Inilah Musyawarah!
- 6 minsJudul : 12 Angry Men
Sutradara : Sidney Lumet
Tanggal Rilis : 10 April 1957
Durasi : 96 menit
Genre : Kriminal, Drama
Pemeran : Henry Fonda, Lee J. Cobb, Martin Balsam
…
“It’s always difficult to keep personal prejudice out of a thing like this. And wherever you run into it, prejudice always obscures the truth. I don’t really know what the truth is. I don’t suppose anybody will ever really know. Nine of us now seem to feel that the defendant is innocent, but we’re just gambling on probabilities - we may be wrong. We may be trying to let a guilty man go free, I don’t know. Nobody really can. But we have a reasonable doubt, and that’s something that’s very valuable in our system. No jury can declare a man guilty unless it’s sure.” – Juri #8 –
Musyawarah bukanlah sekedar metode. Ia adalah bentuk perjuangan terhadap kebenaran secara kolektif. Terkadang memusyawarahkan sesuatu yang alot menjadi hal yang sangat dihindari hingga akhirnya cara-cara seperti pemungutan suara jauh lebih dianjurkan ketimbang mencapai satu kata sepakat. Memang, dari segi efektivitas, musyawarah bisa dikatakan sangat memakan waktu, namun dalam hal validasi keputsan yang dicapai, tentu jauh lebih bisa diandalkan ketimbang kebenaran hasil pemungutan suara. Hal ini lah yang ditunjukkan dengan jelas pada film karya Sidney Lumet berjudul 12 Angry Men.
Mungkin mayoritas orang awam pada masa kini akan bosan dan bahkan tertidur menonton film klasik keluaran 1957 ini. Bagaimana tidak, selama kurang lebih 95 menit penonton hanya disajikan gambar hitam putih yang memperlihatkan sebuah diskusi 12 orang pada satu ruangan. Namun itu hanyalah penampakan sekilas, karena jika kita mengikuti arah diskusinya secara detail dari awal, diskusi tersebut akan menjadi tontonan menarik tersendiri untuk diikuti hingga akhir (kecuali jika benar-benar mengantuk). Dalam hal ini, walaupun hanya drama hitam putih dalam satu ruangan, Sidney Lumet telah berusaha membuat agar alur dan adegan yang diberikan sedinamis mungkin agar tetap bisa menjaga perhatian yang menonton. Tentunya film seperti ini memiliki naskah bertumpuk dan membutuhkan banyak improvisasi yang baik dari pemerannya. Akan tetapi, terlepas dari semua unsur ekstrinsik dari film ini, ide dan konten yang disajikan bisa dikatakan sangat luar biasa. Ya, sederhana namun luar biasa.
12 Angry Men secara umum hanya menceritakan bagaimana 12 juri hukum berdiskusi dan bermusyawarah untuk menentukan apakah seorang anak berumur 18 tahun benar-benar bersalah dalam tuduhan pembunuhan pada ayahnya sendiri. Pada awalnya, dari 12 juri, semua kecuali satu orang terlihat yakin bahwa anak tersebut bersalah dalam pembunuhan itu. Namun karena mereka harus satu suara, keraguan dari juri ke-8 (Henry Fonda) membuat mereka mau tidak mau membicarakan itu lebih lanjut hingga mencapai kesepakatan. Memang sesungguhnya walaupun pilihan yang tersedia buat mereka adalah bersalah atau tidak bersalah, namun ketika ada keraguan yang cukup rasional, mereka harus menyatakan tidak bersalah. Menariknya, sepanjang diskusi, dengan berbagai argumen yang dibahas dari beragam sudut, satu per satu juri yang lain mulai menunjukkan keraguannya juga terhadap tuduhan terkait. Hingga akhirnya, keseluruhan 12 juri mencapai kata sepakat bahwa anak tertuduh tidak bersalah.
Apa yang menarik dari film ini adalah bagaimana satu pendapat bisa mengubah semua keputusan bila dilakukan cara musyawarah, hal yang tidak akan bisa terjadi dalam pengambilan keputusan melalui pemungutan suara alias suara mayoritas. Juri ke-8 hanya menganggap semua kemungkinan lain masih ada walaupun sepanjang sidang sebelumnya telah cukup terpapar dengan jelas beragam saksi dan bukti. Tentu dalam hal ini keraguan memang sangatlah penting mengingat nyawa seseorang sangat bergantung di sini. Terkadang aku merasa memang untuk kasus-kasus seperti hukuman mati kita tidak boleh bermain-main ataupun seenaknya. Apa hak kita sebagai manusia yang bisa salah untuk mencabut nyawa seseorang sedangkan kita tidak tahu apa yang telah dilalui orang tersebut. Seperti apa yang menjadi argumen awal pada kasus film ini, ketika seorang anak tumbuh dan terdidik secara kasar dan lingkungan yang tidak baik, apakah lantas menjadi salah dia apabila psikologi dan karakternya terbentuk kasar juga? Hal ini menyangkut seberapa sadar sesorang dengan tindakannya sendiri, karena pada akhirnya semua kehendak tidak ada yang murni bebas, pastilah ditentukan oleh pola pikirnya yang ditentukan oleh pengalamannya selama hidup. Inilah kenapa hukuman terbaik untuk para penjahat adalah rehabilitasi karena itu cara paling manusiawi untuk menghargai tiap kehidupan.
Selain menyiratkan bahwa kita tidak boleh mudah menghakimi seseorang meski dengan cara paling formal sekalipun, film ini juga menyiratkan betapa pentingnya musyawarah sebagai pencarian keputusan paling baik dan rasional. Tentu bila langsung memakai pemungutan suara sebagai cara pengambilan keputusan, dengan mudah anak tertuduh dianggap bersalah. Memang kekurangan dari demokrasi langsung yang berbasis pemungutan suara terlihat jelas di sini, bagaimana kebenaran ditentukan oleh suara mayoritas, terlepas dari kebenaran atau kebaikannya seperti apa. Suara minoritas bukanlah suara yang sekedar perlu “diakomodasi” namun tidak punya peran dalam pengambilan keputusan, itu lah mengapa musyawarah menjadi cara paling ideal dalam pengambilan keputusan. Namun dapat kita lihat sendiri dalam 12 Angry Men bagaimana betapa sulitnya menyatukan kepala orang banyak apalagi dengan latar belakang yang berbeda-beda. Mungkin karena itulah penokohan yang dirancang di film ini dibuat seberagam mungkin, yang mana kedua-belas juri memiliki karakter yang berbeda-beda, agar dapat memperlihatkan secara ideal bagaimana sulitnya menyatukan persepsi dan pendapat. Bisa dibayangkan saja, 12 orang berdiskusi saja bisa menjadi panjang, apalagi bila tatarannya puluhan atau bahkan ratusan orang, entah berapa lama musyawarah yang harus dilakukan. Di sinilah terlihat kelebihan utama dari pemungutan suara: efektivitas yang sangat tinggi.
Film 12 Angry Men memang salah satu film yang cukup unik bagiku. Tidak ada satupun tokoh di dalamnya yang memiliki “nama”, mereka hanya diketahui sebagai juri kesatu hingga juri kedua-belas. Selain itu, merancang pembicaraan sepanjang film tentunya bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, apalagi bagimana pengambilan gambar yang baik agar diskusi-diskusi di dalamnya tidak menjadi suatu hal yang monoton. Dari segi konten pun tiada duanya, sederhana tapi sangatlah menarik. Memang jelas bahwa film yang baik tidaklah harus film dengan efek video yang memukau, atau film dengan ketegangan yang bisa membuat jantung bedegup kencang, atau film dengan drama yang mengharukan. 12 Angry Men telah membuktikan diri menjadi film yang baik hanya dengan sebuah diskusi oleh 12 orang pada satu ruangan. Wajar bila akhirnya Sidney Lumnet memenangkan sekitar 10 penghargaan atas namanya untuk film ini.
Dengan semua itu, mungkin dirasa kita memang perlu membuka mata mengenai ketertarikan kita pada film-film. Janganlah terintimidasi hanya karena ia berwarna hitam-putih atau kesederhanaan yang terlihat, mulailah konfrontasi ketertutupan kita pada film-film yang “dirasa” membosankan dan cobalah buka diri pada pembelajaran yang bisa diambil. Hal yang ku dapat dari film ini pun sederhana. Ya bisa saja banyak yang mengatakan untuk berhati-hati dengan keraguan, tapi tontonlah 12 Angry Men dan lihatlah bahwa keraguan bukanlah hal yang pantas untuk diabaikan!
“Maybe. It’s also possible for a lawyer to be just plain stupid, isn’t it? I mean it’s possible.” – Juri #8 –
(PHX)