Kekuatan Ide
- 5 minsJudul : V for Vendetta
Sutradara : James McTeigue
Tanggal Rilis : 11 Desember 2005
Durasi : 132 menit
Genre : Aksi, Drama, Thriller
Pemeran : Hugo Weaving, Natalie Portman, Rupert Graves
…
“Beneath this mask there is more than flesh. Beneath this mask there is an idea, Mr. Creedy, and ideas are bulletproof.” – V –
Ide melampaui manusianya sendiri! Itulah yang paling tercamkan dalam pikiranku semenjak menonton film yang satu ini, yang kemudian menjadi semangat utamaku untuk mencalonkan diri menjadi ketua himpunan. Film yang bisa ku katakan luar biasa dengan gagasan yang dibawanya mengenai pentingnya sebuah ide sebagai jiwa setiap eksistensi. Mungkin aku yang berlebihan atau memang itulah makna yang bisa diambil, tapi memang film ini tidak hanya sekedar sebuah film action yang memukau penonton dari segi penampilan dan adegan, walau tetap memang tidak bisa dipungkiri bahwa yang dilakukan oleh V dalam film ini begitu keren dan mengagumkan.
Walau tidak memenangkan oscar, V for Vendetta telah memenangkan 10 penghargaan dengan kategori bermacam-macam. Semua tidak lepas dari usaha Wachowski bersaudara yang berhasil menuliskan ulang komik tahun 1988 karya Alan Moore dan David Lloyd dalam bentuk sebuah plot kisah yang kemudian dapat dibungkus dengan baik oleh James McTeigue menjadi sebuah film berdurasi 2 jam lebih sedikit. Memang tentu saja transformasi komik 10 jilid menjadi sebuah film akan tetap membutuhkan modifikasi dan penyesuaian, sehingga terlihat cukup banyak perbedaan antara kedua bentuk karya, termasuk di dalamnya adalah dialog perkenalan V yang mencakup 48 kata yang diawali huruf V.
V (Hugo Weaving), seseorang misterius bertopeng Guy Fawkes, mengisi penuh film ini dalam perjalanannya melaksanakan rencana penghancuran gedung parlemen pada 5 November, sebagai bagian dari revolusi menjatuhkan rezim yang kala itu menindas London. Seorang wanita, Evey Hammond (Natalie Portman), tak sengaja terlibat dengan semua itu, hingga terpaksa meninggalkan seluruh kehidupan lamanya dan terlahir kembali dengan kesadaran baru setelah “ditempa” oleh V dalam sebuah skenario yang bisa dikatakan sangat terasa nyata dan cukup kejam. Dengan sedikit bumbu-bumbu misteri mengenai bagaimana masa lalunya, keseluruhan kisah menekankan bagaimana ide bisa menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa, melampaui pelakunya sendiri. Apa yang dilakukan V adalah sebuah bentuk cantik revolusi yang tidak perlu menggunakan kekerasan berlebih, karena yang terpenting dari semua perubahan adalah ide yang mendasarinya, dan bagaimana ide itu tertanam oleh pelaku-pelaku perubahan tersebut.
Mungkin ketika menonton film ini, rasa penasaran akan muncul mengenai apa sesungguhnya topeng yang dikenakan V dan apa yang terjadi pada 5 November. Semuanya terkait hal yang sama, yaitu sebuah kejadian pada 1605 di Inggris yang terkenal dengan nama “Gunpowder Plot”. Topeng yang dikenakan V mungkin sering kita kenali pada poster-poster ataupun media-media yang berkaitan dengan dunia teater, mungkin karena memang kisah Gunpowder Plot menjadi basis permulaan dari pantonim pada awal abad ke-19, namun sesungguhnya topeng itu menjadi sebuah simbol anarki modern, simbol dari perjuangan untuk meraih kebebasan. Topeng itu merupakan tiruan wajah Guy Fawkes atau Guido Fawkes, yang pada 5 November 1605 tertangkap ketika merencanakan pembunuhan King James I. Pembununuhan itu direncanakan bersama 12 orang lainnya dengan meledakkan gedung parlemen Inggris atau dikenal dengan Istana Westministers dalam rangka mengembalikan kejayaan katolik pada kekuasaan. Memang kala itu adalah masa-masa pertentangan antara protestan dan katolik tengah hangat-hangatnya, apalagi Guy Fawkes sendiri merupakan veteran perang 8 tahun antara katolik spanyol dengan protestan belanda. Karena rencana mereka bocor entah dari mana, Fawkes tertangkap basah tengah menjaga stok bubuk mesiu di bawah istana Westministers.
Pada awalnya, dengan dihukummatinya Guy Fawkes dalam kegagalan rencana pada 5 november itu, Guy Fawkes menjadi simbol kegagalan pengkhianatan dan 5 November pun menjadi sebuah hari peringatan sebgai “joyful day of deliverance” yang hingga saat ini masih dirayakan dalam bentuk bonfire night, sebuah festival kembang api pada malam 5 November . Namun seiring waku, Guy Fawkes menjadi sebuah simbol perlawanan, revolusi, dan semangat perubahan. Entah bagaimana hal tersebut bermula, namun ketidaksukaan Alan Moore dengan pemerintahan Inggris pada akhir abad ke-19 membuatnya bersama David Lloydmenciptakan komik yang menjadikan topeng Guy Fawkes sebagai perlambangan perlawanan terhadap pemerintah. Lloyd menjelaskan bahwa karakter V dalam komik tersebut, V for Vendetta, mengadopsi persona, karakter, dan misi dari Guy Fawkes dulu, yaitu sebuah revolusi besar. Apalagi ketika komik tersebut kemudian dijadikan film pada 2006, penggunaan topeng Guy Fawkes menjadi meluas di seluruh dunia dalam kelompok-kelompok anti-establishment protest, mereka-mereka yang menentang keteraturan yang kaku pada masyarakat.
Sebenarnya bila dilihat, memang V for Vendetta sangat memperlihatkan ide anarki modern, yang mana kebebasan diri menjadi syarat mutlak melakukan tindakan apapun. Kekuatan sesungguhnya masyarakat ada pada tiap individu, dan kekuatan itu terjiwai dalambentuk ide. Orang bisa berganti, namun ide selalu abadi. Revolusi yang sesungguhnya adalah bila tiap individu bergerak sesuai kehendak masing-masing secara bebas dengan ide yang sama. Film ini juga menunjukkan betapa pentingnya simbol sebagai sebuah perwujudan konkret dari satu ide. Seperti halnya topeng yang ia pakai sebagai simbol dari tidak-pentingnya identitas diri, karena yang terpenting adalah gagasan dan tindakan, ataupun peledakan gedung parlemen sebagai simbol kehancuran kepercayaan terhadap pemerintah. Kita tidak bisa meremehkan simbol, karena sesungguhnya simbol itu sebagai vessel atau wadah dari ide inti yang diwujudkan secara konkret, seperti halnya bendera Indonesia sebagai simbol identitas bangsa yang harus dijaga dan bahkan tidak boleh terkena tanah, padahal ia hanyalah selembar kain berwarna merah dan putih. Simbol juga merupakan bagaikan gerbang menuju makna yang sesungguhnya, ia membungkus jati diri dalam sebuah artefak, topeng yang menyelimuti. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Oscar Wilde, “Give a man a mask, and he will show you his true face.”
Film ini terlalu bagus untuk ku ungkapkan sebenarnya. Banyak hal yang ku pelajari dan menginspirasi dari dalamnya. Konsep mengenai kekuatan ide yang ada di dalam film ini bisa terangkum begitu cantik dalam kompleksitas cerita yang tak kalah menariknya. Daripada aku membual terlalu banyak lagi, mungkin memang sebaiknya siapapun yang belum menonton segera menonton, menghayati, dan mengambil kontemplasi.
“Symbols are given power by people. Alone, a symbol is meaningless, but with enough people, blowing up a building can change the world.” – V –
(PHX)