Dear Zeus

- 9 mins

Sekali lagi tulisan mengalir tanpa notifikasi sama sekali, bagaikan air yang selalu mencari tempat terendah, pikiran juga sesungguhnya selalu mencari tempat tuangan, daripada membusuk dalam kompleksitas kesadaran yang tak berujung. Kali ini muncul hanya karena seorang kawan yang tetiba memintaku membaca tulisannya di sebuah dimensi bernama facebook. Walau agak sedikit letih malam itu, di dalam bilik kecil bernama sekretariat Majalah Ganesha, yang kala itu sudah dilingkupi sunyi akibat hari libur yang menidurkan sunken court, ku buka kotak berpendar pipih yang selama ini menjadi satu-satunya teknologi yang ku maksimalkan, dan ku baca sejenak.

“Kemahasiswaan Negeri Khayangan” adalah judulnya. Menarik. Namun ku biarkan yang ku baca menjadi memori berlalu malam itu, hingga pagi ini, ketika duduk santai ditemani si Tarjo yang merasa lemas dan tak enak badan, ide muncul entah dari mana, bagaikan Gaia, Tartarus, dan Eros yang muncul begitu saja dari Chaos, menciptakan dunia ini dalam teogoni yunani. Maka diselingi udara pagi yang segar, suasana kampus yang masih sepi, sisa kopi yang Tarjo tinggal untuk tidur, suara pelan kicauan burung dan dentuman besi berdentang dari pembangunan gedung, aku biarkan kembali kata-kata mengalir layaknya angin yang berhembus tanpa beban.


Dear Zeus, yang diagungkan

Sebenarnya terasa lancang bagiku untuk menulis surat untukmu. Siapalah aku yang hanya manusia biasa, sedang engkau adalah raja semua dewa, sang penguasa Olimpus, yang dipuja-puja karena kemampuanmu mengalahkan para titan. Namun tak apa, jika kau dewa, maka ku mohon dengarkanlah aku, yang memiliki teman-teman yang selalu gelisah tentang geliat para dewa, yang terkadang seenaknya, tanpa memikirkan nasib manusia yang memujanya. Sebenarnya surat ini ku tujukan untuk seluruh kaummu yang merasa dewa, agar tak lagi merasa kuasa, di tengah kondisi dunia yang menderita.

Ah ya, kau raja Olimpus bukan? Kerajaan para dewa, bagaikan khayangan dalam mitologi jawa, yang terkadang berhasil dimasuki manusia yang memiliki kemampuan lebih, atau yang tak sengaja lahir dari hubungan kalian dengan manusia biasa. Mereka yang kami kenal dengan demi-god, Maka beruntunglah manusia-manusia itu, yang terseleksi dari sekian juta manusia lainnya, untuk dapat menginjakkan kaki di olimpus, hidup dan belajar bersama para dewa. Anggaplah aku pun termasuk dari manusia-manusia itu, maka dapat ku rasakan olimpus memang menawan. Betapa tinggi tempat ini. Alangkah indahnya jika semua manusia bisa berada di dalamnya, yang selama ini hanya bisa mendongak pasrah, berharap satu atau dua dari kalian turun untuk membantu mereka. Namun timbul pertanyaan di hati, apa yang selama ini kalian lakukan?

Aku tahu engkau dulu begitu hebat Zeus, dengan kekuatanmu bersama dewa-dewa lain, dulu kau selamatkan manusia dari kekejaman Kronos dan para Titannya, atau bagaimana berkali-kali kalian bimbing Herakles, Perseus, Teseus, Jason, Odiseus, Akhiles, dan banyak pahlawan lainnya yang membantu banyak manusia jelata di bumi. Begitu hebat. Aku sebenarnya sama sekali tak meragukan kehebatanmu. Namun mengingat masih banyak manusia yang sengsara di bawahmu, aku pun bertanya, apa yang selama ini kalian lakukan?


Aku berhenti sejenak. Kampus sudah mulai ramai, orang-orang berlalu lalang di depanku yang masih duduk santai di meja besi yang masih dingin di lorong kecil Sunken Court. Aryo datang membawa sarapan dan bertanya ada siapa saja di Tiben. Ku jawab singkat sebelum aku baca ulang apa yang telah ku ketikkan. Ya, aku ketikkan. Aku teringat diskusiku dengan Tarjo mengenai begitu meleburnya teknologi pada kehidupan, bahkan kata “tulisan” menjadi bentuk virtual, mengaburkan makna menulis itu sendiri yang dengan perlahan menggerakkan pena dan menggoreskan tinta di selembar kertas. Ya, tulisan terkadang menjadi kehilangan maknanya. Maka demi menjaga keluhuran tindakan menulis, aku sebut semua yang ku ciptakan saat ini sebagai ketikan.

Ku baca lagi. Entah bisa dimengerti orang awam atau tidak. Tapi memang yang ku tuliskan hanyalah simbol. Aku tak peduli keberadaan olimpus, aku tak peduli dengan dewa-dewa, karena ini bukan mengenai mereka, tapi mengenai apa yang mereka simbolkan. Karena ketika ku bayangkan ITB sebagai sosok yang sangat melangit, yang muncul dalam kepalaku hanyalah Olimpus. Mungkin karena kecintaanku pada mitologi yunani, atau karena mitologi yunani memiliki banyak simbol tentang kehidupan, entah. Namun itu tak penting. Sangat sayang ku rasakan bila rasionalitas merusak nilai-nilai sastra, atau semiotika yang terkandung dalam suatu karya.


Sebenarnya terkadang aku merasa para manusia terlalu berlebihan dalam memandang kalian para dewa. Karena sesungguhnya yang kalian lakukan hanya berpesta bukan? Sibuk sendiri dengan semua keagungan kalian. Terlalu sombong untuk sekedar melirik ke bawah. Aku ingat Zeus, aku ingat. Aku ingat ketika Leto membunuh 12 anak Niobe karena merasa tidak suka dengan keberhasilannya menjadi ibu, atau ketika Atena mengubah Arakhne menjadi laba-laba karena keterampilannya menenun begitu indah untuk seorang manusia, atau ketika Sisifus kau hukum selamanya di Hades karena kecerdikannya membuat para dewa jengkel, atau ketika Promoteus kau ikat di Kaukasus bersama seekor elang untuk menyiksanya karena kelancangannnya menyelamatkan manusia, atau ketika Odiseus dipermainkan oleh Poseidon dalam perjalanannya pulang dari Troya, atau ketika Eropa diburu habis-habisan sampai ke negeri selatan karena kecemburuan Hera terhadapnya. Ah, masih banyak lagi kisah-kisah yang menjadi simbol kesewenangan kalian. Maka wahai para dewa, apa yang telah kalian lakukan?

Selain itu, ingatkah engkau pada perang Troya? Itu hanya salah satu contoh intervensi yang kau lakukan malah membuat konflik manusia semakin memburuk. Kalian para dewa begitu banyak memiliki kepentingan! Aku ingat saat itu Atena memihak pasukan Yunani sedangkan Apolo memihak Troya. Janganlah kalian campurkan semua kesombongan individu kalian dengan kepentingan orang banyak. Hanya karena Ares sangat menyukai pertumpahan darah, yang ia lakukan hanya memperpanjang perang itu. Lalu apa sebenarnya peran kalian sebagai dewa-dewa? Pantaskah ketika kalian yang dipuja dan dihormati karena kehebatan kalian, turun ke bumi bersama kepentingan pribadi, bukan karena kepentingan semuanya? Maka Zeus, izinkan aku terus bertanya, apa yang selama ini kalian lakukan?

Kalian sendiri selalu sibuk sendiri dengan urusan kalian. Apa yang kalian lakukan di Olimpus sana hanya berpesta, atau sekedar mengurusi hal-hal kecil. Aku ingat ketika Afrodite kau nikahkan dengan Hefestus, kalian berpesta habis-habisan sesama dewa, tidak membagi sedikit pun kesenangan kalian dengan manusia di bawahmu. Namun lihatlah! Pernikahan Afrodite dan Hefestus membuat cemburu Ares dan membuat konflik di antara kalian para dewa. Kalian selalu sibuk sendiri. Turun ke bumi hanya dengan idealisme-idealisme palsu, terkadang membantu terkadang menambah masalah. Maka Zeus, apa yang selama ini kalian lakukan?

Sadarlah wahai dewa olimpus, bahwa dewa-dewa tidak hanya kalian, masih banyak dewa lainnya yang melebur bersama manusia, seperti Aeolus sang dewa angin atau Okeanus sang dewa laut dan sungai. Mereka dewa-dewa punya kehebatan, namun tidak mengasingkan diri di atas langit seperti kalian di Olimpus. Entahlah Zeus, siapa aku yang berani mengkritikmu, aku hanya manusia yang sayangnya berhasil berada di antara kalian, terkadang juga lupa akan asalku yang juga manusia. Aku hanya ingin selalu bertanya, apa yang selama ini kalian lakukan?

Sudahlah Zeus, aku tak ingin berbanyak kata lagi. Salam untukmu, semoga kau dengar semua kata-kata kami, seperti kawanku yang juga menuliskan hal serupa. Ini bukan sekedar tentang Olimpus, atau Kayangan, ini tentang bagaimana kalian menjalankan peran kalian dengan baik, dan bersama-sama manusia membangun dunia ini. Lagipula sebenarnya aku mengerti, segala hal yang terjadi selama ini adalah kewajaran. Tak ada yang salah darimu, dari teman-temanmu, atau dari kami sendiri. Terlalu naif dan terlewat idealis bila kita memimpikan sebuah negeri utopia yang damai dan tenteram.

Demi-God yang muak dengan Olimpus,

Finiarel


Aku pernah mendengar seseorang berkata, bahwa karya sejati tercipta tanpa pikiran, tanpa kajian literatur, tanpa kumpulan teori yang memuakkan, tanpa mekanisme-mekanisme rumit yang menghambat kreativitas. Maka kali ini, aku tak memikirkan apa-apa, karena yang ada dalam jiwaku hanyalah sungai kata yang mengalir.

Matahari sudah tinggi, tanda Helios sudah mencapai setengah perjalanan. Terkadang betapa kata selalu punya banyak makna, aku cerminkan sendiri dalam ketikanku ini. Olimpus hanyalah abstraksi pikiranku, metafora dari tempatku berpijak saat ini, sebuah institut bernama ITB. Tapi makna tak bisa disempitkan hanya dalam satu interpretasi, ia meluas, ia dapat mengalami ekspansi seperti semesta sejak terjadinya big bang. Abstraksi ini bisa berarti apapun. Olimpus bukan sekedar metafora ITB, ia adalah simbol keangkuhan yang menjauh dari realita mayoritas, ia adalah simbol dominasi kekuatan, apapun kekuatannya, termasuk pengetahuan, ia juga simbol dari kesenjangan antara yang memiliki dan yang tidak memiliki.

Dan yang paling ku pahami, kisah dewa-dewa adalah simbol keharusan adanya ketidakteraturan.

Aku amati sekitar. Di depanku sudah ada Kukuh yang membaca dengan serius buku “Pohon Filsafat”, yang sesekali menyeletuk betapa mengagumkannya yunani dalam menginisiasi logika. Ya, yunani memang mengagumkan, termasuk mitologinya. Namun terlepas dari itu, terlintas satu lagu dalam kepalaku, yang ku coba nikmati sejenak, sebelum berencana pulang untuk shalat Jum’at. Satu lagi yang ku agungkan dari seorang maestro Ebiet G. Ade, sebuah lagu yang membuatku merinding, berjudul “Nyanyian Getir Tanah Air”.

Seringkali aku terjaga terusik dari tidurku
Sepertinya kudengar suara jeritan yang menyayat
Mungkin hanya mimpi yang tak punya makna
atau ini isyarat agar aku mulai bicara
Seringkali aku mencoba membenamkan kepalaku
Bersembunyi dari hiruk pikuk suara yang memilukan
Mungkin aku memang bodoh atau tak peduli
Percaya kegetiran tak selalu berbuah duka
Kusaksikan tangan kotor mulai mencengkeram
Tak ada siapa pun yang dapat mencegah
Orang-orang pandai hanya diam menonton
atau bahkan hanya saling menuding
Mulai kehilangan hasrat kemanusiaan,
mulai kehilangan akal kebersamaan,
mulai kehilangan rasa saling memiliki
Para pemimpin pun tak ada yang peduli

Ah, negeri ini. Kepalaku selalu membentur tembok-tembok kaku realita ketika mencoba bertanya. Tak perlu jauh-jauh memikirkan negeri, eksistensi bernama kemahasiswaan yang ku jalani saat ini terkadang bagaikan sebuah deret tak konvergen, yang tak akan pernah menuju suatu titik pasti dalam garis waktu. Maka kutinggalkan rasionalitas, dan ku coba bermain imajinasi. Ya, anggaplah negeri ini adalah Yunani Kuno, dengan kota-kota yang memilki akropolis masing-masing yang indah, dewa-dewa yang selalu sibuk sendiri, konflik di antara manusia yang disertai tragedi epik, dan beberapa pahlawan yang berhasil membela kebaikan.

Aku teringat dalam salah satu bookletnya Tarjo tertulis, “Alam semesta terdiri atas kisah, bukan atom,” kata Muriel Rukeyser. Maka aku bayangkan, bahwa sebenarnya kata-kata adalah partikel elementer yang sesungguhnya, yang secara sistematis menyusun semesta dalam keindahan makna, yang bisa dinikmati dalam sebuah alunan sastra bernama takdir. Oleh karena itu pula, Islam meminta kita pertama kali dengan perintah Iqra’! Karena semesta adalah bacaan, sebuah roman, novel, cerita, dongeng.

Alangkah wajarnya ketika ku lihat begitu banyak masalah yang ada di dunia ini. Ya, kini ku mengerti bahwa itu hanya bagian dari kisah, bukan sekedar sebuah negeri dongeng yang serba berakhir baik, bahkan negeri dongeng sendiri pun selalu memiliki konflik. Aku membayangkan bila segalanya sudah ada dalam kedamaian, keidealan, keindahan, maka manusia akan kehilangan makna hidupnya. Maka pantaskah bila aku berharap banyak dari kemahasiswaan, atau mungkin negeri ini? Mungkin tidak, mungkin lebih baik bila menganggap semua ini adalah sebuah kewajaran, sebuah kisah yang hanya butuh dinikmati, bukan ketidakwajaran yang membuat pikiran tertekan.

Bila semesta adalah cerita, demikian pula kemahasiswaan.

(PHX)

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora