Optimisme yang Tersembunyi
- 6 minsJudul : Transcendence
Sutradara : Wally Pfister
Tanggal Rilis : 18 April 2014
Durasi : 119 menit
Genre : Drama
Pemeran : Johnny Depp, Rebecca Hall, Morgan Freeman
…
A man : “So you want to create a god? Your own god?”
Will Caster :“That’s a very good question. Isn’t that what man has always done?”
…
Sudah terlalu banyak film yang menceritakan tentang bahaya teknologi, namun kurasa itu semua selalu hanya jadi hiburan bagi mayoritas, yang di kepalanya sudah terpatri bingkai semu yang membuat mata begitu terpuja pada apa yang mereka sebut sebagai teknologi. Mulai dari Matrix, Terminator, hingga Resident Evil, semuanya secara langsung maupun tak langsung memperlihatkan betapa kelak teknologi pasti akan menjadi musuh bagi penciptanya sendiri, manusia. Namun tidak untuk Transcendence, walau secara tidak langsung, aku melihat suatu perspektif yang cukup berbeda mengenai bagaimana kelak hubungan manusia dengan teknologi dalam film ini.
Secara umum, apalagi ketika membaca beberapa review dari orang lain, aku melihat ternyata banyak yang kurang suka dengan film ini. Di IMDb, Transcendence hanya mendapat rating 6.3 dari 10, yang sebenarnya masih bisa dinilai cukup bagus karena masih di atas 6. Bahkan, film yang disutradarai “murid” dari Christoper Nolan ini dinominasikan sebagai Worst Movies of The Year dan The Biggest Disappointment of the Year (aku sendiri baru tahu ada nominasi kategori itu) dalam Golden Schmoes Award 2014. Sebenarnya penyebabnya sederhana, yaitu plot dan alur yang kurang jelas sepanjang film, walau memang diakhiri dengan cukup bagus. Orang yang akan menonton tanpa ekspektasi pun akan sedikit merasa aneh dengan setengah awal film ini yang mungkin sangat straight tanpa ada penjelasan yang jelas, apalagi jika orang menonton dengan penuh ekspektasi, maka mungkin akan melahirkan kekecewaan sebelum melihat inti sesungguhnya dari cerita yang hanya terlihat pada bagian akhir.
Terlepas dari bagaimana sinematografinya, dan karena aku sendiri lebih melihat film dari makna yang terkandung di dalamnya, sesungguhnya film Transcendence ini memiliki pesan tersembunyi, suatu pesan yang optimis mengenai teknologi di masa depan. Sesungguhnya jika ingin membayangkan jauh ke depan bagaimana kiranya eksistensi bernama teknologi akan menjadi, yang muncul secara natural pastinya adalah suatu gambaran pesimistik. Di dunia perfilman sendiri aku melihat tidak banyak film yang memperlihatkan masa depan teknologi dengan optimis, termasuk Transcendence sendiri, yang pada pandangan pertama akan memperlihatkan betapa teknologi sangat mengancam manusia. Namun sesungguhnya jika dilihat ulang, selalu ada sisi lain yang tersembunyi sebagai suatu bentuk kemungkinan, atau mungkin bisa disebut harapan.
Mengenai hal itu, aku teringat salah satu diskusi di PSIK (Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan) mengenai teknologi. Pada diskusi tersebut terbahas bahwa yang kemungkinan besar terjadi adalah manusia melalui teknologi akan berevolusi menjadi suatu entitas baru, yang punya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah apa yang kusebut sebagai devolusi, yang secara pesimis melihat dampak buruk teknologi akan menurunkan manusia kembali menjadi serendah hewan dengan teknologi sebagai penguasa baru ekosistem, sama seperti ketika dulu manusia mengambil alih kuasa ekosistem dengan perkembangan otak neocortex-nya. Ini yang selalu diperlihatkan pada film-film Apokaliptik seperti Matrix atau The Book of Eli. Namun ada kemungkinan kedua, yaitu bahwa kelak manusia akan berevolusi menuju suatu entitas yang lebih tinggi, transcends menjadi suatu makhluk yang “lebih”. Inilah yang secara tersirat diperlihatkan dalam Transcendence.
Kita mungkin sudah sering mendengar bahwa sesungguhnya manusia dalam keadaan sadar hanya memakai sebagian kecil dari keseluruhan kemampuan otaknya. Hal ini disebabkan adanya distraksi dari jutaan saraf, terutama saraf hormonal, yang membuat pikiran tidak bisa fokus sepenuhnya. Transcends/melampaui di sini berarti meningkatkan kesadaran bahkan untuk tataran emosional, menjadi suatu makhluk yang bukan lagi intelektual, tapi spiritual. Pak Armein Langi, salah satu dosen STEI ITB, pernah mengatakan bahwa mungkin kelak kita akan menjadi makhluk yang berbicara bukan lagi dengan mulut, tapi dengan telepati, kelak mungkin hal-hal yang selama ini kita anggap mistis menjadi suatu kewajaran, yang mana teknologi menubuh (embodied) dengan manusia. Konsep AI (Artificial Intelligence) yang disajikan oleh Pfister dalam film ini adalah contohnya. Jika ingin melihat film lain, Vision dalam Avengers: Age of Ultron pun memperlihatkan contoh yang lain, bagaimana suatu eksistensi baru melampaui manusia, tanpa ada “kemanusiaan” yang hilang darinya.
Inilah konsep AI yang sangat berbeda dibandingkan film-film manapun, yang ingin disampaikan dengan hangat oleh Pfister namun digagalkan oleh alur yang ia sajikan. Bagaimana film disajikan memang sangat menentukan bagaimana makna sesungguhnya film tersebut tersampaikan. Jika tidak melihat lebih mendalam, mungkin Transcendence akan sama saja dengan film bertemakan teknologi lainnya, yang menghasilkan jiwa-jiwa pesimis yang terus memandang teknologi sebagai ancaman manusia kelak. Will Caster (Johnny Depp) dalam film ini tidak sepenuhnya menjadi robot, ia masih memiliki emosi. Apa yang ia lakukan dengan semua nanoteknologinya adalah sebagai bentuk cintanya pada Evelyn yang dulunya memiliki mimpi mengubah dunia. Di akhir cerita pun, terlihat jelas bahwa AI yang diciptakan Will Caster bukanlah serta merta mesin, tapi manusia yang melampaui diri menuju entitas baru.
Apakah evolusi seperti itu mungkin akan terjadi? Tentu saja, kemungkinan selalu ada, namun dengan satu syarat, manusia harus yang menjadi tuan untuk teknologi yang ia ciptakan, dan itu hanya bisa diwujudkan bila masyarakat dunia harus sadar dengan apa yang mereka lakukan, bebas menghidupi hidupnya sendiri, dan menjadi manusia seutuhnya. Di sinilah peran utama pendidikan. Tapi melihat realita saat ini, mayoritas manusia tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan, apa yang mereka pakai. Teknologi malah membuat otak minim berpikir, masyarakat menjadi reaktif, dan kelak mungkin hanya akan menyisakan tubuh dengan emosi belaka. Ketika logika diambil sepenuhnya oleh teknologi, apa bedanya manusia dengan hewan, hingga akhirnya mengalami devolusi. Kemanusiaan adalah gabungan intelektual dan emosional. Teknologi sesungguhnya bukan mengambil emosi manusia, tapi mengambil intelektual manusia, menyisakan makhluk yang hanya bisa bertengkar dan bermusuhan, yang begitu mudahnya bereaksi ketika melihat satu post di media sosial tanpa terlebih dahulu melakukan klarifikasi. Kelak, ketika semua pengetahuan telah diambil alih oleh google dan wikipedia, apa guna manusia berpikir?
Kemungkinan seperti itu lah yang ditakutkan orang-orang, termasuk yang dicerminkan oleh salah satu kelompok radikal anti-teknologi dalam Trascendence. Aku sangat setuju ketika Bree (Kate Mara), salah satu anggota kelompok tersebut, dengan jelas mengatakan “Machines are meant to aid the human mind…not supplant it.” Paradigma teknologi saat ini tanpa sadar membuat teknologi seperti eksistensi yang “menggantikan” pekerjaan manusia, bukan lagi membantu, dan yang tergantikan paling banyak adalah kegiatan berpikir, menghasilkan manusia-manusia yang pikirannya kosong. Tentu saja dengan realitas seperti masa kini, wajar saja jika kita merasa pesimis. Jika tidak ingin itu terjadi, mulailah membenahi diri. Solusi untuk semua kemungkinan teknologi di masa depan ada pada dunia pendidikan, sebuah dunia penempaan manusia, yang akan menentukan akan menjadi seperti apa kelak masyarakat ke depannya. Tidaklah salah menggunakan teknologi, tapi mulailah bertanya: Untuk apa? Apakah tanpa teknologi aku tak bisa hidup? Sebelum semuanya terlambat, dan hidup kita bergantung padanya, dan kita hanya menjadi hewan yang berdiri tegak. Terlepas dari pesimisme itu, cobalah nikmati karya Wally Pfester yang satu ini, ambil kontemplasi, dan lihat bahwa optimisme masih ada di masa depan hubungan manusia-teknologi, walaupun probabilitasnya sangat kecil.
“Maybe it was all invevitable. An unavoidable collision between mankind and technology.” -– Will Caster –
(PHX)