Palu dan Arit
- 20 minsSebelum mulai, mungkin aku ingin memaparkan dulu beberapa berita akhir-akhir ini:
- http://medan.tribunnews.com/2016/05/09/ikan-pki-ditangkap-di-jogja
- http://kaltim.tribunnews.com/2016/05/10/bila-ada-yang-menggunakan-atribut-pki-laporkan
- http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/10/08360691/Saat.Kaus.Band.Metal.Dikira.Lambang.Palu.Arit.PKI
- http://batampos.co.id/2016/05/10/ormas-pemuda-batam-siap-ganyang-gerakan-pki/
- http://jatim.metrotvnews.com/peristiwa/VNnxz37k-atribut-pki-beredar-dprd-jatim-masyarakat-harus-bersatu-lawan-pki
- http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/mui-ingatkan-bahaya-gerakan-pki/
- http://nasional.sindonews.com/read/1107335/12/fkppi-tegaskan-pemerintah-jangan-minta-maaf-kepada-pki-1462858651
- http://regional.kompas.com/read/2016/05/09/06440011/Dandim.Pamekasan.Instruksikan.Tangkap.Pengguna.Atribut.PKI
- http://nasional.rimanews.com/keamanan/read/20160510/279437/Politikus-PPP-Palu-Arit-Itu-PKI-Jangan-Dibiarkan-
- dan masih banyak lagi.
Ya, begitulah.
Palu dan arit sesungguhnya adalah perkakas dasar yang cukup sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari, bahkan keduanya merupakan bagian dari 5 perkakas dasar dalam permainan “Harvest Moon – Back to Nature”. Namun sayang, identitas suatu objek bukan sekedar ditentukan oleh dirinya sendiri, tapi dibentuk juga oleh sejarah dan paradigma yang melihatnya. Itu lah yang terjadi akhir-akhir ini dengan munculnya beragam kejadian, dari pembubaran hingga penangkapan, hanya disebabkan sebuah logo yang mengandung dua perkakas dasar tersebut. Sebenarnya ada apa dengan palu arit? Mengapa pandangan terhadapnya begitu buruk seakan keduanya merupakan senjata iblis?
Sekedar Simbolisasi
Identitas dibentuk secara genealogis. Seperti apa kata Foucault, kita tidak mungkin membahas suatu objek diskursus tanpa meninjau konteks ruang dan waktu yang dilalui oleh objek terkait. Seperti halnya mengapa paradigma terhadap kemahasiswaan Indonesia begitu tinggi dan bahkan bercap “agent of change”, semuanya ditentukan oleh alur sejarah yang terjadi sehingga akhirnya muncullah cap tersebut dalam masyarakat. Itulah mengapa analisis identitas tidak bisa serta merta hanya berdasarkan keadaan masa kini, ataupun penerjemahan cuma-cuma dari asal mula atau etimologi istilahnya. Permasalahan terminologis adalah suatu hal yang lain, yang sebenarnya hanya permukaan atau bungkus dari makna sesungguhnya identitas tersebut. Sudah banyak istilah yang mengalami pergeseran jauh dari etimologi katanya karena disebabkan mekanisme penciptaan makna yang disusun sedemikian rupa dalam ruang dan waktu yang dilaluinya.
Konsep pembentukan sejarah ini kemudian yang menentukan gagasan utama yang dibentuk oleh setiap orang ketika mempersepsi sesuatu. Contoh sederhananya, orang yang sejak kecil hidup di wilayah kumuh akan memandang biasa sampah yang menumpuk ketimbang orang yang sejak kecil hidup dalam kemewahan dan lingkungan higienis. Gagasan lah yang sering mendasari paradigma seseorang yang kemudian menentukan bagaimana ia merespon terhadap sesuatu, baik tindakan maupun perkataan. Gagasan lalu terejawantahkan dalam bentuk tanda, yang mana bisa berupa bahasa ataupun simbol. Mau tidak mau, gagasan ini lah yang kemudian menentukan bagaimana suatu objek dipersepsikan. Hal ini bisa dilihat dalam bagan berikut
Suatu objek pun menjadi tidak pernah memiliki makna tunggal, karena ia selalu ditentukan oleh persepsi. Adanya bahasa pun tetap memunculkan relativitas karena bahasa itu sendiri ditentukan oleh masyarakat yang membentuknya. Kita tidak bisa serta merta dengan kaku mengatakan bahwa definisi atau pengertian dari A adalah bla bla bla tanpa memahami konteks budaya dan sejarah masyarakat tempat dimana kita berada. Dan itulah yang kemudian terjadi pada simbolisasi palu arit.
