Mahasiswa, Dakwah, dan Paradigma
- 8 minsZaman berpacu terus tiada henti menuju titik yang tak terdefinisikan dalam arus waktu, titik yang terus membawa manusia dalam pergolakan kehidupan yang semakin kompleks dengan berbagai faktor dan variabel yang terus bertambah. Agama, sebagai salah satu dari bagian kompleks pergolakan ini berada dalam posisi kritis yang seakan tertekan oleh paradigma-paradigma kontemporer yang terus mendewakan hegemoni rasionalitas dan menggerus kepercayaan serta ilmu-ilmu yang dianggap tidak dapat dibuktikan seperti agama. Islam, sebagai agama rahmatallil’alamin, bertahan dalam gejolak ini dengan berbagai tantangan dakwah yang terus berusaha mengikis sedikit demi sedikit teritori agama. Kita, sebagai mahasiswa, adalah salah satu tantangan penting yang diperlukan untuk menghindari kehancuran paradigma manusia oleh virus-virus empiris-rasional modern.
Tanpa perlu dipertanyakan lagi, mahasiswa adalah salah satu golongan masyarakat yang paling memiliki perhatian khusus berbagai kalangan dalam berbagai hal. Banyak idealisme dan opini-opini berpanjang-lebar mengenai golongan yang katanya dipercaya memegang arah dan arus bangsa dan lain sebagainya ini. Memang, diperhatikan lebih seksama, mahasiswa memiliki 2 keadaan atau posisi, atau mungkin bisa disebut potensi, khusus yang cukup krusial, yaitu sebagai kaum muda, dan sebagai kaum intelektual. Dua-duanya berada dalam keadaan kritis yang perlu penanganan intensif-kreatif strategi-strategi dakwah baru untuk memikat mereka sebelum terlalu jauh terlepas.
Saat ini, secara umum kaum muda adalah kaum yang paling mudah menerima kemajuan apapun, mulai dari ilmu pengetahuan hingga budaya. “Kepolosan” yang dimiliki oleh kaum yang baru saja memasuki masa baligh ini sebenarnya membuat mereka adalah kaum yang mudah dibentuk, asal dengan metode dan perlakuan yang tepat. Sayangnya, arus budaya yang berlalu-lalang saat ini membuat mereka rapuh dalam banyak hal. Rapuh dan lemahnya kaum muda ini membuat masa muda memang masa yang tidak bisa diremehkan dalam berbagai aspek, seperti yang disebutkan dalam sebuah mahfudzot, “Sesungguhnya masa muda, waktu luang, dan harta benda, adalah sehebat-hebatnya pengrusak untuk manusia”.
Serangan-serangan dari luar baik berupa ideologi maupun karakter menekan bertubi-tubi pikiran kaum muda dalam berbagai bentuk yang tak kasat mata. Filsafat kontemporer seperti paradigma mekanistik dan imperialisme-saintifik secara tidak langsung merasuki alam bawah sadar mereka dan mengarahkan mereka bagaimana cara memandang dunia. Terlihat jelas dalam keadaan yang saya amati di sekitar saya sebagai mahasiswa ITB, yang mana mahasiswa selalu dengan mudah menyerap arus informasi apapun tanpa punya saringan sedikitpun. Keadaan ini sebenarnya tidak sepenuhnya buruk, karena dalam perlakuan yang cermat, kelompok-kelompok muda malah lebih peduli dan terdorong dalam idealisme yang tinggi untuk memelajari ilmu agama. Kesadaran yang langka ini memang perlu analisa cermat dan teliti ruang wilayah yang ada. Penarikan ketertarikan kaum muda pada agama memerlukan pendekatan yang tidak biasa dan mampu menyingkrikan dan menandingi doktrin-doktrin budaya kontemporer yang berlandaskan pada liberty atau kebebasan. Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan seperti yang dijelaskan Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an” akan segera muncul dalam rangka pemahaman kita untuk menentukan strategi yang tepat : (a) apakah yang sebenarnya kaum muda inginkan dari ulama?; (b) Apakah buku-buku, ceramah-ceramah, dan penerangan-penerangan yang disampaikan telah sesuai dengan kondisi obyektif mereka?; (c) Apakah kurikulum dan silabus pendidikan dapat mengantarkan mereka kepada apa yang kita inginkan bersama?
