Katanya Sih Sarjana
- 16 minsEuforia kawan-kawan yang akan diwisuda masih terasa. Entah kenapa itu terus menjadi obrolan dimana-mana. Wajar saja, ini hajatnya 2012 untuk lulus, maka sudah tentu itu terus menjadi wacana. Aku masih mengurusi beberapa berkas untuk keperluan beasiswa fast track ketika keanehan itu tiba. Kampus sepi seperti biasa kala liburan tiba. Hanya ada anak-anak berjamal dengan kalung kertas sibuk mondar-mandir sana-sini, berbaris ini itu. Langit ramadhan mungkin tengah bercanda. Sepucuk kertas tiba di depanku tanpa sempat aku menerka, mengaburkan lamunanku yang tengah menikmati suasana sunyi sunkencourt. Tertulis singkat di kertas itu.
To: PHX
Sebagai orang yang cukup patuh pada rasa penasaran, tanpa berpikir dua kali, apalagi tiga kali, ku buka lipatan kertas itu dan kubaca.
Kosmik, 13 Juni 2016
Dear Finiarel, di Bandung
Hai.
Apakah 3 huruf itu cukup?
Haha, ku tahu kau sangat membenci formalitas, walau sekeadar sapaan yang menurutmu hanyalah kemunafikan terselubung kata etika. Tapi tak apalah, daripada aku bertanya kabarmu atau semacamnya, paling tidak 3 huruf itu tak terlalu membuatmu muak.
Kau mungkin bertanya-tanya mengapa tetiba aku mengirimmu surat tanpa wujud. Jika ditanya kenapa, aku tak punya jawaban. Jujur. Aku ingin aja. Apakah melakukan sesuatu memang butuh alasan? Yang kita punya mungkin hanya sebab, dan itu berbeda dengan alasan. Maka sebab yang membuatku ingin menuliskan ini kali ini hanyalah sebuah kabar angin yang ku dapat dari kompleksitas jaring jagad raya. Ya, hey! Kau lulus juli ini bukan?
Selam…… ups! Ku lupa kau terkadang tidak menyukai itu. Kemunafikan tanggung jawab sosial, basa-basi yang menurutmu terkadang jauh dari keikhlasan yang sesungguhnya. Walau sebenarnya kau terlalu ekstrim melihat itu, ku rasa memang ada benarnya sih, entah dari sekian bnyak orang yang mengucap selamat ini itu, berapa dari mereka yang benar-benar mengucapkannya dengan keikhlasan penuh dari jiwa. Tapi ya sudahlah. Kau tak perlu mempertanyakan keikhlasanku, karena apalagi yang membuatku mau repot-repot menulis ini?
Akhirnya kawan, telah kau tempuh 4 tahun pembelajaran itu, dan bisakah ku tanyakan sekarang apa saja yang kau dapatkan? Mungkin tak bisa terungkapkan sepenuhnya. Terlalu banyak malah. Yang mungkin ku sarankan bagimu untuk menuliskan semua itu agar terkristalisasi dalam keutuhan literasi. Bukankah itu yang selalu kau perjuangkan selama berkegiatan di kampus sana? Kau selalu berusaha agar segala momen, ide, dan gagasan terekam dalam untaian kata-kata tertulis, yang terarsipkan sedemikian rupa sehingga menjadi emas buat generasi berikutnya. Kau bahkan tak peduli itu idemu sendiri atau idenya siapa, yang terpenting semua ide itu tersimpan rapih! Yah, semoga saja semua yang kau perjuangkan itu tak sia-sia. Eh, tapi konyolnya aku, bukannya kau percaya tak ada yang sia-sia di dunia ini? Seperti yang selalu kau pegang, “Even at his most powerless, human’s existence is never without meaning”. Bahkan seseorang yang selalu membuat kerusakan pun, semua tindakannya tak ada yang sia-sia! Bahkan mungkin kita semua harus berterima kasih pada semua orang jahat itu, karena tanpa mereka, tak ada lagi makna kebaikan di dunia ini. Well, maka apa yang perlu kita salahkan lagi dari dunia?
Lantas terkadang membuatku bingung sendiri dengan apa yang kau lakukan di hari-hari terakhirmu sebagai mahasiswa fin. Kau seakan nekat begitu saja menerima tawaran Obe, ya, menko yang kau bilang menyebalkan itu, untuk memegang tanggung jawab sebagai salah satu menteri di sosial politik, sedangkan prinsipmu sendiri sudah tidak bisa membedakan mana salah mana benar. Bukankah semua sudah runtuh dalam lautan makna tanpa hirarki di matamu? Segala sesuatu punya maknanya masih-masing, bahkan hal-hal yang disebut sebagai salah pun, punya meaning of existence in this universe! Lantas untuk apa kau bergabung dalam suatu badan yang mengurusi benar dan salahnya negeri ini?
Ah, ku rasa ku tahu jawabannya, seperti yang kau sering katakan, memosisikan diri di tengah di antara pertarungan benar dan salah adalah tantangan tersendiri dalam hidupmu sedari dulu. Bahkan di tengah percaturan kepentingan kampus ini, di unit-unit yang kau ikuti, di himpunan, di manapun. Kau bisa menyalahkan semua, sekaligus membenarkan semua. Mungkin memang hanya satu pertanyaan yang paling tak bisa kau jawab: kau di pihak siapa? Toh, yang ku tahu loyalitasmu hanya tunduk pada dirimu sendiri. Tak ada yang bisa memerintahmu selain jika kau menginginkannya bukan? Apalagi kau tidak terlalu menyukai hirarki. Bukankah itu simbol jaket yang selalu kau gunakan, 3 huruf P-H-X selalu berada di kerah, dekat dengan urat lehermu, ketika bendera palestina dan indonesia bahkan hanya ada di lenganmu. Bukankah agamamu mengatakan Tuhanmu sesungguhnya tidak jauh-jauh dari urat lehermu sendiri?
Lagipula, kau memang terkadang melakukan sesuatu tanpa alasan bukan? Perasaan dasarmu dulu hanya untuk membantu seorang kawan, tidak lebih. Maka bukankah itu jauh lebih sederhana ketimbang idealisme macam-macam?
Lalu, bagaimana posisimu di ujung status? Atau memang ini hanya salah satu dari sekian eksperimen sosialmu? Untuk menunjukkan sekali lagi bahwa sistem yang mengatur kemahasiswaan di kampusmu masih memiliki kecacatan logis? Ah entah. Ku akui kau memang nekat. Tapi kau juga tak peduli apa kata orang. Lagipula bukankah kau dulu memang menerima tawaran obe dengan syarat apapun yang terjadi kau tetap lulus Juli ini? Setelah dipikir-pikir, apa juga yang kau langgar? Toh apakah mengurusi kampus ini butuh status? Bukankah kau sudah mengurusi literasi di kampus ini dengan aliansi kebangkitan dan ITB Nyastra tanpa status apapun? Apalah artinya status kawan, kecuali hanya untuk memberi jalan dan pencitraan. Itu hanya akan mengaburkan keikhlasan dalam bergerak, mengaburkan makna tanggung jawab. Ku tahu kau sempat dilema akan melanjutkan ini atau tidak, karena ku dengar kau sempat berusaha mencari pengganti. Tapi pada akhirnya, apa yang kau mulai hanya bisa kau sendiri yang selesaikan bukan?
Tapi memang sepertinya dilema ini tidak sederhana kawan. Apalagi dengan kelulusanmu, kau semakin melihat bahwa bidangmu butuh perhatian segera. Namun sayang, apapun yang kau lakukan di kampus ini selalu membuatmu seakan bukan seorang matematikawan! Secara tidak langsung kau memang telah memanfaatkan matematika melalui kemampuan abstraksi, rasionalisasi, dan sistemasinya untuk melakukan semua hal yang kau telah lakukan di manapun kau berada. Tapi, tetap saja, math is not only about that! Bagaimana sistem dinamiknya melihat pola perubahan berbagai fenomena di alam ini dengan mengagumkan, bagaimana struktur aljabarnya mengabstraksi semua mekanisme dan struktur yang ada di semesta ini, bagaimana statistikanya melihat keutuhan dalam kemenyeluruhan kumpulan-kumpulan substansi tunggal, dan masih banyak lagi bukan? Apa yang kau tuliskan dalam booklet ke-10-mu yang berjudul ‘Metamatika’ pun hanya sekelumit kecil dari semua itu! Dan sekarang, lihatlah kau, pantaskah menyebut dirimu sarjana matematika?
Cih.
Cukup.
Tak kuat lagi ku membacanya.
Aku memang belum pantas untuk 3 huruf yang akan dicantumkan di ujung nama itu. Bagaimana mungkin orang-orang bisa dengan suka ria dan bangganya merayakan kelulusan mereka ketika bagiku semua itu seakan beban berat yang tetiba menghantam pundakku dengan keras? Sarjana adalah mengenai tanggung jawab, bukan sekedar keberhasilan. Ia hanya lah permulaan! Maka apa yang harus dirayakan? Maka bukankah wisuda adalah momen paling menyedihkan bagi kita semua para mahasiswa? Momen ketika semua kebebasan itu lenyap, momen ketika semua maklum atas semua kesalahan itu sirna, momen ketika masa depan bangsa ini dijatuhkan di pundak kita semua?
Ku hirup nafas pelan, seakan udara pun menubuh bersamaku, membangkitkan semua pikir dan kontemplasi. Bukankah hidup memang penuh dengan paradoks? Tapi apa yang bisa ku lakukan? Ketika orang tuaku sendiri menuntutku untuk segera lulus dan menyelesaikan studi? Jika ku bisa, sebenarnya ku ingin terus merengkuh kebebasan sebagai mahasiswa, tapi apalah guna beranda-andai. Mungkin satu-satunya yang bisa ku lakukan hanyalah terus memantaskan diri.
Selagi menenangkan diri, ku teringat sebuah lagu dari musisi favorit yang tak ada duanya. Sebuah lagu yang terkadang menjadi usikan tersendiri hatiku yang dulunya tersiksa dengan realita, walau akhirnya telah ku dekonstruksi dalam hakikat makna yang lebih hakiki. Maka ku putarlah lagu itu sejenak di laptop yang selalu menyala selagi Helios terus memacu kereta kudanya ke arah barat, sementara Feton menantinya di istana cahaya di timur.
Seringkali aku terjaga terusik dari tidurku
Sepertinya kudengar suara jeritan yang menyayat
Mungkin hanya mimpi yang tak punya makna
atau ini isyarat agar aku mulai bicara
Seringkali aku mencoba membenamkan kepalaku
Bersembunyi dari hiruk pikuk suara yang memilukan
Mungkin aku memang bodoh atau tak peduli
Percaya kegetiran tak selalu berbuah duka
Kusaksikan tangan kotor mulai mencengkeram
Tak ada siapa pun yang dapat mencegah
Orang-orang pandai hanya diam menonton
atau bahkan hanya saling menuding
Mulai kehilangan hasrat kemanusiaan,
mulai kehilangan akal kebersamaan,
mulai kehilangan rasa saling memiliki
Para pemimpin pun tak ada yang peduli
(Nyanyian Getir Tanah Air - Ebiet G. Ade)
…
Ah sudahlah. Ku rasa memang tak ada yang lebih kejam dari sebuah dilema. Tapi bukankah itu yang membuat kita hidup? Maka dengan berusaha menghidupi semua dilema, walau tangan masih bergetar, ku baca lagi surat yang entah datangnya dari mana itu.
Hey fin, apalah makna sarjana? Bukankah itu hanya status yang dikomersialisasi besar-besaran atas nama persaingan global? Yang akhirnya dirayakan dengan suka cita, seakan-akan hey dunia, lihat aku, aku sarjana! Seakan-akan bum, dengan didapatkannya gelar S.apalah itu, seluruh permasalahan di Indonesia akan selesai esok harinya. Tapi tidakkah kau pernah renungkan fin? Setiap kali mengadakan wisuda, satu institut seperti ITB mencetak ribuan sarjana, sedangkan dalam setahun ITB mengadakan 3 kali wisuda. Itu baru ITB, belum kampus-kampus lainnya. Maka paling tidak dalam setahun, Indonesia kebanjiran puluhribuan sarjana! Tapi apa yang terjadi pada bangsa ini? Apakah terlalu banyak sarjana membuat kualitas satu sarjana jadi tak ada artinya? Ibarat komoditas yang persediaan terlalu tinggi akan segera mengalami penunurunan nilai? Atau memang penyerapan permintaannya yang tidak berlangsung optimal? Ah entahlah. Kau jawab itu sendiri fin. Bukankah itu yang kau dan teman-teman sospolmu lakukan?
Ku ingat kau sejak tingkat dua sangat membenci perayaan wisuda. Ya. Satu dari dua hal dalam himpunan yang sangat kau benci. Hitung saja kawan. Satu himpunan mengeluarkan paling tidak 5 juta setiap kali melakukan perayaan wisuda. Ada 3 wisuda terayakan dalam setahun dan anggap dulunya masih hanya ada 30 himpunan di kampusmu, maka dalam setahunnya mahasiswa ITB mengeluarkan paling tidak 450 juta dan itu hanya untuk bersenang-senang! Itu baru materi, belum hal-hal lainnya seperti waktu. Setiap kali wisuda, paling tidak panitia beranggotakan 30 orang per himpunan menghabiskan 2 bulan untuk mempersiapkannya, artinya dalam setahun, anak ITB menggunakan tenaga 900 orang selama total 1 semester hanya untuk merayakan gelar yang katanya ‘momen sekali seumur hidup’. Tapi apakah alasan itu pantas? Ada banyak hal momen sekali seumur hidup yang kita rasakan bukan? Momen pertama kali kau memberi makan pengemis yang kelaparan? Momen pertama kali kau jatuh cinta? Momen pertama kali kau menuliskan tulisanmu sendiri? Momen pertama kali kau memaafkan musuhmu? Kenapa dari sekian momen sekali seumur hidup, kalian harus membuang 450 juta, tenaga 900 orang, dan waktu 1 semester hanya untuk perayaan akan hasrat dan ego?
Ah, tapi siapa aku berhak menentukan benar dan salah? Kau juga begitu kan? Maka ketika kau begitu muak dengan semua fakta ini sejak tingkat 2, yang bisa kau lakukan hanya menjaga idealisme itu dalam dirimu sendiri, dengan tidak pernah mau jadi panitia wisuda, dengan tidak pernah mau mengarak. Tapi pada akhirnya dilema itu terbentur pula kala kau menjadi ketua himpunan. Manusia memang paradoks kawan! Mereka menyukai sesuatu walau terkadang di sisi lain ia tahu fakta itu buruk, dengan semua justifikasi yang bisa dilakukan. Maka kini, posisimu berbalik kawan, dan apa yang akan kau lakukan? Ku harap kau tetap mempertahankan yang kau pegang fin, namun tentu ku tahu kau tetap tak akan tahan untuk sekedar menghargai mereka yang telah bersusah payah untukmu.
Di sisi lain, kau telah meninggalkan apa di kampus ini fin? Apa yang telah kau perbuat? Apa warisanmu? Ku rasa tak banyak. Dan tetaplah berpikir seperti itu, agar kau selalu sadar untuk terus menembus batas-batas diri, untuk terus memenjara sifat puas alamiah manusiamu, untuk terus menghidupi hidup hingga ke horizon tak terdefinisi! Biarlah orang lain yang menilai. Bila memang kau telah mewariskan sesuatu, maka generasi berikutnya yang akan merasakan dan memanfaatkannya, dan berharaplah semua itu akan menjadi sesuatu yang bermanfaat dan terus memberi makna bagi siapapun yang merasakannya. Bukankah semua kosmos ini adalah mengenai penciptaan makna? Bahkan batu krikil yang tertendang ketika kau berangkat ke kampus pun punya makna tersendiri dalam kehidupanmu.
Apa yang akan kau lakukan setelah ini pun menjadi pertanyaan tersendiri. Hidupmu masih panjang kan? Eh, ku rasa. Tak ada yang tahu kapan izrail menyapamu, tapi ku rasa hingga saat itu tiba, tak ada yang bisa kau lakukan selain memaksimalkan setiap bingkai waktu yang terlewati bukan? Bersama tulisan-tulisan yang akan terus menyertai dan memberi jejak-jejak semua langkahmu ke depan. Bukankah yang terpenting kelak puluhan tahun lagi, kau akan kembali membaca semua kristalisasi tulisanmu itu dengan penuh nostalgia dan suka cita. Kau tak perlu peduli seberapa bermanfaat kau sekarang. Bukankah kesimpulan selalu ada di akhir? Bagaimana mungkin kau bisa menikmati cerita jika terlalu cepat menyimpulkan di tengah-tengah? Maka nikmatilah! Aku tahu itu beban tersendiri bagimu menerima gelar sarjana, namun ambil lah sisi positifnya kawan. Hidup adalah masalah memberi makna. Perkuliahanmu di ITB hanya bagian kecil dari perjalananmu mencari kebenaran. Ya, sebuah perjalanan yang entah ujungnya dimana, yang mana hanya perlu ditapaki selagi menari bersama ketidakpastian jagad raya.
Maaf ku terlalu banyak berkata-kata kawan, tapi ku rasa cukup sekian. Kau punya pikiran yang siap merenungi ini semua kawan dan jangan pernah lelah dengan itu! Karena ketika manusia berhenti merenung dan berkontemplasi, kurasa itu lah saat ketika ia putus dengan makna. Terakhir, walau ku tahu kau terkadang kurang suka dengan formalitas, (apalagi tentu lebaran adalah hari yang paling menyiksa bagimu), tetaplah ucapkan apa yang dirasa perlu diucapkan atas semua ini. Bukankah manusia memang makhluk yang aneh? Mereka sangat menyukai formalitas! Mereka menyukai kejelasan dan eksplisitas. Maka hargai mereka dengan itu. Bukankah itu yang menjaga ikatan dalam struktur masyarakat yang ada dimanapun?
Terus hidupi hidupmu!
Salam,
Minerva
…
…
1 menit…
…
…
…
5 menit…
…
Aku terpaku.
Dunia ini merupakan kumpulan keanehan. Dan ku rasa ini hanya salah satu di antaranya. Maka biarlah. Biarkan ia jadi bahan kontemplasi selagi waktu masih memiliki banyak rongga. Siapakah engkau Minerva? Ku tak tahu. Yang jelas, ku berterima kasih. Dan seperti yang kau sarankan juga, atas apa yang telah ku lalui selama ini, terima kasih ku sampaikan pada anak-anak sunkencourt yang tanpa henti memberi ide baru untuk aliran hidup berikutnya Senartogok, Asra Wijaya, Annisaa Nurfitriyana, Andhika Bernad Lumbantobing, Choirul Muttaqin, Okie Fauzi Rachman, Atolah Renanda Yafi, Abdul Haris Wirabrata, Taufik Rachman S, Kukuh Samudra, Kartini F. Astuti, anak-anak sospolia, terutama yang menyebalkan Luthfi Muhamad Iqbal, Ega Zulfa Rahcita, Audhina Nur Afifah, Aulia Ramadhan, Afinitasia Rizky, Diska Prini Fadilasari, Nadhira Fasya Ghasani, Faizah Nurma, Tri Yanti, anak-anak kabinet yang lain Mahardhika Zein, Atika Almira, Taufiq A. Rosyadi, Ahmad Munjin, Ahmad Sibaq U. Ulwi, anak-anak alumni DDAT 2012, Syahruly Fitriadi, Tasyaa Navianda, Maryam Zakiyyah, Aryya Dwisatya W, Zamal Muhammad Arya, Agil Gozal, Hanina Liddini Hanifa, Ulfah Shofi Ardini, Inas Nabilah Ridhoha, Reka Ardi Prayoga, anak-anak HIMATIKA, terutama BP dan juga yang selalu menemani menginap, Husein Abdulsalam, M Fariduddin Adham, Elsa Puspa Silfia, Fardian Thofani, Wisnu Prasojo, Herada Kiptane Arga, Asep Andrea Pratama, Rifadina Kamila Yasmin, Adiansyach Patonangi, Muhammad Ghozie, Raymond Tutuarima, Zuhairina Ramadhaningrum, Allissa Rivanni Richky,…. (lama-lama capek juga nge-tag, maaf kalau tidak semuanya ke-tag –’).
Ah! Pada akhirnya, aku ingin berterima kasih pada semua orang yang pernah bertemu aku sejak aku lahir hingga detik ini! Bukankah kejadian hari ini hanyalah akumulasi masa lalu? Maka semua hal yang terjadi selama 21 tahun aku hidup sebelum ini berkontribusi pada apapun yang ku capai hari ini. So, my biggest thanks hanya untuk semesta! Dengan semua ketidakpastiannya, dengan semua absurditasnya, dengan semua omong kosongnya, yang membuatku selalu menerka, membuatku selalu bertanya-tanya, dan membuatku terus hidup! Bahkan semilir angin sore yang bertiup ketika aku mengerjakan TA sebulan yang lalu pun punya kontribusi sendiri dalam hidupku bukan?
Dan ku rasa di tengah semua ini, ku rasa pas untuk memutar lagu yang Tarjo berikan untukku 11 Februari lalu
…
aku lahir dari perut semesta
ibuku adalah cinta
ayahku bernama perang
dan diasuh bumi seisinya
alam raya sekolahku
semua orang menjadi guru
takdir adalah pelajaran
dan serabut nasib jadi ujian
air mata adalah tinta
gelisah menjadi pena
tertawa adalah aksara
dan imajinasi menjadi kertasnya
aku menulisinya….
kupetik sedih pada senar ambisi
kutabuh haru pada gendang tendensi
kutiup pilu di terompet ilusi
denting ragu mengalun di piano janji
aku menyanyikannya…
temanku banyak dan ramai sekali:
gelap,
terang,
cahaya,
hampa,
luka,
kecewa,
gundah,
gulana,
tinggi,
rendah,
buntu,
kelana/
sunyi,
sepi,
nyeri,
dan perih
asa,
jelajah,
nisan,
kelam,
temaram/
padam,
lebam,
sungsam,
muram
kubah,
roda,
kincir,
bau anyir,
layu,
tabu,
gaduh
meluruh…di telaga rindu
di sungai malu
sahabatku ada dimana-mana:
hening,
bening,
tenang,
lapang,
lemah,
kaku,
marah,
layu,
takut,
getir,
resah,
dan gamang,
senang,
riang,
cerah,
dan megah
lunglai,
timpang,
profan,
kerasan
banal,
aral,
sakral,
tumbal
ganas,
malas,
tangkas,
beringas,
sayu,
jengah,
gerah,
mendera…di lautan duka
di samudera gembira
“musuh dari musuhku adalah musuh
biar kawan dari kawanku menjadi godaan!”
(Universalitas Kehidupan - Senartogok)
…
Ke depannya, perjalanan masih merentang panjang. Ku rasa. Apalagi untuk mengejar sesuatu yang tak terkejar: kebenaran (Kalau memang kebenaran itu ada). Walau ku tak pernah bisa yakin ketika perjalananku melalui 4 tahun perkuliahan sarjana ini masih terbilang mudah, entah bagaimana ke depannya. Mungkin hanya kegelapan malam yang akan membantuku. Maka untuk siapapun, ketika kesepian itu mengusik, ingatlah bahwa semesta masih menyediakan ribuan kawan untuk menyemangatimu. Sarjana bagiku bukan hal yang khusus, ia hanya satu cabang dari sekian cabang kehidupan yang telah dan akan ku lalui. Jadi buat yang belum, kenapa harus berkecil hati?
(PHX)