Penindasan Pendidikan
- 25 mins“Mereka tahu hasil 2 + 2 = 4 tapi tak tahu mengapa 2 x 2 juga sama dengan 4.”
-― Goenawan Mohamad ―-
Manusia selama ribuan tahun telah menempuh berbagai proses dan dinamika yang sedikit demi sedikit membentuk jaringan yang semakin kompleks dalam alur waktu. Seiring dengan berkembangnya kecerdasan manusia, berbagai implikasi turut mengikuti sebagai bentuk kekuatan pengaruh manusia terhadap semua aspek yang ada, dari sesederhana permasalahan mencari makan hingga berkembangnya teknologi informasi. Dengan proses perkembangan ini, satu per satu sektor permasalahan muncul sebagai bentuk pemekaran dari kompleksitas. Hingga akhirnya saat ini, ketika kita semua mencoba melihat permasalahan di Indonesia, yang terlihat bagikan adalah berbagai kotak-kotak sektor yang seakan memiliki masalahnya sendiri secara terpisah-pisah.
Walaupun begitu, betapapun banyak pendapat yang masing-masing merujuk pada salah satu sektor sebagai yang terpenting dalam permasalahan sutu komunitas atau kelompok manusia, namun hampir dapat kita sepakati bahwa nasib suatu komunitas, atau bangsa dalam konsep luasnya di masa depan sangat bergantung pada kontribusinya pada apa yang kita kenal dengan pendidikan. Sehingga betapa besarnya permasalahan yang ada pada suatu bangsa, sebenarnya dalam jangka panjang dapat kita lihat bersumber dari satu permasalahan, yakni pendidikan.
Menjadi Manusia
Mengapa pendidikan seakan menjadi causa prima dari berbagai permasalahan lainnya adalah karena pendidikan yang bertanggung jawab penuh pada manusia sebagi subjek dan objeknya. Sudah banyak pendapat yang dikemukakan oleh para pakar dan akademisi mengenai definisi dari pendidikan itu sendiri. Namun, semua merujuk pada satu pengertian sederhana yaitu bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Pendidikan berlandaskan penuh dengan hakikat kita semua sebagai manusia, sehingga sederhananya, manusia membutuhkan pendidikan untuk dapat sepenuhnya menjalani kehidupannya baik sebagai individu maupun makhluk sosial. Betapa fundamentalnya permasalahan pendidikan membuat pendidikan menjadi kunci utama permalasalahan kelompok manusia lainnya, dari ekonomi hingga politik.
Manusia sebagai subjek sekaligus objek pendidikan dalam sejarahnya selalu disertai kutub dikotomi hakikat manusia, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Hal ini membuat dinamika kehidupan manusia selalu merupakan konflik antara prinsip individualisme yang menuntut individu untuk menjadi ‘dirinya sendiri’, dan prinsip kolektivisme yang menganggap individu sebagai bagian kolektif dari kelompok dan mimiliki fungsi tertentu untuk mendukung keseluruhan tujuan bersama. Kita tidak dapat mengatakan salah satu dari prinsip ini yang harus diprioritaskan, oleh karena itu pendidikan sebagai bagian penting pembentukan manusia harus melibatkan dua dimensi ini. Setiap individu, selain memiliki potensi yang bersifat pribadi untuk dikembangkan, juga memiliki nilai dan norma yang harus dipatuhi sebagai dampak posisi dan interaksinya terhadap lingkungannya. Keseimbangan antara keduanya akan menghasilkan manusia yang seutuhnya.
Mengenai manusia yang seutuhnya, secara etika ini berkaitan mengenai bagaimana kita memandang manusia itu sendiri. Immanuel Kant pernah melakukan refleksi terhadap hakikat manusia yang menghasilkan suatu pandangan bahwa norma dasar terpenting adalah martabat manusia. Dalam konteks ini menurut Kant harus dibedakan antara “harga” (price) dan “martabat” (dignity). Perbedaan sederhanannya adalah “harga” selalu bisa diganti sesuatu yang lain. Untuk sesuatu mempunyai “harga”, selalu tersedia sebuah ekuivalen yang dapat menggantikannya, sedangkan sesuatu yang mempunyai martabat adalah unik dan tidak dapat disetarakan atau diganti sesuatu yang lain. Perbedaan inilah yang menjadi kabur di masa kini dengan adanya prinsip ekonomi liberal sehingga manusia pun dianggap sebagai komoditas.
Paradigma pendidikan berkaitan erat mengenai bagaimana manusia itu diakui. Memandang sosok manusia hanya dalam bentuk harga akan menumbuh suburkan prinsip individualitas yang kemudian membuat pendidikan hanya berorientasi prestasi, nilai, atau semua bentuk indikator penilaian kognitif. Human Capital atau modal manusia dalam bentuk keterampilan dan pengetahuan individu menjadi fokus yang terpenting selain money capital, karena pada akhirnya human capital ini dapat dikonversi ke dalam bentuk materi. Prinsip individualisme ini pada akhirnya akan lebih cenderung menghasilkan suasana kompetisi ketimbang kolaborasi.
