Menyemestakan Manusia
- 25 minsKonstan rintik hujan terdengar syahdu bersama sayup deru kendaraan yang melintasi cisitu. Sementara aku meringkuk malas di pojokan ruang lembab dan sedikit bau, tanya-tanya itu kembali menusuk kaku. Telah berhari-hari tak ada karya tercipta dari tanganku, meski macam ide dan imajinasi terkadang berputar sejenak di kepala sebelum pergi lagi, seperti komet yang hanya menyapa matahari singkat sebelum pergi ke ujung orbit terjauh. Aku bisa saja mengarang ribuan alasan untuk tekanan yang satu itu, yang jika dikumpulkan dan diceritakan alasan itu satu per satu seharusnya justru bisa menjadi sebuah tulisan tersendiri. Namun, rasanya aku tak pantas untuk mengungkap satupun. Ku ingat ketika prinsip itu masih tertanam kuat dalam batinku: Tak ada pembenaran apapun yang bisa menghalangi manusia untuk berkarya. Karena jika ada, maka manusia tidak akan pernah berkembang sedikit pun semenjak mereka cukup dipuaskan dan dimanjakan dengan peralatan primitif ribuan tahun silam.
Apalah daya ketika malam sering ku pasrahkan pada rasa malas dan kantuk. Itu belum lama. Hanya bermula semenjak jam-jam ketika matahari bangkit ku maksimalkan sedemikian rupa sehingga aku bahkan terkadang tak punya ruang untuk bernafas, tak hanya untuk kuliah, namun menyodorkan diri mencari kontribusi. Apakah itu pembenaran? Ku rasa, atau semoga, tidak. Daripada badan berkarat oleh kediaman, aku pun bangkit sejenak untuk merenggang otot, selayaknya kucing yang hanya bisa bermalas-malasan. Itulah saat aku merasa sesuatu itu jatuh di depan satu-satunya pintu ruangan itu. ‘Ah, mungkinkah dia lagi?’, batinku berkeluh sejenak sebelum mencari tahu.
Yap benar. Surat yang telah sekian lama tidak menyapa itu muncul kembali begitu saja dari ketiadaan, bak pasangan materi dan konjugatnya yang muncul begitu saja dari segumpal energi. Mungkin ini saatnya aku ditampar lagi. Menyembuhkan bandel seorang manusia memang butuh hal-hal misteri, termasuk surat tanpa asal-muasal, yang mungkin hanya produk dari imajinasiku sendiri. Daripada mengulur detik jam yang tanpa pusing berputar-putar, aku mainkan sejenak daftar putar soundtrack dari Final Fantasy Type-0 yang entah kenapa selalu terlewat mengagumkan bagiku, menemani hati yang akan berefleksi.
Kosmik, 24 Januari 2017,
Dear Finiarel, di Bandung
Apa kabarmu nak? Baik? Sehat? Tak ada masalah kah? Semoga memang tidak ada apa-apa…
Ah, aku berasa seperti ibumu saja fin, yang mungkin akan selalu mengirimu surat beramplop rasa khawatir dan berpranko kasih sayang, meski ku tahu dengan teknologi informasi kau hanya selalu cukup memijat satu-dua tombol untuk segera bisa berbciara dengan ibumu. Tentu saja aku memakai kata ‘memijat’, karena aku akan yakin seratur persen bahwa telepon genggammu belum berganti juga. Entah apakah masih ada orang di luar sana yang masih tak mengelus-elus logam seperti aladdin memanggil jin. Mungkin memang iya, telepon genggam yang orang-orang sebut ‘SMART’ itu layaknya jin modern, bisa memberimu bantuan dalam bentuk apapun. Bukankah manusia begitu mengagumkan fin?
Hey, tidakkah aku melihat dahimu berkerut? Kau tak berekspektasi aku menulis surat hanya untuk mengomelimu lagi mengenai tulisanmu kan? Yang terakhir sudah cukup, kau tahu itu. Kau bukan orang yang harus ditampar dua kali untuk tidak jatuh di lubang yang sama. Sudah, tak perlu pikirkan itu. Yang ku sarankan padamu kali ini hanyalah untuk bersegera mengumpulkan energi untuk berkarya kembali. Manusia tanpa karya seperti ikan tanpa insang atau burung tanpa sayap, kau tahu itu. Hidup tapi tak hidup. Apa lagi yang bisa kita hidupkan selain apa yang bisa kita ciptakan?
Maka cukuplah. Aku menulis ini untuk hal lain.