Posisi kedua, kaum intelektual, memiliki banyak arti dan definisi berdasar sudut pandang. Dalam Idiomatic and Syntactic English Dictionary, Intelectual diartikan sebagai “having or showing good mental powers and understanding”, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dalam pengertian yang pertama yaitu “cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan”. Sebagai kaum yang dapat berpikir dengan cermat dan netral, kaum intelektual berperan penting dalam menjaga dan menentukan nilai-nilai yang tepat dalam arus kehidupan kompleks modern saat ini. Dalam hal ini, kita akan memerlukan apa yang disebut sebagai “Intelektual Muslim” yang mengambil ciri-ciri kedua dan ketiga yang diungkapkan Quraish Shihab sebagai orang yang : (b) memikirkan atau memerhatikan fenomena alam raya, yang pada saatnya memberi manfaat ganda, yaitu memahami tujuan hidup dan kebesaran Tuhan serta memperoleh manfaat dari rahasia alam raya untuk kebahagiaan dan kenyamanan hidup duniawi; (c) berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata, khususnya dalam kaitan hasil-hasil yang diperoleh dari pemikiran dan perhatian tersebut.
Dengan menjadikan dan memanfaatkan Intelektual Muslim yang handal, arus dakwah dalam kalangan muda akan mudah teratasi karena akan mampu menyamai bahkan menandingi bahasa yang dipergunakan ilmu pengetahuan dan teknologi dan menyulapnya menjadi paket khusus terselubung pengajaran ilmu-ilmu agama. Dalam ciri-ciri yang diungkapkan diatas, terlihat bahwa tugas Intelektual Muslim ada dua, yaitu memahami, dan menerapkannya secara kreatif. Ini berarti bahwa ilmu dan agama tidak akan bertengkar lagi dan terintegrasi dalam satu kepahaman yang sama. Saya, yang dikatkan sebagai calon saintis, sangat merasakan pertentangan keras antara ilmu dan agama selama bertahun-tahun dalam bentuk perebutan wilayah pemikiran. Walau sekarang hal tersebut sudah banyak teratasi oleh ilmuan-ilmuan muslim seperti Agus Purwanto, penulis “Nalar Ayat-ayat Semesta”, yang mampu menjelaskan ilmu dan agama dalam perspektif yang cukup sama, sisa-sisa pertentangan itu masih banyak bersisa dan mengendap dalam paradigma yang tidak bisa berubah dalam waktu singkat.
ITB, sebagai salah satu institut pendidikan yang bergerak di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sejatinya dari apa yang saya perhatikan, melahirkan produk-produk kaum intelektual yang semata-mata memergunakan intelektualnya atas dasar pengembangan diri semata (modal intelektual, dan modal ekonomi) dan melupakan banyak aspek lainnya seperti modal sosial dan modal kultural. Begitu terbiasanya mahasiswa institut yang disebut-sebut sebagai terbaik bangsa ini dengan laboratorium ilmiah dimana segalanya terasa monokromatis dan penuh perhitungan telah memanjakan mahasiswa dalam dunia penuh “kepastian” sehingga tidak memiliki kesiapan dan mental yang cukup untuk menghadapi “laboratorium sosial” dalam realita yang sangat polikromatis dan penuh ketidakpastian. Mungkin hal ini terjadi secara tidak langsung dalam pengaruh gabungan antara proses belajar, materi pengajaran, lingkungan, dan lain sebagainya. Namun, pemanjaan ilmiah ini sangat merusak jalan pikiran dan mental mahasiswa dalam melihat dunia dan menanggapi permasalahan. Kepekaan spiritual dan emosional perlahan terkikis sehingga secara tidak langsung rohani tiap mahasiswa berada dalam posisi yang rapuh dan rentan labil.
Selain itu, mahaiswa seaakan secara tidak langsung diarahkan pada konsep-konsep pasti rasionalitas dan kesempurnaan metode ilmiah dalam meraih kebenaran. Pengarahan ini mengakibatkan paradigma saintifik-empiris menancap erat dalam pikiran-pikiran mahasiswa, membuat orientasi kepala hanya mengarah pada rasionalitas belaka. Pengaruh filsafat mekanistik Newtonian-Cartesian yang mendasari paradigma modernisme ini sebenarnya telah banyak dihantam oleh filsafat post-modernisme yang mulai menekankan pada kebenaran selain rasionalitas. Walau secara tidak langsung membahas agama Islam, Fritjof Capra, seorang ilmuan fisika partikel, dalam 4 bukunya berturut-turut, dari “Tao of Physics” hingga “The Hidden Connection” menciptakan integrasi ilmu-agama yang mengagumkan. Sayangnya, paradigma-paradigma baru ini belum populer di kalangan mahasiswa, atau mungkin lebih luasnya malah belum populer di Indonesia. Pada dasarnya telah banyak yang menyadari secara tidak langsung bahwa segala sesuatudalam kehidupan tidak dapat berhenti hanya pada deskripsi atau pemahaman semata-mata, tetapi harus melampauinya hingga sampai ke ranah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan mendalam berupa kata mengapa, yang tentunya hanya dapat terjawab melalui jalur agama. Kesadaran ini apabila tidak terurus dengan baik oleh pelaku-pelaku dakwah akan menguap begitu saja dalam pikiran.
Selain adanya paradigma yang mendewakan rasionalitas, arus ideologi yang bolak-balik masuk dalam globalisasi informasi membuat jati diri kaum muda “dipermainkan” dengan kebingungan-kebingungan nyata akan kebenaran. Pemikiran Marx, yang sebelum reformasi dilarang keras beredar, sekarang sudah menjadi bacaan utama mahasiswa. Peleburan prematur antar-ideologi masa kini secara tidak langsung berpengaruh besar dalam paradigma dan kepribadian mahasiswa dalam berpikir. Apalagi dengan hegemoni kapitalis yang menjadi ikon utama kemajuan ekonomi masa kini telah membawa konsep kebebasan dalam semua hal merasuk perlahan dalam kerangka berpikir manusia. Pemikiran-pemikiran bebas pun muncul tak terkendali sebagai bentuk halus kerja sama paradigma saintifik untuk bersama-sama melakukan pengikisan kepercayaan agama. Banyak kaum muda, yang secara psikologis masih berada dalam keadaan pencarian jati diri dan tidak stabil termakan rayuan halus tak terlihat yang terbawa kesana kemari melalui berbagai media yang tak terduga, dimulai dari facebook hingga teman sendiri. Tentunya ini menambah akar permasalahan keagamaan yang menjadi pokok utama perhatian dalam penentuan metode dakwah yang tepat. Walau terasa berlebihan, sebenarnya realitanya lebih buruk dari yang saya jelaskan, tergantung dari sudut pandang mana hal ini terlihat.
Jika kita lihat seksama, terdapat kesenjangan yang nyata antara yang “agamis” dengan yang tidak dalam dinamika yang ada di kampus ganesha tempat saya kuliah ini. Entah apa penyebabnya, banyak sekali faktor yang memengaruhi. Yang jelas, penyebab utamanya adalah seperti yang saya jelaskan di atas, yaitu paradigma saintifik dan konsep kebebasan yang telah melekat erat dalam kepala para intelektual masa kini. Banyak sekali yang saya perhatikan berada dalam kondisi yang sama di berbagai tempat yang berbeda. Adanya intelektual muslim yang berada dalam peranan penting memegang keberjalanan dakwah Islam ke kaum muda untuk mengatasi masalah-masalah ini perlu kita beri perhatian penuh dalam rangka keseriusan menghindari kehancuran moral mahasiswa akibat kekurang-dekatannya pada ilmu-ilmu agama.
Pada akhirnya, sifat utama kita sebagai hibrida aneh kombinasi kaum muda dan kaum intelektual menjadikan posisi dan peran kita sebagai mahasiswa, khususnya pada institut yang notabene memiliki nama, kualitas, dan sejarah yang cukup terkenal, berada cukup strategis untuk melakukan perbaikan bersama. Arus dunia yang tidak menentu membuat setiap manusia berada dalam krisis kompleks komplikasi ekonomi, sosial, moral, budaya, filsafat, ilmu, dan teknologi. Ideologi bercampur dan berperang satu sama lain dalam perebutan teritorial virtual yang entah maknanya untuk apa. Islam dapat bertahan selama lebih dari 14 abad disebabkan karena semangat penganutnya dalam mendalami, mengajarkan, dan menyebarkan ilmunya kepada sesama. Entah semangat itu masih ada atau tidak saat ini, kita semua yang menentukan. Tentu saja untuk terhindar dari krisis ini diperlukan hati yang ikhlas dan kegigihan penuh untuk melakukan perubahan. Dan ujungnya, melihat target yang paling dekat adalah mahasiswa, mungkin 3 pertanyaan yang diajukan di atas pantas mendapatkan kontemplasi.
(PHX)