Dit, Kenapa Kau Tak Pernah Menulis Lagi?

Dit, Kenapa Kau Tak Pernah Menulis Lagi?

- 21 mins

Bunyi konstan itu masih memenuhi ruang suara ketika aku terbangun setelah melepas lelah dalam tidur singkat sepulang dari salah satu perjalanan kaki yang ku tempuh. Kali ini ku tak sendiri, karena ada dua kawan yang entah mengapa mau bergabung dalam gerakan individual seorang Aditya dalam rangka melawan pencerabutan kemampuan dasar manusia oleh teknologi. Ya, gerakan jalan kaki. Sederhana, tapi sesuatu yang aneh, mengherankan, mengejutkan, dan abnormal bagi mayoritas orang di tengah zaman dimana seseorang bisa berpindah tempat hanya dengan menyentuh beberapa kali kotak berpijar yang selalu dipegangnya dan seseorang akan menjemput.

Tapi lupakan mengenai itu.

Dalam kondisi otak yang masih mengais kesadaran dari dunia mimpi, bagaikan sistem auto-pilot aku bergerak tanpa berpikir untuk melihat keadaan di luar, yang sesungguhnya bisa ku tebak dari suara konstan tak berhenti itu. Ku tahu itu bukan sekedar detik jam atau denyut jantungku, itu suara konstan lain, itu hujan, tapi tentu, itu bukan lah hal yang spesial di kota seperti Bandung. Setelah jarak 2 meter ku tempuh menuju pintu, ku tarik singkat gagang pintu dan…

“Buk!”

Tiba-tiba sehembus angin bertiup dan membawa sepucuk kertas menabrak wajahku, meskipun tentunya suara kertas menabrak benda apapun tidak akan seperti “buk”. Butuh waktu lama bagiku untuk merespon sehingga aku berdiri begitu saja di celah pintu yang baru terbuka sedikit. Sudah begitu lama hari-hariku dipenuhi hal-hal konstan seperti bunyi rintik hujan yang sudah menjadi seperti soundtrack yang pas untuk jalan hidupku setahun ini. Ah tidak, maksudku semester terakhir. Fase konstan itu terasa begitu lama sehingga aku seperti merasa telah berabad-abad dalam kondisi seperti ini. Dan sekarang. Selembar kertas begitu saja menepuk wajahku.

Mungkin saja kertas ini hanya numpang lewat. Namun, firasatku tak mengatakan demikian tentu saja. Aku sudah bisa menebak itu kertas apa, tapi itu hanya lintasan abstrak dalam samudra pikiranku yang dalam beberapa detik masih tidak berada dalam kendali hingga aku sadar sepenuhnya dan mengambil kertas itu dari wajahku. Melihat sekilas, hanya terlihat dua kata.

To: PHX

Ya, firasatku terverifikasi. Jelas di sisi lain kertas itu tidak hanya tertulis dua kata, maka ku masuk kembali, duduk, dan membaca apa yang apa di baliknya.


Kosmik, 14 Januari 2018

Dear Finiarel, dalam konstansimu

Aku tahu ketika membaca ini, apa yang akan terlintas dalam pikiranmu pertama kali adalah sebuah komentar bahwa kata ‘konstansi’ mungkin bukan kata yang baku. Jika kau dalam kondisi baik, ku tebak kau telah membuka KBBI dan memeriksanya. Sangat tipikal dari dirimu Fin. Ku harap kebiasaan itu masih ada padamu, mengingat aku merasa banyak perubahan terjadi padamu, meskipun tentu saja perubahan adalah suatu hal yang niscaya bagi setiap orang. Hanya saja, ku harap kamu masih Finiarel, tanpa kehilangan identitasmu yang asli.

Aku tak perlu menyapa kan? Basa basi seperti itu ku yakin bukan hal yang kau pedulikan. Kau sudah tahu aku cepat atau lambat akan mengirimmu ini, dan mungkin kau telah megetahui aku akan menuliskan apa. Lagipula, aku sebenarnya hanya akan terus berusaha menanyakan kabar darimu, mengingat suratku tak pernah kau balas. Kau tak perlu berkilah bahwa tanpa dibalas pun aku sudah tahu apa yang terjadi padamu, aku hanya butuh kata-kata darimu langsung. Namun sudahlah, aku tak terlalu mempermasalahkan jika kau masih ragu untuk membalasku dengan apa.

Kau tahu apa yang akan ku tanyakan kemudian bukan? Ku yakin telah banyak temanmu yang menanyakan hal yang sama, dan mari ku formalkan: wahai Finiarel kawanku, kenapa kau tak pernah menulis lagi?….


Aku memalingkan mata ke arah lain sejenak. Arus kehampaan menerpa singkat hatiku, membuka jurang yang secara rutin ku tambal dalam kesibukan keseharianku. Kenapa pertanyaan ini terulang lagi. Yang jelas, kali ini aku tidak akan bisa menjawabnya dengan jawaban klise, singkat, tak niat, dan kurang menjelaskan. Kali ini dia akan mengguruiku habis-habisan untuk jawaban itu. Aku tidak tahu apa yang ku rasakan, hingga akhirnya aku hanya terdiam dalam tatapan kosong selama hampir dua menit sebelum aku sadar untuk melanjutkan membaca surat itu. Ini bukan masalah aku tidak suka dikritik oleh seorang kawan kosmik di luar sana, ini hanya masalah aku siap untuk bercermin atau tidak.


… Sudah berapa orang yang menanyakan kalimat itu Fin? Ah, mungkin tidak banyak, tapi ku rasa tentu itu orang-orang yang sangat peduli denganmu. Paling tidak itu adalah salah satu bukti bahwa kamu punya pembaca bukan? Mau seberapa keras kamu menafikannya, mengabaikannya, mengacuhkannya, terkadang ketika ada penulis dan tulisan yang diciptakannya, pembaca akan datang dengan sendirinya, paling tidak dirimu sendiri. Ya jelas, pembaca pertama dari suatu tulisan adalah penulisnya sendiri, yang mungkin adalah pembacaan paling subyektif dari suatu tulisan. Kecuali, jika kamu memang menulis sesuatu yang selalu kamu simpan, yang jelas tidak berlaku untuk kasusmu. Kau tidak lupa bukan dengan 25 bookletmu itu, yang kau unggah di Issuu, kau bagikan di facebook, dan bahkan seringkali kau bagikan di akun lain seperti WA dan LINE? Bahkan Fin, kamu mungkin sudah berminggu-minggu tidak membuka akun Issuumu, tapi ku rasa perlu ku ingatkan bahwa total sampai detik ini ada 14.854 pembaca yang telah membaca karyamu, dengan 158.279 impresi. Untuk sebuah akun pribadi, itu bukan jumlah yang sedikit Fin! Masih mencoba abai dengan segala hal di luar dirimu sendiri? Atau masih terbawa pesimisme berlebihan semenjak kau lulus dari kampus itu dan terbawa tekanan sosial yang dulu kau komentari habis-habisan?

Ku tahu jika ditanya dengan pertanyaan tadi, jawabanmu paling hanya ‘lagi vakum’, ‘lagi terbawa kesibukan lain’, dan hal-hal serupa yang sesungguhnya hanyalah jawaban malas dari seseorang yang merasa tersindir. Apanya yang vakum? Apa pula kesibukan lain yang kamu maksud? Apa perlu ku ingatkan bahwa kamu dulu semasa aktif kuliah, kamu hampir tidak ada waktu untuk istirahat dengan semua kegiatan yang kamu ikuti, dan dengan itu kamu masih bisa menciptakan 25 karya booklet dalam 4 tahun? Tidak ada sesuatu yang benar-benar sibuk jika memang kita menginginkannya Fin, jika memang kita meniatkannya. Atau kalau ala ala kata mutiara keren yang beredar, ‘tidak ada namanya waktu luang, yang ada bagaimana kita meluangkan waktu’. Bukankah itu yang dulu juga kau pegang Fin? Kau dipuja sebagai orang gila yang mampu mengatur waktunya secara ekstrim sehingga tetap bisa memaksimalkan akademik dan kegiatan kemahasiswaaan plus menulis karya. Hah, omong kosong. Sekarang, kau begitu mudahnya beralasan ‘terbawa kesibukan’. Ku rasa gelarmu sebagai orang paling konsisten dalam menulis harus dicopot. Sudah berapa bulan kau tak lagi mencipta kata? Karya terakhirmu, Secarik Makna di Ujung Nada, kau publikasikan 19 Juni 2017, yang berarti satu semester penuh kau tak menulis sedikit pun Fin! Satu semester!

Apa yang kau lakukan selama itu Fin?

Biar ku tebak, mencari kerja? Hah, Finiarel menghabiskan waktu mencari kerja sampai tidak sempat menulis? Kamu tidak mau aku menertawakanmu bukan? Ku ingat ketika masih jadi mahasiswa kau pernah berkomentar, atau mungkin menanyakan, sesibuk apa mereka yang sudah lulus sehingga terkadang tidak terdengar lagi suaranya. Sekarang kamu mau melakukan hal yang sama? Lihatlah kawanmu, Luthfi Muhamad Iqbal, tulisan-tulisan baru masih sering ia terbitkan di medium, atau Kartini F. Astuti, yang terakhir kamu komentari telah menjadi artis, tapi paling tidak ia masih mencoba konsisten dengan apa yang dulu menjadi kebanggaanmu. Sekarang apa yang kamu punya? Jika boleh secara sinis ku katakan: Nothing!


Kertas itu terlepas dari genggamanku. Sekarang arus kehampaan itu bukan lagi sekedar riak kecil, namun sebuah gelombang besar yang menghempas habis fondasi palsu yang ku bangun satu semester ini. Ku tahu tidak ada yang sia-sia di dunia ini, tapi aku tetap merasa satu semester kemarin seperti lembar putih bersih, kosong, tak terisi apa-apa, dalam narasi perjalanan hidupku. Mungkin aku berlebihan, tapi pada faktanya, memang tak banyak yang ku lakukan selain kesibukan material yang minim refleksi dan penjejakan. Aku masih terjebak dalam kekosongan perasaan untuk beberapa lama, lagi, hingga akhirnya aku punya energi kembali untuk mengambil kertas itu dan membacanya, lagi.


Aku bukan marah padamu Fin. Bukan pula kecewa. Hanya saja, aku khawatir. Maaf bila aku sedikit kasar, namun terkadang orang perlu ditampar untuk benar-benar sadar, terutama dirimu, yang apinya perlu kembali dibakar dan bangkit selayaknya Phoenix yang lahir dari abunya sendiri. Bukankah itu filosofi nama yang kamu gunakan sejak SMP hingga sekarang? Ku tahu hidup memang penuh siklus, seperti halnya aliran suplai uang dalam perekonomian, ataupun Persefon yang dibawa pergi Hades tiap tahunnya. Lagipula memang matahari butuh terbenam untuk dapat terbit. Fase Yin selalu berganti dengan fase Yang, menciptakan keseimbangan. Tapi Fin, apa yang membuatmu tenggelam kali ini? Apa masih dengan kerisauan yang sama seperti dulu setelah kau menulis 1463 Hari Anggota KM ITB?

Menjawab untuk apa kita menulis terkadang memang bukan hal yang mudah, jika itu yang memang masih kau pertanyakan. Ku tahu kau masih tidak bisa menerima jika kau menulis agar dikenal, atau menulis hanya demi agar dibaca. Batas antara ego dan ketulusan memang bisa sangat kabur. Banyak orang akhirnya menghibur dirinya sendiri dengan memaklumi adanya ego dalam setiap perbuatan. Meski, itu adalah sebuah fakta. Aku masih belum bisa membayangkan orang yang bisa lepas dari egonya, meski ku tahu kamu masih berusaha sekuat tenaga menuju kesana. Kau begitu terinspirasi dengan Muhammad, Gandhi, atau Sidharta, yang begitu bisa melakukan sesuatu tanpa ego sedikitpun. Ketulusan mereka sudah berada di titik puncak, dan ku rasa kau tidak perlu menunggu ego itu benar-benar hilang sebelum melakukan apapun. Kau bisa latih itu secara siklis, metode yang kau ciptakan sendiri atas dasar keseimbangan dikotomis semesta ini. Banyak orang mempertanyakan, mana yang harus lebih dahulu dilatih, A atau B. Dalam ironinya, A dan B ini adalah suatu hal yang begitu terkait sehingga A mempengaruhi B dan sebaliknya. Bagaimana mungkin ada yang bisa didahulukan? Maka sebagaimana alam ini belajar memperbaiki dirinya sendiri, perbaiki sedikit A akan mempengaruhi perubahan sedikit di B selagi kita berusaha memperbaiki sedikit B untuk kemudian mempengaruhi perubahan di A. Jika kau bayangkan ini seperti bola salju yang menggelending, ku rasa kau akan paham makna siklus sebagai sesuatu yang berputar, namun membesar. Yin dan Yang tidak berputar di tempat, ia berkembang, ia membangun. Siklus yang sama yang berhasil membangun semesta ini. Ah, mungkin lain kali kau perlu menulis tentang itu.

