseimbangan yang terjadi di sana, ketika kompetensi diiringi dengan konsep. Yang dilihat jangan lah sekedar fasilitas atau produk jurnalyang dihasilkan, karena banyak hal-hal yang bersifat non-kuantitatif atau tidak terukur yang tidak bisa diabaikan dalam proses pendidikan.

Sistem Dialektika

ITB saat ini memiliki 11 fakultas, 8 diantaranya merupakan fakultas teknik. Hanya SBM (Sekolah Bisnis Manajemen), FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain), dan FMIPA (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) yang dapat dikatakan “abnormal” dalam konstelasi keilmuan ITB. Sebagai sebuah institut berbasis teknologi, menjadi hal wajar bila mayoritas merupakan keilmuan teknik. Yang dapat dicermati disini adalah eksistensi 3 fakultas yang berbeda.

ITB memakai konsep integrasi Sains, Teknologi, Seni sebagai pegangannya. Bahkan hal ini terpampang jelas pada kanopi gedung Sasana Budaya Ganesha. Konsep ini ditambah sosial atau humaniora sebenarnya sudah menjadi konsep yang bagus bila diterapkan dengan baik. Karena betapa perlunya keseimbangan berbagai aspek agar tidak menghasilkan intelektual pincang. Namun sayangnya, pada realita, konsep ini hanya sekedar menjadi slogan.

Integrasi adalah poin terpenting dalam menjaga keseimbangan ilmu, mengingat ilmu pada awalnya adalah satu. Hal ini hanya bisa dipicu ketika ilmu dapat saling berinteraksi, bertemu dalam suatu objek pandang yang sama. Hal ini akan memicu kritk karena perspektif yang berbeda tentu melihat dengan cara yang berbeda. Kritik inilah yang merupakan dasar konstruksi ilmu pengetahuan karena dari kritik timbul dialektika antar ilmu.

Adanya FSRD dan SBM sebenarnya bisa menjadi bumbu untuk mendorong munculnya dialektika, apalagi ketika departemen sosioteknologidalam FSRD dapat dimanfaatkan dengan baik. Pandangan dari perspektif humaniora, seni, bisnis, dan lainnya diperlukan untuk mengkritik teknologi dalam berbagai aspek. Hal ini juga dapat memicu para calon-calon insinyur untuk lebih memahami konsep dan filosofi selain memiliki keterampilan. Teknologi adalah hal yang dapat disorot dari banyak aspek. Apalagi di zaman ketika teknologi menjadi bagian tak terpisahkan dari manusia dan ekologi, berbagai tinjauan perlu dilakukan produk teknologi menjadi lebih terkontrol.

Namun pada kenyataannya, tiga unsur pokok ITB ini (Teknik, Seni, dan SBM) tidak tampak berinteraksi secara produktif-kreatif sebagai suatu komunitas akademis yg utuh. Yang terlihat fakultas-fakultas tersebut hanya berdiri sendiri-sendiri tanpa ada interaksi sedikit pun satu sama lain, bahkan parahnya lagi, fakultas yang cenderung berbeda seperti FSRD dan SBM ini seperti teralienasi atau terasingkan dengan dunia teknik yang sangat berbeda. Mereka bagaikan ras kulit hitam di tengah institut berkulit putih. Inilah sebab utama kepincangan intelektual terjadi di ITB

Adanya pemikiran atau ide yang bebeda atau radikal sangat diperlukan untuk mendobrak penjara perspektif globalisasi yang selama ini memenjarakan kreativitas dan sisi humaniora intelektual ITB. Sangat disayangkan apabila ketika ada yang berpikir aneh sedikit, langsung dikucilkan dan tenggelam dalam ketidakpedulian. Padahal hal itu penting untuk memicu dialektika. Oleh karena itu, interaksi dan kolaborasi ketiga unsur di ITB perlu lebih intensif dan konkrit. Hal ini dapat dibarengi dengan kajian-kajian humanistik, terutama yang bersifat filsafati, perlu disebar dan digunakan untuk mengolah dan menyikapi isu-isu mendasar yang berkembang di masyarakat (posisi FSK dan Salman cukup strategis untuk itu). Mata kuliah umum sosioteknolgi lebih diatur dengan baik, tidak sekedar “yang penting ada”, bahkan bila perlu diwajibkan pada para mahasiswa, agar lebih membuka perspektif dari sekedar mencari nilai. Unsur-unsur lainnya seperti Masjid Salman pun dapat dimanfaatkan untuk memicu dialektika yang lebih luas, membuka sempitnya wawasan terhadap hubungan sains dan agama.

Sebagai mahasiswa?

Sekarang pertanyaan sederhanannya, karena itu semua disebabkan oleh ITB sendiri, lalu mahasiswa bisa apa? Tentu saja banyak. Dari hal yang kecil seperti mengikuti kuliah sosioteknologi dengan serius hingga mengajak diskusi para dosen dan warga ITB lainnya sebagai bentuk kritik dan untuk memicu suasana dialektika yang membagun.

Memang, ketika saya mencoba mengobservasi kondisi terkini di kemahasiswaan. Saya menemukan ternyata tekanan globalisasi sudah penetrasi hingga ke dunia mahasiswa. Trend global sudah membawa mahasiswa ikut turut dalam arus yang luar biasa deras ini. Hal ini mematikan semangat mencari kebenaran dan berdialektika dari mahasiswa yang sebenarnya sejak dulu menjadi kekuatan utama mahasiswa. Faktornya mungkin bisa langsung dari kebijakan ITB sendiri, apalagi dengan banyaknya pembatasan dan tuntutan akademik yang semakin menekan.

Hal ini terlihat dari wadah utama kegiatan non-kurikuler mahasiswa yang semakin “mandul” dengan semua tekanan yang ada. Garda terdepan kajian seperti PSIK, MG, dan ISH Tiben pun mulai mengalami penurunan kegiatan. Corongnya mahasiswa ITB seperti Boulevard dan Persma juga hampir tidak terdengar lagi. Sebaliknya, wadah kegiatan yang memang sesuai dengan arus yang ada tetap bertahan dengan baik, seperti LFM. Kondisi seperti ini sudah bisa dikatakan kritis. Semangat juang mahasiswa dimatikan secara kompak oleh kampus dan arus global sendiri.

Hal yang terakhir dapat kita lakukan sebagai mahasiswa yang masih sadar adalah tetap menjaga integritas idealisme yang ada, baik individu maupun kolektif. Semati-matinya kemahasiswaan, harus tetap ada minimal satu orang yang bisa dijaga idealismenya, karena orang tersebut akan menjadi the last man standing dalam arus global, harapan terakhir intelektualitas.

Pada akhirnya, kita memang berada pada kondisi tertekan. Butuh suatu tekad yang kuat untuk mendobrak keluar dari tekanan tersebut. Dengan bergantinya rektor ITB tahun ini, diharapkan ada perubahan baru yang dapat menyelematkan ITB dari penjara kompetisi global yang selama ini membuat kita kehilangan jati diri sebagai motor perubahan budaya. Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan rektor baru bila punya tekad membawa ITB kembali pada hakikatnya. Para insinyur harus diberikan bekal-bekal ilmu sosial. Departemen sosioteknologi sebagai penyeimbang harus dimaksimalkan. Tiga unsur pokok ITB harus diintegrasikan dalam sebuah sistem dialektika. Fasilitas seperti Sabuga dikembalikan fungsinya sebagai sasana budaya, bukan sekedar menjadi tempat konser atau seminar-seminar dogmatis. Kajian dan diskusi antar-intelektual seperti dosen harus semakin diintensifkan. Paradigma mahasiswa yang kuliah berorientasi kerja pun harus diluruskan. Terakhir, minimal saya, dan teman-teman mahasiswa yang lain, yang masih punya idealisme yang cukup kuat untuk berdiri tegak menantang arus, harus terus menjaga integritas dan menyebarkan idealisme tersebut demi masa depan bersama yang lebih baik.

“Baik buruknja nilai dengan hasil Universiteit terutama tergantung pada pemilihan orang2 jang didjadikan maha-guru.”
– S. Kalapaking, “Hal Universiteit” –

(PHX)

Alt Text

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora