Jejaring Sosial

Jejaring Sosial

- 20 mins

One of the key insights of the systems approach has been the realization that the network is a pattern that is common to all life. Wherever we see life, we see networks.
– Fritjof Capra –

Manusia selama berabad-abad telah hidup secara komunal dalam kelompok-kelompok sosial yang memiliki beragam bentuk. Setelah sekian periode menempuh berbagai macam peristiwa dan fenomena, peradaban manusia berkembang sedemikian rupa membentuk kompleksitas yang tertuang membentuk berbagai macam bentuk struktur sosial yang berbeda-beda. Melihat ke seluruh dunia, berbagai macam sistem terspesialisasi dan berevolusi satu per satu seiring dengan bertambah kompleksnya suatu masyarakat. Berbagai macam sistem ini membentuk keindahan perbedaan melaui banyak hal, dari cara memasak hingga posisi kepemimpinan. Semuanya merupakan suatu bentuk realitas sosial yang menjadi struktur utama sistem masyarakat tersebut.

Sistem sosial merupakan suatu bentuk sistem yang kompleks dan dinamis. Pemahaman mengenai struktur dan dinamika yang berlaku dalam suatu realitas sosial bukanlah suatu hal yang mudah untuk dicapai, namun dapat diperluas dalam suatu kerangka konseptual yang menggabungkan tiga perspektif, struktur, proses, dan pola, yang analog dengan materi, energi, dan informasi, suatu paradigma holistik dengan hierarki segitiga yang menghasilkan perspektif keempat, yakni makna. Dengan mengintegrasikan empat perspektif tersebut, akan dapat terlihat suatu kerangka holistik yang cukup baik untuk memperluas pemahaman mengenai suatu sistem sosial.

Pemahaman sistemik dengan cara ini, dengan melihat secara holistik ke seluruh komponen dan lingkungan, kemudian ternyata mengindikasikan bahwa terdapat sebuah kesatuan pararel mengenai sistem yang berlaku pada seluruh level kehidupan. Kesatuan yang mendasar ini diperlihatkan melalui pola evolusi yang telah terjadi selama milyaran tahun sejak asal mula makhluk hidup muncul yang menunjukkan suatu kesamaan pola organisasi berbagai sistem kehidupan. Fritjof Capra menuliskan dalam bukunya, The Hidden Connection, “Selagi kehidupan berevolusi, pola-pola ini cenderung menjadi semakin rumit, tetapi sistem-sistem hidup selalu merupakan variasi dari tema-tema dasar yang sama”. Dengan pandangan dasar seperti ini, berbagai teori kemudian muncul untuk memperlihatkan kesejajaran pola ini dalam sistem sosial.

Swa-organisasi Masyarakat

Kunci penting dalam kesejajaran pola yang terlihat ini adalah jaringan. Dalam seluruh tingkat kehidupan, berbagai bentuk interaksi kinerja dari metabolisme sel hingga dinamika ekosistem, seluruh komponen struktur dan proses saling berhubungan membentuk suatu jaringan dengan kompleksitas yang berbeda-beda. Menerapkan pola ini ke dalam suatu realitas sosial berarti meluaskan konsep dan pemahaman mengenai kaidah dasar jaring-jaring kehidupan ke dalam komponen-komponen sosial. Tentu saja tingkatan kompleksitasnya jauh berbeda dibandingkan level organisasi rendah seperti sel, yang hanya memakai aturan-aturan hubungan antar molekul maupun prinsip kimiawi yang berlaku sebagai bentuk proses yang terjadi.

Perluasan konsep ini memerlukan suatu prinsip dasar yang menjadi ciri dan dimiliki seluruh tingkatan organisasi. Prinsip dasar ini adalah suatu proses yang disebut dengan autopoesis, yaitu proses menghasilkan diri sendiri yang berlangsung terus menerus. Istilah yang pertama kali dimunculkan oleh Fransisco Varela dan Humberto Maturana ini, memperlihatkan suatu proses yang menjadi prinsip utama kestabilan suatu jaringan dan menjadi jaminan utama eksistensi sistem tersebut, terutama sistem hidup. Ketika proses pembentukan diri sendiri ini, yang juga dapat dikenal sebagai swa-organisasi, berhenti atau mengalami gangguan, jaringan beserta komponen yang ada di dalamnya akan tidak stabil dan kesatuan sistem akan hilang. Seperti yang dikatakan ahli mikrobiologi Lynn Margulis: “Melalui metabolisme tanpa henti, melalui aliran zat-zat kimia dan energi, kehidupan secara terus-menerus membentuk, memperbaiki, dan menjamin keberadaan dirinya sendiri.”

Konsep swa-organisasi adalah konsep yang mencirikan sistem hidup ketimbang sistem-sistem lainnya. Berusaha melihat kesejajaran yang terjadi dengan sistem sosial berarti perlu mempertimbangkan apakah sistem sosial adalah suatu sistem hidup. Telah banyak yang memiliki pandangan mengenai hal ini, tapi mengingat betapa sistem sosial melibatkan kesadaran dan pikiran, bahasa dan budaya, interaksi dan komunikasi, tentu akan terasa seperti paradoks apabila menganggapnya sebagai sistem mati. Paradigma yang menganggap sistem sosial adalah sistem mati ini lah yang terkadang membuat kebanyakan manusia mengotak-kotakkan sistem sosial dalam pandangan-pandangan terpisah, seperti paradigma Cartesian yang mekanistik, bukannya memandang keseluruhan sistem secara bersamaan dan holistik. Layaknya sel, ia tak akan bisa dianggap hidup bila hanya melihat organel-organelnya saja, ia hidup bila memandangnya utuh sebagai sel.

Jika melihat ke berbagai tingkatan kehidupan yang lain, dapat terlihat bahwa proses autopoetik ini memang juga terjadi dalam sistem sosial. Namun, hubungan yang terjadi dalam suatu jaringan sosial tidak akan sesederhana biokimia. Pola organisasi yang berhubungan di dalamnya bekerja dalam suatu dinamika non-linear yang melibatkan berbagai tingkatan komponen dengan konsep-konsep teori kompleksitas, seperti spontanitas, umpan balik, dan keberagaman interaksi dalam jaringan tersebut. Hal ini juga menyebabkan bentuk pemahaman dari suatu sistem sosial harus melibatkan pengetahuan dari teori-teori sosial, antropologi, filsafat, komunikasi, dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Dalam hal ini, komunikasi akan menjadi unsur penting sebagai aliran energi utamanya, seperti halnya proses pertukaran energi yang terjadi tiada henti antar komponen dalam sel

Bagaimana autopoesis yang menjadi ciri utama pola organisasi sistem kehidupan ini bekerja dalam sistem sosial dapat dilihat dari komunikasi sebagai unsur utama proses produksi dan reproduksi jaring-jaring sosial. Setiap komunikasi yang terjadi di antara manusia menghasilkan pemikiran dan makna, yang apabila melibatkan banyak manusia akan menghasilkan suatu kesepakatan yang akan menghasilkan komunikasi lebih lanjut. Proses umpan-balik komunikasi ini yang kemudian menjadi ciri utama reproduksi autopoetik yang terjadi pada sistem sosial. Proses komunikasi yang dilakukan terus menerus kemudian akan menghasilkan suatu sistem kepercayaan, yang lebih lanjut memproduksi batasan-batasan budaya, adat, dan kebiasaan yang akan dijaga, dikembangkan, dan direproduksi terus menerus melalui komunikasi secara dinamis. Batasan-batasan yang tercipta dari konteks makna milik bersama melalui komunikasi berkelanjutan ini akan membentuk suatu identitas tersendiri dalam sistem sosial tersebut bersama indiviu-individu di dalamnya. Melalui cara ini, jaringan akan memiliki tujuan, harapan, dan kesetiaannya sendiri yang akan terus dipelihara melalui komunikasi terus-menerus.