Maka dari itu Fin, tidaklah perlu kau mengkhawatirkan hal-hal yang bisa sambil kau latih tanpa perlu menghentikan apa yang kamu lakukan. Apa masih belum menjawab? Mungkin untuk orang seperti kau, aku harusnya ingat bahwa kerisauanmu tidak mungkin sesederhana itu. Jika aku boleh menebak, apa karena kompleksitas zaman membawamu pada kenihilan atas tulisan? Jika iya, ku rasa aku paham yang kau rasakan. Kau butuh waktu untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini dan sebenarnya kita, umat manusia ini, menuju kemana, dan kamu mau menjadi bagian yang mana dalam perjalanan menuju masa depan itu. Iya bukan? Orang yang terlalu banyak membaca macam-macam sepertimu memang tidak akan dengan mudah melihat begitu saja apa yang terjadi. Kamu melihat beragam fenomena yang begitu terasing satu sama lain sehingga kamu tidak tahu narasi dunia secara keselurhan ini tengah bermakna apa. Iya bukan?

Seperti halnya yang kamu tulis dalam statusmu sekitar 2 tahun yang lalu,

“Di kampus aku melihat berbagai wacana mengenai kemahasiswaan dari represi rektorat hingga sepinya kegiatan, di studia humanika Salman aku mendengar berbagai wacana mengenai keterbelahan dunia keislaman yang kehilangan eksotismenya sebagai kesadaran terhadap realitas hirarkis, di gedung CAS aku memelajari berbagai wacana mengenai abstraksi ruang dan simbol dalam sebuah bangunan rigid bernama rasionalitas, di unit-unit Sunken aku terlibat berbagai wacana mengenai literasi dan keberlarutan keseharian bersama pengukuhan diri atas kehendak yang bebas, di dalam diri sendiri aku menyadari berbagai wacana bahwa itu semua terdekonstruksi dalam keterasingan mutlak atas makna sesungguhnya semesta ini.”

Namun ku rasa, skizofreniamu sekarang jauh lebih akut ketimbang saat kau menulis status itu. Dunia tampak di hadapanmu lebih jelas sekarang. Lingkup pandangmu tidak lagi hanya kampus, dan kamu tidak bisa lagi berlindung di balik jubah mahasiswa. Di satu tempat, kamu melihat konflik lama Palestina-Israel terangkat dengan beragam spekulasi yang berdiri di atas berbagai label identitas, di tempat lain kamu melihat konsep teknologi bernama Big Data mulai tekun digeluti dan semua orang semakin menyembah kemajuan material bernama saintek, di sisi yang lain kamu melihat bagaimana dalam fase Anthropocene ini ribuan spesies hasil jutaan tahun evolusi alam musnah dengan singkat, sumber daya semakin terbatas plus manusia yang hanya sibuk berantem satu sama lain, serta lingkungan hidup seakan tidak punya harapan masa depan, kemudian juga kamu melihat bagaimana entropi informasi telah terakselerasi sehingga kebenaran telah kehilangan arti, juga di rutinitas jalan kakimu kau temukan ibu-ibu penjual jamu yang jelas menempuh jarak yang lebih jauh darimu dengan lebih banyak beban beberapa botol jamu yang menekan punggung, membuatmu selalu malu untuk merasa capek jalan kaki, membuatmu malu jika sedikit-sedikit pakai kendaraan, sedangkan di lingkungan keluarga kau tertuntut untuk hidup normal, segera mencari kerja dan tidak perlu bertindak aneh-aneh, di tempatmu menjadi asisten peneliti kau hanya sibuk dengan kode program, pemodelan minyak, dan bagaimana proyek itu sesuai dengan permintaan, dan di matematika kau tak menemukan kajian yang lebih dari sekedar bagaimana membuktikan sesuatu.

Tentu pergulatan yang ada di kepalamu jauh lebih banyak dari yang ku sebutkan. Ku tahu dengan semua yang telah kamu pelajari dari sejarah, bagaimana hakikat umat manusia, dan semua perenunganmu, kamu merasa bahwa manusia tidak pernah pantas untuk disalahkan, sedangkan dunia sekarang berada pada paradigma digital, jika ku boleh pakai istilah pak Yasraf, ketika semua didikotomikan, menjadi ya dan tidak, benar dan salah. Lupa bahwa dikotomi Yin dan Yang merupakan siklus yang bersifat proporsional, artinya selalu ada gradien sifat yang berada di antara dua dikotomi yang bersebrangan. Kita lupa bahwa dunia ini tidak hitam dan putih. Dalam semua pemahamanmu mengenai manusia, kau selalu bisa mewajarkan apa yang manusia lakukan, sehingga manusia yang memandang hitam dan putih adalah suatu hal yang wajar bagimu, membuatmu semakin bingung atas sikapmu sendiri.

Dalam kebingunganmu, kau bahkan sampai menghapus akun LINE dan menonaktifkan akun Facebookmu selama 10 bulan. Kau merasa butuh untuk masuk lebih intim ke dalam perenungan dan dengan itu membatasi informasi yang masuk pada kepalamu. Iya bukan? Kau pun berharap jawaban atas semua kebingunganmu bisa teratasi dengan itu. Aku tak menyalahkan itu. Sayangnya, kau justru lari dari semua kegelisahan itu dengan menyibukkan diri pada berbagai aktivias yang minim pemaknaan. Kau mengurusi banyak hal di tempat kau jadi asisten peneliti. Waktumu terpakai secara positif, iya, tapi kemudian kamu membiarkan kehampaan kosong ada di dalam dan hanya menjadikan kesibukan yang kau urus itu sebagai tambalan sementara. Kau menolak untuk membukanya sampai kemudian tekanan dari ruang kosong itu begitu besar dan meletus seperti bisul yang sudah matang. Sakit memang, tapi ku harap itu menyadarkanmu.

Jikalau kau menulis mengenai semua kegelisahan di atas pun, kamu bingung apa yang harus kamu tulis, karena kau kali ini sesungguhnya seakan semua keyakinanmu lagi runtuh dalam jurang Tartarus. Iya bukan? Kau bahkan mendekostruksi keyakinanmu sendiri yang dulu mengatakan bahwa menulis adalah hal paling minimal yang seharusnya bisa dilakukan semua orang. Tanpa menulis pun, manusia bisa hidup sepenuhnya, dengan maksimal dan puas ketika ajal. Lantas apa? Kamu masih hanya mau berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti itu? Bukankah kamu memang tidak pernah menunggu jawaban sebelum benar-benar bertindak. Kamu tidak menunggu tahu jawaban mengapa kamu harus hidup untuk benar-benar hidup kan? Terkadang jawaban justru didapatkan dari melakukan, dari pengalaman, bukan dari sekedar masturbasi pikiran yang tak berujung pada ejakulasi pengetahuan apapun, tak ada kenikmatan di dalamnya.

Terlebih lagi, setelah kau membaca buku Walter J. Oong plus kemuakanmu dengan logika, kamu semakin mendestruksi makna menulis. Aksara merekonstruksi pikiran manusia sehingga menjadi rigid dan terstruktur. Esensi utama dari literasi adalah ketika manusia bisa mengambil jarak dengan teks dan kemudian mampu membelah, membagi-bagi, membongkar informasi sedemikian rupa sehingga manusia dan teks menjadi dua hal yang terpisah. Ada subyek dan obyek. Ini pijakan dasar perkembangan penelitian ilmiah dan juga bangunan raksasa ilmu pengetahuan sekarang. Sedangkan, semakin hari kau justru semakin merasa bahwa subyek dan obyek bukan lagi hal yang terpisah. Memandang diri sebagai bagian utuh dari semesta akan menciptakan pandangan yang luar biasa berbeda dengan ilmu pengetahuan terstruktur. Sayangnya, hal itu hanya bisa dipahami mereka yang masih hidup dalam tradisi lisan dan tidak terkontaminasi strukturisasi literasi dalam kepala mereka. Lihatlah bagaimana kebijaksanaan timur, kearifan-kearifan lokal, dan kisah-kisah rakyat yang lahir dari masyarakat lisan, semesta bukan sesuatu yang bisa dipotong-potong, dengan apa yang sering disebut sebagai pisau analisis. Semesta adalah bagian utuh dari manusia, dan hanya melalui keutuhan itu lah, kesadaran yang melampaui fisik ini akan terungkap. Karena itu kemudian kau berhenti menulis Fin? Karena kamu ingin lebih bisa merengkuh keutuhan ketimbang pemilahan. Karena kamu ingin menggapai kesadaran, ketimbang pengetahuan. Karena kamu ingin bisa menyatukan, ketimbang melihat sesuatu secara terpisah-pisah. Aku tak akan berkomentar mengenai ini Fin. Tapi seperti yang ku bilang sebelumnya, kau bisa melatih A dan B secara bersamaan tanpa mendahului satu sama lain. Bukankah keseimbangan inti dari semua kebijaksanaan?

Ku rasa aku bisa melihat ada satu lagi yang kau risaukan. Apakah itu konsep otoritas kepenulisan yang semakin jelas terlihat ketika kau melepas jubah mahasiswa? Jika iya, mungkin kau perlu sedikit mengabaikannya. Ku pahami bahwa dulu, sebagai mahasiswa, kau bebas menulis semua wacana, beragam bentuknya, karena itu adalah hal yang wajar. Sedangkan sekarang, kau hanya dilihat sebagai lulusan magister matematika, dan hey, ngapain lulusan matematika menulis tentang literasi, tentang filsafat, tentang semesta, tentang teknologi? Seorang senior di Salman sering mengingatkanmu mengenai tiga tahap intelektual publik, yang dimulai dari membangun otoritas terlebih dahulu, baru kemudian bisa menjadi rujukan (referent), hingga terakhir bertransformasi menjadi simbol. Otoritas ini yang kau selalu bingung untuk bangun, karena jelas yang dilihat adalah latar belakang akademisnya. Di tambah lagi, kau yang belum jadi apa-apa ini, walau menulis tentang matematika dengan sangat dalam pun, otoritas itu akan tetap dipertanyakan. Hal ini membuatmu jadi berusaha mengejar posisi demi pijakan untuk membangun otoritas itu, yang sangat menyita waktumu satu semester kemarin. Dan pada akhirnya, kau sama saja dengan mereka-mereka yang kau kritik, terbawa tekanan sosial dan akhirnya lebih mengejar konsep material seperti posisi, pekerjaan, dan jabatan, ketimbang ketulusan dari apa yang kau lakukan. Namun Fin, bukankah itu hanya untuk kepenulisan profesional, untuk menulis di media massa atau buku? Kenapa kau tidak tetap konsisten dengan bookletmu saja dan tidak merisaukan itu? Apa kau minder dengan keterbacaannya? Ah, kurasa kita hanya berputar di tempat Fin, karena seingatku kau menghindari peduli dengan keterbacaan tulisanmu. Apa karena era informasi seperti sekarang membuat makna kepenulisan di media siber menjadi begitu rendah karena siapapun bisa menulis dan membagikannya? Membingunkan, ku akui itu. Tapi Fin, jika memang yang kau kejar adalah keutuhan hidupmu, kau tak perlu sibuk dengan hal persepsional seperti itu. Menulislah selayaknya kau ingin menulis. Titik. Bukankah itu yang kau kampanyekan sedari dulu? Atau mari sini ku ingatkan lagi apa yang kau sendiri tulis di pembuka buku 1463 Hari Anggota KM ITB.

“Kata orang, menulis adalah pengabadian. Ada lagi yang bilang, menulis adalah rekam jejak. Apapun itu, ku rasa semua sama saja. Menulis adalah menulis, sekedar tindakan untuk mengubah segala bentuk sesuatu menjadi kata-kata, dari gagasan, imainasi, peristiwa, hingga memori.”

Bukankah itu sederhana? Kenapa perlu kau rumitkan lagi?

Ku percaya kau sebenarnya punya keyakinan yang kau pegang. Jika tidak, kau tidak akan jadi seorang Finiarel, yang dulu selalu dengan percaya dirinya mempublikasikan apapun tanpa peduli apapun isi dari tulisanmu. Jadi mari ku lihat, apa kamu masih akan menerbitkan suratku ini dalam narasi yang kau susun di Facebook? Identitas seseorang teridentifikasi dari apa yang ia yakini, dan itu tercerminkan dari apa yang ia lakukan. Ingat kata Bruce Wayne? “What you do defines who you are” Lagipula, sifatmu yang mempertanyakan segala apa ini mungkin justru yang mendefinisikanmu. Jika kau tidak sibuk dengan pertanyaan filosofis, mungkin kau malah bukan lagi Finiarel. Yah, hanya saja, sayang jika semua pergulatanmu itu tersimpan dalam labirin pikir yang jelas lebih tak tertembus dibanding labirin Minotaur yang dibunuh Teseus. Bukankah itu ciri khas tulisanmu? Lebih penuh dengan pertanyaan ketimbang solusi, atau ajuan, atau semacamnya.

Maka Finiarel sobatku, sudahlah. Bangkit dari abumu. Kau menamakan dirimu Phoenix bukan sekedar untuk keren-kerenan bukan? Ku tahu kamu selalu berada dalam fase seperti ini, siklus hidup yang normal untukmu. Hanya, bagiku sudah terlalu lama kau menjadi abu, yang apabila dibiarkan semua abu itu keburu tertiup angin dan kau tidak bisa bangkit secara utuh. So, Fire up! Mungkin perlu ku ingatkan dua status lama kawanmu Khilda Husain Al Anamy yang mungkin bisa menjadi energi aktivasi awal bagimu, sebelum mengeksekusi rantai reaksi selanjutnya dan meledak dalam kobaran karya.

Cukup itu dariku Fin. Maafkan aku jika surat ini mengganggu. Aku hanya peduli dengan sobat kosmikku ini, sayang jika tidak menulis lagi dalam narasi semesta. Kau masih ingat kan kata Muriel Rukeyser? “Alam semesta ini terdiri dari kisah, bukan atom” Maka hentikan pikiran atomistikmu dan lanjutkan kisahmu yang kamu sempat tunda. Tidak perlu pesimis, karena perjalanan Jason dan para Argonotnya pun pernah sempat tertunda ketika terbuai dengan kenyamanan di Lemnos. Anggaplah aku sebagai Herakles yang menyadarkan mereka semua kala itu.

Ku tunggu karyamu selanjutnya! Salam,

Minerva


Ku tutup kertas itu. Ku sekali lagi melempar pandangan pada kekosongan, membiarkan pikiranku melayang-layang tanpa gravitasi dalam medan abstrak bernama imajinasi. Aku sekali lagi tak tahu apa yang kurasakan. Dalam medan itu, tetiba bangkit dari kubur ide-ide lama yang pernah hidup namun terbenam dalam kesibukan. Semoga kelak bisa ku kristalkan semua dalam kata-kata. Aku mendadak ingat satu lagu yang ku rasa bisa menghiburku kali ini. Ku buka laptopku dan mencari-cari lagu itu.

Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di Nazi Jerman berjuta Yahudi
di lempar ke kamar gas sehingga
lemas mati.
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di Afrika Selatan pejoang-pejoang
anti-apartheid disekap berpuluh tahun
tanpa diadili.
Aku tidak bisa menulis puisi lagi…
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di Birma para pengunjuk rasa
bergelimpangan dibedili tentara
secara keji….secara keji…
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di jalur Gaza serdadu-serdadu Israel
mematahkan lengan anak-anak Palestina
yang melawan dengan batu.

Keindahan punah dari bumi
ketika becak-becak dicemplungkan
ke laut karena abang becak melanggar
peraturan DKI
ketika rakyat berbondog-bondong
digusur dari kampung halamannya
yang akan disulap jadi real estate
dan pusat rekreasi
ketika petani dipaksa tanam tebu
buat pabrik-pabrik,sedang hasil
padi dan kedelai lebih mendatangkan
untung dari rugi
ketika truk-truk dijalan raya dicegat
penegak hukum yang langsung meminta pungli
ketika keluarga tetangga menangisi kematian
anaknya korban tabrak lari.

sehingga aku pun memutuskan
aku memutuskan
ingin menulis puisi lagi… puisi lagi!
sehingga aku memutuskan menulis puisi lagi
mungkin dengan darah, air mata, berita, cuaca, cinta dan segalanya
seperti mati yang hampir tiba
atau bahasa yang lemah di depan tanya
aku ingin tetap menulis puisi lagi
aku ingin tetap menulis puisi lagi
meski dengan bisu, dengan rayu, dengan sayu
aku ingin menulis puisi.. puisi… lagi
dengan ajalku sendiri

Ya, Minerva. Terima kasih telah mengingatkan. Semoga aku, menulis puisi lagi.

(PHX)

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora