Mahasiswa, Dakwah, dan Paradigma 2
- 26 minsSekedar pendalaman komprehensif dari tulisan saya sebelumnya dengan judul yang sama. Hanya sebuah keresahan yang muncul akibat fenomena ketika akhir-akhir ini agama menjadi semacam bentuk eksklusif dari kehidupan atau sekedar jadi penghias status dalam berbagai identitas. Terkhususkan mahasiswa, kepolosan yang dimiliki makhluk yang satu ini sangatlah sayang bila hanya ditransformasikan menjadi robot dogma tanpa memunculkan pemikiran-pemikiran kritis layaknya intelektual.
Buat para Aktivis Dakwah Kampus, semoga bermanfaat.
Oh ya, mohon maaf jikalau terasa panjang. Maklum tangan tak bisa berhenti mencipta kata ketika pikiran penuh tanda tanya. Carilah waktu lenggang dan santai agar bisa menikmati tulisan ini dengan baik.
Tidak pernah luput dari perhatian, mahasiswa sebenarnya adalah objek yang selalu membuat saya ingin menguras habis otak dalam berbagai masturbasi pemikiran untuk memahami makna sesungguhnya dari eksistensi manusia. Apalagi ketika ia dikaitkan dengan hal yang selalu menjadi polemik peradaban selama ribuan tahun, agama.
Sudah 15 abad agama islam menempuh berbagai tantangan geopolitik dan kebudayaan untuk terus tersebar tanpa harus kehilangan jati diri. Namun waktu memang bagai misteri. Ia terus membawa dunia tanpa henti melalui proses-proses siklik yang mengevolusi manusia secara perlahan dalam berbagai aspek. Walau pada dasarnya apa yang menjadikan manusia adalah seorang manusia tidak pernah berubah, atau mungkin lebih tepatnya belum, apa yang ada bersamanya selalu berubah seiring waktu mengalir. Berbagai revolusi bermunculan, mulai dari revolusi pengetahuan, industri, hingga informasi, yang mau tak mau merevolusi pula kehidupan manusia. Agama sebagai bagian pokok kehidupan manusia sendiri pun mau tidak mau ikut terlibat dalam revolusi ini.
Kita berada pada zaman yang tak terdefinisi. Zaman yang masih membuat orang-orang yang berada di dalamnya mengalami kebingungan. Bahkan dalam berbagai implikasinya, dapat dikatakan kita berada pada zaman yang mana makna mulai tereduksi. Agama pun iya, mahasiswa pun iya. Maknanya terus terkikis dalam sebuah badai perubahan yang masih membuat orang linglung. Di zaman seperti ini, diperlukan pikiran yang ekstra-kritis dan idealisme yang kuat untuk dapat bertahan tanpa harus mengalami krisis makna.
Mahasiswa dan kebebasan
Tanpa bosan tanpa kejenuhan, sebelum beranjak jauh, mari kita mengenal dulu subjeknya. Kita periksa lagi tentang siapa diri kita sebagai mahasiswa.
Mahasiwa memang suatu eksistensi yang unik. Hampir di semua tulisan sebelumnya, saya membahas tentang makhluk yang satu ini. Perkawinan aspek umur dan aspek pendidikan dalam satu wujud memang menghasilkan hibrida yang menghasilkan dialektika panjang dalam sejarah. Ya, hibrida itu adalah mahasiswa. Ia sederhananya adalah orang yang muda, plus, yang (mampu) kuliah di perguruan tinggi. Simpel. Tanpa embel-embel retoris yang terlalu narsis atau percaya diri. Mengenai apakah ia agent of change, dan bla bla bla lainnya, itu hanyalah efek samping, tergantung dosis pemakaian, dan tergantung pemakai.
Aspek kepemudaan memang suatu aspek yang unik. Secara psikologis, mahasiswa berada pada tahap pendewasaan pikiran, pembentukan ulang konsep dan abstraksi diri. Jika ada yang pernah mendengar, manusia pada dasarnya dilahirkan dua kali, kelahiran fisik, dan kelahiran batin.Lahir secara fisik hanya melibatkan proses 9 bulan lebih hingga muncul secara sempurna. Namun kelahiran kedua, tidak semua orang bisa mengalami. Seseorang harus mampu bercinta dengan pengalamannya sendiri dalam sebuah gairah kuat keraguan. Gairah ini muncul seiring dengan kematangan pengalaman dan bentuk fisik.
Keinginan untuk mencari adalah hal paling wajar yang muncul dalam kehidupan manusia. Hal ini sederhananya difomalkan dengan pertanyaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa konsekuensi paling logis dari keberadaan akal adalah adanya pertanyaan. Bertanya merupakan suatu mekanisme abstraksi paling dasar yang bisa dilakukan manusia dengan kompleksitas pikirannya. Bila hanya sekedar untuk memproses informasi, otak manusia tidak jauh beda dengan otak mamalia ataupun mesin artifisial yang dapat diciptakan akhir-akhir ini. Hasrat bertanya atau keinginan untuk mencari ini sebenarnnya sudah ada sejak akal mulai berkembang di masa kanak-kanak. Polos, melihat dunia begitu indahnya. Namun tidak dapat dipungkiri, self-consciousness hanya tumbuh secara integratif dengan tumbuhnya emosi, hormon, dan pengalaman. Jiwa adalah aspek kompleks gabungan pikiran dan tubuh. Ini lah yang membuat nafsu pemuda untuk mencari semakin besar, dan cenderung berpusat pada diri sendiri.
Hasrat ini, yang cenderung bersifat emosional, diseimbangkan dengan rasionalitas, yang merupakan ciri intelektualitas. Di sini aspek pendidikan masuk dalam mahasiswa, menyalurkan hasrat mencari ini dalam sebuah alur yang tepat (seharusnya). Intelektualitas memberi kedewasaan berpikir yang diwujudkan dalam pikiran kritis, logis, dan sistematis, sehingga mampu melayani pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam jawaban yang memuaskan. Intelektualitas bukan lah produk, bukan ilmu kelautan ataupun ilmu manajemen, ia adalah metode, cara berpikir, jiwa, dan sikap. Sehingga hasrat ini mengalami transformasi menuju pencarian yang intelek, melalui membaca buku, berpikir, berdiskusi, dan sikap-sikap jujur lainnya yang hanya berorientasi secara polos untuk mencari.
Tidak semua pemuda punya intelektualitas, tapi tidak semua intelektual itu muda. Gabungan dua aspek ini yang membuat mahasiswa bagai manusia super. Namun di sini pula prinsip kebebasan masuk. Apakah hal yang buruk? Tentu saja tidak. Kebebasan diri sangat diperlukan untuk menghasilkan jati diri yang utuh, yang terkonstruksi dan tersusun secara jujur dan mandiri. Hal ini merupakan efek logis dari munculnya keraguan, yang juga merupakan efek logis dari adanya akal. Kebebasan ini lah kelahiran kedua. Sebuah pencerahan, penemuan jati diri, determinasi hidup. Hal ini harus berawal dari keraguan, ketika hasrat mencari mengalami pergolakan batin dengan pengalaman dan lingkungan. Bahkan hal ini merupakan salah satu kunci utama pendewasaan diri.
Hal ini adalah hal yang wajar, bahkan harus dilakukan, jika tidak ingin menjadi robot, terombang-ambing doktrin, informasi, dan zaman. Al-Ghazzali, salah satu filsuf besar muslim, pun mengalami fase ini. Sulaiman Dunya dalam pengantar buku Tahafut Al-Falasifat, membagi kehidupan Al-Ghazzali dalam 3 fase: Fase pra-keraguan, fase terjadinya keraguan, dan fase mendapat petunjuk dan ketenangan. Fase pra-keraguan adalah fase persiapan diri untuk menjadi seseorang yang memiliki pendapat independen. Fase ini sejatinya sudah menghantui tiap manusia sejak awal, sejak anak-anak, ketika pertanyaan sama sekali tidak menjadi dosa apapun. Ketika menanjaki umur, dengan meningkatnya pengalaman dan pengetahuan, keraguan ini memuncak, menjadi gairah yang bergejolak. Pertentangan batin terhadap kebenaran seharusnya terjadi. Yang akhirnya menghasilkan pencerahan di ujung perjalanan. Inilah hidayah yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin seseorang mendapakan huda (petunjuk) apabila tidak bertanya. Inilah apa yang disebut sebenar-benar baligh. Dewasa secara utuh.
Sayangnya, hal ini terkadang dianggap sesuatu yang buruk. Sesuatu yang harus dihindari, bahkan mungkin dicap haram, membuat muslimin menjadi terpenjara dalam konsep yang mengekang. Memahami agama karena lingkungan dan orang tua. Mengetahui Allah karena diberitahu. Spirit beragamanya pun akhirnya tidak muncul dari dalam. Bukan dari hasil pencarian murni dan sebuah pergolakan batin dalam kerinduan mencari kebenaran. Akhirnya, pemahaman agama pun sebatas undang-undang yang harus ditaati, bukan sebuah hasrat penyerahan diri. Atau mungkin sebaliknya, karena undang-undang itu tidak dijiwai secara utuh dari sebuah pencarian, tidak sedikit muslim yang sekedar islam KTP.
Sebenarnya inilah kita, mahasiswa, seseorang yang secara wajar mencari. Menafikan itu hampir seperti membohongi diri sendiri, yang mengorbankan diri menjadi robot yang mematuhi tanpa mempertanyakan.
Islam under pressure
Sejak Rasulullah wafat, islam sudah berkali-kali menembus batas-batas budaya, geografis, dan perkembangan ilmu. Dulu islam bertemu dengan kebudayaan timur yang cenderung mistis, berhadapan dengan kebudayaan barat yang saat itu dogmatis, melebur bersama konstelasi geopolitik pada masa ottoman, bersaing dengan rasionalitas yang subur berkembang, menyusup dalam prinsip-prinsip kemerdekaan, atau akhirnya sekarang berada dalam bentuk yang entah tidak bisa dimengerti.
Zaman sekarang memang semakin absurd, atau seperti yang saya sebutkan di atas, zaman krisis makna. Hal ini dipicu pertama kali oleh penemuan sibernetika, yang diinisasi oleh seorang matematikawan jenius, Von Neumann, yang menemukan solusi permasalahan transfer informasi. Prinsip-prinsip sibernetika membuat tertarik para ahli informasi dan teknisi untuk mengembangkannya, dan bum! Jadilah teknologi informasi yang kita kenal hingga sekarang.
Terkesan simpel, tapi dampaknya luar biasa. Apa yang sejak dulu menjadi batas adalah informasi. Mulai dari batas negara, batas kebudayaan, batas apapun, pada dasarnya terbatas secara informasi. Maka apa yang terjadi ketika batasan infomasi ini dihancurkan? Tentu saja, semua batasan lainnya juga melebur! Menghasilkan suatu raksasa kejam yang kita kenal dengan nama globalisasi.
Globalisasi telah menjadi penguasa dunia selama beberapa dekade hingga saat ini. Menuntut semua aspek untuk terlibat di dalamnya. Yang kuat bertahan akan menentukan, dan yang lemah harus mengikuti. Globalisasi menjadi arena, yang mengharuskan semua lini ikut bertarung di dalamnya, termasuk agama. Jika ingin naif, yang ditarungkan adalah keterampilan, inovasi, dan pengetahuan, walau yang ada dibaliknya sebenarnya mungkin hanya pertarungan modal.
Hal ini yang kemudian menghasilkan lingkungan kita saat ini, Indonesia yang sekarang, ITB yang sekarang, yang saya sebut “under pressure” pada tulisan yang lain. Hal ini hampir mirip terjadi pada agama, khususnya Islam. Tuntutan zaman (globalisasi) seakan tidak memberi pilihan selain mengikuti. Islam, yang seharusnya bisa membentuk arus, malah mengikuti arus, sehingga kehilangan jati diri sebagai agama, sebagai pedoman hidup. Islam hanya menjadi trend, bahkan menjadi komoditas.
Para pelaku-pelakunya pun turut serta mengikuti arus, seakan tidak memiliki pegangan yang teguh untuk menjaga idealisme. Arus yang ada pun tidak sekedar teknologi, tapi semua kondisi yang ada di dalamnya, dari perpolitikan hingga kemahasiswaan. Hal ini membuat islam turut mengalami krisis makna. Islam jadi sekedar alat, wahana, ataupun media, bukan lagi menjadi sebuah prinsip.
Hal ini disebabkan dengan hal yang cukup sederhana. Pengikut islam cenderung tidak islam sepenuhnya, yang dalam hal ini berarti islam yang diberitahu, bukan islam hasil pencarian, layaknya Nabi Ibrahim yang mencari sendiri Tuhannya. Islam menjadi dogma-dogma yang wajib dipatuhi, bagai perintah komandan militer yang tidak boleh dipertanyakan, walau tujuannya untuk memahami.
Keyakinan paling kuat muncul karena pemahaman, pemahaman yang kuat muncul dari pencarian, dan pencarian yang kuat muncul dari keraguan. Pembelajaran paling penting adalah ketika kita memahaminya sendiri. Perbedaan mendasar ini sangat fatal efeknya. Memelajari matematika dengan hanya menghafal rumus (yang diberitahu), dibandingkan dengan menemukannya sendiri rumus tersebut menghasilkan pemahaman makna yang berbeda. Mencari dari nol, atau dari dasar, sama dengan membangun ulang fondasi hingga apapun yang ada di atasnya merupakan bangunan yang sangat kuat.
Ketika belajar memang (kalau bisa) harus ada gurunya, ini pun disunnahkan oleh Rasulullah. Namun guru hanyalah pemberi petunjuk, dan petunjuk bukanlah kebenaran yang sebenarnya. Kebijaksanaan sesungguhnya itu muncul dari diri sendiri, bukan diberitahu. Inilah, bersama dengan efek teknologi informasi, yang menjadi krisis di masa saat ini.
Dengan perkembangan teknologi informasi yang luar biasa pesat, informasi berserakan dimana-mana, hingga muncul fenomena yang disebut fatalogi informasi. Orang-orang menjadi bingung. Chaos. Informasi keluar dan masuk tiap harinya tanpa henti, hingga akhirnya informasi kehilangan makna sama sekali. Ia seperti udara saja yang tanpa sadar keluar masuk hidung tiap detiknya. Pada akhirnya, orang-orang mengalami krisis kepercayaan, tidak punya pegangan, idealisme, atau apapun, karena semuanya serba berlalu.
Dengan kondisi orang-orang yang “bingung” ini, apapun bisa dipercayainya. Sehingga hasrat mencari dari dalam pun terkikis, bahkan hilang sama sekali. Mayoritas orang sekarang tidak punya jati diri sedikit pun. Mereka adalah korban informasi. Tren bilang a, ia menjadi a, tren bilang b, ia menjadi b, dan perubahan itu bisa dalam rentang waktu yang sangat singkat sekalipun.Ketika orang tidak punya jati diri, ia sama sekali tidak punya kepercayaan di dalam dirinya sendiri, tidak ada yang ia pegang di dalam. Padahal, sudah dibahas sebelumnya bahwa pencarian dari dalam itu kunci utama pemahaman. Akibatnya apa? Orang menjadi buta. Pada agama, jika patuh bagaikan robot, jika tidak patuh bagaikan liar. Sangat sedikit yang menjadi manusia beragama seutuhnya.