“Mungkin tak ada orang gila. Semuanya waras, yang gila hanyalah dunia yang setiap orang hadapi.” Ku ingat kau memperbaharui statusmu pagi ini fin. Apa kau mulai merasa gila dengan dunia ini? Ku rasa aku sendiri terperangkap dalam keheranan ketika melihat yang terjadi dari waktu ke waktu. Begitu herannya hingga mungkin aku merasa aku tengah bermimpi. Tidakkah kau juga seperti itu? Atau kau masih dalam kondisi tetapmu yang terakhir, bahwa segala sesuatu adalah wajar bagimu, dan tidak ada yang bisa dibenarkan dan disalahkan di dunia ini selama kita masih berada dalam kerangka berpikir manusia? Dengan cara berpikir seperti itu, ku rasa tidak akan ada yang aneh bagimu di dunia ini. Segala sesuatu adalah wajar, bahkan dalam titik seekstrim apapun, karena kau sendiri yang pernah bilang, manusia bisa mengekstensi dirinya tanpa batas sedikit pun, mereka bisa lebih jahat dari iblis, atau lebih baik dari malaikat. Menganggap ada yang salah dengan dunia ini justru yang bisa menimbulkan cacat pikir, yang hingga mencapai titik tertentu, berubah menjadi sebuah tekanan memilukan dalam kesadaran. Ku rasa itu yang membuat kewarasan manusia abad ini tidak bisa terdefinisikan dengan baik. Cobalah fin, definisikan apa itu waras. Ku rasa kau tak akan bisa menghindari ambiguitas.
Terkadang aku merasa prinsip yang kau pegang memang ada benarnya fin. Apa yang bisa atau perlu kita anggap aneh dengan manusia di zaman yang tengah kita alami ini? Mari kita ekstensi jauh ke masa lalu, sejauh apa yang bisa kita anggap sebagai mulai beradabnya manusia. Tidakkah kau merasa semakin kau memahami masa lalu, semakin kau mengerti bahwa tidak ada yang berubah dari manusia? Bagaimana manusia berhasrat untuk membunuh, atau memperkosa, atau menguasai, atau lain sebagainya, adalah sama di masa kini dengan 5000 tahun yang lalu. Kebijaksanaan yang muncul segelintir di masa lalu pun sama dengan masa kini, selalu jadi yang terabaikan dan berada di ujung bawah data statistik. Lantas apa makna peradaban fin? Terkadang, peradaban diidentikkan dengan mulai tertatanya manusia dengan hukum, norma, tata nilai, atau apapun itu, yang semuanya melebur dalam sebuah ilusi utopia keteraturan massal. Tapi apa fin? Tidakkah yang berubah dari peradaban hanyalah material yang membungkusnya? Jelas, ada zaman ketika semua hanya terbuat dari batu dan kayu, sedang kemudian muncul zaman ketika baja dan besi mulai menyombongkan diri. Lantas apa? Manusia tetaplah manusia, dengan egonya, dengan nafsunya, dengan hasrat akan kuasanya.
Banyak yang bilang, sejarah hanyalah siklus yang selalu berulang. Sejarah hanyalah film yang diputar ulang terus-menerus, hanya penontonnya yang berganti. Tidakkah itu yang membuatmu kemarin-kemarin tetiba tertarik pada sejarah, yang justru berbalik menguatkan prinsipmu atas kewajaran segala sesuatu di dunia ini, dan kemudian semakin menghambat tanganmu dari ide atas karya? Tentu saja fin, penonton berganti, namun yang menonton tetaplah makhluk yang sama. Jika memang seperti itu kawanku, apa kemudian makna ‘belajar dari sejarah’? Tidakkah semua kewajaran ini secara tak langsung mengatakan bahwa manusia tidak akan pernah bisa belajar dari sejarah?
Ku rasa terkadang kita menyalah artikan makna fin. Sebagaimana peradaban mengubah bentuk materiil dari dunia manusia, demikian juga yang dibangun oleh sejarah. Yang belajar dari sejarah bukan manusianya ku rasa, tapi aspek-aspek yang terkait dengannya. Sebagaimana relativitas Einstein dibangun di atas mekanika Newton, yang dibangun juga di atas metodologi Galileo. Tentu saja kita jadinya berkembang. Segala teori mengenai manusia berkembang. Sains dan ilmu pengetahuan berkembang. Segala bentuk konstruksi dan pemahaman berkembang. Tapi mengenai menjalani hidup? Setiap manusia hanya mencoba hidup untuk pertama kalinya fin. Dan sebagaimana tak ada orang yang langsung bisa mahir mengendarai motor dalam percobaan pertama, kita pun demikian. Dan sebagaimana tak ada yang bisa pandai berenang hanya dengan membaca teori dalam bertumpuk-tumpuk buku, kita pun demikian. Toh, sebanyak apapun kita membaca kisah-kisah lama tentang para pahlawan dan keberhasilannya, tentang raja-raja yang zalim ataupun bijaksana, tentang perang berdarah ataupun romansa cinta, atau sebanyak apapun kita membaca ribuan rekomendasi mengenai cara hidup yang baik, atau cara menata negara yang tepat, ataupun teori-teori psikologi, politik, agama, sosial, pendidikan, hingga semua isi wikipedia kita telan sekalipun, setiap individu manusia tetaplah baru menjalani kehidupan ini untuk pertama kalinya!
Maka ku rasa kau memang benar fin. Sebagaimana apapun, manusia tetaplah berada di titik awal, tidak kemana-mana. Bagaimana kita memahami diri sendiri, bagaimana kita mengendalikan ego, bagaimana kita memaksimalkan hidup, bagaimana kita menghargai semesta, semuanya hanya bisa dipelajari sendiri dalam masa hidup kita sendiri. Dan itu lah pentingnya pengalaman ku rasa, sehingga aku begitu senang atas apa yang selalu kau ajarkan pada semua orang, “dunia adalah laboratorium dan tiap tindakan adalah percobaan.” Hanya dari pengalaman lah manusia belajar, dan hanya dengan mencobalah pengalaman itu bisa direngkuh, dicumbui dengan hasrat penuh birahi akan pembelajaran. Bukankah itu arti luhur dari pendidikan, sebuah proses pengembangan manusia secara utuh melalui pengalaman diri? Sebanyak apapun kita menyuapi pengetahuan, yang disuapi tetap lah tidak akan mengerti hingga mengalami.
Lihatlah sekarang fin, makna pengalaman telah runtuh hingga pengetahuan, baik hasil bacaan maupun hasil doktrinsi kawan atau lingkungan, lah yang menguasai pikiran, menjadikannya kaku dalam kerangka yang tak bisa berkembang, membeku oleh ketiadaan hasrat untuk menengok luar batasan. Semua itu diperumit dengan laju informasi yang tak punya rambu, melintas ringan di jalan bebas hambatan. Hasilnya? Tak ada ruang untuk kontemplasi, tak ada ruang untuk eksperimentasi. Kesimpulan tercipta secepat munculnya hipotesa. Sebelum sempat mencoba apapun, kita dimanjakan oleh kebenaran singkat dan semu.
Ya fin bayangkan lah sebuah kisah sederhana. Di suatu masa, terdapatlah sebuah desa yang di kelilingi bukit berbaris rapi. Beredarlah legenda bahwa di balik bukit terdapat seekor naga yang mematikan, dengan nafas yang bisa melelehkan kristal sekalipun, dan cakar yang bisa merobek gunung apapun, sehingga siapapun yang berani mendekat tak mungkin akan bisa lolos dari kematian. Legenda itu beredar begitu kuatnya, disampaikan setiap kali seorang anak tumbuh besar, atau diperingatkan bagi siapapun yang terbawa barang penasaran sedikit saja. Hasrat ingin mencoba pun selalu mati, ditambah keadaan desa yang begitu nyaman dan tentram membuat orang tak perlu tertuntut untuk pergi melihat dunia di balik bukit.
Merasa sadar? Itu kisah yang selalu ada representasinya di tiap masa. Ketika kepuasan terhadap kebenaran tanpa verifikasi, yang didorong oleh otoritas dalam bentuk apapun, mencipta pagar dalam akal. Di masa lalu, ketiadaan informasi yang cukup menjadi faktor utama mudahnya kita dimanjakan oleh kebenaran sementara, yang tersampaikan dengan ragam media. Ketika manusia tak punya banyak informasi untuk memverifikasi, maka bukankah lebih baik menerima dan meyakini? Peradaban berkembang, zaman berubah, informasi menjadi tsunami yang menyerang di tiap pagi, bahkan tanpa gempa peringatan apapun. Tapi seperti yang kau katakan fin. Iya peradaban berkembang, tapi menusia tetaplah makhluk yang sama. Dengan cepatnya laju informasi, pagar yang tercipta bukanlah batas yang terlihat, namun kesemuan fatamorgana yang bayangnya berganti-ganti tanpa henti, membuat kita tak lagi percaya akan apapun di baliknya. Jika telisik kisah tadi, bayangkan tiap hari legenda itu berganti-ganti. Di suatu pagi dikatakan naga tersebut punya tiga kepala, di pagi yang lain dikatakan ia bisa menghilang, atau pagi berikutnya dikatakan bukanlah naga yang ada di balik bukit, namun seekor katak raksasa yang tak berbahaya. Dalam level tertentu, masyarakat sendiri akan cukup nyaman berada di desa itu tanpa mencoba informasi yang tak pernah terverfikasi, yang lama kelamaan bertransformasi menjadi prasangka dalam banyak modifikasi.
Abstrak fin? Tapi itu lah yang terjadi. Mencipta anomali seaneh terbuangnya sari roti hingga selucu bangkitnya PKI. Tapi biarlah fin. Aku tahu kau semakin muak dengan semua itu, membuatmu tidak lagi sekedar membatasi diri pada telepon genggam berbatrai sakti, namun benar-benar ingin menarik diri dari media sosial yang tak terkendali. Apa yang kau tunggu fin? Hingga saat ini kau masih saja rajin memperbaharui status setiap hari, atau memeriksa obrolan di LINE atau Whatsapp yang kau tau tak pernah sepi. Mungkin kau sendiri masih tak kuasa untuk melepas pemenuhan beberapa kebutuhan yang tersedia di tempat-tempat itu. Tak apa fin, mungkin hanya butuh waktu.
Dengan semua itu, apa yang kemudian bisa kita simpulkan atas dunia ini? Termuakkan, kau telah cukup lama kehilangan semangatmu. Memilih menyibukkan diri pada hal-hal kecil yang bisa kau jadikan arti untuk hidup yang terlanjur diberi. Kau dengan rajinnya tetap konsisten memindai arsip-arsip lama, merapihkan berkas-berkas digital, atau menggunting koran-koran bekas. Kau pun memilih belajar hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan dunia aktual, dari matematika hingga filsafat. Tak peru ambil pusing dengan dunia yang semakin gila, meski kau tahu kegilaan itu sendiri adalah kewajaran dalam kerangka manusia. Kau sudah terlanjur merasa terkutuk sebagai manusia, ditakdirkan untuk selalu salah dan hanya bisa belajar dalam rentang hidup yang singkat, dan tak mungkin bisa mewariskan pembelajaran itu ke siapapun, karena pengalaman diri adalah kunci utama sesungguhnya pembelajaran yang utuh. Kau menulis pun hanya dalam rangka hiburan singkat bahwa paling tidak kau bisa mengkristalkan yang kau alami dan berharap itu bisa mendorong beberapa orang untuk mulai mencoba mengalami dan menaksimalkan hidupnya.
Terdengar singkat suara gemuruh samar-samar. Aku mulai berpikir bahwa hujan akan semakin deras, hingga kemudian aku menyadari bahwa suara itu dari perutku sendiri. Pantas saja. Maka ketimbang mual atas semua yang Minerva ungkapkan di surat itu, yang sebenarnya telah berkali-kali sempat ku renungkan sendiri, maka biarlah ku cerna sejenak dalam renungan selagi aku mencari sesuatu untuk di cerna juga oleh lambungku.
Perenungan malam memang memberi sensasi tersendiri dalam bangkitnya kesadaran. Berhubung pernah ku dengar manusia kota menghabiskan sepertiga energi tubuhnya untuk menanggulangi suara menggedor-gedor gendang telinga tanpa henti, mungkin wajar saja ketenangan malam sangat melancarkan neuron-neuron kepala setelah lelah tersiksa suara. Makan di tengah malam bagiku merupakan saat ketika aku bisa merefleksi banyak hal dalam semesta dan kehidupan, apalagi jika melihat langit yang gelap, menihilkan makna kami yang kecil di bawah sini, berkelahi dan berkonflik dalam pemanjaan ego diri. Sampai di ruangan itu lagi pun, yang terdengar hanyalah suara detik jam, konstan tapi pasti, berputar-putar poros yang sama selama ia diberi energi. Mungkin memang desain sebuah jam analog menyesuaikan sifat utama sejarah: beputar-putar tanpa henti dalam siklus yang sama. Puas oleh terisinya perut dan kepala oleh kebutuhannya masing-masing, aku kembali mengambil secarik kertas yang tergeletak begitu saja di atas kasur, menarik nafas, dan membaca.