Penindasan (terhadap) Pendidikan
Sejak revolusi industri, benih-benih globalisasi mulai muncul dan tumbuh subur seiring dengan berkembangnya teknologi informasi yang saat ini sudah mencapai kecepatan perkembangan yang menakjubkan. Globalisasi mengaburkan batas-batas fisik maupun nonfisik antar negara sehingga membuat kita bertransformasi menuju masyarakat dunia ketimbang masyarakat nasional. Hal ini menghasilkan bentuk persaingan baru antar bangsa yang diakibatkan pergeseran paradgima sebagai dampak dari globalisasi. Pergeseran ini disebutkan oleh Kuntowijoyo merupakan peralihan dari paradigma keunggulan komparatif menuju keunggulan kompetitif.
Pada prosesnya, globalisasi kemudian menciptakan suasana kompetisi yang sangat tinggi. Dengan menghadapi persaingan global yang tidak pernah berhenti, apalagi mengetahui kemajuan-kemajuan yang ada di negara lain, pendidikan pada akhirnya mengalami dampaknya sebagai yang berperan dalam pembentukan manusia. Ketika kebanggaan sumber daya alam sebagai bentuk komparasi tidak lagi menjadi keunggulan dengan adanya pergeseran paradigma, kualitas sumber daya manusia kemudian menjadi fokus utama persaingan sebagai bentuk kompetisinya. Kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan individu terus berusaha ditempa dalam rangka menghadapi tantangan globalisasi. Hal ini secara tidak langsung berujung pada kacamata materialisme yang memandang manusia berdasarkan “harga”, yang dapat dinilai dan dibanding-bandingkan satu dengan lain untuk dapat dikonversi menjadi potensi materi. Paham materialistik yang hanya memandang manusia sebagai alat kerja tidak menghormatinya sebagai manusia seutuhnya. Hal ini yang disebut Paulo Freire dalam “Pendidikan Kaum Tertindas” sebagai pendidikan ‘gaya bank’, yang mana murid bagaikan gelas kosong yang diisi air belaka, menilainya dalam bentuk ‘harga’, bukannya ‘martabat’.
Individualisme dan materialisme akhirnya menjadi tumbuh lambat laun dengan adanya perubahan kacamata pandang ini.Human Capital dalam bentuk keahlian dan intelektualitas menjadi perhatian utama. Dampak utama dari kompetisi ini adalah terciptanya seleksi ‘hukum alam’, yang mana yang kuat adalah yang dapat bertahan, yang lebih terampil dan berpengetahuan adalah yang dapat berdiri dalam badai globalisasi. Seleksi alam ini pda akhirya tidak memberikan banyak pilihan pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk tertatih-tatih mengikuti arus yang ada. Walau itu berarti menggerus dan beralih dari cita-cita utama, yang penting adalah dapat mengejar ketertinggalan. Sederhananya, jika tidak dapat bersaing, kita akan kalah. Prinsip ini terus berkembang hingga akhirnya mengakar menjadi pandangan umum masyarakat terhadap pendidikan.
Memang, pada akhirnya meski dalam jumlah kecil, secara individual siswa Indonesia ternyata mampu meraih beragam prestasi yang dapat dikatakan membanggakan dalam berbagai kompetisi dan perlombaan tingkat dunia. Berkali-kali siswa Indonesia dapat meraih medali dan kemenangan seperti medali emas yang didapatkan dari dua karya invensi remaja Indonesia dalam ajang International Exhibition for Young Inventors (IEYI) Ke-12 yang diselenggarakan pada 28-30 Juni 2012 di Bangkok International Trade and Exhibition Center, Thailand, atau kemenangan 1 medali emas, 1 medali perak, dan 4 medali perunggu dalam “International Mathematical Olympiad (IMO)” ke-54 yang berlangsung di Kota Santa Marta, Kolombia, pada tanggal 18-28 Juli 2013, serta masih banyak torehan presatasi anak bangsa lainnya yang mononjol secara individu. Tapi apakah hanya itu tujuan utama pendidikan?
Dengan semua serangan globalisasi yang semakin tidak mungkin lagi dibendung ini, pendidikan menjadi korban utamanya. Indonesia mau tidak mau tertuntut untuk turut serta dalam persaingan ini apabila tidak ingin tertinggal. Pendidikan beralih fungsi sebagai pencipta tenaga kerja, pecipta pencipta medali dan piala. Suasana dan paradigma yang ditanamkan ke dalam peserta didik pun lebih terfokus pada kompetisi prestasi dan nilai. Ketika pendidikan akhirnya dibatasi dalam pilihan-pilihan yang terbatas, pendidikan itu sendiri akhirnya tidak memiliki kebebasan penuh untuk dapat menjadi benteng utama, guardian of value kepribadian bangsa. Keterbatasan ini membuat pendidikan seakan tertindas dengan ketidakmampuannya untuk menjalankan tugas luhurnya secara bebas dengan baik.
Menelisik sedikit fungsi pendidikan, dalam UU sisdiknas disebutkan “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Dalam hal ini terkelompok dua fungsi besar pendidikan, yakni mengembangkan kemampuan bangsa, dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, yang terangkum dalam satu tujuan besar yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Di sini pun jelas tertulis bahwa yang menjadi fokus di sini adalah manusia dalam martabatnya (dignity), bukan harganya (price) yang selama ini menjadi perhatian utama dalam bentuk nilai dan prestasi. Menjadi manusia baik adalah prioritas ketimbang menjadi manusia pintar. Walau akhirnya itu hanya menjadi sekedar idealisme semu, harapan palsu, dengan adanya kontradiksi dengan pandangan masyarakat awam yang memandang “tidak cukup untuk menjadi baik bila ingin hidup”.
Globalisasi telah menjadi penindas tidak langsung terhadap pendidikan negara-negara berkembang. Berbagai negara, terutama Indonesia, seakan tidak memiliki pilihan lain selain mau tidak mau mengikuti semua perkembangan yang ada, tidak percaya diri terhadap potensi sendiri dan terlalu banyak memandang ke luar. Kepercayaan dan idealisme Indonesia terhadap pengembangan kepribadian sebagai senjata utama bangsa ini hanya terakhir terdengar puluhan tahun yang lalu dari bapak revolusi kita, Ir. Soekarno. Tidak masalah tertinggal tapi berdiri dengan kaki sendiri daripada berkembang tapi tidak menjadi diri sendiri. Hal ini yang dijelaskan oleh Keer Bertens dalam bukunya “Etika” sebagai bentuk kebebasan eksistensial, yang mana sesuatu itu bebas bila terlepas dari inotentisitas dan keterasingan. Bertens memang menyebutkan bahwa kebebasan eksistensial memang lebih sulit tercapai di masa kini yang mana dunia sedang berkembang dalam bentuk mass culture, suatu kebudayaan massa, yang merupakan dampak dari globalisasi. Konsumsi adalah konsumsi massa. Otentisitas dan kemandirian semakin sulit untuk diwujudkan. Pada akhirnya kita hanya menjadi pengikut, tenggelam dalam massa dan arus global, terasing dengan keperibadian bangsa sendiri, tidak memiliki jati diri, dan tertindas dalam bentuk pendidikan individualistik.
Penindasan (oleh) Pendidikan
Sebagai dampak dari globalisasi dan perkembangan teknologi yang tak dapat dibendung, Indonesia sebagai negara berkembang secara lambat laun membentuk perspektif pembangunan bangsa yang berpijak pada human capital, karena sangat jelas bahwa pembangunan sumberdaya manusia dalam perspektif pembangunan ekonomi telah diakui sebagai salah satu bentuk investasi yang paing berpengaruh terhadap pertumbuhan produktivitas suatu bangsa. Pijakan ini kemudian berpengaruh besar pada sektor-sektor lainnya, termasuk pendidikan sebagai pembentuk sumberdaya manusia itu sendiri. Pijakan yang terpakai dalam perkembangan pendidikan di Indonesia pada akhirnya cenderung terlalu mengeksplorasi manusia dalam bentuk nilai-nilai dan standar, sehingga mengabaikan hakikat manusia sebagai makhluk bermartabat
Perspektif pendidikan yang tefokus pada pembangunan ekonomi ini menimbulkan paradigma umum masyarakat yang melenceng dari fungsi utama pendidikan. Yang berkembang di masyarakat akhirnya adalah pandangan bahwa salah satu tujuan seseorang menempuh jenjang pendidikan adalah agar memiliki keterampilan hidup dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya dalam aspek ekonomi. Seseorang yang terdidik memiliki jalan yang lebih terbuka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dikarenakan semua keterampilan dan ilmu yang didapatnya selama proses pendidikan menjadi sebuah “harga” yang dapat ditukarkan dengan kebutuhan lain. Pendidikan bukan lagi dipandang untuk menaikkan derajat seorang manusia dari segi norma dan moral, tapi sekedar dari intelektualitas.
Hal ini melahirkan situasi kompetitif yang berlebihan sehingga menimbulkan efek ‘seleksi alam’ dalam perkembangan manusia. Seleksi ini pun bertingkat-tingkat dari awal bagaimana seseorang dapat berpartisipasi dalam proses pendidikan hingga bagaimana ia dapat memanfaatkan hasil dari pendidikannya tersebut. Manusia, lebih tepatnya setiap manusia, yang seharusnya merupakan fokus utama pendidikan tertindas dalam bentuk seleksi-seleksi yang tercipta sebagai hasil dari pendidikan yang berprinsip kompetitif-individual.
Selama ini kondisi pendidikan di Indonesia berada pada hal yang kita kenal dengan ‘lingkaran setan’, siklus tiada henti yang menjebak seseorang dalam suatu keadaan. Untuk dapat memperoleh pendidikan, seseorang membutuhkan biaya dan waktu yang lebih, agar pada akhirnya hasil dari proses pendidikan itu adalah untuk mendapatkan biaya dan waktu yang lebih. Apabila seseorang berada di bawah batas biaya dan waktu yang dibutuhkan ia tidak dapat menempuh pendidikan secara normal untuk dapat mendapatkan biaya tambahan. Hal ini akhirnya menjadi perenggang kesenjangan sosial terbesar, yang pintar semakin pintar dan sebaliknya, yang kaya semakin kaya dan sebaliknya. Seleksi dalam bentuk biaya ini sebenarnya bukanlah suatu masalah yang menjadi paradoks, karena sudah jelas bahwa setiap warga negara di Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan. Adalah tugas pemerintah untuk dapat memenuhinya dengan baik, namun apakah itu masalah sebenarnya?
Di telisik lebih lanjut, seleksi ini meningkat dengan tingginya tingkat pendidikan dan akan semakin terlihat pada perguruan tinggi, yang merupakan pabrik akhir proses pendidikan. Wajar apabila memang pada pendidikan dasar-menengah, tingkat pendidikan akan semakin mempertinggi pula ketegangan seleksi yang terjadi. Jumlah yang dapat bersekolah hingga SMA akan lebih rendah daripada yang dapat bersekolah SMP, begitu pula yang SMP lebih rendah ketimbang yang SD. Tapi melihat lingkaran yang ada,apakah yang lulusan SMP dengan lulusan SD memiliki perbedaan signifikan dalam hal probabilitas mencari biaya hidup? Yang terjadi adalah setiap jenjang pendidikan dasar-menengah tidak memiliki perbedaan yang berarti jika dilihat dalam perspektif pendidikan yang memandang manusia dalam bentuk keterampilan dan intelektualitas.
SD-SMP-SMA adalah satu paket proses sedemikian sehingga menempuh sebagiannya saja hampir tidak ada bedanya dengan tidak mengikuti sama sekali. Di dalam satu paket itu sendiri pun ada seleksi kualitas dalam bentuk kompetisi yang tidak dapat kita pandang sebelah mata. Banyak siswa-siswa yang memang benar-benar menonjol dalam hal akademik sehingga memperlihatkan prestasi yang membanggakan bahkan hingga skala internasional. Namun demikian, prestasi ini belum dapat dibanggakan karena hanya diperoleh sebagian kecil siswa yang dilatih khusus oleh guru yang terlatih pula. Pada kenyataannya, mayoritas siswa Indonesia memiliki presatasi yang relatif rendah ketimbang negara-negara lain. Bahkan, akibat dari sistem kompetisi seperti ini, semakin terlihat lebih banyak siswa-siswa dari sekolah ‘papan bawah’ yang belum mendapat perhatian. Sistem kompetisi hanya menguntungkan siswa-siswa ‘papan atas’ yang mendapat perhatian dari guru-guru berkualitas. Sistem ini merupakan hasil dari pengembangan siswa berdasarkan human capital yang semakin memperkuat individualisme dan ketidakadilan.
Tugas pemerintah dalam hal membuat semua orang dapat bersekolah dasar-menengah sebenarnya bukan sebuah tantangan yang di luar jangkauan, tapi apalah artinya jika semua itu hanya mengejar kuantitas manusia yang bersekolah dalam bentuk formalitas keberhasilan pembangunan? Memandang manusia tidak sebagai manusia akan membuat seleksi ini semakin menggerus fungsi pendidikan yang seharusnya terfokus pada dignity. Seseorang dapat bersekolah SD hingga SMA mungkin adalah hal yang cukup bagus, tapi yang terpenting adalah telah menjadi apa orang tersebut setelah menempuh pendidikan tersebut? Lebih buruknya lagi, kemungkinan mayoritas lulusan SMA tidak mengerti sepenuhnya manfaat dari kebanyakan materi pendidikan yang diajarkan di sekolah. Karena apa? Karena sekali lagi, fokus pendidikan dalam efek globalisasi saat ini adalah untuk menciptakan tenaga kerja, apabila tidak diteruskan ke perguruan tinggi, semua ilmu itu seakan menguap begitu saja, mengendap dalam memori, terkecuali SMK yang memang telah dilatih hingga ke peneraan ilmu itu sendiri. Walaupun begitu, prinsip kurikulum SMK tidak menjawab masalah melencengnya tujuan pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia.
Pada tahap berikutnya, yakni pendidikan tinggi, seleksi yang sebenarnya baru terjadi. Pendidikan tinggi adalah pintu terakhir keluarnya hasil proses pendidikan yang utuh,yang telah sempurna menempuh setiap tahap dan lolos dari berbagai seleksi yang menindas. Bahkan, seseorang baru dapat dikatakan terdidik (educated man), apabila telah minimal menempuh pendidikan tinggi. Di sini peserta didiknya memiliki identitas baru yang memiliki sejarah harum sebagai garda terdepan perubahan. Identitas, yang kita kenal sebagai intelektual ini yang selanjutnya memberikan beban besar di pundak masing-masing peserta didik sebagai mereka ‘yang terpilih’ dari proses kompetisi yang tercipta.
Kaum intelektual, yang melekat pada nama lain, mahasiswa, mungkin tidak sekedar nama yang mungkin terdengar biasa saja pada kebanyakan telinga. Mereka mengalami kematangan ilmu yang dikembangkan dalam budaya akademik yang tersistemasi dalam tridharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat). Dari tiga dharma tersebut dapat kita pahami betapa besarnya beban seseorang yang terdidik. Di sini dapat terlihat sesuatu yang lebih dalam mengenai pendidikan, yaitu bahwa tujuan pendidikan bukanlah semata-mata untuk mengembangkan kemampuan intelektual, lebih dari itu adalah untuk meningkatkan taraf hidup peserta didik maupun masyarakatnya. Selain itu, peranan pendidikan bukan hanya sekedar penerima nilai-nilai budaya tetapi juga sebagai unsur pengembang kebudayaan artinya pendidikan sebagai suatu proses kehidupan yaitu untuk menolong diri sendiri dan meningkatkan martabat masyarakatnya. Pendidikan memang tidak dapat dilepaskan dari martabat manusia, yang dalam bentuk kolektif tersusun dalam bentuk budaya.
Sayangnya, bentuk ideal selalu sangat berbeda ketimbang realita. Sebagai akibat susana kompetisi yang terbentuk sejak sekolah dasar, mental bersaing yang tertanam dalam peserta didik pun bersifat individualistik dan self-centered, terlebih ketika setiap perkembangannya keunggulan selalu dikaitkan dengan human capital. Mental individual ini yang secara terpadu dipupuk sedikit demi sedikit selama sekolah dasar-menengah akhirnya mengikis tanggung jawab moral dalam kepribadian setiap peserta didik. Kalaupun pada masa pendidikan tinggi terselip sedikit mengenai idealisme-idealisme retorik mengenai mahasiswa sebagai agen perubahan dan lainsebagainya, ataupun diberikan pemahaman mengenai tridharma perguruan tinggi dan tetekbengek-nya, semua hanya seakan melukis di atas air, karena kepribadian manusia telah terpatri ketika ia mengalami sekolah dasar-menengah. Paradigma pendidikan berorientasi pembangunan hanya akan menghasilkan mental-mental pekerja, bukan pengabdi, mental peniru, bukan pengembang, mental individu, bukan sosial. Hal ini yang akhirnya membuat pendidikan tinggi hanya sebagai penyempurna para pekerja, yang berikutnya ketika lulus entah kemana.
Ketika kita bertanya, siapa yang bertanggung jawab terhadap yang tidak terdidik? Tentu saja mereka yang terdidik! Sehingga dalam konsep makronya, seharusnya mereka yang berhasil lolos seleksi alam yang terjadi dalam sebuah perjuangan panjang akan kembali untuk membantu mereka yang tidak mampu lolos. Anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah “dosa” setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini. Tapi apalah guna berbicara yang ideal apabila paradigma masih melenceng dariesensi, ketiadaan tanggung jawab moral yang semestinya ditanamkan selama menempuh pendidikan dasar-menengah membuat pendidikan menjadi produsen penindas itu sendiri. Intelektualitas adalah suatu hal yang membebaskan orang menjadi manusia seutuhnya dengan akal pikiran yang mandiri. Mereka yang intelek artinya adalah yang sadar sepenuhnya akan siapa dia dan apa yang harus dia lakukan. Kesadaran dan kebebasan ini lah yang menjadi inti utama pendidikan ketika diterapkan pada kaum-kaum tertindas seperti yang coba dikaji oleh Freire. Namun ketika kaum intelektual itu sendiri memanfaatkan kesadaran dan kebebasannya tanpa disadari dengan tanggung jawab dan etika moral, kaum intelektual sama saja mengambil kebebasan itu dari yang seharusnya hak setiap manusia dalam hidup. Mereka yang dapat menjadi sarjana hanya menjadi budak-budak korporasi ataupun penjahat-penjahan birokrasi di pemerintahan atau mugkin hanya jadi sekedar manusia biasa yang hanya bisa bereaksi atau apatis terhadap bangsanya sendiri. Lalu apa bedanya, kaum intelektual dengan penindas itu sendiri?
Pada dasarnya, seleksi yang terjadi menghasilkan dua kutub manusia yang berbeda, mereka yang tidak mampu menyelesaikan seleksi dengan menempuh pendidikan secara sempurna hingga pendidikan tinggi terjebak dalam lingkaran yang membuatnya selalu berada dalam keadaan tidak mampu untuk mengubah taraf hidupnya. Mereka kehilangan kesukarelaan dalam bertindak karena adanya keharusan bekerja dari kecil ataupun ketidakmampuan meraih akses pendidikan. Hal ini yang digolongkan lagi oleh Bertens sebagai kebebasan moral, yaitu kebebasan yang terlepas dari paksaan moral atau ketidaksukarelaan dalam melakukan sesuatu dalam hidupnya. Sedangkan untuk mereka yang berhasil lolos dan menjadi intelektual sepenuhnya akan terkekang zaman dan terbawa arus, membawanya secara tidak sadar menuju pengasingan jati diri, mengikuti mode, dan akhirnya merenggut kebebasan eksistensialnya. Terenggutnya kebebasan eksistensial mereka yang lolos ini membuat mereka kehilangan kepedulian dan tanggung jawab moral terhadap bangsanya sendiri, menjadi individualistik dan ignorant sehingga berbalik menjadi penindas mereka yang tertindas kebebasan moralnya. Menjadi ironi memang ketika pendidikan yang gagal melaksanakan esensinya akhirnya membentuk penindas itu sendiri, atau dengan kata lain penindasan yang terjadi dilakukan oleh pendidikan itu sendiri.
Social Capital
Perspektif manusia terhadap konsep capital atau modal bermula dengan terfokus pada materi atau sumberdaya fisik seperti SDA, faktor produksi, ataupun money capital. Hal ini yang kemudian menumbuhkan persaingan komparatif antar negara yang semakin berusaha mengembangkan tiap sektor materinya yang dirasa dapat menjadi keunggulan negara tersebut. Setelah terjadinya revolusi teknologi informasi dan berkembangnya globalisasi, timbul peralihan dari persaingan komparatif menjadi persaingan kompetitif yang lebih terfokus pada sumber daya manusia karena dapat dikembangkan oleh negara manapun tanpa harus terbatas pada keunggulan-keunggulan fisik. Perspektif manusia terhadap modal pun teralih pada sumberdaya manusia atau human capital, yang ditandai dengan intelektualitas dan profesionalitas. Padahal dapat kita pahami bersama bahwa hal ini cenderung mengarah pada individualisme yang berlebihan sehingga akan berdampak pada malapetaka kolektif. Suyata, dalam paper yang beliau sajikan dalam seminar Resolusi Kebijakan Pendidikan Nasional, menyebutkan, “Kita dapat mengamati dari konflik yang sering terjadi di semua tingkatan dan kehidupan, korupsi tetap meluas, lunturnya semangat pengabdian, maraknya egoisme berlebihan, rendahnya sense of crisis, kebodohan politik, dan sebagainya.”
Jelas sebelumnya terjelaskan bahwa hakikat manusia tidak sekedar sebagai makhluk individu, namun juga sebagai makhluk sosial. Eksplorasi berlebihan pada individu mengabaikan hakikat manusia dalam bentuk kolektif. Dalam diri manusia, selain memiliki kemampuan dan keterampilan individu, sebenarya terdapat juga potensi-potensi sumberdaya atau modal yang perlu menjadi perhatian utama namun selama ini dikesampingkan, yaitu modal yang lahir dan berkembang melalui pendidikan di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Modal ini dikenal dengan modal sosial (social capital) atau dalam bentuk modal budaya (cultural capital).
James Coleman, seorang sosiolog yang mempopulerkan istilah modal sosial mendifinisikannya sebagai sumber bermanfaat yang tersedia bagi aktor melalui hubungan sosialnya. Dalam hal ini, tampak bahwa modal sosial membutuhkan adanya kerjasama antar individu untuk memunculkan kemampuan-kemampuan yang terbatasi modal-modal lainnya. Modal sosial akan memudahkan pencapaian tujuan yang tidak dapat dicapai tanpa keberadaannnya atau dapat dicapai hanya dengan biaya yang lebih besar. Hal ini ditandai dengan adanya relasi sosial yang terpelihara, jaringan kerjasama yang sinergis, kepatuhan terhadap budaya dan norma yang berlaku, dan komunikasi yang berkelanjutan. Tentu saja keberadaan modal ini berpotensi menghancurkan tembok-tembok kaku yang selama ini mengekang paradigma negara-negara berkembang yang terbatasi oleh human capital ataupun money capital.
Bangsa Indonesia memiliki kekayaan dalam hal nilai dan norma luhur yang tersebar dalam budaya-budaya yang beragam di tiap daerahnya. Keragaman budaya menjadikan suatu kesamaan penting yang menyatukan satu Indonesia dalam satu ideologi kerakyatan. Prinsip inilah yang menjadikan pendidikan sebagai aspek penting untuk dsadari sebagai ujung tombak berkembangnya masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang seutuhnya. Ini yang menjadikan paradigma pendidikan di Indonesia seharusnya cukup berbeda ketimbang paradigma pendidikan yang berlaku umum di beberapa negara maju yang hanya memusatkan prinsip individualisme yang hanya memandang potensi sebatas individu. Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa tugas lembaga pendidikan tidak sesederhana membuat orang menjadi pintar dan berpengetahuan , tetapi harus menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam kehidupannya agar kelak menjadi manusia yang memiliki kepribadian , beradab, dan bersusila. Dalam salah satu pidatonya pada tahun 1949,Ki Hajar Pendidikan menyatakan, “pendidikan dan pengajaran dalah usaha kebudayaan semata-mata, bahwa perguran itu adalah taman persemaian benih-benih kebudayaan bagi suatu bangsa”. Sehingga di sini penjiwaan kebudayaan dalam bentuk wawasan kebangsaan dan penanaman budi pekerti adalah hal yang harus menjadi prioritas dalam proses pendidikan di Indonesia.
Dalam tugas luhurnya, sangat jelas bahwa pendidikan seharusnya bersandarkan pada modal sosial yang sangat berpotensi ditumbuhkan di masyarakat Indonesia. Kekentalan budaya dan nilai-nilai luhur gotong royong yang masih melekat dalam jiwa bangsa Indonesia menjadikan modal sosial dapat menjadi senjata utama pengembangan sumberdaya selain modal individu maupun modal materi. Pendidikan yang ideal memang seharusnya mempertimbangkan perspektif sosial dalam menjalankan pengembangan manusia yang baik. Bahkan pendidikan pun sebenarnya tidak secara sempit dipandang dalam bentuk pendidikan formal melalui sekolah. Menurut Ki Hajar, proses pendidikan bagi manusia berlangsung dalam tiga lembaga yang disebutnya sebagai tripusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya secara bertahap dan terpadu mengamban tanggung jawab pendidikan dan merupakan komponen utama pendidikan manusia sepanjang kehidupannya.
Kajian mengenai modal sosial bukanlah hal yang singkat untuk dibahas dan karena itu tidak akan dijelaskan mendalam di tulisan ini. Namun dari penjelasan singkat sebelumnya terlihat bahwa ketika modal sosial, yang potensial dimiliki Indonesia, dapat dioptimalkan dengan baik dan dijadikan perspektif utama dalam menjalankan proses pendidikan, batasan-batasan biaya ataupun waktu yang selama ini menjadi probelmatika klasik tiada henti di negara berkembang tidak lagi menjadi hambatan. Bahkan modal sosial memiliki berbagai kelebihan tersendiri yang tidak dapat diraih dengan modal lain seperti adanya dinamika refleksi yang saling memperbaik dalam suatu ikatan sosial. Hal ini dijelaskan oleh Muhammad Ikhsan, dalam disertasinya mengenai pengaruh modal sosial dalam pengembangan profesionalisme guru, bahwa pendekatan baru dalam perencanaan harus didukung oleh praktik reflektif guru lain yang juga telah mempelajarinya karena praktik reflektif ini kemudian dipahami sebagai suatu aktivitas sosial sebagaimana aktivitas individual guru.
Modal sosial menekankan aspek kolaborasi ketimbang kompetisi. Kolaborasi dihasilkan dengan adanya komunikasi dan dialog yang terjadi terus menerus. Hal ini menjadi perhatian Freire seperti yang ia jelaskan bahwa dialog merupakan hal penting dalam pendidikan kaum tertindas. Ia menulis: “Jika dalam mengucapkan kata-katanya sendiri manusia dapat mengubah dunia dengan jalan menamainya, maka dialog menegaskan dirinya sebagai sarana di mana seseorang memperoleh makna sebagai manusia.” Dengan adanya kolaborasi, suasana kerjasama akan lebih terbentuk ketimbang suasana kompetitif dan selektif. Pengembangan manusia akan berdampak luas dan martabat manusia akan kembali lebih mendapat perhatian ketimbang “harga” manusia.
Etika Masa Depan
Dari semua penjelasan dan kajian di atas, terlihat bagaimana pendidikan menjadi korban penindasan globalisasi ketika negara-negara berkembang terbawa arus dan mengalami pengasingan diri terhadap kebebasan eksistensial yang dimiliki untuk menjalankan cita-cita utamanya. Ketika pendidikan menjadi korban, ia secara tidak sadar pun akhirnya menciptakan paradigma dan sistem yang menghasilkan penindas-penindas baru dalam bentuk intelektualitas yang tidak memiliki tanggung jawab moral ataupun cenderung berpaham individualistik. Hal ini menciptakan rantai raksasa ‘lingkaran setan’ yang sebenarnya. Bermula dari globalisasi hingga berdampak pada nasib masa depan anak-anak bangsa.
Meminjam istilah dari Daoed Joesoef, pendidikan pada prinsipnya memikul amanah “etika masa depan”, yang di sini berarti bahwa setiap manusia saat ini memikul tanggung jawab besar atas semua konsekuensi dari tiap perbuatannya saat ini terhadap apa yang akan terjadi berikutnya di masa depan. Hal ini membuat kerangka paradigma terhadap pendidikan haruslah jangka panjang, memandang bagaimana bentuk suatu bangsa beberapa tahun ke depan. Apa yang akan terjadi di masa depan berada di tangan manusia-manusia yang akan menjalankannya, dan bagaimana agar manusia-manusia tersebut dapat menjadi manusia seutuhnya dengan hakikat yang seharusnya merupakan tugas utama pendidikan.
Manusia lebih dari sekedar entitas yang dinilai dengan harga. Tiap individu adalah unik dan tidak dapat disetarakan oleh apapun. Bagaimana kita memandang manusia dengan tepat seperti ini berpengaruh besar pada bagaimana pendidikan itu dilaksanakan. Tak ada gunanya kita mengembangkan sektor lain dalam perlombaan yang tidak ada ujungnya bila sebagai bangsa kita kehilangan jati diri dan terasingkan dari kebebasan eksistensial kita sebagai akibat dari pendidikan yang berbasis pembangunan. Sejak bangkitnya orde baru, kebebasan ini telah mulai direnggut sedikit demi sedikit dan membuat Indonesia tertindas dengan cara yang baru, apa yang sekarang dikenal dengan neokolonialisme.
Dengan globalisasi telah membuat dunia berputar dalam siklus yang tidak pernah berhenti, masyarakat semakin terbawa dalam dinamika yang semakin tidak menentu. Perubahan dan transformasi sosial sebagai peristiwa yang memang tidak bisa dielakkan bergerak dalam laju yang semakin cepat. Salah satu peran pendidikan, dengan melakukan inovasi-inovasi sosial, seharusnya yang dapat menjadi pendorong dan pengarah perubahan sosial yang terjadi. Namun pada kenyataannya, dengan bergesernya paradigma pendidikan, yang justru lahir adalah paradoks. Perubahan sosial yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi dan globalisasai yang tak dapat dibendung berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Pendidikan yang seharusnya menjadi agen perubahan akhirnya tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial yang terjadi secara akurat. Hal ini cukup ironis karena jelas ketidakmampuan mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan keterbelakangan. Entah apa yang akan terjadi di masa depan apabila kesenjangan antara laju perubahan sosial dengan pembaruan pendidikan masih terentang jauh. Dengan demikian, apakah semua etika masa depan yang diemban pendidikan dapat dilaksanakan dengan paradigma pendidikan yang masih terpaku pada human capital dalam rantai penindasan yang dilematik?
Pendidikan bukanlah hal yang dapat dipandang sebelah mata dalam pengembangan suatu bangsa. Tidak masalah apabila kesejahteraan ekonomi, percepatan pembangunan, dan berbagai kebijakan lainnya menjadi hal yang juga menjadi perhatian, namun jangan sampai semua itu mempengaruhi bagaimana kita seharusnya memandang pendidikan. Menjadi saya sadari bahwa guardian of value, agent of change, dan ironstock, sebenarnya adalah peran utama pendidikan. Ia adalah tembok pertahanan kepribadian bangsa, yang dapat menyelamatkan jati diri bangsa ini dari kikisan zaman. Ketika pendidikan tidak dapat melakasanakan tugas itu dengan baik pada masa orde baru, mahasiswa mengambil alih semua peran itu sebagai harapan terakhir bangsa yang masih sadar akan tujuan bangsa.
Memang, ketika seluruh rakyat tertindas dalam keterbatasan yang berlebihan, hanya pikiran bebas yang dapat melawannya, dan hal itu hanya dimiliki oleh seorang intelektual. Sangat disayangkan apabila seperti yang saya jelaskan di atas, bila kaum intelektual, sebagai harapan terakhir bangsa terjebak dalam bentuk penindasan yang lebih besar lagi, dalam bentuk individualisme dan materialisme, yang merenggut kesadaran moral dan sosial hingga akhirnya berujung pada padamnya semangat kebangsaan yang sejak dulu selalu dibakar oleh bapak revolusi kita. Apakah 10 pemuda Indonesia saat ini masih dapat mengguncang dunia? Tanyakan pada diri masing-masing.
Salam pembebasan.
“Ing Ngarso Sung Tuladha
Ing Madya Mangun Karsa
Tut Wuri Handayani”
(PHX)