Kesatuan dan Kebijaksanaan
- 8 minsBumi yang indah tercipta,
Berdada luas, menampung
Segala Sesuatu, Bumi melahirkan
Langit berbintang, yang sederajat dengan sendirinya,
Untuk melindunginya dari segala sudut dan menjadi
Rumah abadi untuk para dewa yang diberkati.
Sebuah penjelasan mengenai bagaimana segala sesuatu bermula, dicoba jelaskan oleh Hesiod, seorang penyair Yunani, dalam sajak singkat tersebut. Visualisasi mengenai alam pada awalnya terlihat jelas diberikan sebagai representasi konsep berpikir manusia pada zamanya, yang mungkin dari perspektif masyarakat masa kini dikenal sebagai paradise atau utopia dengan segala kesempurnaan dan keindahannya. Keadaan bagaikan negeri dongeng ini pun sebenarnya merupakan harapan bawah sadar manusia akan tempat tinggalnya, akan kehidupannya sepanjang zaman, di manapun di seluruh bumi.
Secara umum, bagaimana para penyair dan buku-buku teks zaman dulu mencoba mendeskripsikan tempat mereka tinggal dan hidup, sesuatu yang kita sebut dengan bumi, secara tidak langsung merepresentasikan visual dan pandangan masyarakat pada masa itu mengenai dunia ini, mengenai biosfer dan seluruh komponennya. Dalam pemikiran masa lalu mungkin tidak ada perbedaan antara orang dan tempat. Bumi adalah sekumpulan tanah beserta komponen-komponen lainnya, sekaligus juga sesosok kepribadian yang masih samar. Dalam mitologi yunani kuno, kepribadian ini direpresentasikan dalam wanita yang sosoknya tak pernah diketahui dengan pasti wujudnya. Yunani kuno menyebutnya dengan sebutan Gaia, ajaran Buddha menyebutnya sebagai Bhūmi, atau Parvati dalam ajaran Hindu, entah apapun namanya, berbagai kultur di dunia memiliki konsep dan pandangan yang mirip akan bumi, suatu sosok keibuan, yang menaungi hidup dalam suatu sistem regulasi kesatuan.
Pandangan lama mengenai bumi dan alam memperlihatkan bahwa manusia merupakan bagian utuh dari keutuhan sistem hidup bernama bumi. Konsep “satu untuk semua, dan semua untuk satu” mungkin seharusnya berawal dari sini, yang mana satu (tiap individu dan elemen alam) ada karena semua (bumi) dan semua ada karena adanya kumpulan satu yang berintegrasi dalam sistem, bukan sekedar slogan dari ksatria Arthos, Porthos, dan Aramis dalam fabel lama prancis “The Three Muskeeter”. Mereka yang mengisahkan epos-epos masa silam percaya bahwa seluruh alam semesta hidup seperti mereka. Seluruh alam semesta adalah pribadi bagi mereka. Sebuah paradigma sederhana dari masyarakat yunani kuno yang telah merevolusi sistem seni, pemikiran, dan budaya untuk pertama kali dalam membangun sebuah peradaban.
Paradigma yang memandang kesatuan utuh dari bumi ini tidak hanya dianut oleh bangsa Yunani, berbagai bangsa di seluruh dunia pada zaman yang sama memiliki pandangan yang mirip. Hal ini diperlihatkan dalam berbagai literatur mengenai mitologi hindu dalam hal keutuhan dewa-dewa ataupun ajaran Sidharta Gautama dalam hal memandang diri sebagai bagian tak terpisah dari lingkungan. Keseimbangan yang indah antara alam dan manusia mungkin dapat terus terbentuk dengan paradigma seperti ini, hal yang disebut sebagai Enviromental Wisdom dalam ekologi. Namun sayang, pemikiran manusia yang secara natural adalah egosentris tak dapat dipungkiri. Sejak berkembangnya ilmu pengetahuan, paham modernisme muncul menggantikan semua paradigma keutuhan tersebut. Materialisme saintifik tumbuh subur dengan ciri khasnya yang mengkotak-kotakkan setiap lini kehidupan dalam kesatuan terpisah dan mekanistik. Ini berakibat pada terhapusnya pandangan menyeluruh akan alam dan timbulnya anggapan bahwa manusia dan alam adalah sesuatu yang terpisah.