Tahukah kau fin, apa yang kita liat sekarang di dunia manusia akan terasa tidak ada artinya jika kau melihat segalanya dalam satu kesatuan. Apalah artinya semua pertengkaran jika sesungguhnya kita hidup di tempat yang sama, dan memiliki konfigurasi DNA yang kurang lebih sama? Itu yang terkadang memancing keherananku fin. Ada apa dengan manusia sehingga ia bisa membuat kerusakan paling besar yang pernah dilakukan semua spesies di bumi dalam jutaan tahun terakhir, padahal manusia sendiri hanya hidup di kurang dari satu persen usia utuh bumi itu sendiri?
Aku pernah mendengar suatu kutipan fin, “Hidup itu murah, yang mahal adalah ego kita.” Ada satu kata kunci yang sempat menggangguku akhir-akhir ini, dan itu adalah ego. Ia sering disebut dengan berbagai nama, dan hampir semua hal yang manusia lakukan berasal darinya. Satu hal yang sangat membedakan manusia dengan spesies lain adalah kesadaran diri yang utuh, yang secara langsung akan memancing identifikasi diri dan melahirkan ego. Tidakkah kau sadari bahwa hampir semua emosi tercipta darinya, dari cinta hingga nafsu akan kuasa? Ego muncul dari identifikasi bahwa diri merupakan sesuatu yang unik, sesuatu yang berhak ia pertahankan dan perjuangkan, bahkan dalam level yang terkadang melewati kewarasan. Kau tahu kenapa? Karena itu kemudian yang mengamplifikasi sifat-sifat naluriah kita sebagai makhluk biologis. Cinta yang muncul pada hewan hanya bisa diaktualisasikan dalam ritual kawin sederhana, meski terkadang ada bumbu tarian dan pertarungan, namun dengan bergabung dengan ego, ia bisa teramplifikasi sedemikian rupa, sehingga cinta bisa membuat manusia berani menghancurkan apapun, bisa membuat kota Troy diserbu seluruh Yunani dalam sepuluh tahun, ataupun menciptakan dendam kesumat hingga tujuh turunan. Pada arah yang berlawanan, cinta juga bisa teramplifikasi menjadi niat tulus untuk berbagi dan menolong sesama, bisa menghasilkan kebaikan yang bahkan tak terbayangkan oleh malaikat sekalipun. Itu fin, yang membuat manusia bisa mengekstensi diri sejauh apapun, sejahat iblis atau sebaik malaikat, karena ego mengamplifikasi apa yang dipunya secara naluriah.
Ibarat suatu rentang batas, jika makhluk-makhluk lain hanya bisa melakukan tindakan-tindakan dalam rentang minus satu hingga plus satu, manusia mengekstensinya dari minus tak hingga ke plus tak hingga, membuat apapun bisa dilakukan manusia. Maka wajar saja kau menganggap segala tindakan manusia adalah wajar, yang paling aneh, jahat, buruk, ataupun konyol sekalipun. Ketika manusia bisa menyiksa habis manusia lainnya dengan kekejaman yang melebihi Khronos sekalipun, atau ketika manusia bisa melakukan tindakan tulus dalam mengorbankan dirinya hanya untuk membantu lingkungannya dalam tataran keramahan dan kebaikan yang melebihi Gaia sekalipun, maka semua itu bukanlah hal yang perlu dipertanyakan. Maka kau tak perlu lagi menghela nafas ketika membaca koran atau melihat sosial media. Kau hanya menggelengkan kepala selagi menyayangkan nasib yang dialami manusia. Lantas fin, apa yang harus manusia lakukan?
Mungkin, ya mungkin. Kita harus menyingkirkan ego dan melihat segalanya utuh. Tidakkah manusia-manusia ini sadar, bahwa sejak bangkitnya peradaban pertama kali, berapa banyak perubahan yang terjadi di sekitarnya? Marilah sedikit menjadi seorang naturalis fin, lihatlah betapa grafik jumlah karbon dioksida di atmosfer meningkat eksponensial semenjak revolusi industri, hampir dua kali lipat ketika jumlah ini tidak pernah berubah signifikan selama jutaan tahun. Terlepas dari perdebatan antar mereka yang masih tak percaya akan perubahan alam, kau bisa rasakan sendiri fin, telah menjadi sepanas apa lingkungan kita dalam tahun-tahun terakhir, dan mungkin kau bisa dengarkan ayah atau kakekmu bercerita mengenai bagaiman sejuknya udara kota dahulu. Berapa banyak spesies unik musnah dalam waktu kurang dari seribu tahun, setelah susah payah dibangun secara telaten dan perlahan oleh alam selama ribuan tahun? Satu per satu gen unik lenyap dan tidak akan pernah kembali kecuali kita mengulang proses seleksi yang sama selama bertahun-tahun. Sementara manusia dengan bangganya mengatakan bahwa gen telah memungkinkan untuk mereka rekombinasi sana-sini untuk terus mencipta sendiri. Jika dikatakan peradaban akan membuat manusia lebih beradab pun, tidakkah kau lihat tidak pernah ada kematian sebanyak yang diakibatkan perang dunia I dan perang dunia II? Hingga saat ini pun kematian oleh sesama seakan menjadi hal yang biasa, sesuatu yang, ‘oh, satu orang meninggal’, dan ‘oh, ada 3 korban tewas’. Apa bedanya fin, dengan abad pertengahan, atau abad sebelum itu, atau abad sebelumnya lagi? Tidak ada yang makin buruk atau makin baik dari manusianya, itu tak masalah, toh yang berubah hanya materinya, tapi lihatlah dampak dari perubahan materi itu! Dulu, separah-parah orang berebut kekuasaan, atau berebut harta, atau pertengkaran lainnya, adalah bangunan yang terbakar, atau mayat-mayat yang bergelimpangan, atau separah-parah manusia bernafsu akan harta, terbawa ketamakan akan sumber daya, adalah tumbangnya beberapa luas hutan, atau tergalinya sekian lubang untuk tambang, namun lihatlah sekarang, ketika satu ekosistem utuh bisa musnah, atau ketika energi disedot habis dan menerbangkan entropi tanpa henti. Entahlah fin, entah.
Ku rasa, di antara semua golongan manusia, mungkin ilmuan, atau para intelektual murni, yang cukup bisa berpikir positif untuk masa depan. Semua ilmuan itu tahu, jika keadaan dibiarkan, maka kita hanya menunggu waktu hingga bumi berubah menjadi venus, sebuah rumah kaca raksasa tanpa penopang kehidupan. Ku tahu kau pun peduli, namun tertatih-tatih berusaha melakukan tindakan kecil dari dirimu sendiri sebelum tahu apa yang kau harus lakukan untuk lingkunganmu. Teruskan fin, kau anti memakai kendaraan pribadi, kau bersumpah untuk tidak memakai Smart Phone, kau habiskan makanan sisa apapun yang kau lihat. Nihil kah? Tentu tidak fin, semua perubahan besar dimulai dari diri sendiri dan aku kagum dengan konsistensimu. Kau masih muak dengan manusia hingga masih belum punya niat untuk bertindak pada lingkunganmu, memilih cuek dan menyibukkan diri sendiri pada hal-hal yang secara positif bisa kau kerjakan. Entah anomali apa lagi yang muncul di negaramu, di media sosialmu, atau paling tidak di daerahmu, mungkin kita harus segera kembali melihat gambaran besarnya. Siapa kita.
Ku tahu ini klise, tapi mungkin, memang satu-satunya jalan adalah seluruh umat manusia bersatu tanpa peduli identitas. Tapi bagaimana mungkin? Ketika identitas jelas merupakan gizi buat ego, yang secara pasti akan berkonflik setiap ada perbedaan. Menghilangkan ego? Itu sama tidak mungkinnya, karena egolah kita menjadi manusia. Maka apakah kau ingat kalimat Michio Kaku yang dulu kau sering pegang itu? ‘Wisdom is the key’. Yah, klasik, biasa terdengar, tapi tentu tidak sederhana. Satu-satunya harapan adalah keyakinan bahwa ketika manusia bisa menjadi jahat sejahat-jahatnya kejahatan dewa paling jahat sekalipun, manusia juga bisa menjadi baik sebai-baiknya kebaikan dewa paling baik sekalipun. Bukankah semesta sesungguhnya adalah yin dan yang yan selalu berusaha saling menyeimbangkan? Itulah keadilan dalam semesta fin, sesuatu tak mungkin ada tanpa pasangan. Bagaimana caranya? Itulah yang jadi tugasmu nak. Di umur yang baru mau menginjak 22 tahun, jalan panjang masih terbuka lebar buatmu. Ingat anak-anakmu, cucu-cucumu kelak, yang mungkin harus menanggung semua dosa manusia sebelum-sebelumnya, sebagaimana kau sekarang menanggung dosa manusia sebelum kamu. Maka cobalah, lakukan sesuatu sehingga kau menjadi contoh dan motivasi buat anak dan cucumu, sebagaimana orang-orang besar sebelum kamu menjadi contoh dan motivasi buatmu sekarang. Bukankah itu yang kau tulis di statusmu? “Kita yang hidup merupakan titipan mereka yang telah mati, mereka yang tak punya cukup waktu untuk menggapai mimpi dan ambisi, mereka yang telah berusaha penuh namun mau tak mau harus merelakan tongkat estafet untuk diteruskan. Maka hiduplah! Sebelum kita sendiri yang akan menitip kematian ke orang hidup yang tersisa”
Tentu ada harapan, tapi semua benar-benar berada di tangan masing-masing saat ini. Bumi pun masih bisa diselamatkan. Kita hanya butuh mengarahkan pedang pengetahuan dan peradaban, satu-satunya yang berubah sepanjang sejarah, ke arah yang tepat. Tapi tentu itu tak mudah. Dan sebagaimana permasalahan matematika, yang benar memang selalu sukar. Cukup itu fin. Maaf kicauan ini mengganggu malammu. Ku tahu kau pernah merenungi ini semua sebelumnya, hanya saja tenggelam dan mengendap dalam kesibukan keseharian, maka sekarang ku aduk lagi pikiranmu, agar endapan itu bisa kembali terangkat dan tercampur menjadi sebuah larutan utuh.
Salam dari kosmos fin. Semoga semesta menyertaimu
Minerva
Sunyi. Ku rasa seperti inilah rasanya hidup sebelum adanya macam-macam teknologi. Satu-satunya representasi yang tersisa hanyalah waktu malam hari, yang mana di tempat tertentu pun telah lenyap sehingga tidak ada satu detik pun berlalu dalam 24 jam untuk kesunyian. Aku menghela nafas membaca kata-kata Minerva, membuatku teringat bahwa sedari kecil aku sesungguhnya hanya menyukai ilmu alam, dan secara khusus astronomi. Aku tak peduli akan apa yang terjadi dengan konflik antar manusia. Untuk apa bertengkar, ketika kita sebenarnya hanya makhluk kecil di bumi yang kecil dalam tata surya yang juga kecil dan terangkum dalam galaksi bimasakti yang sebenarnya sangat kecil dibandingkan dengan alam semesta seutuhnya? Keunikan kah yang membuat kami sombong? Merasa bahwa dengan semua alat peradaban yang kami punya, kami lah satu-satunya penguasa semesta, yang baru saja kita sentuh kurang dari seperquadriliunnya. Ya, itu lagi, ego. Ego lah yang membuat kami lupa gambaran besarnya, ego lah yang membuat kami terus saja bertengkar atas nama ide dan gagasan, selagi lupa bahwa bumi kami rusak secara perlahan. Hanya karena semesta fisik terlalu luaslah yang membuatku beralih ke dunia abstrak matematika, selebihnya aku masih mengagumi semuanya. Mungkin itu mengapa aku selalu menyukai malam hari, karena hanya di saat itu lah aku merasa menjadi makhluk semesta, bukan sekedar masyarakat Bandung atau Indonesia, yang selalu dipenuhi konflik demi pemanjaan ego masing-masing.
Bagaimana kami melihat semesta toh hanyalah masalah perspektif. Banyak dari manusia lebih senang menganggapnya kecil, sehingga kepuasan akan kuasa bisa dimaksimalkan. Senang rasanya jika menganggap dunia hanya sesempit Indonesia, maka bisa berbuat sesuatu di negara ini sudah merupakan kepuasan tersendiri. Itu bisa dimengerti, dan tentu tak salah. Tapi, bukankah lebih baik ketika melihat semesta ini secara utuh, besar dan mengagumkan? Ketika aku mencoba merengkuh fakta itu secara penuh ke dalam hati dan pikiran, aku akan merasa terangkat sedemikian rupa, bersyukur bisa menjadi bagian kecil di semesta yang luas, bersyukur bahwa otak kecilku bisa menikmati keindahan dan kemenakjubkan dari sesuatu yang besar, bersyukur bahwa aku tak perlu terkuasai oleh nafsu akan kuasa atau ego apapun, karena ku tahu bahwa aku hanyalah manusia kecil di dunia yang besar, dan semua kepentingan dan konflik kami, tak ada apa-apanya dibandingkan realitas luar biasa di luar sana.
Membaca surat Minerva, aku jadi teringat kata-kata Carl Sagan, yang ia ungkapkan mengiringi sebuah foto bumi yang begitu kecil, yang dikirimkan oleh Voyager I selagi ia menjauhi bumi secara perlahan. Aku terkadang merasa kata-kata beliau seperti sebuah puisi, yang selalu bisa menyayat hati, dan membuatku sadar, bahwa semua permasalahan manusia sekarang tidak ada apa-apanya dengan semesta yang seutuhnya.
We succeeded in taking that picture,
and, if you look at it,
you see a dot.
That’s here. That’s home.
That’s us.