Jika melihat sejarah sesungguhnya, palu dan arit mungkin bisa dikatakan tidak berhubungan langsung dengan komunisme. Palu dan arit adalah simbol yang digunakan persatuan buruh di rusia ketika melakukan revolusi bolshevik atau revolusi oktober pada 1917. Sejak terjadinya revolusi industri di Eropa pada abad ke-18, berbagai mesin-mesin produksi bermunculan yang kemudian bisa secara efektif menggantikan tenaga manusia. Hal ini pun menyebabkan upah buruh menjadi sangat rendah dan kepemilikian faktor produksi menjadi modal yang sangat penting dalam berindustri. Terciptalah kesenjangan antara pemilik modal dengan yang tidak, sehingga kemudian menciptakan kelas di masyarakat, yang kemudian diistilahkan dalam dikotomi borjuis-proletar.
Kesenjangan antar dikotomi kelas ini kemudian pun berkembang menjadi imperialisme baru yang kemudian terwujud dalam istilah kapitalisme modern. Modal yang disimbolkan dengan kepemilikian faktor produksi menjadi kuasa tertinggi. Dengan memiliki faktor produksi, kontrol terhadap industri pun berada di tangan, padahal dunia perekonomian dan politik Eropa pada kala itu sangat bergantung pada proses industri. Hal ini yang kemudian dikritik dan dibahas panjang lebar oleh Karl Marx dalam bukunya Das Kapital.
Pada bukunya yang lain, Marx pun membahas lebih lanjut mengenai dikotomi kelas ini dalam Manifest der Kommunistischen (Manifesto Komunis). Beliau menyatakan bahwa kaum pekerja sebagai pihak yang tertindas dengan imperialisme baru ini, perlu melawan dan memperjuangkan hak-haknya. Namun hal ini hanya bisa dilakukan dengan perubahan struktur sosial melalui pengambil alihan faktor-faktor produksi oleh kaum pekerja. Apa yang diungkapkan Marx dalam manifesto ini lah yang kemudian dipakai oleh Vladimir Lenin untuk mengembangkan pemikirannya mengenai bagaimana seharusnya struktur masyarakat. Pemikiran Lenin pun membuatnya memecah Partai Buruh Sosial-Demokrat Rusia menjadi kelompok Bolshevik (berarti Mayoritas) dan kelompok Menshevik (berarti Minoritas). Lenin lah yang kemudian memperkenalkan simbol palu dan arit untuk menyatukan seluruh buruh dan petani di seluruh rusia dan dengannya memimpin revolusi besar pada 25 Oktober 1917. Revolusi yang dikenal sebagai Revolusi Bolshevik inilah yang menggulingkan kaisar Tsar Nikolas II dan menjadi hari lahirnya negara komunis Rusia.
Revolusi itu pun mengundang perhatian seluruh dunia. Ternyata kalangan pekerja punya kekuatan! Paham Lenin pun meluas dan akhirnya mentransformasi ideologi-ideologi yang bertentangan dengan kapitalisme modern menjadi satu nama: komunisme. Para penganut sosialis pun merapat, membuat mereka yang awalnya hanya menjadikan warna merah sebagai simbol, turut menggunakan palu-arit sebagai simbol. Berbagai partai komunis-sosialis pun bermunculan di berbagai negara dengan simbol yang sama, termasuk di Indonesia. Palu dan arit pun menjadi simbol internasional untuk komunisme. Walau sebenarnya komunisme yang dimaksud cenderung mengarah pada Leninisme. Perlu diketahui terdapat perbedaan antara paham komunisme, marxisme, dan leninisme, namun akhirnya dunia melihatnya sebagai satu hal yang sama.
Perjalanan Sejarah
Seperti yang aku nyatakan sebelumnya. Identitas suatu objek tidak bisa diartikan begitu saja tanpa melihat konteks ruang dan waktu. Jika ada yang mengatakan, apa itu komunisme? Secara etimologis, sebenarnya komunisme berasal dari kata community atau komunitas, yang mana secara makna bisa kita artikan bahwa komunisme adalah paham yang menganggap struktur masyarakat harus berbasis komunitas. Struktur berlandaskan komunitas menentang keras adanya hegemoni berlebihan dan cenderung menganggap semua anggotanya adalah sama atau egaliter. Komunisme sebelum Marx sebenarnya sudah banyak karena sudah bukan hal baru pertentangan terhadap kuasa itu muncul. Revolusi di perancis pada abad ke-18 pun berlandaskan komunisme, yang mana rakyat menentang feodalisme yang menguasai perancis pada kala itu.
Setelah revolusi industri semakin membuat imperialisme baru semakin merajalela. Kepemilikan terhadap faktor produksi sebagai modal/kapital pun menjadi kekuasaan baru yang menindas. Seperti yang diungkap Marx, hal ini menciptakan struktur kelas dengan hegemoni kapital yang berlebihan. Selayaknya makna komunisme pada awalnya, tentu ini hal yang sangat ditentang. Istilah ini pun bergeser menjadi ideologi anti-kapitalisme. Pada tahap lebih lanjutnya, pemahaman anti-kapitalisme ini pun diimplementasikan menjadi paham bahwa kaum pekerja harus memerjuangkan haknya dengan revolusi strutktur sosial. Karena kemudian yang berhasil mengimplementasikan itu adalah Lenin, ia pun menjadi acuan sebuah negara komunis. Padahal, pemahaman Lenin cukup berbeda dengan Marx karena Lenin menganggap untuk menciptakan kesetaraan, perlu adanya penguasaan terpusat. Ini lah juga yang membuat ia memecah partai sosialis pada kala itu. Faksi Menshevik yang dipimpin oleh Julius Martov cenderung menganggap bahwa struktur harus tetap bebas dan otonom. Karena pengusaan terpusat ini cenderung mengarah pada diktatorisme, paradigma terhadap komunisme pun bergeser lagi menjadi sebuah konsep negara yang totaliter.
Setelah Joseph Stalin mengambil alih kuasa setelah Lenin, paham komunisme pun semakin bergeser lagi menjadi apa yang mungkin lebih pantas disebut sebagai Stalinisme, bagaimana ia memegang kekuasan absolut terhadap negara dan benar-benar menghapus semua bentuk kebijakan pasar yang sebelumnya ketika Lenin masih diterapkan. Pergeseran lain dalam komunisme yang berkembang di Rusia adalah pemahaman bahwa komunisme itu atheis alias tidak menolak adanya agama. Hal ini disebabkan pernyataan Marx yang mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat. Sayangnya, orang-orang terbiasa menjadikan sesuatu simbol tanpa memahami makna sesungguhnya, seperti apa yang aku jelaskan sebelumnya bagaimana simbol itu dipengaruhi konteks waktu dan ruang. Padahal apa yang dimaksud oleh Marx hanyalah bahwa agama dianggap menjatuhkan rasionalitas dan meruntuhkan semangat juang para pekerja. Generalisasi yang dilakukan oleh Marx sebenarnya disebabkan agama pada kala itu memang cenderung menghasilkan orang-orang yang menyerah pada keadaan. Padahal agama dalam beberapa hal justru menganjurkan untuk terus memperjuangkan hak juga. Pada akhirnya, pemahaman terhadap komunisme pun jadi gado-gado dengan ragam bumbu: pemberontak lah, atheis lah, diktator lah, dan lain sebagainya. (Pembahasan lebih detail mengenai pemikiran Marx bisa baca tulisan Okie Fauzi Rachman : Apa Itu Marxisme dan Relevansinya Dengan Atheisme)
Setelah perang dunia ke-II, Uni Soviet sebagai salah satu pemenang perang semakin punya kuasa dan memperluas invansinya. Stalin yang begitu percaya diri dan meremehkan kekuatan kapitalisme yang mulai tumbuh subur pun memulai perang dingin dengan menyerang korea selatan. Amerika dan aliansinya pun mulai menyebar kemana-mana untuk mencegah komunisme menyebar dan memperluas kekuatan ekonominya melalui penguasan perdagangan. Indonesia yang baru saja merdeka dan masih tidak stabil pun tidak luput menjadi objek.
Jika melihat secara ideologis, komunisme juga bukan hal yang baru di Indonesia. Walaupun secara umum nusantara menganut sistem kerajaan, sesungguhnya pandangan dan budaya gotong royong dan semacamnya merupakan salah satu bentuk komunisme sederhana yang terkontrol karena tidak adanya penindasan seperti yang terjadi pada feodalisme kerajaan-kerajaan di Eropa. Ketika Indonesia terjajah, tentu saja yang bisa melawannya adalah konsep kesetaraan dan pertentangan terhadap hegemoni struktur sosial. Apa yang dilakukan VOC selama 3 abad di Indonesia adalah penindasan terhadap pekerja dengan penguasaan terhadap modal atau faktor produksi. Ketika terjadi perlawanan menjelang kemerdekaan pun, unsur komunisme tidak bisa dilepaskan dari paham yang digunakan untuk menggerakkan rakyat Indonesia kala itu. Memperjuangkan hak dan kelas adalah konsep utama dari komunisme. Secara intelektual, paham ini pun tumbuh oleh beragam tokoh, dari Tan Malaka, HOS Tjokroaminoto, bahkan Ir. Soekarno.
Secara ideologis, unsur komunisme pun tetap masuk dalam konsep negara Indonesia. Kita tidak bisa menafikan bahwa pasal keempat dan pasal kelima Pancasila adalah konsep dasar komunisme. Penjajahan yang dialami Indonesia, baik oleh Belanda ataupun Jepang, pun merupakan penjajahan pekerja, dengan adanya kerja rodi, tanam paksa, dan semacamnya. Perjuangan bangsa Indonesia untuk melawan penjajahan pun merupakan bentuk lain dari perjuangan kelas. Jika dikupas lebih mendalam, konsep penolakan terhadap kekuasaan berlebihnya komunisme tidak berbeda banyak dengan Pancasila. Pancasila merupakan konsep gabungan 3 ideologi besar Indonesia: nasionalisme, agama, dan komunisme, yang kemudian diwujudkan dalam konsep Nasakomnya Soekarno.
Negara baru punya banyak tantangan. Karena keadaannya yang tidak stabil, modal adalah yang sangat dibutuhkan untuk segera melakukan stabilisasi dan pembangunan yang cepat. Padahal, satu-satunya cara menyuntikkan modal dengan cepat adalah dengan membuka lebar-lebar pintu investasi, sedangkan itu sama saja dengan mempersilakan masuk penjajah-penjajah baru dalam bentuk yang berbeda. Itulah yang sangat ditentang oleh Ir. Soekarno, membuatnya sangat dibenci barat dan cenderung anti-kapitalis. Paham komunisme yang terbawa oleh Soekarno adalah konsep komunisme murni, bersama dengan nasionalisme dan islam, konsep yang mengedepankan hak-hak sosial, walau tentu implementasinya banyak penyimpangan, seperti dengan pengangkatan diri sebagai Presiden seumur hidup pada 1963. Sayangnya, di sisi lain ada komunisme bentuk ekstrim yang terbawa oleh Muso dalam bentuk Partai Komunis Indonesia (PKI).
PKI pada awalnya banyak membantu dalam memerangi kolonialisme. Bermula dari Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang dibentuk oleh sosialis Belanda, Henk Sneevliet, pada 1914. Ketika terjadi revolusi Bolshevik, orang-orang ISDV menganggap apa yang terjadi di Rusia harus diikuti oleh Hindia. Awalnya ISDV membentuk blok bersama Sarekat Islam untuk memerangi Belanda. Setelah mengalami berbagai perombakan, ISDV berubah menjadi Partai Komunis Indonesia pada 1924. Bisa dikatakan bahwa PKI memang menganut marxisme-leninisme agak ekstrim, karena apa yang mereka kemukakan selalu pemberontakan untuk kesetaraan pekerja.Memang sebelum kemerdekaan PKI sangat membantu dalam memerangi kolonialisme, namun setelah kemerdekaan, apalagi ketika Muso datang pada 1948 dan merombak total PKI dengan platform, ”harusnya perjuangan anti-imperialis Indonesia bersatu dengan Soviet Unie yang memelopori perjuangan melawan blok imperialis pimpinan Amerika Serikat.” Hal inilah yang memicu pemberontakan Madiun pada 1948, yang mana Muso memanfaatkan tidak stabilnya Indonesia untuk mengambil alih kuasa.
Paradigma terhadap PKI pun kemudian menjadi negatif dan dianggap ancaman, namun paska pemberontakan 1948, PKI tidak sampai dibubarkan. Beberapa tahun kemudian di bawah pimpinan D.N. Aidit, PKI bangkit lagi namun dengan bentuk dan gerakan yang berbeda. PKI versi Aidit sangat mendukung pemerintah yang mana memang sangat anti-barat dan mendukung persatuan kelas. Apalagi dengan konsep nasakom dan demokirasi terpimpinnya Soekarno, PKI sangat mendukung penuh dan tidak memperlihatkan bahwa akan membawa kekacauan lagi seperti sebelumnya. Soekarno pun menjadi akrab dengan PKI dan membuat Soekarno semakin dibenci oleh pendukung barat. Entah kenyataan sesungguhnya seperti apa, memang PKI bukan lagi menjadi ancaman ketika dibawa Aidit.
Namun, semua berubah ketika 30 September 1965. 7 Jenderal dibunuh pada satu malam.
Entah kenyataannya seperti apa. Terlepas dari kontroversi kebenarannya, PKI kemudian dituduh menjadi dalang utama. Apa yang terjadi kemudian pun sudah menjadi hafalan mati orang-orang orde baru: Super Semar keluar, Soeharto mengambil alih, menyelamatkan bangsa, membubarkan PKI, dan seterusnya dan seterusnya. Selama 30 tahun berikutnya Soeharto tetap berada dalam kuasa dengan konsep pembangunannya yang begitu dipuja hingga akhirnya jatuh pada 1998.
Apa yang sangat terkenal dalam orde baru adalah doktrinasi yang dilakukan oleh Soeharto untuk membenci komunisme bersenjatakan pancasila melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila), propaganda-propaganda anti-PKI, dan juga pembungkaman jurnalistik. Pemerintahan orde baru memanfaatkan fakta kekejaman PKI untuk menciptakan rasa takut yang kemudian ditumbuhkan menjadi rasa benci untuk menutup semua rasionalitas terhadap paham tersebut. Semua hal yang dianggap berhubungan dengan PKI, termasuk simbol palu arit pun dianggap tabu dan harus disingkirkan. Keberhasilan propaganda pada masa Soeharto membuat mata rakyat Indonesia hanya satu terhadap komunisme: Lawan. Selama 30 tahun, satu generasi penuh, masyarakat Indonesia dicuci otak dengan pandangan bahwa PKI ataupun komunisme adalah musuh yang harus diberantas.
Paradigma yang dibangun mengatasnamakan pancasila ini sudah sebegitunya menghakimi komunisme. Apa yang dipandang oleh masyarakat orde baru bisa dilihat secara sederhana dalam buku Sari Pendidikan Pancasila oleh Heru Santoso, yang meringkas perbandingan ideologi negara sebagai berikut:
Sekarang?
Ketika kita bertanya mengenai PKI pada orang-orang berumur 30 tahun ke atas saat ini, apa yang diketahuinya adalah kengerian pemberontakan PKI yang begitu kejam membunuh 7 jenderal dan mengancam Indonesia pada 1965. Ketika bertanya mengenai komunisme, apa yang dijawab mungkin akan seperti tabel perbandingan di atas. Kecuali tentu saja kalangan akademis atau jurnalistik yang akan secara rasional mencari fakta sesungguhnya dan membersihkan diri dari doktrin orde baru. Mengapa kemudian diskusi-diskusi, acara-acara, tulisan, dan lain sebagainya tentang komunisme ataupun marxisme bermunculan dan cenderung diinisasi anak muda, karena anak-anak 30 tahun ke bawah tidak terpapar banyak oleh doktrin orde baru. Mereka cenderung mengalami masa orde baru ketika masih anak-anak dan belum bisa berpikir banyak, apalagi sekitar 90an, orde baru berada diujung kejatuhan.
Sayangnya, Indonesia saat ini tengah dipegang oleh generasi orde baru. Artinya apa, tokoh-tokoh maupun penggerak-penggeraknya merupakan orang-orang yang lahir pada awal atau pertengahan orde baru sehingga doktrin dan propaganda orde baru masih tertancam keras dalam lautan gagasan di pikiran masing-masing. Ketika generasi muda ataupun kalangan akademis memunculkan segala hal terkait PKI, sejarah telah membuat masyarkat akan memandang itu sebagai ancaman. Persepsi yang muncul pun bukan rasionalitas yang muncul dari pikiran, namun perasaan jijik, takut, benci, dan lainnya yang ditanamkan oleh propaganda orde baru. Propagnda yang menyerang perasaan dan alam bawah sadar memang mematikan rasionalitas itu sendiri. Hal ini terbukti pada propaganda Nazi yang sangat memuja Hitler dengan menumbuhkan rasa cinta dan harapan pada ras sendiri dan Hitler sebagai yang bisa memimpin mereka menuju kejayaan.
Sekarang katanya adalah era reformasi, yang mana kebebasan berpendapat dibebaskan seluas-luasnya selama tidak mengancam negara. Namun, persepsi ‘mengancam negara’ saat ini masih mengarah tajam pada doktrin orde baru: komunisme dan semacamnya. Itulah yang aku anehkan ketika Soeharto jatuh, malah muncul UU Nomor 27 tahun 1999 yang menambahkan pasal 107 KUHP dengan ayat-ayat yang lebih spesifik. Salah satunya adalah, “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”. Ayat tersebut, beserta 5 ayat lainnya yang serupa ditambahkan pada KUHP bahkan setahun setelah reformasi.
Sekarang katanya adalah era reformasi, tapi reformasi apa? Reformasi tatanan masyarakat? Sayangnya, tindakan dan pandangan masyarakat bukan ditentukan oleh tatanan yang mengaturnya, tapi oleh paradigma dan gagasan yang dimilikinya. Sedangkan paradigma itu sendiri sangat ditentukan oleh sejarah, yang mana cuci otak besar-besaran terjadi pada masa orde baru. Paradigma pun tidak bisa direformasi semudah itu, perlu penyelamatan satu generasi penuh agar stigma buruk komunisme bisa hilang sepenuhnya, ketika generasi-generasi orde baru sudah menyingkir dari tatanan masyarakat.
Mau bersifat akademis atau tidak, ketika doktrin sudah menutup mata rasionalitas, segala bentuk atribut atau acara yang dianggap berhubungan dengan komunis langsung mengalami penghakiman sepihak. Hal ini bisa jadi juga disebabkan oleh adanya kesenjangan antara dunia akademis dengan masyarakat. Kenapa? Karena ketika dunia akademis dinetralkan sedemikian rupa melalui metodologi ilmiah sehingga membuat segala bentuk subjektivitas disingkirkan, kalangan akademisi tidak bisa mengomunikasikan itu kepada masyarakat. Ketika kalangan akademis cukup rasional memandang komunisme, masyarakat tidak. Terkait itu sendiri pun, belum tentu semudah itu dilakukan, karena apa yang tertancap di masyarkat bukanlah sekedar pengetahuan, tapi paradigma.
Ketika berbicara tentang tatanan masyarakat pun, khusus untuk mengenai pandangan komunisme sendiri, tidak ada yang signifikan. TAP MPRS nomor 25 tahun 1966 yang melarang paham komunis tetap diberlakukan, walau memang mengalami perubahan sedikit. Perubahan ini tertuang dalam TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi:
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faharn atau Ajaran Komunis/MarxismeLeninisme dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketentuan dalarn Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sernentara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini. ke depan diberlakukan dengan beikeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
TAP ini seakan tidak pernah disosialisasikan, karena ketika melihat tren yang muncul di media, masyarakat masih menganggap TAP MPRS yang lama masih berlaku tanpa ada perubahan apapun, dan dijadikan senjata utama untuk bertindak seenaknya memerangi komunisme. Padahal, dalam pasal itu perlu kita garis bawahi, “…diberlakukan dengan beikeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.” Pertanyaannya, apakah selama ini dilakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia? Bisa ku beri beragam contoh betapa tidak menghormati hukum, prinsip demokrasi, dan hak asasi manusia kejadian pembubaran atas stigma PKI yang terjadi akhir-akhir ini:
- http://www.berdikarionline.com/kronologis-pelarangan-festival-belok-kiri/
- https://nasional.tempo.co/read/news/2016/03/24/078756530/larang-monolog-tan-malaka-fpi-dia-tokoh-komunis
- https://beritagar.id/artikel/berita/perkara-pembubaran-acara-lady-fast-di-yogyakarta
- https://nasional.tempo.co/read/news/2016/04/03/058759345/fpi-bubarkan-diskusi-yang-digelar-hmi
- http://sekilaskendari.blogspot.co.id/2016/05/kronologi-pembubaran-acara-world-press.html
- http://portalkbr.com/05-2016/panitia__dari_awal_polisi_menekan_kami_batalkan_acara_alf_2016/80976.html
atau daftar panjang lainnya (tidak hanya terkait komunisme) :
Logo palu dan arit memang tidak disebutkan dilarang sama sekali dalam pasal tersebut. Tapi seperti yang aku jelaskan sebelumnya, identitas tidak bisa dilepaskan dari konteks ruang dan waktu. Sejarah telah membuat logo palu dan arit merupakan simbolisasi mutlak dari kampanye PKI. Masyarakat pun tidak mau tahu apa makna sesungguhnya dari ajaran komunisme/leninisme/marxisme. Yang ada pada otak reptil mereka adalah satu: komunisme adalah haram (titik).
Lantas sebagai generasi muda yang gelisah dan haus akan pengetahuan dan ekspresi, apa yang harus kita lakukan? Selama KUHP hasil revisi UU No. 27/1999 dan TAP MPRS No. 25/1966 (beserta perubahannya) tetap berlaku dan melarang keras paham komunisme/leninisme/marxisme, secara hukum kita tidak bisa berbuat banyak. Apalagi dengan kentalnya doktrin sejarah di kepala masyarakat, aku rasa kita yang harus mengalah. Revisi KUHP lagi yang diwacanakan DPR RI sejak tahun 2013 pun masih menganggap bahwa komunisme adalah ancaman negara. Seperti apa yang tertuang dalam naskah akademiknya yang dipublikasikan pada 2015 yang mana tertulis:
Mempertahankan larangan penyebaran ajaran komunisme dan marxisme dinilai tidak bertabrakan dengan hak asasi manusia, dengan beberapa alasan sebagaimana dimuat dalam konsideran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 sebagai berikut:
- bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia antara lain meliputi hak memperoleh kepastian hukum dan persamaan kedudukan di dalam hukum, hak mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
- bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana terutama yang berkaitan dengan ketentuan mcngenai kejahatan terhadap keamanan negara belum memberi landasan hukum yang kuat dalam usaha mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara;
- bahwa paham dan ajaran komunisme/marxisme/Lenimisme dalam praktek kehidupan politik dan kenegaraan menjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang bertuhan dan beragama serta telah terbukti membahayakan kelangsungan hidup bangsa Indonesia;
Apakah benar komunisme itu mengancam atau tidak, tidak ada benar ataupun salah sebenarnya. Karena ideologi sangat bergantung pada yang membawa. Tidak hanya komunisme, ideologi lain seperti islam, liberal, ataupun sekular pun akan menjadi ancaman bila dibawa secara ekstrim dan jauh dari prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Namun sayang, referensi gagasan yang menjadi fondasi berpikir alam bawah sadar masyarakat tidak bisa dilepaskan oleh sejarah. Tentu memang banyak fakta-fakta baru yang telah mengungkap kebenaran tragedi 1965, namun rasionalitas tidak semudah itu menyentuh dunia gagasan atau paradigma. Mau semua akademisi mengatakan dari A sampai Z apa sesungguhnya komunisme atau marxisme atau leninisme itu, di mata masyarakat tetap satu: Komunisme adalah ancaman.
Kecuali.
Kita lewatkan satu generasi penuh hingga semua bekas-bekas orde baru bersih dan generasi reformasi yang memegang Indonesia, mungkin aturan-aturan yang mengancam kebebasan berpendapat di Indonesia bisa lebih diperbaiki dan disesuaikan. Sekarang? Aku rasa memang kurang bijak dan tidak ada gunanya menentang budaya masyarakat, kecuali jika kita punya cara untuk mencuci otak ulang semua pandangan tentang komunisme ke pemahaman yang sebenarnya. Ah, tapi sepertinya itu mustahil. Jika kalian generasi muda yang haus akan pengetahuan, maka ciptakanlah diskusi-diskusi itu sendiri, antar teman, komunitas, atau internal organisasi. Buku-buku atau tulisan-tulisan mengenai komunisme/marxisme/leninisme sudah banyak beredar dan bukanlah hal yang sulit untuk mencarinya. Memang adalah suatu ketidakadilan ketika kegiatan terbuka dibubarkan begitu saja secara sepihak tanpa ada proses demokratis di dalamnya, namun masyarakat bukanlah ditentukan oleh aturan atau kebenaran, tapi paradigma dan ideologi yang dipegangnya. Jika masyarkat masih menganggap komunis itu ancaman, maka itu lah yang akan berlaku.
Jika pemerintah memang cukup netral untuk menyelesaikan hal ini, ku rasa usaha-usaha untuk menertibkan ormas-ormas yang bertindak sewenang-wenang sudah dilakukan sedari dulu. Tapi sayang, sepertinya masalah pajak dan pembangunan jakarta lebih penting daripada kebebasan berpendapat. Dari pihak legislatif, jika memang revisi KUHP masuk prolegnas (program legislasi nasional) DPR RI 2015-2019, maka tinjaulah kembali pertimbangan mengenai apakah komunisme memang sebegitunya harus dilarang keras atau tidak. Tentu pemerintah harus bersikap netral, namun sudahlah, seperti yang aku bilang lagi, masyarkat tidak ditentukan oleh aturan atau kebenaran, tapi paradigma dan ideologi yang dipegangnya. Diadakannya Symposium 1965 pada pertengahan april lalu merupakan satu langkah besar untuk menyelesaikan kasus yang selama ini masih tertutupi paradigma, namun sayang, pemerintah seakan belum menunjukkan keberanian mengingat begitu banyaknya kecaman masyarakat.
Jika benar-benar ingin memerangi komunisme, maka seharusnya serikat-serikat buruh sudah dibubarkan sedari dulu. Tapi tentu masyarakat tidak mengerti, bahwa komunisme terkait erat dengan itu, bahwa palu dan arit itu sendiri adalah simbol dari buruh. Yang diketahui hanyalah, komunisme adalah ancaman.
Sedih? Tentu. Tapi aku bisa apa? Aku hanya mahasiswa matematika yang senang bertanya.
Salam pembebasan
Menteri Pusat Studi Arsip dan Kajian Kebijakan Kabinet KM ITB 2016
(PHX)
Tambahan:
Berbicara mengenai dunia akademik sendiri, sebenarnya kenyataannya tidak se-ideal itu. Aku teringat salah seorang kawan di ITB yang dipanggil oleh rektorat hanya karena ia memakai kaos palu-arit pada foto di buku osjur. Pada kasus lain, ketika pesta literasi 2016 yang diadakan ISH Tiben, pihak panitia diperingatkan oleh pihak kampus bahwa jika ada konten terkait PKI atau atheisme, komisi disiplin akan bertindak.