Masa-masa awal revolusi di bidang pemikiran dan ilmu pengetahuan ini, yang diinisiasi pertama kali pada zaman renaissance dan berlanjut pada zaman Newton, secara drastis, tanpa antisipasi dan persiapan, menjatuhkan secara tidak sadar paradigma manusia terhadap ekosistem menuju paradigma yang disebut Planetary Management sebagai salah satu bentuk terendah dari Enviromental Worldviews manusia. Kepuasan akan pengembangan ilmu pengetahuan pada saat itu mendorong pemisahan aspek-aspek kehidupan menjadi lebih intensif dan agresif. Konsep awal mengenai kehidupan yang organistik – terintegrasi dalam suatu sistem hidup (anggapan bahwa bumi adalah sel raksasa yang sedemikian rupa mengatur dirinya sendiri dengan bantuan komponen-komponen di dalamnya secara integratif) – tergeser menuju konsep mekanistik – setiap elemen kehidupan adalah bagian terpisah yang bekerja secara mekanik antar satu sama lain – yang dikenal dengan paradigma Newton-Cartesian (karena pemikiran mereka berdua yang menimbulkan paradigma ini). Hal ini semakin diperburuk pasca revolusi industri yang membuat eksistensi lingkungan menjadi terpojokkan sebagai bagian dari kehidupan. Yang terlihat hanyalah bahwa manusia harus memanfaatkan sumber daya alam sebanyak-banyaknya untuk hajat mereka dalam hidup.
Walaupun begitu, seiring dengan berjalannya waktu, efek-efek buruk dari revolusi pengetahuan dan industri ini mulai menyadarkan segelintir manusia yang memiliki kepekaan lebih akan apa yang sedang terjadi. Kehancuran ekosistem dan keadaan biosfer yang memburuk sebagai efek dari dua perang dunia yang meletus pada awal abad ke duapuluh telah memerlihatkan sisi ganas dari manusia dan segera melahirkan sisi peduli dari manusia yang lain. Apalagi dari sisi ilmu pengetahuan, fisika modern mulai tumbuh subur dan sedikit menggeser paradigma mekanistik Newton menjadi sesuatu yang lebih baru, hal yang secara tidak langsung berikutnya memengaruhi pemikiran manusia akan alam semesta. Kesadaran yang timbul pasca perang ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan baru peduli lingkungan. Berbagai isu muncul satu per satu mulai dari terbentuknya lubang pada lapisan ozon di bagian selatan bumi hingga mencairnya es kutub sebagai akibat pemanasan global. Paradigma manusia perlahan bangkit lagi menuju Stewardship, sebuah pandangan transisi bahwa lingkungan yang merupakan tempat kita tinggal dan mengambil sumber daya merupakan tanggung jawab bersama. Beberapa sudah mulai mencoba kembali menuju pemahaman masa silam, seperti yang dikemukakan Margulies Lovelock pada 1970 yang mencetuskan hipotesa Gaia sebagai perspektif yang baik akan bumi sebagai perlawanan terhadap perspektif “Spaceship Earth” yang menganggap bumi sebagai suatu pesawat yang tidak memiliki sistem regulasi terhadap dirinya sendiri.
Sekarang, ilmu pengetahuan dan teknologi begitu cepat berkembang dan berubah tanpa diimbangi kesiapan dan antisipasi dari manusia sendiri. Krisis akan lingkungan bertambah seiring dengan perkembangan teknologi ini sebagai efek samping yang berlaku. Walaupun kesadaran, gerakan, dan inovasi untuk mengatasi semua itu turut berkembang sebagai usaha penyeimbangan, tanpa perubahan paradigma penuh dan menyeluruh di seluruh kalangan, usaha itu hanya akan seperti sekedar menunda kehancuran, bukannya benar-benar sebuah pencegahan. Kecepatan kesadaran dan usaha akan lingkungan itu sendiri pun kalah jauh dibanding kecepatan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi raksasa yang mendiktatori pikiran semua orang.
Banyak masalah terjadi pada kita setiap kali dunia ini berubah karena ketidakmampuan atau ketidaksiapan manusia dalam mengantisipasi atau menanggapi perubahan tersebut dengan bijak. Seperti yang dituliskan oleh Michio Kaku, seorang fisikawan jepang, dalam bukunya, Physics of The Future, kunci menuju masa depan adalah kebijaksanaan. Kunci ini yang dapat membantu manusia menggunakan dan mengendalikan pedang pengetahuan, sebuah kekuatan yang dapat berbalik melukai pemiliknya kapan saja. Kebijaksanaan di sini sebenarnya dapat direfleksikan ke masa lalu, ke masa saat manusia hidup harmonis bersama alam dengan paradigma keutuhannya. Entah bagaimana caranya, kebijaksanaan ini terbukti sulit untuk diciptakan dalam relung kesadaran manusia. Dalam bukunya, Kaku mengutip sebuah kalimat dari Isaac Asimov “The saddest aspect of society right now is that science gathers knowledge faster than society gathers wisdom”
Hidup di sebuah tempat seperti yang dideskripsikan Hesiod sebagai awal dunia di awal tulisan ini mungkin akan selalu menjadi impian bawah sadar manusia hingga akhir waktu. Sangat disayangkan apabila impian tersebut terilusikan oleh kenikmatan dan kepuasan palsu yang tercipta dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang manusia miliki saat ini, sebuah kepalsuan yang tercipta dari ego. Paradigma manusia yang berganti berkali-kali dalam usahanya untuk memuaskan pribadi telah menujukkan kebenaran egosentris sebagai hal utama yang mendasari manusia secara umum. Mengubah konsep egosentris ini menjadi sebuah paradigma “Enviromental Wisdom” yang berpusat pada seluruh bumi dan bukannya individu bukanlah hal yang mudah untuk dicapai. Bagaimanapun, keadaan bisofer di masa mendatang tetap berada di tangan manusia masa kini, dengan kesadarannya yang beragam. Sekali lagi, mungkin kita harus memproyeksikan diri pada kebijaksanaan masa silam di saat manusia dan alam masih dapat hidup berdampingan.
Kebijaksanaan kuno selalu memberi kita banyak pelajaran berharga mengenai konsep kesatuan yang sebenarnya. Mungkin perkembangan teknologi dan paradigma-paradigma modernisme Cartesian telah mengaburkan interpretasi dan kesadaran penuh akan hal tersebut. Harapan-harapan kecil baru mulai muncul dengan lahirnya sebuah kesadaran akan nihilnya rasionalitas dalam memahami alam. Ketika kita berusaha memahami segalanya sebagai “satu”, kita tidak dapat mengklasifikasikan, mengkategorikan, atau memandang sesuatu menjadi hal-hal spesifik yang terpisah satu dengan yang lain, seperti yang dibanggakan rasionalitas logika modern. Suatu sel hanya akan dianggap “hidup” bila dipandang sebagai suatu proses dan struktur yang utuh dalam dirinya sendiri, sedangkan bila kita memandangnya secara terpisah-pisah, organel-organel sel itu sendiri sebenarnya menjadi benda mati.
Harapan baru ini ditandai dengan munculnya paradigma-paradigma post-modern yang mulai melihat “kemandulan” rasionalitas dalam mengungkap beberapa kebenaran. Berkembangnya fisika kuantum dan teori kompleksitas sudah menunjukkan secara nyata hal tersebut. Berbagai tekanan pun mulai dimunculkan para filsuf modern terhadap pemikiran-pemikiran abad pertengahan, yang diperlihatkan dengan kritik-kritik reflektif berupa pandangan baru. Dualisme pikiran dan materi yang menghegemoni pikiran barat pun mulai ditinjau ulang. Pada akhirnya, sebuah revolusi pemikiran baru mulai muncul sebagai tanggapan nyata terhadap globalisasi. Ekologi pun menjadi suatu bidang khusus yang tidak jelas klasifikasinya. Ia dilibatkan dalam dunia sosial, sains, seni, agama, dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Gerakan-gerakan lingkungan dalam sebuah paradigma yang melawan modernisme mulai terintegrasi dalam sebuah konsep yang aneh. Ya walaupun aneh, paradigma organistik mulai muncul dan kembali mengulang siklus Enviromental Worldviews manusia untuk kembali belajar pada kebijaksaan kuno. Seperti yang diungkapkan oleh Fritjof Capra, seorang ahli fisika kuantum sekaligus aktivis lingkungan yang membuat gerakan “ecoliteracy” mengatakan dalam bukunya The Hidden Connection, “Prinsip desain lembaga sosial kita di masa depan haruslah konsisten dengan kaidah-kaidah organisasi yang dikembangkan alam untuk menopang jaring-jaring kehidupan.”
Seluruh kehidupan, mulai dari sel yang paling primitif hingga masyarakat, korporasi, negara, bahkan ekonomi global, ditata menurut pola dan prinsip dasar yang sama. Dimensi ekologis sangat diperlukan untuk pengendalian penuh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tak terkontrol. Pada akhirnya, manusia memang harus selalu belajar dari alam untuk dapat terus hidup.Ketika Gaia tak mampu lagi menahan kita, kemana lagi kita akan pergi?
Seberapapun kompleksnya masalah yang dimiliki saat ini, para penyair masa lalu telah mengabadikan harapan mereka dalam sajak-sajak indah dunia. Saya rasa kita memang tetap harus berpikir seperti apa yang dijunjung tinggi tiga ksatria yang bersama d’Artagnan berusaha menyelamatkan perancis dari niat buruk Cardinal Richelieu : One for All, and All for One!
(PHX)