On it, everyone you ever heard of,
every human being who ever lived,
lived out their lives.
The aggregate of all our joys and sufferings,
thousands of confident religions,
ideologies and economic doctrines,
every hunter and forager,
every hero and coward,
every creator and destroyer of civilizations,
every king and peasant,
every young couple in love,
every hopeful child,
every mother and father,
every inventor and explorer,
every teacher of morals,
every corrupt politician,
every superstar,
every supreme leader,
every saint and sinner
in the history of our species,
lived there – on a mote of dust,
suspended in a sunbeam.
The Earth is a very small stage
in a vast cosmic arena.
Think of the rivers of blood
spilled by all those generals
and emperors
so that in glory
and in triumph
they could become the momentary masters
of a fraction of a dot.
Think of the endless cruelties
visited by the inhabitants
of one corner of the dot
on scarcely distinguishable inhabitants
of some other corner of the dot.
How frequent their misunderstandings,
how eager they are
to kill one another,
how fervent their hatreds.
Our posturings,
our imagined self-importance,
the delusion
that we have some privileged position in the universe,
are challenged
by this point of pale light.
…
To my mind,
there is perhaps no better demonstration
of the folly of human conceits
than this distant image
of our tiny world.
To me, it underscores our responsibility
to deal more kindly
and compassionately
with one another
and to preserve and cherish
that pale blue dot,
the only home we’ve ever known.
(Carl Sagan, speech at Cornell University, October 13, 1994)
Membaca pidato itu lagi, aku masih saja merinding, merasa tak pantas mengeluh dan menyianyiakan yang ku punya di bumi ini. Lihatlah, betapa bumi yang kita tinggali ini, hanya satu tiitk biru di kehampaan yang luas.
Minerva memang selalu bisa membangkitkan renungan lamaku, ketika aku terbawa kebingungan, atas apa yang harus ku lakukan di dunia ini. Aku bisa saja aktif dalam kegiatan kemanusiaan, memaksimalkan waktu dan tenaga untuk sesama, atau aku bisa saja aktif dalam usaha lingkungan, berkontribusi sebisa mungkin untuk alam yang kami tinggali, atau aku bisa saja cukup berkonsentrasi pada pengetahuan, berusaha mencari solusi di balik misteri semesta. Aku tak tahu mana yang lebih baik, karena ku tahu tak ada yang tak lebih baik dari yang lainnya. Manusia punya perannya masing-masing, dan aku terkadang masih ditarik-ulur oleh peran-peran tersebut. Ketika di satu sisi aku berusaha menjadi seorang matematikawan, di sisi lain aku tergerak oleh usaha dan kegiatan literasi, atau di sisi lainnya aku terdorong untuk membantu kawan dalam berbagai kegiatan. Ku rasa, sebagaimana manusia bisa mengekstensi dirinya, aku hanya bisa memaksimalkan apapun sampai batas yang ku sanggup berikan. Demikian juga untuk setiap orang, yang terkadang masih melewatkan waktu hanya untuk memuaskan diri sendiri.
Ego memang sukar untuk direngkuh, tapi itu perlu direngkuh, sebelum ia yang merengkuh kami semua. Tentu aku berharap seluruh umat manusia bersatu tanpa identitas apapun. Bukankah indah jika para ateis, agamis, maupun agnostik berjabat tangan sambil menikmati teh atau kopi manis bersama? Bukankah menyenangkan jika dari yang ujung kiri hingga yang ujung kanan bercengkerama dan tertawa lepas dengan ikhlas? Ah, itu mungkin utopia, tapi itu cukup, untuk jadi energi terakhirku agar tetap bisa menjaga lelah hingga waktuku benar-benar habis, hingga aku benar-benar bisa istirahat dan memberikan tongkat estafet ke anak-anakku, ke generasi berikutnya. Jika memang manusia-manusia yang masih mau berbuat positif hanyalah sedikit, mungkin itu hanyalah sebuah kewajaran, sebagaimana cerah bintang di langit hanyalah titik-titik kecil, dibandingkan kegelapan besar yang menyelimutinya. Dan kita bisa yakin, bahwa titik-titik kecil cahaya sekalipun, bisa menghiasi langit malam dengan keindahan yang tak terperi.
Minerva benar, aku masih muda. Dan selagi ada kesempatan, tak ada alasan untuk tak memaksimalkan, karena selayaknya tidur dalam keadaan lelah adalah tidur paling nikmat, maka mati dalam keadaan lelah telah memaksimalkan hidup adalah kematian paling menyenangkan.
Magister Mundi sum!
(PHX)