Moderasi Ideologis
Tekanan yang diterima islam sebagai sebuah eksistensi sosial di zaman ini memang menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi islam, khususnya para pemeluknya. Sebagai sebuah ideologi, islam selalu punya pilihan untuk mempertahankan diri atau mengikuti arus, atau mungkin tidak keduanya, karena pilihan alternatif-kreatif sebenarnya banyak. Sayangnya, kecenderungan sekarang selalu mengarah pada dua ekstrim, sangat mempertahankan diri alias konservatif atau sangat mengikuti arus alias moderat. Tantangan utama bagi islam konservatif adalah bagaimana bisa bertahan. Memang saat ini, konservatisme dalam islam cenderung dilihat sebagai sesuatu yang aneh, membuat mereka mengalami alienasi atau terekslusifkan dari masyarakat. Sebenarnya tidak salah, namun islam adalah ideologi yang bisa melebur bersama lingkungan seperti yang sudah terjadi selama 15 abad ini.
Sekarang beralih ke yang paling banyak terjadi, yaitu islam moderat. Secara umum ini hampir terjadi di semua lini. Islam mencoba mentransformasikan diri agar dapat sesuai dengan jalan pikiran masyarakat sekarang yang sebenarnya begitu tidak jelas. Seperti yang saya jelaskan di atas, globalisasi membuat makna semakin kabur. Sehingga identitas masyarakat sendiri pun tidak memiliki kejelasan. Mayoritas kehilangan jati dirinya sebagai sosok masyarakat, budaya dan tradisi semakin menjelma dalam bentuk yang absurd. Pikian masyarakat chaos dalam arus infomasi yang tidak pernah berhenti. Lalu bagaimana islam mentransformasikan diri?
Karena teknologi membuat masyarakat menjadi memiliki banyak wajah, demikian juga islam yang “memaksakan diri” untuk mengikutinya. Dalam hal perpolitikan dapat diambil contoh, partai politik islam di Indonesia cenderung tampil semakin moderat dengan agenda yang semakin pragmatis. Moderasi ideologis dipercaya bisa membuat partai politik islam lebih mudah diterima dan karenanya memperoleh dukungan publik yang semakin luas. Dalam hal ini yang paling terlihat adalah Partai Keadilan Sejahtera yang semakin tidak terlihat ideologis karena cenderung terlalu menyesuaikan diri dengan kondisi politik demokrasi di Indonesia. Terlepas dari apa yang terjadi di perpolitikan Indonesia, hal ini juga terjadi di kampus-kampus, termasuk ITB, ketika gerakan-gerakan tarbiyah terbawa moderasi dan mentransformasikan diri dalam dinamika kampus. Tidak buruk sebenarnya. Namun efek sampingnya adalah semakin tidak jelasnya wajah islam dalam menampilkan diri karena terlewat “menyesuaikan”. Ketika setiap tahun kampus selalu memiliki calon pejabat yang diusung dari kelompok islam pun (yang di ITB dikenal dengan mitos “depan”) yang diusung tidak terlihat wajah ideologisnya. Seakan “yang penting ada”, dan yang penting berhasil menempatkan orang pada posisi strategis tanpa mementingkan lagi apa yang dinamanakan ideologi.
Dinamika politik di kampus pun semakin tidak jelas. Karena hanya perang kelompok, bukan lagi perang ideologi. Istilah depan-belakang di ITB dijadikan mitos yang dibesar-besarkan agar moderasi ini tidak terlihat nyata. Namun apa yang mereka kenal sebagai “belakang” sebenarnya tidak ada, karena itu semata-mata hanyalah simbol perlwanan ideologis terhadap masuknya kepentingan luar ke dalam kampus sebagai akibat dari moderasi ideologis islam di Indonesia. Sekarang yang ada malah pertarungan antara yang konservatif dan moderat, para ideolog-ideolog lainnya hanya menonton ketidakjelasan islam dalam mentransformasikan diri dengan keadaan.
Kepolosan yang dimiliki mayoritas mahasiswa yang cenderung masih labil membuat begitu mudahnya moderasi gerakan tarbiyah berkamuflase dalam kegiatan sehari-hari mahasiswa. Hal ini, ditambah dengan mandulnya hasrat mencari, membuat mahasiswa akan dengan senang hati dan nyaman mengikuti suatu kelompok tanpa mencoba mencari dan mempertanyakan latar belakang ideologinya. Tak banyak yang mengetahui latar belakang gerakan tarbiyah sekarang yang sebenarnya dapat ditarik mundur ke Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir, atau sekedar sejarah kenapa dan bagaimana gerakan tersebut dapat berkembang di kampus-kampus secara sembunyi-sembunyi pada masa orde baru.
Yang sangat disayangkan adalah, moderasi ini memanfaatkan wajah mahasiwa yang polos untuk semakin bisa “menyesuaikan” diri dengan kondisi. Ketika mahasiswa bingung dengan keadaan, akan dengan sangat mudah mengisinya dengan doktrin berbau agama, namun secara pragmatis “dimafaatkan” untuk kepentingan yang lebih besar. Entah sadar atau tidak, sekarang kampus ITB yang sejak dulu terkenal dengan kebersihannya dari kepentingan luar, semakin melemah. Berbagai kepentingan masuk tanpa disadari ke dalam kemahasiswaan yang merenggut kenetralan dari mahasiswa itu sendiri. Para mahasiswa dinyamankan dengan semua kamuflase kepentingan tersebut sebagai bentuk moderasi ideologis. Di sisi lain, aliran-aliran konservatif mulai “berani” menampakkan wajah setelah sekian lama hanya diam dan mengamati. Pagar-pagar ideologi kampus seperti PSIK pun semakin dianggap “tidak jelas”. Apalagi dengan paradigma negatif terhadap para pecinta diskusi di zaman sekarang.
Agama, Ilmu, Filsafat
Lalu bagaimana? Di sinilah ada eksistensi lain masuk, yang juga terpinggirkan (bukan terkikis) di zaman seperti sekarang ini, yang namanya filsafat. Ada apa dengan filsafat sebenarnya tidak ada yang spesial. Ia hanya lah ilmu berpikir, seni mempertanyakan. Di sini lah pencarian jati diri seharusnya dilakukan. Namun, stigma yang ada sekarang adalah bahwa filsafat bagaikan zina yang didekati saja tidak boleh. Filsafat terkadang dikaitkan dengan ateisme (jika itu memang ada), pemikiran bebas, orang-orang aneh, orang-orang tidak ada kerjaan, dan hal-hal lainnya yang juga punya stigma negatif. Filsafat bagi sebagian besar orang-orang adalah ilmu yang mengawang-awang, rumit, tidak jelas, konyol, tidak realistis. Di tengah perkembangan ilmu yang serba pragmatis aat ini pun filsafat menjadi bagaikan dimensi lain yang tidak pernah terbayangkan.
Semua cerita yang orang-orang dengar mengenai filsafat pada dasarnya hanyalah mitos, hanyalah karikatur, hanyalah dongeng yang diceritakan untuk menakut-nakuti anak-anak muda yang bersemangat mencari dan mempertanyakan. Filsafat tidak seburuk itu. Filsafat bahkan sudah dimiliki oleh anak-anak, yang memiliki kecenderungan rasa ingin tahu yang besar, kecenderungan yang ketika dewasa dirusak oleh jawaban-jawaban yang berbau absolut dalam berbagai sumber, mulai dari agama, tradisi, sains, dan ideologi
Sebelumnya saya membahas bahwa mahasiswa seharusnya berada pada fase pra-keraguan atau bahkan keraguan, ketika gairah bertanya dan mencari mengebu-gebu, berujung onani pikiran demi kepuasan batin jati diri. Bahkan tertulis jelas pada Plaza Widya Nusantara Institut Teknologi Bandung bahwa kampus adalah tempat bertanya dan harus ada jawabnya. Koreksi juga kalau saya salah, Islam sendiri tidak pernah melarang siapapun untuk bertanya, bahkan dianjurkan memanfaatkan akalnya untuk memahami tanda-tanda yang ada di semesta ini. Namun karena terbawa ketakutan akan dosa dan neraka, orang-orang cenderung lebih suka berada pada wilayah “aman”.
Agama dan filsafat bukanlah ibarat hitam-putih, seperti yang dipandang kebanyakan orang saat ini. Kesenjangan yang terjadi antara dua kubu itu sebenarnya terjadi akibat dari sikap dogmatis dan kaku yang dengan mudah memberi klaim-klaim atas nama agama. Beberapa dekade lalu, islam mungkin masih memiliki posisi yang kuat untuk menguasai berbagai wilayah dalam pemikiran dan kehidupan. Namun, dengan berkembangnya teknologi dan lahirnya globalisasi, agama kehilangan banyak kekuatan dalam memberi petunjuk atas kebenaran. Rasionalitas atas nama ilmu dan teknologi tumbuh subur dalam paradigma yang semakin teknis-pragmatis, menggeser agama jauh dari kehidupan, membuatnya sekedar menjadi pelengkap hidup.
Sayangnya, tekanan ilmu terhadap agama ini ditanggapi kurang baik oleh para agamawan. Selain moderasi ideologis yang telah dibahas sebelumnya, tindakan-tindakan desperate seperti mulai mencocok-cocokkan ilmu dengan dalil-dalil agama, melakukan klaim-klaim tak berdasar terhadap ilmu, atau melakukan komodifikasi agama agar lebih diterima oleh masyarakat, malah cenderung semakin menjauhkan agama dari ilmu itu sendiri. Contoh sederhana adalah stigma negatif yang selalu keluar terhadap Stephen Hawking karena pendapatnya mengenai awal mula alam semesta. Fisika kuantum bukanlah ilmu yang mudah untuk dipelajari, memberikan klaim tanpa benar-benar memahami apa makna sesungguhnya yang dimaksud Hawking adalah tindakan yang jauh dari kedewasaan. Diskusi-diskusi intelek terbuka mengenai teori-teori fisika kontemprorer dan bagaimana koneksinya dengan agama akan jauh lebih nyaman dan bermanfaat ketimbang mendogma semua mahasiswa agar tidak percaya pada Hawking. Hal-hal seperti ini cenderung semakin menjauhkan ilmu dan agama, kalaupun bertemu, yang ada adalah otak-atik gathuk ilmu agar “seakan” islam cocok dengan perkembangan yang ada.
Yang diperlukan dari semua itu adalah integrasi. Fritjof Capra, seorang fisikawan rusia, walaupun beliau bukan muslim, beliau berhasil melakukan penemuan komprehensif terhadap kesetaraan teori kuantum dengan mistisme timur seperti hindu, buddha, atau tao. Semua karya Capra merupakan integrasi yang mengagumkan antara rasionalitas dan spiritualitas. Latar belakangnya yang merupakan saintis membuat semua karyanya bersifat intelektual, bukan sekedar “cucoklogi”. Dari kalangan muslim, Armahedi Mahzar melakukan hal yang persis seperti Capra namun terhadap Islam. Pendapatnya mengenai integralisme transenden begitu memukau karena melakukan sintesis holistik (menyeluruh) mengenai evolusi universal kosmos dan bagaimana pararelisasinya dengan islam. Beliau sebenarnya mengajarkan ini pada kuliah umum filsafat ilmu, namun karena kuliah ini terkadang hanya dijadikan ladang nilai A, saya rasa tidak banyak yang mengerti.
Pada intinya, ilmu dan agama harus melebur secara integratif. Meleburnya melalui apa? Melalui filsafat. Sejak berabad-abad yang lalu, filsafat selalu jadi jembatan yang baik bagi agama dan ilmu. Dengan adanya integrasi, tidak ada lagi dikotomi. Agamawan sebaiknya mendalami ilmu-ilmu sains, sebaliknya, para saintis-saintis teori sebaiknya mendalami juga ilmu-ilmu agama, dan yang terpenting, kedua-duanya sebaiknya mendalami filsafat. Sebagai mahasiswa, apa yang dapat kita lakukan? Tentu saja membuka diri terhadap berbagai topik diskusi. Filsafat bukanlah barang haram seperti khamr, tapi ia adalah seni berpikir. Sebenarnya tidak hanya filsafat, namun membuka mata terhadap semua ilmu merupakan hal yang tidak buruk.
Agama sebenarnya adalah suatu wujud konseptual yang berkaitan erat dengan proses paling dasar dalam kehidupan manusia, yaitu mencari, yang petunjuk pencariannya sudah diberi dari langit. Agama bagaikan resep, dan kita adalah kokinya. Proses pencarian adalah proses memasaknya. Bahan dan bumbunya bisa segala aspek dari kehidupan. Namun yang disayangkan, apalagi di kalangan mahasiswa, proses pencariannya tidak dilaksanakan dengan maksimal, tertahan pada dogma dan ketakutan yang tidak berdasar. Pertanyaan yang muncul pun tidak murni dari diri, tapi lebih kepada agar dogma itu dapat mereka terima.
Di sisi lain, yang telah berani masuk dalam area filsafat cenderung dicap dengan stigma-stigma yang kurang baik, dibiarkan tenggelam dengan trend mahasiswa yang lain, atau dijauhi dengan dalih “bergaul dengan orang-orang sholeh”.
Keterbukaan Dakwah
Yap, semua itulah tantangan islam abad ini, atau mungkin malah belum semua. Analisis medan tempat sekarang kita semua hidup memerlukan setiap sudut pandang, mulai dari humaniora, hingga ekologi. Namun karena saat ini saya berbicara mengenai mahasiswa, saya rasa cukup. Mungkin lebih baik dilanjutkan dengan pertanyaan sederhana, mengenai apa yang seharusnya kita lakukan sebagai mahasiswa muslim, apalagi yang menyebut diri aktivis dakwah, menyikapi semua keadaan yang cukup absurd ini.
Arus perkembangan teknologi yang luar biasa deras memerlukan sebuah pegangan diri yang kuat agar tetap menjadi diri sendiri tanpa perlu terseret trend yang selalu berubah tiap detiknya. Sudah menjadi fakta yang sangat jelas bahwa mayoritas mahasiswa saat ini menjadi korban arus, memakai karena yang lain memakai. Hal ini disebabkan tidak adanya idealisme yang kuat yang bisa dijadikan landasan untuk memahami esensi sesuatu relatif terhadap tujuan hidupnya. Cobalah tanyakan pada semua mahasiswa mengenai tujuan hidup, hal yang pertama dijawab adalah bagaikan mantra, entah masuk surga, entah mengharap ridho Allah. Bukan berarti hal seperti ini salah, namun jawaban seperti itu tidak akan membantu mereka untuk memahami dampak sosial-kultural teknologi pada hidupnya sendiri. Fakta seperti ini merupakan indikasi kuat bahwa masyarakat saat ini, termasuk mahasiswa, kehilangan jati diri, tidak memahami siapa dia sesungguhnya dan apa yang sangat ia pegang dalam hidup (selain hal-hal trivial terkait akhirat). Sebagai muslim tentu saja sudah sewajarnya, bahkan kewajiban untuk hidup memang lillahita’ala. Tapi itu kewajiban, bukan sebuah jati diri yang membedakan suatu individu dengan individu lainnya.
Hal seperti ini hanya bisa diobati dengan memicu lagi hasrat utama mereka yang mengendap dan terkubur arus teknologi, yaitu hasrat mencari dan mempertanyakan. Hal paling sederhana yang bisa dilakukan adalah memunculkan lagi diskusi-diskusi intelek yang bebas dogma. Kajian-kajian mendalam terhadap berbagai ilmu perlu dirutinkan dan dibungkus menarik agar bisa mendorong mahasiswa untuk ikut. Ini memang pekerjaan rumah tersendiri bagi unit-unit berbasis kajian seperti PSIK, MG, dan Tiben. Namun, hal ini menjadi pekerjaan rumah juga bagi para aktivis muslim untuk turut serta bergabung di dalamnya. Kenapa? Karena seperti yang saya jelaskan di atas, mahasiswa-mahasiswa ahli kajian yang sering diistilahkan dengan “anak belakang” (hanya mitos), cenderung dijauhi oleh para mahasiswa muslim karena semua stigma yang dimunculkan terhadap mereka terkadang buruk. Benar-benar seakan zina yang didekati saja tidak boleh, sekedar diajak diskusi santai tapi serius yang berbau filsafat atau bahkan sekedar humaniora terkadang sudah mengalami mental blocking.
Ini akibat utama ketidakterbukaan dakwah yang terjadi di kampus. Islam jadi cenderung tertutup terhadap diskusi bebas. Memang tidak salah menutup diri pada halaqah-halaqah tarbiyah sebagai bahan memperdalam ilmu agama, namun ketika hanya dibatasi pada lingkaran-lingkaran kecil segelintir orang belaka, ilmu tidak akan berkembang. Dialektika tidak terjadi, dan akhirnya islam menjadi cenderung dogmatis. Memang saya akui, liqo’, atau bahasa awamnya, mentoring, adalah metode paling efektif-efisien dalam menyebarkan doktrin, yang mengakibatkan gerakan tarbiyah, yang baru masuk kampus ganesha tahun 90an, sekarang sudah cukup berkembang secara sistematis. Namun metode doktrinasi tertutup ini akan menjadi misorientasi bila terus tidak mau membuka diri.
Ketertutupan dakwah sebenarnya adalah efek dari rezim orde baru ketika bibit-bibit awal aktivis dakwah kampus muncul. Soeharto cenderung represif terhadap gerakan keagamaan, sehingga wajar bila aktivitas dakwah yang dilakukan cenderung rahasia dan sembunyi-sembunyi. Ketika reformasi, gerakan-gerakan dakwah mulai mencoba menampakkan diri dengan memasuki wilayah-wilayah praktis seperti politik. Di kampus pun, wilayah-wilayah praktis semakin dicoba masuki dengan siasat-siasat pemetaan penempatan kader pada posisi-posisi strategis kemahasiswaan. Namun, hal ini malah cenderung berakibat pada moderasi ideologis yang berlebihan. Keterbukaan yang dilakukan hanya bersifat teknis, bukan ideologis.
Dakwah pada umumnya bertujuan untuk membumikan islam, dengan mengajak dan menasihati agar dapat menumbuhkan nilai-nilai islam dalam masyarakat, baik dakwah bil lisan, bil haal, bit tadwin, ataupun bil hikmah. Pada intinya dakwah sama sekali tidak terbatas apapun, yang penting tetap membawa nilai-nilai islam tanpa harus terdistorsi. Apakah dilakukan tertutup atau tidak, itu hanya tergantung kondisi, seperti pada masa awal kenabian Rasulullah atau masa orde baru. Namun apakah kondisi yang ada sekarang menuntut adanya ketertutupan? Tentu saja tidak. Kita sudah memasuki masa kebebasan berpendapat. Keterbukaan pikiran sangat penting di zaman informasi seperti ini.
Efek nyata dari ketertutupan ini sebenarnya cukup jelas terlihat, yaitu terciptanya kesenjangan antara para aktivis dakwah dengan mahasiswa biasa. Para aktivis dakwah yang terkader melalui halaqah-halaqah tertutup cenderung menjadi ekslusif. Hal ini pun dapat berujung pada loyalitas buta, menafikan yang non-aktivis dan mematikan pikiran kritis. Perpolitikan praktis di kampus adalah salah satu contohnya. Seakan tidak punya kepercayaan sedikit pun pada yang non-aktivis, selalu ada pemunculan kader yang terkadang saya rasa memaksakan karena seakan “yang penting ada” agar posisi-posisi penting di kampus dapat dipegang. Hal-hal seperti ini, beserta banyak contoh lainnya, mematikan sifat penting mahasiswa yang kritis dan bebas dari kepentingan, menjauhkan kesenjangan antara yang terkader dan tidak, semakin mengaburkan wajah ideologi, dan semakin mendistorsi makna dakwah.
Doktrinasi tertutup yang masih terjadi sekarang akan menjadikan tujuan awal dakwah mengalami misorientasi. Tidak masalah bila memang itu difungsikan untuk mempertebal keimanan melalui kontrol sosial dalam komunal kecil, seperti kelompok-kelompok liqo’ dengan dibimbing oleh murabbi yang lebih berilmu. Namun alangkah baiknya bila selanjutnya terjadi keterbukaan, dengan diskusi bebas atau berbagai hal lainnya untuk membuka wawasan da membangkitkan lagi jiwa utama mahasiswa sebagai pencari dan penanya. Islam bukanlah agama yang dogmatis, yang kaku dalam penentuan ini itu dalam kehidupan. Keindahan yang terjadi dalam beragama akan terjadi bila agama itu lahir dari pencarian dan kegelisahan, bukan dari doktrinasi dan kontrol melalui dakwah-dakwah tertutup.
Insya Allah, mata mayoritas terhadap islam akan jauh lebih baik bila gerakan-gerakan islam lebih dapat membuka diri. Kontrol sosial adalah mekanisme yang paling baik dalam pengembangan metode dakwah. Keterbukaan yang hendaknya dilakukan janganlah sekedar keterbukaan teknis, yang memodifikasi besar-besaran sehingga ideologi mengalami pengikisan besar-besaran juga. Moderasi ideologis yang berlebihan akan mematikan makna ideologi itu sendiri, apalagi di tengah zaman minim makna seperti saat ini. Lalu terbukanya seperti apa? Jawabannya adalah terbuka secara intelek.
Intelektualisme Islam
Untuk lebih dalamnya, kita memasuki tantangan terakhir dalam dakwah kampus, bagaimana islam dapat melebur dalam suatu area ideal dimana kita berada seharusnya selama ini, intelektualitas.
Mengenai intelektual sudah berkali-kali saya bahas pada beberapa tulisan saya yang lain. Sebelumnya juga sedikit terbahas aspek intelektual dari mahasiswa yang merupakan konsep terstruktur dari cara berpikir. Tanpa menafikan definisi yang lain, sebenarnya menjadi intelek adalah sesederhana bagaimana bertanya dan mencari jawabannya. Hal ini menjadi unsur utama terpenting dalam optimalisasi akal sebagai karunia terbesar manusia.
Hal terpenting dalam intelektualitas adalah idealisme dan integritas dalam mempertahankannya. Sebagai intelektual, sudah sepatutnya pikiran dan hati terbuka terhadap berbagai pemikiran. Dengan adanya idealisme diri yang kuat, penyesuaian diri terhadap lingkungan dan kondisi tidak akan menggeser ideologinya. Sangat disayangkan bila mayoritas yang terjadi saat ini adalah dua kubu ekstrim, yang berideologi kuat tapi menutup diri, atau yang sangat terbuka namun tidak berjati diri.
Islam bisa diibaratkan seperti matematika. Ilmu matematika tidak akan berguna sama sekali bila tidak bertemu ilmu lain, kalaupun berguna, ia hanya menjadi pemuas pemakai, bermanfaat hanya untuk diri sendiri dan sesama matematikawan. Demikian halnya dengan agama, sudah saatnya islam mulai duduk bareng minum teh manis bersama mereka yang disebut filsuf, saintis, agnostik, maupun atheis. Menjadi seorang intelktual muslim adalah menjadi jembatan islam ke “dunia luar”, terhadap pemikiran-pemikiran luas, dari Descartes, Marx, Derrida, Foucault, Camus, Nietzche, dan banyak lainnya. Alangkah anehnya hanya karena mendengar Nietzche pernah berkata “Tuhan telah mati”, klaim-klaim muncul tanpa membaca terlebih dahulu pemikiran lengkapnya.
Minimnya sifat intelektualitas di kalangan mahasiswa berimplikasi pada pendapat-pendapat yang tidak berdasar. Islam liberal pun muncul karena hal itu. Mengetahui sesuatu tidak tuntas, asal klaim, tidak mau membuka diri, dan hal-hal tidak intelek lainnya akan memicu kekeliruan berpikir. Baik dari terhadap islam sendiri maupun dari islam. Pendapat-pendapat yang muncul terhadap Marx, Hawking, atau yang lainnya terkadang tidak didahului dengan memelajari asal mula pemikiran tersebut muncul dan apa makna sebenarnya. Sebaliknya pemikiran terhadap islam sendiri terkadang tidak didahului dengan memelajari secara mendalam ilmu-ilmu yang terkait di dalamnya, seperti nahwu-sharaf-balaghah jika terkait tafsir.
Terkadang menjadi timbul anekdot terkait hadits yang mengatakan bahwa jika bergaul dengan tukang parfum akan terbawa harumnya, dan jika bergaul dengan tukang besi akan terbawa baunya. Jika seperti itu, lalu yang harum akan semakin harum, yang bau akan semakin bau. Kesenjangan ini mirip efek nyata kapitalisme, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Alangkah baiknya tukang parfum bergaul dengan tukang besi sehingga sama-sama harum. Sangat menyedihkan bila kesenjangan agama juga terjadi karena perilaku pengikutnya yang terlalu menutup diri, atau kalaupun membuka diri, tidak punya wajah ideologis yang jelas.
Kita semua sekarang berada pada zaman yang masih belum bisa dipahami dengan baik. Perubahan begitu cepat terjadi menuntut pikiran yang terbuka dan idealisme yang kuat. Strategi gerilya dakwah kampus yang muncul dari aktivis-aktivis tarbiyah di masa lalu sebenarnya telah cukup efektif menyumbangkan berbagai kemajuan dalam islam. Namun beda zaman beda strategi. Sebagai kaum intelektual muslim, kita harus bisa berpikir terbuka, kritis dan kreatif, agar dapat memahami keadaan dengan baik, menanggapinya dan menghadapinya dengan cara yang tepat pula. Moderasi diperlukan untuk penyesuaian kondisi, namun jangan sampai kehilangan jati diri, konservatif pun diperlukan untuk menguatkan ideologi, namun jangan sampai mengasingkan diri.
Sebagai seorang muslim marilah bersama-sama mulai membuka diri, perlihatkan wajah, dekati dengan tegas setiap muslim awam, agar esensi utama dakwah yaitu mengajak tidak terdistorsi, dan sempatkan berdiskusi dengan kaum-kaum yang cenderung dijauhi karena “bau”, padahal pikiran-pikiran mereka sebenarnya sudah melampaui banyak hal. Dengan kondisi yang serba kompleks ini, sebenarnya tidak ada yang bisa kita lakukan, selain mengusahakan yang terbaik. Ini bukan sekedar bagaimana diri bisa mencapai surga Allah, tapi juga bagaimana bersama-sama membangun kampus yang madani, atau bahkan masyarakat yang madani.
Wallahu a’lam bissawab
(PHX)