Dalam kinerja autopoesis atau swa-organisasi inilah peradaban manusia berkembang dan diperbarui terus menerus oleh dirinya sendiri. Secara struktur atau materi dalam suatu sistem, manusia yang terlibat di dalamnya selalu berganti dari generasi ke generasi menghasilkan bentuk komunikasi baru yang bisa berarti pemikiran baru, secara proses atau aliran energi, bentuk komunikasi yang berganti-ganti menjadi suatu proses dinamis yang selalu mereproduksi sistem sosial yang bersangkutan, dan terakhir dari segi pola atau informasi, bentuk nilai yang tercipta dari proses reproduksi yang berkelanjutan ini membentuk pola budaya dan sistem kepercayaan yang berkembang secara signifikan. Betapa menariknya ketika melihat semua ini memiliki keserupaan dengan sistem yang dimiliki tingkatan kehidupan lainnya dari sel hingga ekosistem.

Jaringan dan Kekuasaan

Salah satu hasil dari proses autopoesis ini adalah suatu komponen dalam sistem sosial yang menjadi penentu utama identitas jaringan sistem tersebut. Komponen ini, yang terkadang menjadi inti dari suatu sistem sosial, adalah kekuasaan. Fenomena mengenai kekuasaan dapat menjadi hal yang butuh perhatian lebih karena ia bisa menjadi penentu utama ciri suatu sistem sosial. Ia menjadi fenomena yang cukup mencolok karena relasi kekuasaan dalam realitas sosial berkaitan dengan konflik-konflik yang timbul dalam dinamika sistem sosial itu sendiri. Dalam menjalani proses komunikasi yang terus menerus, tidak jarang terjadi pertentangan antar pemikiran maupun hambatan dalam penyamaan makna dan persepsi antar komponen-komponen dalam suatu kelompok sosial. Pertentangan ini menimbulkan konflik yang akan berakibat mengganggu kestabilan sistem atau jaringan yang berkaitan. Di sinilah peran kekuasaan masuk sebagai cara untuk mengatasi konflik.

Makna dan posisi kekuasaan didefinisikan secara kultural oleh individu-individu yang ada dalam sistem sosial atau jaringan itu sendiri melalui kesepakatan-kesepakatan sebagai salah satu hasil dari proses autopoetik komunikasi yang berjalan dalam jaringan tersebut. Menarik mundur perkembangan manusia, pada sistem sosial yang paling sederhana pada awal mula peradaban, yang berupa komunitas masyarakat kecil, hanya cukup membutuhkan suatu dasar dalam membuat keputusan sebagai langkah untuk membuat efektif segala urusan dan mencegah adanya pertentangan pendapat atau pemikiran yang berujung pada konflik. Dari sini posisi kekuasaan muncul, yang menghasilkan sebuah istilah yang kita kenal dengan otoritas, sebagai pembuat keputusan dan penengah dari proses komunikasi yang terjadi dalam jaring sosial tersebut.

Makna asli otoritas sebenarnya pun bukanlah kekuasaan untuk memerintah, yang selama ini dipahami mayoritas orang, namun sebuah dasar yang kuat untuk mengetahui dan bertindak. Otoritas merupakan turunan dari bahasa latin, Auoctoritas, yang diturnkan dari augeo yang berarti “to Augment”. Dari segi politis, kata auoctoritas sendiri sebenarnya bermula dari masa Romawi sebagai sebutan untuk senat mereka, yaitu Auoctoritas Patrum, yang dalam konteks ini dapat didefinisikan sebagai kekuatan hukum untuk mengesahkan suatu tindakan. Dalam hal ini, Theodor Mommsen mencoba mendeskripsikan “kekuatan” dari Auoctoritas adalah “more than advice and less than command, an advice which one may not safely ignore” (lebih dari sekedar nasihat dan kurang seperti perintah, sebuah nasihat yang tak bisa diabaikan begitu saja). Dalam konteks yang lebih kecil, auoctoritas juga bisa berfungsi sebagai “bimbingan pasif”, semacam konseling atau permohonan izin atau restu seseorang untuk tindakan-tindakan tertentu. Pada akhirnya scara umum, terlihat bahwa inti dari otoritas adalah sebuah dasar yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mencapai kesepakatan bersama sehingga konflik-konflik kepentingan yang kurang perlu dapat dihindarkan. Dalam hal ini, otoritas juga tidak mesti dimiliki oleh orang atau manusia, namun bisa juga merujuk pada benda atau konsep abstrak, seperti adat atau agama. Seperti halnya dasar yang dipegang umat Islam dalam bertindak dan mengetahui merujuk pada teks “otoritatif”, yaitu al-Qur’an. Sehingga dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an “berkuasa” terhadap umat islam.

