PKI Bangkit, Lelucon Kah?
- 20 mins2 hari yang lalu, 18 tahun reformasi menjadi refleksi bersama, 3 hari yang lalu 108 tahun lahirnya Boedi Oetomo menjadi tonggak momentum kebangkitan nasional. Dari dua hari bersejarah bulan Mei tersebut, keadaan yang terjadi justru malah anomali dalam kebebasan berekspresi. Bukannya memikirkan bagaimana Indonesia bangkit, yang beredar malah komunisme yang bangkit. Aku pun tergerak untuk sekedar menuliskan beberapa hasil obrolan dengan pegiat literasi, penjual buku, hingga dosen mengenai keadaan ini.
Tak ada hujan tak ada angin, tiba-tiba isu mengenai bangkitnya komunisme muncul begitu saja entah darimana. Hal ini pun kemudian diikuti serangkaian tindakan yang tidak masuk akal, dimulai dari menangkap orang-orang yang berartribut palu arit hingga penyitaan buku-buku bernuansa kiri. Beragam respon pun tercipta menanggapi, seperti adanya Pernyataan Bandung yang menolak pemberangusan buku atas nama puluhan penggiat literasi, sastrawan, penulis, dan budayawan. Beberapa pihak memilih untuk diam dan mengambil wilayah aman, menganggap ini hanyalah permainan isu yang selalu terjadi di percaturan kepentingan di Indonesia. Spekulasi-spekulasi menghiasi. Berbagai pertanyaan secara wajar muncul menyikapi: Ada apa gerangan?
Asal Mula
Untuk memahami keadaan, mungkin kita perlu menyelidiki sedikit mengenai rangkaian pola yang menghiasi fenomena yang menarik ini. Mulai munculnya buku-buku, tulisan-tulisan, maupun diskusi-diskusi mengenai paham kiri atau semacamnya sebenarnya sudah muncul sejak lama. Runtuhnya orde baru pada 1998 merupakan momen dimenangkannya kembali kebebasan berekspresi ke tangan rakyat. Diiringi penyeusaian aturan secara bertahap, masyarakat lebih bebas untuk mengeluarkan ekspresi masing-masing tanpa harus was-was ataupun khawatir akan represi aparat pemerintah yang dulunya menghantui.
Beberapa contoh penyesuaian aturan itu adalah amandemen kedua UUD 1945 yang membubuhkan pasal 28F yang berisi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Selain itu, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia membuka ruang lebih pada tiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi menggunakan media apapun. Beberapa tahun kemudian, pada 2003, aturan yang menjadi dasar dilarangnya paham komunisme yakni TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 pun disesuaikan dengan munculnya TAP MPR No. 1 Tahun 2003 yang lebih menghaluskan pelarangan tersebut agar sesuai dengan prinsip demokrasi dan HAM.
Mengenai komunisme atau PKI sendiri pun, beragam diskusi, tulisan, atau bahkan film bermunculan dengan semangat mencari kebenaran yang selama ini dipenjara doktrin dan kediktatoran orde baru. Kita sudah ketahui berbagai film dokumenter dirilis dalam rangka menyingkap fakta-fakta yang selama orde baru tertimbun dalam tekanan pemerintah, dari Shadow Play karya Chris Hilton yang mengungkap bagaimana tragedi 1965 direkayasa, hingga Senyap karya Joshua Oppenheimer yang bertemakan pembantaian massal 1965. Dalam wilayah literasi sendiri pun tidak sedikit buku-buku yang membahas beragam perspektif mengenai tragedi 30S, paham komunisme, ataupun PKI sendiri. Semua kebenaran muncul perlahan-lahan untuk menyembuhkan masyarakat dari kerancuan keyakinan terhadap sejarah.
Epidemi buta sejarah yang akut melanda mayoritas masyarakat Indonesia paska orde baru menjadi hal wajib yang perlu segera ditangani. Mengingat sejarah menjadi sebuah gua gelap yang terjaga ketat selama orde baru, sebenarnya mencari kebenaran sejarah sudah menjadi hal yang sangat dinantikan bagi mereka yang masih punya kesadaran akademis atau minimal rasa untuk mempertanyakan. Apalagi bagi generasi-generasi muda yang tidak terlalu merasakan propaganda orde baru, tragedi 1965, komunisme, dan hal-hal semacamnya sudah secara wajar menjadi objek kehausan mereka akan pengetahuan dan wawasan baru. Namun, sayang merehabilitasi hasil cuci otak besar-besaran selama 30 tahun bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.
Seperti apa yang telah ku jelaskan pada tulisan lain (Palu dan Arit), 30 tahun orde baru adalah waktu yang cukup untuk membuat sejarah dan realita menjadi hal yang sukar dibedakan. Apa yang didoktrin dan dipropagandakan oleh pemerintahan orde baru menjadi kebenaran teryakini yang tak boleh dibantah atau sekedar dipertanyakan. Hal ini seperti apa yang dianalogikan oleh Plato dalam bukunya Politeia yang menjelaskan mengenai bagaimana persepsi mempengaruhi realitas manusia:
“Maka adalah sebuah gua, di mana ada beberapa tawanan yang diikat menghadap ke dinding belakang gua. Mereka sudah berada di sana seumur hidup dan tidak bisa melihat ke mana-mana, hanya bisa melihat ke depan saja. Akan tetapi mereka bisa melihat bayang-bayangan orang di dinding belakang gua. Bayang-bayangan ini disebabkan oleh sebuah api yang berkobar di depan, di lubang masuk ke gua ini dan orang-orang di luar gua yang berjalan berlalu lalang. Para tawanan bisa melihat bayang-bayangan orang ini dan suara-suara mereka yang menggema di dalam gua.
Maka pada suatu hari, salah seorang tawanan dilepas dan dipaksa keluar. Ia disuruh melihat sumber dari bayangan ini semua. Akan tetapi api membuat matanya silau, ia lebih suka melihat bayangannya. Lama kelamaan ia bisa melihat api dan lalu ia mulai terbiasa dan melihat orang-orang yang lalu lalang. Kemudian ia keluar dan melihat matahari (simbol daripada kebenaran), yang sebelumnya hanya sedikit bayangannya yang terlihat, sungai, padang dan sebagainya.
Lalu ia dipaksa kembali ke gua lagi dan hal pertama yang akan dilakukannya adalah membebaskan kawan-kawannya. Akan tetapi kawan-kawannya akan marah karena hal ini akan mengganggu ilusi mereka. Akhirnya mereka bukannya terima kasih tetapi akan sangat marah dan membunuhnya.”
Kebenaran yang diketahui masyarakat adalah kebenaran yang selama ini diberikan selama 30 tahun pemerintahan orde baru, ya bahwa komunisme terkait dengan pemberontak, musuh pancasila, ateis, dan stigma-stigma buruk lainnya. Kebenaran lain justru yang akan dianggap palsu dan salah.
Pelanggaran Kebebasan Berekspresi
Semangat reformasi 1998 sesungguhnya adalah semangat memperbaiki seluruh tatanan masyarakat, termasuk dalam hal pola berpikir dan kebebasan berekspresi. Banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan paska runtuhnya orde baru. Hal ini pun membuat isu komunisme tenggelam dalam berbagai permasalahan bangsa lainnya. Ketika muncul diskusi-diskusi atau buku-buku mengenai paham komunisme pun, hal tersebut tidak menjadi viral dan hanya menjadi konsumsi orang-orang tertentu saja. Namun mengingat betapa kuatnya tertanam, ketakutan terhadap komunisme tidak sepenuhnya hilang, namun menjadi dormant tersimpan dalam benak masyarakat, apalagi yang tidak bersentuhan dengan wilayah akademis. Dormant dalam hal ini berarti bahwa ide tersebut tertidur, namun suatu waktu akan mudah terpicu untuk aktif kembali.
Selama bertahun-tahun sejak reformasi 1998, masyarakat hidup dengan ide anti-komunis yang dormant ini. Kalaupun ada tindakan-tindakan seperti pelarangan buku, itu hanya muncul sedikit dan tidak secara besar-besaran. Tercatat oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), pada tahun 2006 ada 2 buku dilarang oleh kejaksaan, 2007 terdapat 14 buku dilarang di mana 13 diantaranya adalah buku teks pelajaran sekolah, hanya karena tidak mencantumkan kata ‘PKI’ di belakang ‘G30S’, dilanjutkan pada 2008 ada satu buku dilarang, dan 2009 terdapat 5 buku. Namun semua itu seharusnya terhenti setelah Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 membatalkan UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Mengganggu Ketertiban Umum karena dianggap tidak sejalan dengan prinsip negara hukum.
Namun, entah kenapa, tetiba dalam setahun terakhir, gagasan anti-komunisme yang selama ini Dormant aktif kembali dan merebak secara perlahan. Tercatat oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), sejak Januari 2015 hingga Mei 2016 ini, terdapat 46 kasus pelanggaran atas kebebasan berekspresi, yang mana 40 diantaranya terkait dengan isu komunisme. Pelanggaran ini terdiri dari berbagai macam bentuk, mulai dari pelarangan acara (57, 9 persen), intimidasi (50 persen), pembubaran (21,1 persen), hingga perusakan (5,3 persen). Anehnya lagi, kuantitas kasus ini meningkat secara pesat di 2016. Hal ini terlihat dari 40 kasus yang tercatat sejak Januari tahun lalu itu, sekitar setengahnya (19 kasus) terjadi dalam rentang Februari-Mei 2016. (Data lengkap hasil rilis SAFENET ini dapat dilihat langsung di sini)
Lantas, tidakkah kemudian kita berpikir, ada apa gerangan dengan 2 tahun terakhir?
Antara Spekulasi dan Fakta
Memang, ketika berbagai tindakan pelanggaran kebebasan berekspresi bermunculan, terutama terkait dengan paham anti-komunisme, banyak yang mengatakan bahwa ini hanyalah pengalihan isu belaka. Seakan hal yang lumrah, pengalihan isu adalah gagasan yang selalu muncul dalam pikiran masyarakat ketika melihat fenomena di bangsa ini yang tidak bisa dijelaskan. Seakan-akan segala sesuatu di Indonesia ini adalah by design, dengan invisible hand, entah pemerintah atau bukan, yang mengontrol dan merancang segala kejadian yang ada. Spekulasi seperti itu wajar terjadi ketika selalu ada dark side of the moon yang tidak pernah bisa diketahui publik mengenai apapun fenomena yang terjadi di negara ini.
Tapi terlepas dari spekulasi tersebut, marilah coba kita mencari tahu.
Tingkat kasus pelanggaran kebebasan berekspresi tercatat mulai muncul sejak awal 2015. Jika kita tarik mundur, apa yang cukup besar terjadi sebelum 2015, alias tahun 2014 adalah Pemilihan Umum, yang mana memenangkan pasangan Joko Widodo – Yusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk memimpin hingga 2019. Dari visi-misi dan beragam janji serta program yang dijanjikan Jokowi selama kampanye pada Pemilu 2014, salah satunya adalah bahwa beliau berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu. Hal tersebut tertulis jelas pada dokumen visi-misi beliau yang mana berbunyi:
“Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei (1998), Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Orang secara Paksa (1997-1998), Talangsari-Lampung (1989), Tanjung Priok (1984), Tragedi 1965-1966.”
Jelas tersebutkan bahwa tragedi 1965 yang selama ini masih menjadi kabut tebal dalam pengetahuan sejarah masyarakat Indonesia termasuk dalam kasus yang harus diselesaikan, padahal kasus tersebut adalah kasus yang sangat sensitif. Bahkan karena janji tersebut, selama Pemilu 2014 kemarin beredar beragam kampanye hitam yang menuduh Jokowi sebagai pendukung PKI. Hingga akhirnya beliau menang pada pertarungan politik tersebut, mau tidak mau, janji pun harus dilaksanakan.
Entah kenapa pada waktu yang cukup dekat, film dokumenter karya Joshua Oppenheimer berjudul Senyap atau Look of Silence rilis dan mulai diputar pertama kali di Indonesia secara serentak pada 10 Desember 2014 dalam rangka memperingati hari HAM sedunia. Tentu saja hal ini tidak terjadi tanpa ada hambatan apapun. Beragam intimidasi terjadi terhadap pemutaran film ini di berbagai tempat yang mana salah satunya adalah Universitas Brawijaya, bahkan hingga berujung pada pembatalan pemutaran. Respon selanjutnya adalah pada 29 Desember 2014 Lembaga Sensor Film (LSF) mengeluarkan surat yang menolak film Senyap seutuhnya, melarang pemutaran film Senyap untuk umum dan di bioskop. Walaupun begitu, beberapa pemutaran tetap lancar dilakukan, LSF sendiri pun memperbolehkan pemutaran selama dalam lingkungan terbatas.
Pada awal 2015, dari sisi legislasi, pemerintah melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pun mulai gerak dengan pengusulan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). RUU ini pun menjadi salah satu dari 159 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional DPR RI periode 2015-2019. Tentu, ini adalah langkah penting karena tanpa landasan perundang-undangan, janji Jokowi di atas tidak akan bisa tercapai dengan maksimal.
Beragam isu pun mulai menyebar mengenai bahwa usaha rekonsiliasi ini akan berujung pada permintaan maaf Jokowi pada korban kasus 1965. Bahkan sekitar Juli beredar kabar bahwa Jokowi akan meminta maaf pada keluarga PKI pada pidato kenegaraan 14 Agustus 2015 di hadapan DPR RI. Kabar yang sempat menjadi perbincangan di masyarakat itu pun akhirnya tidak terbukti dengan tidak disebutkan apapun mengenai PKI pada pidato tersebeut di kemudian hari. Seiring dengan isu yang menyebar, satu per satu kasus mengenai perlawanan terhadap paham komunisme pun muncul. Pada kurun waktu singkat, Januari hingga April 2015, tercatat ada 8 kasus intimidasi dan pelarangan kegiatan pemutaran film Senyap di berbagai tempat paska rilisnya pada 10 Desember. Selain itu merenteng berbagai kasus lain mewarnai 2015 diiringi dengan isu permintaan maaf pemerintah terhadap korban 1965 yang juga terus muncul.
Di akhir 2015, tepatnya pada 10-13 November 2015, sekelompok aktivis HAM menggelar International Peoples’ Tribunal di Den Haag, Belanda, meminta pemerintah Indonesia bertanggungjawab atas tragedi 1965. Hal ini semakin menghangatkan pro-kontra mengenai apakah pemerintah harus meminta maaf atau tidak kepada korban 1965. Hingga akhirnya, frekuensi kasus-kasus tekanan terhadap apapun yang berbau komunisme, atau lebih luas lagi, berbau kiri, pun meningkat drastis setelah pemerintah melalui Kementrian Koordinator Polhukam memfasilitasi Simposium Nasional yang bertemakan “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan”. Simposium ini sesungguhnya digagas oleh Gubernur Lemhannas, Letjen (Purn) Agus Widjojo yang mana kemudian juga menjadi ketua panita pengarah acara yang dilaksanakan pada 18-19 April 2016 di Hotel Aryaduta tersebut.
Jelas, acara seperti ini langsung ditentang oleh beragam pihak, terutama yang sangat keras menyuarakan akan bahaya bangkitnya komunisme. Ketika simposium itu dibuka, massa yang tergabung dalam Front Pancasila, berunjuk rasa di depan lokasi. Front Pancasila sendiri merupakan himpunan dari beberapa organisasi, seperti Pelajar Islam Indonesia, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Laskar Sapu Jagat, Gerakan Nasional Patriot Indonesia, Center for Indonesian Community Studies, dan Front Pembela Islam. Penolakan juga terjadi dari beberapa purnawirawan Jendral, khususnya TNI AD. Beberapa menganggap simposium ini akan memicu kebangkitan PKI. Berbagai ormas pun merapat dan mengadakan beragam forum dan pertemuan untuk membahas hal ini.
Yang akhirnya membuat kepala geleng-geleng adalah rencana pengadaan simposium ‘tandingan’ pada awal Juni bertemakan “Mengamankan NKRI dari Bahaya Komunisme” yang digagas oleh Gerakan Bela Negara bersama sekitar 200 purnawirawan tentara dan polisi beserta beragam ormas pada pertemuan 13 Mei 2016. Ditambah lagi, simposium itu akan diikuti dengan rencana peresmian organisasi bernama “Barisan Ganyang PKI”yang merupakan gugus tempur dan akan bermain fisik. Beragam perlawanan lainnya pun bermunculan dari berbagai penjuru sebagai respon terhadap isu bangkitnya komunisme.
Kesimpulan Simposium 1965 sebenarnya menyatakan bahwa negara terlibat dalam peristiwa tersebut. Namun tentu hasil ini menuai respon yang bermacam-macam, beberapa pihak masih menyatakan diri menunggu hasil resmi, beberapa pihak lain menolak hasil tersebut. Simposium ini pun semakin memperpanas pro-kontra permintaan maaf pemerintah terhadap korban PKI. Hal ini ditambah dengan kuburan massal yang ditemukan oleh Kontras sebagai bukti terjadinya pelanggaran HAM 1965.
Apakah pola itu cukup untuk menjelaskan keadaan? Ku rasa tidak.
Ideological State Apparatus
Apa yang terjadi pada negara kita sekarang saat ini sebenarnya menunjukkan bagaimana kuasa tidak lagi terpusat pada negara namun masih tetap menjaga masyarakat dalam kontrol, entah langsung ataupun tidak. Ketika terjadi pembubaran atau intimidasi kegiatan dari organisasi kemasyarakatan, pemerintah sebagai yang seharusnya punya kuasa tidak melakukan banyak hal untuk benar-benar menindak dan menjaga agar masyarakat tetap berada dalam suasana demokratis. Kuasa terpusat menjadi terbagi-bagi dalam kuasa-kuasa kecil namun tetap dominan dalam kontrol masyarakat. Pangung pemerintah sekarang adalah panggung citra, sehingga kuasa terpusat bukan lagi hal yang pantas untuk dipakai selayaknya orde baru.
Hal ini pun mengarah suatu konsep yang dikenalkan seorang Marxis Perancis bernama Louis Althusser mengenai bagaimana negara bertindak untuk menjaga kekuasaannya. Dalam sebuah esai yang diulis oleh Althusser pada 1970 berjudul Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation), Althusser mengemukakan teorinya mengenai ideologi dan bagaimana ideologi dijadikan senjata untuk mempertahankan kuasa. Teori ideologi yang dikemukakan oleh Althusser belandaskan dua tesis. Pertama, bahwa ideologi merupakan representasi hubungan imajiner antara individu dengan kondisi eksistensinya. Yang dimaksud dari relasi imajiner di sini lah yang dimaksud Marx sebagai false consciousness atau kesadaran palsu, yang mana menciptakan alienasi (keterasingan) manusia dengan realitas yang sesungguhnya. Secara sederhana hal ini dapat dilihat melalui analogi manusia gua plato yang mana manusia gua yang seumur hidupnya menghabiskan diri di gua akan terasingkan dari realitas sesungguhnya di luar gua. Ideologi yang mereka pegang pun hanyalah sekedar relasi mereka dengan dinding-dinding gua. Tesis kedua Althusser menyatakan bahwa representasi ide yang membentuk ideologi tidak hanya memiliki eksistensi spiritual, tapi juga eksistensi material. Artinya, ideologi pasti akan terejawantahkan dalam bentuk materi yang terwujud dan nyata, seperti tindakan ataupun benda.
Selanjutnya, Althusser menjelaskan bahwa negara untuk mempertahankan kuasanya membutuhkan aparat-aparat negara, namun aparat ini tidak mesti dalam bentuk lembaga buatan pemerintah, tapi juga bisa terimplementasikan dalam kuasa-kuasa kecil seperti organisasi kemasyarakatan, media, atau sekolah. Dalam hal ini, ia pun membagi dua macam aparat negara (State Apparatus), yaitu Repressive State Apparatus (RSA) dan Ideological State Apparatus (ISA). RSA terdiri dari tentara, polisi, pengadilan, dan sebagainya, yang mana menjalankan fungsinya dengan kekerasan, baik fisik maupun non fisik, sedangkan ISA terdiri dari beragam macam institusi yang mana menjaga kekuasaan dengan ideologi.
Perbedaan mendasar antara dua bentuk aparatus ini adalah bahwa RSA cenderung merupakan satu kesatuan yang terdominasi oleh pemerintah, sedangkan ISA terbagi banyak dan plural, yang mana secara formal berada di luar kontrol pemerintah namun mengantarkan nilai-nilai yang sesuai dengan pemerintah untuk menjaga keteraturan dari dalam. ISA memiliki banyak bentuk, bisa agama, sekolah, maupun budaya. Ketika RSA secara jelas memperlihatkan kuasanya dengan tekanan/represi sehingga ia akan menjadikan ketakutan terhadap kekerasan sebagai senjata untuk menciptakan kepatuhan masyarakat, ISA cukup memanfaatkan ideologi dan keyakinan yang dimiliki masyarakat. RSA dan ISA sebenarnya tidak pernah berbentuk terpisah. Sebuah aparat pasti memiliki fungsi ISA dan RSA sekaligus, tidak bisa murni represif atau murni ideologis. Semua bergantung pada dominansi fungsi yang terpakai.
Indonesia masa orde baru sangat dominan menggunakan RSA melalui ABRI yang mana terus menerus mereproduksi kuasanya dengan represi. ISA digencarkan dengan propaganda-propaganda dan doktrin P4 melalui sekolah-sekolah, pelatihan-pelatihan, ataupun media-media lainnya. Ideologi anti-komunis ditanamkan secara perlahan melalui sektor-sektor privat ISA mengiringi tekanan RSA pada sektor publik.
Mencari Pola
Setelah reformasi terjadi, pemerintah tidak lagi bisa menampilkan diri secara terbuka sebagai pihak yang menekan.Politik citra yang menjadi wajah utama demokrasi kita saat ini membuat pemerintah tidak bisa seenaknya menggerakkan institusi-institusi seperti polisi sebagai musuh masyarakat. Hal ini tentu membuat kekerasan tidak lagi bisa diandalkan secara langsung oleh pemerintah. Maka kemudian pemerintah pun mentransformasikan fungsi RSA dari aparat formal ke aparat informal seperti organisasi kemasyarakatan dengan tetap mempertahankan fungsi ideologis melalui pemanfaatan keyakinan masyarakat (dalam konteks Indonesia, paling utama adalah agama).
Itulah kenapa dalam kasus-kasus mengenai pembubaran ataupun intimidasi kegiatan-kegiatan kiri, aparat formal pemerintah tidak pernah jadi garda terdepan, namun selalu ormas-ormas, yang mana ketika melakukan tindakan represif, aparat formal tidak akan berbuat banyak. Apalagi sebenarnya muncul kabar mengenai bahwa salah satu ormas yang rajin melakukan tindakan represif, Front Pembela Islam, merupakan buatan TNI untuk jadi ‘tukang pukul’ atau ‘kambing hitam’ pemerintah agar aparat formal bisa cuci tangan dan terjaga citranya di mata masyarakat. Hal seperti ini memang masih sebatas teori ataupun spekulasi yang perlu diriset kembali lebih lanjut. Tapi melihat pola fenomena yang ada, seperti inkonsistensi dalam represi, imunitas terhadap aturan, maupun ketidakjelasan pemikiran, cukup sukar menafikan argumen bahwa ormas-ormas intoleran yang selama ini rajin menekan masyarakat bukanlah manipulasi pemerintah.
Tentu akan sangat mudah mengontrol dan menekan masyarakat karena ormas-ormas ini punya dua fungsi dominan sekaligus, RSA dan ISA. Mereka akan punya banyak alasan untuk menekan dengan ideologi-ideologi yang ada, seperti atas nama agama atau pancasila, sekaligus bisa melakukan kekerasan namun tetap imun terhadap aturan. Kalaupun pemerintah tidak punya kontrol langsung terhadap ormas-ormas terkait, pemanfaatan ideologi dan keyakinan bisa dengan mudah dilakukan terhadap mereka. Sentilkan saja gagasan bahwa PKI akan bangkit, gelombang penolakan akan langsung muncul mengingat gagasan ini sudah dormant dalam pikiran masyarakat.
Terkait pemberangusan buku-buku kiri yang akhir-akhir ini muncul, Majalah Tempo pada edisi 16-22 Mei ini menjelaskan bahwa hal ini bermula dari pertemuan Jokowi dengan empat kepala lembaga (mantan) RSA: Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN, dan KASAD. Pertemuan ini didasari keluhan dari masyarakat dan sejumlah tokoh agama yang diterima oleh Jokowi mengenai maraknya atribut berbau komunis. Dijelaskan dalam laporan utama Tempo itu pun bahwa muncul dua laporan intelijen yang diterima Presiden: (1) Ada kelompok yang sengaja menciptakan berbagai atribut PKI untuk menciptkan keresahan, yang mana setelah menyebar, kelompok itu pula yang meributkan hal tersebut, dan (2) Ada kelompok yang memang berusaha menghidupkan kembali PKI. Yang dimintai Presiden Jokowi kemudian adalah menindak dua kelompok tersebut, yang dijadikan dasar instruksi bagi empat lembaga tersebut untuk menjadi RSA lagi. Akhirnya karena komentar-komentar bermunculan bahwa pemerintahan Jokowi menjadi bernuansa orde baru, Presiden kemudian meminta agar keempat lembaga tersebut, terutama TNI dan Polri, untuk tidak kebablasan.
Dari berita tersebut sebenarnya cukup aneh bila kita melihat bahwa semua ini hanyalah rekayasa pemerintah, mengingat Jokowi seperti plin plan. Maka tentu ada kuasa lain yang bermain.
Di antara semua masyarakat yang terdoktrin oleh anti-komunisme ala orde baru, doktrin terkuat ada di tubuh TNI AD. Kenapa? Karena jelas, doktrin adalah landasan utama militerisme. Tanpa doktrin, prajurit hanya akan jadi pembangkang yang selalu bertanya. Apalagi dalam konteks sejarah, tragedi 1965 yang mana 7 jenderal terbunuh merupakan luka tersendiri. Sehingga paska reformasi sendiri pun, doktrin anti-komunisme akan terus kental ditanamkan dalam tubuh TNI AD. Jika muncul pertanyaan, kenapa angkatan darat? Karena yang berurusan dengan teritori masyarakat adalah angkatan darat ketika angkatan laut dan udara lebih sibuk mengurusi perbatasan ataupun pertahanan dari luar.
Ketika Simposium 1965 dicetuskan oleh Agus Widjojo, beliau mengatakan bahwa kelompok yang paling kentara menolak simposium tersebut adalah tentara angkatan darat. Banyak purnawirawan TNI yang awalnya diundang pun secara terbuka menolak dengan tetap menganggap bahwa PKI itu pemberontak. Hal ini pun memecah internal TNI AD sendiri, terutama para purnawirawan. Bahkan internal pemerintah sendiri pun bisa beda pendapat. Ketika Luhut Binsar mendukung penuh Simposium 1965, Ramyzad Ryacudu justru sebaliknya, mendukung simposium tandingan yang diadakan gabungan Gerakan Bela Negara bersama ormas-ormas dan purnawirawan TNI-Polri. Apalagi ketika semakin menguatnya wacana mengenai bahwa pemerintah harus minta maaf pada korban 1965, isu kebangkitan PKI menguat dengan intensitas yang sama.
Lantas Bagaimana?
Banyak spekulasi bisa muncul. Salah satunya adalah bahwa semua ini hanya implikasi dari konflik internal TNI AD mengenai rekonsiliasi 1965 dan permintaan maaf pemerintah terhadap korban, atau kemungkinan lain adalah semua ini hanya by design untuk kemudian kelak memunculkan kebutuhan akan kebenaran sehingga RUU KKR bisa ditekan untuk dipercepat dibahas dan disahkan oleh DPR RI. Entah kuasa mana yang berperan, yang jelas ormas-ormas ataupun masyarakat umum hanyalah alat sekaligus objek, aparat ideologis atau ISA yang menyusupkan nilai-nilai yang diinginkan pemerintah tanpa sadar.
Terlepas dari kebenarannya seperti apa, toh semua masih hanya kira-kira, ketika mempelajari semua fenomena yang terjadi sekarang ini, aku jadi hanya merasa korban yang bisa melihat dan mencari tahu seadanya. Mengapa? Karena ketika kepentingan memaninkan gagasan anti-komunis masyarakat yang dormant tapi kemudian aktif kembali, apa yang bisa kita lakukan? Bereaksi dengan kemudian membuat pernyataan sikap, diskusi, atau semacamnya? Mungkin itu perlu, tapi mungkin juga tidak. Karena apalah artinya jika hanya tindakan-tindakan responsif yang kemudian tidak berdampak apa-apa. Jika penyebab konflik selesai, pastilah isu ini akan dingin dengan sendirinya. Bisa saja memang perjuangan dilanjutkan dengan menuntut pemerintah ataupun DPR untuk memperbaiki semua aturan yang berhubungan dengan hal ini, seperti segera dibahasnya RUU KKR agar kebenaran bisa segera terungkap dan meluruskan seluruh doktrin mengenai PKI yang tertancap di masyarakat selama ini.
Di tengah segala kemungkinan ini, hanya satu yang ku pikirkan, gerak apa adanya, tunggu semua generasi orde baru tersingkir dan generasi muda reformasi memegang Indonesia, maka pikiran-pikiran baru yang lebih segar dan bebas dari doktrin anti-komunisme ala orde baru bisa menghilangkan hantu-hantu ketakutan mengenai PKI dan semacamnya dari Indonesia.
Ah sudahlah. Semua ini jadi terasa hanya permainan belaka.
Menteri Pusat Studi Arsip dan Kajian Kebijakan Kabinet KM ITB 2016
(PHX)