Tentu saja tiap komunitas dalam sistem sosial masyarakat yang paling sederhana sekalipun membutuhkan suatu otoritas yang dinamis dan bisa menyesuaikan pada berbagai situasi, yang dalam hal ini merujuk pada sosok manusia, bukan suatu kepercayaan ataupun teks. Masyarakat kemudian dalam proses yang berbeda-beda menunjuk seorang manusia yang dipercaya dan disepakati secara bersama-sama memiliki kebijaksanaan dan pengalaman yang cukup untuk dijadikan dasar dan membantu mereka mengatasi konflik kepentingan. Dalam hal ini otoritas menjadi identik dengan kebijaksanaan.

Dalam keberjalanannya, proses autopoesis yang terjadi terus menerus dalam suatu masyarakat menambah batasan-batasan budaya, kepercayaan, dan adat pada sistem yang mereka miliki. Posisi otoritas pun kemudian dileburkan secara kultural melalui ritual-ritual, baju adat, darah, mahkota, dan simbol-simbol lainnya. Peleburan ini pada akhirnya membuat terjadinya pergeseran makna otoritas yang awalnya bersumber dari kebijaksanaan suatu sosok menjadi hanya terpatok pada simbol-simbol tersebut, seperti peralihan mahkota yang cukup untuk membuat seseorang bisa menjadi raja walaupun ia tidak memiliki kemampuan dan kebijaksanaan yang pantas untuk memiliki otoritas. Karena dapat berganti tangan dengan mudah tanpa membutuhkan sosok pemimpin dengan kebijaksanaan sejati inilah, celah-celah berupa “eksploitasi” kekuasaan terbuka lebar dengan berbagai wajah dan siasat.

Salah satu bentuk eksploitasi ini adalah pengejaran kekuasaan untuk mementuhi kepentingan dirinya sendiri atau segelintir orang tertentu, mengingat betapa otoritas telah menjadi suatu kekuatan karena dijadikan dasar untuk bertindak dan mengetahui suatu sistem sosial. Bahkan ada yang hanya sekedar mengejar kekuasaan untuk sekedar kepuasan ego atas penghargaan emosional yang ia miliki. Asal mula bentuk politik kepentingan yang kita pahami saat ini adalah dari eksploitasi kekuasaan sebagai hasil dari pergeseran makna otoritas yang awalnya identik dengan kebijaksanaan. Istilah politik sendiri pun ketika muncul pertama kali pada masa peradaban Yunani adalah suatu bentuk proses atau segala hal yang berhubungan dengan ketatanengaraan, yang tentu saja memiliki kaitan erat dengan bagaimana pembentukan kesepakatan dalam suatu sistem polis ini dapat dilakukan. Melalui proses autopoesis yang wajar layaknya sistem sosial yang lain, politik Yunani beralih persepsi menuju bagaimana otoritas dapat didapatkan untuk mengatur suatu negara.

Bentuk pergeseran makna yang lain ditandai dengan paradigma-paradigma bahwa untuk dapat melakukan perubahan, untuk dapat berkontribusi, atau alasan-alasan naif lainnya, diperlukan kekuasaan. Sehingga sekarang, pemimpin ada terlebih dahulu sebelum kebijaksanaannya, ia tidak timbul dengan alami, ia dipaksakan dalam sebuah frase aneh yang disebut dengan tanggung jawab sosial, atau bahkan dalam bentuk wibawa dan kehormatan seperti yang dipuja-puja di dunia militer. Kebijaksanaan yang muncul pun bukan dari jiwa, namun dari cara ia berbicara ataupun cara ia berdiri, atau bagaimana bahunya tegak dan matanya lurus ke depan, atau bagaimana ia mengoceh tanpa henti kata-kata yang membuat pukau orang-orang namun tidak berisi. Semua itu yang akhirnya menjadi simbol pemimpin, yang bisa pidato dengan baik saat kampanye, ataupun yang memiliki wibawa untuk memengaruhi orang.

Layaknya suatu jaringan, berubahnya suatu komponen akan berpengaruh pada komponen yang lain. Seiring dengan berkembangnya teknologi, pemikiran, populasi, dan komponen jarngan lainnya, bertambah pula kompleksitas dari jaring-jaring sosial yang ada. Dengan meningkatnya kompleksitas suatu sistem, pemusatan pembuatan keputusan akan mengalami banyak hambatan. Akhirnya berkembanglah berbagai mekanisme yang menyesuaikan diri secara kultural maupun formal dengan batasan-batasan yang ada dalam sistem tersebut untuk menentukan bagaimana keputusan diambil diantara mereka.

Secara umum otoritas kemudian terbagi dalam struktur-struktur administratif yang lebih kecil untuk memudahkan dan meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan di tengah masyarakat yang semakin kompleks. Pembagian ini kemudian kita kenal dengan istilah birokrasi, atau pemerintahan yang bersumber dari biro-biro atau bagian-bagian kecil. Melalui proses autopoesis yang melintasi waktu secara terus menerus, mulai terbentuklah berbagai sistem pemerintahan sebagai langkah untuk menyesuaikan diri dalam kompleksitas masalah yang dihadapi oleh suatu sistem, dari anarki hingga monarki.

Reduksi dan Pergeseran

Bertambahnya kompleksitas masyarakat yang ada semakin menambah pula reduksi makna dari otoritas itu sendiri. Eksploitasi kekuasaan atas dasar politik kepentingan mulai tumbuh subur, mengikuti kekuasaan sendiri yang mulai mengalami dualisme makna dan pemahaman di mayoritas masyarakat. Makna pertama kekuasaan ekuivalen dengan otoritas yang berarti wewenang atau hak untuk bertindak, sedangkan makna lainnya bisa berarti power atau kemampuan untuk melakukan sesuatu. Dua makna yang sebenarnya berbeda ini sama-sama didefinisikan di KBBI berturut-turut: 1 n kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu); kekuatan; 2 n wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Kesalahan pemahaman mengenai makna kekuasaan ini yang kemudian menimbulkan apa yang sekarang populer dengan istilah krisis kepemimpinan.

Sedikit mengenai pemimpin, ia berasal dari kata pimpin yang berarti membimbing atau menuntun. Sebuah bimbingan atau tuntunan tentulah layaknya berupa dasar yang menjadi pedoman untuk bertindak dan mengetahui, yang merupakan makna asli dari otoritas. Jika kembali ke asal mulanya, otoritas seharusnya identik dengan kebijaksanaan. Dengan berbagai buku-buku dan seminar-seminar mengenai kepemimpinan bermunculan dimana-mana bagaikan jamur yang tumbuh di musim penghujan, alangkah lebih baik bila kita mencoba memahami makna pemimpin dengan lebih sederhana dan mendasar melalui unsur utamanya, yaitu kebijaksanaan. Berbagai teori dan pendapat mengenai pemimpin yang dimunculkan berabagai orang masa kini hanyalah implementasi dari kompleksitas masyarakat yang ada pada zaman informasi ini. Pemimpin sendiri pun bertransformasi ke dalam berbagai bentuk, ketua, kepala, manajer, presiden, komandan, raja. Apapun namanya, ia sesederhana sebuah dasar untuk bertindak dan mengetahui.

Dalam konsep yang lebih luas, keuasaan kemudian menjadi produsen utama komponen-komponen struktur sosial lainnya, baik yang formal, berupa aturan ataupun hukum tertulis yang berlaku, maupun yang informal, berupa interaksi perilaku secara terus menerus yang membentuk kebiasaan ataupun adat. Struktur-struktur ini menjadi tiang-tiang penyangga suatu sistem sosial. Oleh karena itu dapat dikatakan otoritas adalah wajah dari suatu masyarakat. Struktur dari hasil produksi otoritas ini kemudian menjadi batasan utama yang membentuk kembali bagaimana posisi kekuasaan dalam sistem sosial didefinisikan. Membentuk siklus yang harmonis, dapat terbaca dengan indah bagaimana proses autopoetik terjadi dan membuat suatu sistem menjadi sangat dinamis.

Apabila suatu otoritas, dalam hal ini bisa merujuk pada prinsip maupun aturan, tidak cocok lagi bagi anggota sistem sosial yang terlibat di dalamnya, dipastikan sistem ini akan mengalami ketidakstabilan dari tingkat kecil hingga ke suatu batas yang menuntut adanya mekanisme bergantinya otoritas yang berlaku. Karena sistem sosial adalah sistem hidup, yang memiliki ciri utama swa-organisasi atau autopoesis, tentu dalam suatu proses yang tidak dapat dipastikan, sistem sosial akan terus memperbaiki dirinya sendiri. Betapa sensitifnya suatu sistem kehidupan terhadap suatu gangguan akan membuat jatuh bangun suatu sistem adalah suatu kewajaran. Hal ini tercerminkan dari berbagai realitas sosial seperti reformasi Indonesia ataupun Arab Spring.

Karena otoritas sendiri beserta struktur-struktur yang lahir darinya merupakan hasil kesepakatan, apabila anggota suatu sistem sosial mulai kehilangan kepekaan atau kesadaran terhadap otoritas tersebut, perlu diperhatikan dengan seksama apakah otoritas tersebut telah kehilangan kecocokan dengan anggota sistem. Karena memang anggotalah yang menciptakan sistem, sistem lah yang harus menyesuaikan diri dengan anggotanya, bukan anggota yang menyesuaikan diri dengan sistem, seperti yang terjadi pada beberapa tempat akhir-akhir ini. Sebenarnya tanpa perlu kita pertanyakan dan bersusah payah pun, suatu sistem hidup yang tidak stabil akan sedemikian rupa melaksanakan mekanisme otomatis untuk memperbaiki dirinya sendiri.

Dengan semua dinamika yang ada, proses autopoesis pasti akan tetap berlangsung apapun yang terjadi. Ia bagaikan roda harmonis yang menjaga keseimbangan dunia. Roda ini, tentu saja melaju dengan kecepatan dan kestabilan yang berbeda-beda, tergantung pada banyak faktor yang dilaluinya. Sekarang ini, manusia secara global tengah menghadapi era yang penuh dengan nama, era dimana kompleksitas bukan lagi istilah yang tepat untuk mendeskripsikan dinamika yang ada, namun sudah memasuki ranah kekacauan atau chaos. Pada zaman yang disebut dengan era informasi ini, yang mana kepercayaan dengan logika telah mulai luntur, yang mana pikiran manusia dihujani bertubi-tubi oleh ribuan byte informasi setiap harinya, berputar dalam jaring-jaring rumit tak kasat mata yang memenuhi seluruh atmosfer, putaran autopoesis mulai tertatih-tatih menyesuaikan diri mengikuti semua arus yang bekerja, membuat seakan-akan dunia berubah setiap detiknya.

Ya, melihat seluruh dunia saat ini secara holistik dalam satu sistem hidup yang utuh, manusia bagaikan diaduk-aduk dalam berbagai putaran yang tak pernah sama dan selalu disuguhkan dengan ribuan ilusi informasi yang memabukkan. Globalisasi yang mengaburkan batas sistem membuat jaringan yang terbentuk menjadi liar layaknya lebah yang diganggu sarangnya. Manusia bertubi-tubi diserang serangkaian informasi tanpa diberi kesempatan untuk mencerna, mengolah, atau bahkan menyadarinya, menghasilkan ketidakstabilan dalam aliran listrik yang melalui neuron-neuron dalam otak. Pada akhirnya identitas manusia yang awalnya dapat dengan jelas didefinisikan secara kultural melalui komunikasi yang terus menerus menjadi semakin kabur dan menguap, membawa kabur jati diri manusia.

Sekarang, dunia bergerak tanpa ada pola maupun kendali. Identitas semakin mengabur dalam pergerakan yang selalu berubah tiap detik, bagaikan sebuah fungsi yang memenuhi persamaan differensial orde dua, tiga, atau bahkan empat. Tidak ada yang bisa menyebutkan seperti apa wajah global hari ini karena tidak akan butuh waktu lama hingga proses autopoesis mengubahnya kembali. Rentetan informasi tanpa henti, mengalir dalam arus komunikasi tanpa batas, dunia semakin bergerak dalam sistem chaos. Jaring-jaring sosial yang awalnya halus, dan harmonis, diambil-alih dan diklaim untuk sebagai sebuah istilah untuk koneksi tanpa batas dunia maya. Apalagi dengan munculnya pemikiran-pemikiran post-modern sebagai simbol rasa muak manusia dengan ketidakpastian dunia yang semakin menjad-jadi, sistem sosial menjadi reaktif terhadap apapun, kepakkan sayap kupu-kupu di sini, timbul badai di sebelah sana. (*)

Kembali dalam kontemplasi

Yang pasti, sesuai dengan namanya, suatu sistem hidup, sistem yang bercirikan swa-organisasi, tak akan pernah mati. Ia hanya berganti wujud, namun polanya akan selalu berwajah sama. Memahami ini secara holistik dan integratif akan menjadi kacamata yang sangat membantu dalam melihat dan menginterpretasi berbagai fenomena dan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Menggunakan sudut pandang otoritas sebagai komponen yang cukup krusial dalam suatu sistem sosial pun perlu dibiasakan untuk melihat kestabilan suatu sistem dalam dinamikanya sebagai “makhluk” autopoesis.

Sistem hidup adalah sistem yang sangat kompleks dan dinamis. Teori chaos dan teori kompleksitas berperan besar dalam mendefinisikan sistem ini. Menganalisis kompleksitas sistem-sistem kehidupan dengan dinamika non-linearnya membutuhkan perumusan matematika yang rumit dan sulit untuk dipecahkan. Persamaan-persmaan non-linear jarang menjadi bahan kajian karena penerapannya tidak sebanyak yang linear, apalagi persamaan non-linear terkadang hampir tidak mungkin untuk dipecahkan, walau sekarang sebenarnya sudah banyak aplikasi-aplikasi yang cukup canggih untuk menolong para matematikawan. Bersumber pada konsep-konsep dasar biologi seluler sebagai bahan utama kajian pendefinisian sistem hidup dari yang paling sederhana, ditambah pengembangan sejumlah teknik baru yang secara gradual berintegrasi, akan membentuk suatu kerangka matematis yang koheren. Itulah kenapa untuk pengembangan teori sistem kehidupan seperti ini diperlukan kolaborasi yang selaras antara para akademisi mikrobiologi dan matematika. Sekitar 30 tahun yang lalu, perhatian pada fenomena nonlinerar telah membangkitkan serangkaian lengkap teori-teori mapan untuk meningkatkan pemahaman kita akan karakteristik-karakteristik kunci suatu kehidupan dengan amat mengesankan. Bagaimana pemahaman itu dapat kita kembangkan dan kita terapkan dalam dunia sosial memerlukan ketekunan yang lebih dalam memelajari sistem kompleks.

Adalah sebuah harapan nyata untuk dapat mencari solusi-solusi efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada bila kita dapat membiasakan paradigma untuk memandang sistem sosial sebagai suatu sistem yang hidup. Menerapkan prinsip-prinsip konsisten yang sesuai dengan kaidah-kaidah organisasi yang dikembangkan alam dalam sistem sosial akan membantu menyelaraskan kehidupan kita dengan keseimbangan yang dimiliki alam. Fritjof Capra dengan jelas menuliskan, “Bidang-bidang akademik kita telah diatur sedemikian rupa sehingga ilmu-ilmu alam akan membahas struktur-struktur material sementara ilmu-ilmu sosial membahas struktur-struktur sosial, yang pada intinya dipahami sebagai aturan-aturan perilaku. Di masa depan, pembagian ketat ini tidak dimungkinkan lagi, karena tantngan pokok abad sekarang, bagi ilmuan sosial, ilmuan alam, dan semua orang lainnya, adalah membangun komunitas yang berkelanjutan secara ekologis, yang direncanakan agar teknologi dan lembaga sosial mereka baik struktur material maupun sosial, tidak mengganggu kemampuan inheren alam untuk menopang kehidupan.”

Pada akhirnya alam memang diciptakan untuk dapat kita ambil sebagai pelajaran penting dalam berpedoman untuk hidup di dunia yang penuh kompleksitas dan chaos ini. Sebagai dasar yang sangat nyata untuk bertindak dan mengetahui, sesungguhnya alam adalah otoritas terbesar kita sebagai makhluk hidup. Pola harmonis yang ditunjukkan alam seharusnya selalu dapat menjadi sumber kebijaksanaan kita dalam merencanakan dan berpikir. Namun, identitas spesial yang hanya dimiliki manusia, yaitu ego, telah membuat berbagai proses yang terjadi sedikit melenceng dari hukum alam. Separah apapun itu, alam tetap memiliki mekanismenya sendiri untuk kembali menyeimbangkan yang melenceng, walau pada akhirnya tindakan manusia dalam memuaskan egonya bagai tiada akhir.

Sebagai mahasiswa, apalah artinya semua identitas tanpa mulai mengambil posisi sebagai seorang akademisi yang serius dan konsisten untuk menekuni ilmu-ilmu yang ada untuk memahami secara holistik apa yang dapat diterapkan dalam keadaan sosial yang kita miliki saat ini. Idealisme-idealisme yang tinggi mungkin penting untuk membantu kita dalam merumuskan cita-cita dasar bentuk-bentuk solusi ideal untuk masyarakat, namun tanpa alat dan dasar yang kuat, semua itu hanya akan menjadi sebuah badai sesaat. Betapa pintarnya seseorang, pada akhirnya yang berbunyi nyaring tetaplah sebuah indikasi tong kosong. Kebijaksanaan didapatkan dari menghadapi masalah dengan tenang dan menyeluruh, tidak reaktif, dan menganalisis seluruh permaslahan dengan pisau yang tajam dan otentik. Bijaksana adalah lebih dari sekedar memahami ilmu, ia lebih jauh mendasar ke dalam kesadaran.

Dengan kondisi yang ada di era informasi ini, dibutukan kesadaran lebih untuk dapat melihat permasalahan secara menyeluruh, mengingat teknologi bagaikan candu masyarakat, ia telah menjadi agama yang membutakan pikiran manusia akan identiasnya sebagi sosok makhluk autopoesis, yang membentuk harmoni bagai siklus abadi yin dan yang dalam kesatuan Tao. Apa yang dapat kita lakukan di zaman serba chaos ini? Tarik nafaslah yang dalam, pejamkan mata, rasakan keselarasan yang ada di alam sekitar kita, dan tumbuhkan kebijaksanaan dalam hati anda untuk dapat menjawabnya.

“Pelajarilah semesta ini. Jangan merasa kecewa jika dunia tidak mengenal anda, tetapi kecewalah jika anda tidak mengenal dunia”
-– Konfusius –

(PHX)

(*) lebih lengkapnya baca Ironi Informasi

Alt Text

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora