Dear Thanatos
- 14 minsEntah dengan apa perlu ku awali tulisan ini. Semuanya hanya timbul dari kehendak tanpa apa-apa. Inilah hidup yang ingin berusaha ku hidupi, yang dengannya aku mencoba mengungkapkan yang menjadi negasi terhadapnya, kematian. Ini mungkin yang terakhir dari serial Surat untuk Dewa. Karena semua representasi dasar semesta ini telah ku rangkai, apa lagi? Maka siapapun yang (mau) membaca ini semua, nikmatilah.
Dear Thanatos, perwujudan tanpa wujud
Sebuah dialog dalam paradoks aku lakukan untukmu. Karena aku hanyalah eksistensi hidup yang berusaha berbicara tentang kematian. Siapa aku? Aku tak tahu apa-apa mengenai apa yang belum ku temui. Emang siapa yang bisa bercerita ketika telah menemui kematian? Sungguh ego manusia terkadang bisa melampaui segalanya, termasuk melamapuimu.
Kenapa aku begitu berani? Entah, karena hanya dialog yang bisa mengungkap segalanya. Tidak juga, karena terkadang dialog terbatasi oleh bahasa, sedangkan semesta ini begitu tak terdefinisi. Kata-kata belum tentu sanggup merengkuhnya dalam makna. Namun tak apa, ini hanyalah salah satu usaha, walau terkesan sia-sia, sebagai implikasi nyata, dari makhluk yang bisa bertanya. Maafkan aku oh Thanatos, karena kelancanganku ini. Seperti halnya bangsa Yunani dahulu, yang berusaha mengungkap semesta dengan berbagai ekspresi, berbagai prosa dan puisi, syair penuh arti, bahkan untuk kematian sendiri.
Lalu apa yang ingin ku katakan pada kematian? Kau adalah simbol sesuatu yang tak bisa ku ungkapkan wahai thanatos agung. Kau berbeda dengan eros, atau gaia, yang merupakan eksistensi yang masih bisa berwujud walau sebatas esensi. Sedangkan engkau? Kematian adalah kondisi yang kompleks. Kau bagaikan hal yang ada sekaligus tiada. Kematian adalah satu-satunya hal paling wajar yang bisa terjadi dalam kehidupan, namun ia lah ibu dari konflik emosi dalam dunia manusia. Namun apakah sebenarnya kematian itu ada? Ataukah itu hanyalah persepsi yang tercipta dalam kesadaran diri kami sebagai makhluk yang hidup?
Banyak yang berusaha menghadapimu dengan percaya diri. Banyak pula yang berusaha menantangmu dengan berani. Namun, apakah engkau memang sosok yang harus dilawan? Bukankah engkau adalah kewajaran paling nyata dalam kehidupan? Risalah dalam berbagai belahan dunia selalu bercerita tentang manusia dan kematian. Aku teringat pada Sisifus yang mencurangi kematian dengan menipumu ketika berusaha menjemputnya ke Hades. Aku teringat pula pada Orpheus yang dengan berani membawa keluar Euridice dari Hades dengan membuat terlena sang Charon dengan suaranya yang merdu. Atau mungkin yang tidak terlalu jauh, mengenai Nicolas Flamel yang dikatakan berhasil menciptakan ramuan keabadian? Ah, sebenarnya tidak hanya Flamel, berbagai peradaban di dunia memiliki mitos mengenai ramuan yang bisa mencegah kematian, entah disebut Philosopher’s stone, atau Elixir of life, atau Nectar of Immortality. Manusia selalu dipenuhi kisah mengenai perlawanan terhadap kematian! Ini membuatku gelisah wahai Pencabut Nyawa, ada apa dengan kematian?
Kematian secara ironis selalu membuat manusia tersiksa dengan ide mengenainya. Manusia tahu kedatanganmu tak bisa dihindari, namun kami tetap berusaha menghindari, tidak mampu menerima dan menjemputmu dengan sepenuh hati. Bukankah menjadi bagian dari kewajaran adalah suatu hal yang tidak perlu ditakuti? Namun herannya, tak ada yang bisa mempermainkan emosi manusia sehebat dirimu. Apa yang menyebabkan ini semua wahai Thanatos? Seburuk itu kah kau untuk ditakuti? Apakah memang kematian itu sendiri yang ditakuti, atau sesungguhnya manusia menakuti hal lain?
Membahas dirimu akan selalu merujuk pada bagaimana kami memandang suatu eksistensi. Mungkin mati dapat dikatakan sebagai suatu titik ketika yang ada (eksistensi) bertranformasi menjadi tiada. Ketika tidak ada eksistensi, apa yang bisa disebut sebagai mati? Eksistensi seperti apakah yang dapat mengalami perubahan menjadi tiada? Entah kenapa aku tak dapat menemukannya wahai Thanatos. Ada dan tiada di semesta selalu berjumlah tetap. Yang Ada hanya mengubah wujudnya menjadi bentuk lain, namun ia akan selalu ada. Ketika seseorang mengalami kematian, apa yang menjadi tiada? Dirinya kah? Bila kita membahas eksistensi fisik, bukankah eksistensi “diri”nya hanya bertransformasi menjadi unsur hara di tanah? Bila demikian, konsep kematian bisa runtuh dalam maknanya sendiri karena kita tidak bisa bertanya apa yang bisa disebut mati. Segala sesuatu di alam selalu berada dalam siklus tanpa henti, siklus yang abadi. Tidak ada titik ketika eksistensi itu berubah menjadi tiada.
Kau mungkin tertawa mendengarnya. Karena jelas bukan wujud fisik yang kau ambil ketika seseorang disebut mati. Maka tentu ini berkaitan dengan eksistensi yang melampaui materi. Tapi apakah ada eksistensi yang demikian? Hal ini akan masuk pada gagasan yang dikenal dengan jiwa, sesuatu yang lepas dari materi fisik. Ya, mungkin itu lah eksistensi yang mengalami kematian. Tapi apa itu jiwa? Secara abstrak dapat dikatakan bahwa jiwa adalah “sesuatu” yang berada di balikmateri, yang menghidupi materi. Jiwa adalah yang menghidupi, kata beberapa orang. Artinya jiwa yang menjadi indikasi seseorang hidup atau tidak. Jika demikian, mungkin aku terlalu jauh, karena tahu apa aku tentang hidup? Kenapa aku harus bertanya tentang kematian jika kehidupan sendiri bisa menimbulkan banyak interpretasi? Tidakkah arti kematian sesederhana ketiadaan hidup?
Maka wahai Thanatos, apa itu hidup? Bagaimana sesuatu itu disebut dengan hidup? Apakah ia hanya terbatas dengan apa yang kita kenal dengan jiwa? Apakah hanya manusia yang bisa disebut hidup? Begitu banyak teori dan pendapat tentang hidup, tapi salah satu yang paling ku ingat adalah bahwa suatu sistem dikatakan hidup ketika ia bersifat autopoetik, atau menghasilkan diri sendiri, dengan kata lain, sistem hidup adalah sistem yang selalu mengalami perkembangan melalui proses siklik dalam dirinya sendiri. Tidakkah kau lihat,bagaimana sel berkembang dengan mengalami perubahan siklik terus menerus melalui aliran energi dan materi melalui membrannya, atau bagaimana manusia berkembang dengan mengalami perubahan siklik terus menerus melalui aliran informasi melalui otak dan sistem sarafnya?
Proses autopoetik ini akan menghasilkan kesadaran dalam level berbeda-beda, mulai dari yang hanya merespon impiuls dengan reaksi-reaksi terbatas, seperti bakteri tertentu yang selalu bergerak mendekati sinar matahari, hingga yang merespon impuls dengan pengolahan informasi secara rasional untuk menciptakan pilihan-pilihan, seperti halnya manusia. Kesadaran tingkat tinggi inilah yang dalam kerangka persepsional kita pahami sebagai kehendak, yang secara spiritual disebut dengan jiwa. Itulah konsep luas mengenai kehidupan! Karena dengan konsep demikian, alam adalah sebuah sistem yang hidup, bumi ini hidup, semesta ini hidup. Kesadaran hanyalah konsekuensi logis dari adanya kehidupan. Artinya sesungguhnya hampir segala sesuatu di semesta ini memiliki kesadaran, walau dengan tingkatan yang berbeda-beda. Jika demikian, dapatkah kita definisikan bahwa kematian terjadi ketika proses autopoetik ini berhenti, atau dengan kata lain mengalami kehilangan kesadaran?
O Thanatos, tidakkah itu menandakan bahwa begitu banyak manusia yang mati dalam hidup? Bagaimana orang yang secara fisik masih berproses namun aliran infomasi dalam pikirannya mati? Apakah orang gila itu hidup? Kesadaran dan kehendak mencipta kehidupan. Maka bila dua hal itu tak ada, apa yang bisa dikatakan hidup selain kumpulan zat kimiawi yang punya level kesadaran lebih rendah? Hal ini begitu ironis. Kesadaran akan kehidupan seharusnya tidak membuat orang membenci kematian, karena apa yang perlu ditakutkan dari kematian bila kematian itu sendiri proses yang tidak bisa kita sadari? Apakah kita sadar ketika kita mati? Maka wahai kematian, apa yang kau punya sehingga kau tetap saja begitu dihindari?
Thanatos, bukankah mati ada karena hidup ada? Hidup dan mati adalah satu paket, satu kesatuan, satu tubuh. Mereka adalah satu rangkaian tak terpisahkan. Tapi bisakah kita balik, bahwa hidup ada karena mati ada? Artinya mati dan hidup adalah suatu osilasi harmonik yang saling meniadakan sekaligus saing menyempurnakan. Lao tzi menyebutnya sebagai yin dan yang, dua komponen yang membentuk satu, sebuah Tao, sebuah keseluruhan, yang tak terdefinisi. Tak perlu lagi kita bertanya apakah ada hidup sesudah mati, karena mati dan hidup selalu menyertai kita! Dalam proses autopoetik yang menjadi ciri utama sistem hidup, sesungguhnya destruksi dan konstruksi selalu terjadi dalam siklus yang tak pernah berhenti, namun ia bergerak sedemikian rupa sehingga keseluruhan sistem selalu berkembang.
Tidakkah kau tahu, Thanatos, bahwa sel dalam tubuh manusia hidup dan mati secara periodik? Keseimbangan antara mati dan hidup menciptakan resultan keadaan sistem yang stabil. Demikian juga manusia, arus informasi yang melewati sistem kognisi manusia selalu mengalami proses dekonstruksi sekaligus rekonstruksi yang tak terasa karena terjadi terus menerus. Siapa kita akan selalu diperbarui tiap detiknya. Tidak ada diri yang tetap, yang ada hanyalah kelahiran baru terus menerus. Tidak ada hidup yang tetap berlanjut tanpa diiringi rangkaian kematian kecil.
Lebih lagi, lihatlah alam ini, setiap sistem hidup selalu merupakan subsistem dari sistem hidup yang lebih besar. Sel bagian dari jaringan, jaringan bagian dari organisme, organisme bagian dari ekosistem, ekosistem bagian dari planet, planet bagian dari semesta. Maka kematian satu subsistem hanyalah siklus keberlanjutan dalam sistem yang lebih besar. Lihatlah aliran hidup dan matinya sel menciptakan keberlanjutan kehidupan organisme, maka matinya manusia hanyalah bagian dari keberlanjutan kehidupan ekosistem dan planet ini. Jika seperti apa yang dikatakan diajarkan Tao, ketika kita sudah melebur diri dengan aliran alam, tiada diri yang perlu diakui, kesadaran kita akan menyatu dengan kesadaran alam dan dengannya mati dan hidup tidak lagi memiliki makna selain siklus yang abadi. Engkau hanya menjadi bayang-bayang palsu.
Namun apakah itu cukup Thanatos? Tentu saja tidak. Ego manusia terlalu besar untuk bisa dilebur dengan kesadaran tingkat tinggi mengenai kesatuan semesta, entah itu dalam wujud Tuhan atau alam, bergantung kepercayaan. Karena tetap saja kematian menjadi suatu gagasan yang sangat menguasai pikiran manusia. Lihatlah betapa orang-orang, dulu ataupun sekarang, di tempatku berada ataupun di belahan dunia yang lain, begitu memandang kematian sebagai suatu sosok yang misterius, menghantui manusia dalam siksaan ketidakpastian. Izinkan aku mengutip salah satu hymne kaum Orphic yang mengandung rangkaian emosi tak terungkap terhadap kematian :
…
“To Thanatos, Fumigation from Manna.
Hear me, O Death, whose empire unconfin’d
extends to mortal tribes of ev’ry kind.
On thee, the portion of our time depends,
whose absence lengthens life, whose presence ends.
Thy sleep perpetual bursts the vivid folds
by which the soul, attracting body holds :
common to all, of ev’ry sex and age,
for nought escapes thy all-destructive rage.
Not youth itself thy clemency can gain,
vigorous and strong, by thee untimely slain.
In thee the end of nature’s works is known,
in thee all judgment is absolved alone.
No suppliant arts thy dreadful rage control,
no vows revoke the purpose of thy soul.
O blessed power, regard my ardent prayer,
and human life to age abundant spare.”
…
Betapa kematian menggambarkan suatu kuasa tanpa tandingan! Tapi tidakkah manusia sadar, bahwa engkau sediri Thanatos, tunduk pada Moirae? Ya, 3 dewi saudaramu itu. Kematian hanyalah bagian dari takdir yang dipintal oleh mereka, sebuah skenario agung raksasa yang memainkan semuanya, yang menciptakan ilusi dalam kehendak. Bukankah kau hanya menjalankan tugas untuk menjemput mereka yang sudah datang waktunya? Tapi kenapa engkau menjadi sosok yang lebih ditakuti ketimbang takdir sendiri? Ada apa dengan kematian sehingga persepsi manusia terhadapnya bisa begitu kuat?
Mungkinkah stigma buruk terhadap kematian muncul akibat dari kehidupan itu sendiri? Aku teringat ajaran Buddha mengatakan bahwa sumber dari penderitaan adalah keinginan atau hasrat diri. Sedangkan keinginan sendiri muncul dari gagasan mengenai hal yang diinginkan tersebut. Bukankah manusia ingin beli Handphone ketika gagasan mengenai kemudahan memakai handphone tersebut muncul dalam pikiran? Di sinilah proses sesungguhnya dari kesadaran, bahwa siklus siklik informasi menciptakan kesadaran baru setiap detiknya. Kesadaran mengenai apa yang ada dalam hidup menciptakan keinginan untuk terus memilikinya. Hal ini menciptkan keinginan atau hasrat terhadap hidup yang begitu tinggi. Ketika keinginan ini mengalami keterbatasan, muncullah penderitaan, yang terwujud dalam ketakutan. Padahal, apa lagi hal yang dapat membatasi keinginan terhadap hidup selain mati? Hasrat untuk hiduplah yang menciptakan konflik dalam menghadapi kematian.
Itulah ego. Tapi, apakah cuma itu? Apakah tidak ada hal lain yang lebih mendasari? Ah, tentu saja Thanatos, Cinta! Apa yang membuat seseorang begitu menderita ketika keinginanya terbatasi? Apalagi selain kekuatan sang Eros? Aku ingat ketika menulis surat kepada dewi kecil berpanah itu. Betapa dialah yang membuat seseorang dapat melakukan apapun demi yang dicintainya. Objek cinta adalah objek kehidupan, objek kepada apa seseorang menghamba dan menyerahkan diri. Ketika objek itu menjadi tiada, apa lagi yang tersisa selain derita? Maka itulah sumber dari hasrat kehidupan. Itulah sumber dari ketakutan akan kematian. Bukanlah kematian diri yang menjadi hantu, namun kematian yang lain, kematian objek kehidupan. Apa yang perlu ditakutkan dari kematian diri jika ketika diri mengalami kematian, tidak lagi ada kesadaran? Namun, jika objek kehidupan kami lah yang mengalami kematian, hal itu akan meninggalkan jejak dalam kesadaran, menimbulkan siksa dan derita.
Itulah jika cinta bersandar pada objek di luar diri! Jika cinta adalah kehidupan, maka dengan mencintai diri sepenuhnya, kami dapat menghidupi hidup kami sepenuhnya. Hidup tidak menjadi sekedar suatu proses fana yang menyiksa, namun menjadi suatu gagasan yang abadi. Dengan menyerahkan hidup pada hidup itu sendiri, maka diri akan terlepas dari pengaruh luar yang dengan demikian menemukan kebebasan.
Pembebasan diri inilah yang sering dikenal dalam ajaran timur sebagai pencerahan, moksha, kelahiran kedua. Suatu titik ketika manusia mencapai batas tertinggi penyerahan dirinya pada kehidupan, titik setelah mengalami proses destruksi diri lama untuk menghasilkan jati diri baru. Ini seperti yang sering diungkapkan dalam tradisi sufi, matilah sebelum mati. Artinya hasrat harus dapat dimatikan terlebih dahulu agar dapat membebaskan diri sepenuhnya, menjadi hidup seutuhnya. Sepertinya sama saja dengan kesadaran tingkat tinggi yang ku katakan sebelumnya Thanatos, hal seperti ini akan sangat sulit dicapai ego manusia. Namun minimal, dengan menghidupi hidup, engkau dapat kami jemput dengan suka cita. Tidak ada yang perlu ditakuti dari kematian karena kesadaran akan terputus dengan matinya hidup, hanya menyisakan warisan esensi dan gagasan mengenai diri, sebuah jejak untuk manusia yang lain.
Ah, ini pun membuatku bertanya, apakah aku telah hidup? Apakah aku telah menghidupi hidupku sepenuhnya sehingga bisa menyambut kedatanganmu dengan lapang dada? Entahlah, namun kapanpun kau datang, aku tidak punya hasrat untuk menolak atau menghindar. Berpusat pada kehidupan adalah yang terbaik bisa kami lakukan sebagai manusia. Apa lagi? Karena yang kami miliki memang hanya kehidupan. Engkau sendiri, Thanatos, ada karena kehidupan. Ya, engkau sendiri kehidupan. Maka seperti halnya suratku pada yang lain, aku persembahkan cuplikan lagu untukmu, lagu dari seorang kawan yang menyebut dirinya filsuf kehidupan :
…
“engkaulah warna yang aku lukis
engkaulah goresan garis yang kugambar
engkaulah kalimat yang kucatat
engkaulah nyanyian yang kusenandungkan
engkaulah puisi yang kudeklamasikan
engkaulah buku yang aku baca
engkaulah wanita yang ku puja
engkaulah agama yang aku taati
engkaulah negara yang aku patuhi
engkaulah politik yang aku simpulkan
engkaulah memori yang selalu kukenang
engkaulah tuhan tempatku berpulang
karena engkaulah kehidupan!”
…
Aku teringat pula pada apa yang pernah dikatakan Mark Twain: “Ketakutan terhadap mati datang dari ketakutan terhadap hidup. Seseorang yang hidup sepenuhnya akan siap untuk mati kapanpun.” Kelak, semua makna hidup itu akan terlihat sendirinya ketika kau datang menjemput. Maka makna apa yang bisa didapat dari hidup yang tidak terhidupi? Kematian hanya akan menjadi sia-sia. Bukankah kesimpulan memang selalu terletak di akhir? Dalam konteks agama ibrahimiyah pun, hanya dengan hidup yang dimaksimalkan dengan ibadah lah yang bisa merengkuh kematian kematian dengan tenang. Maka Thanatos,kau hanyalah titik yang perlu kami jemput dengan sepenuh kehidupan, wujud yang tidak perlu menghantui kami dalam pikiran, sosok yang harus kami pandang dengan kewajaran. Bahkan mungkin, kematian adalah kebahagiaan yang sesungguhnya, puncak dari kehidupan itu sendiri. Bagiku sendiri, bukankah kematian adalah pembebasan hidup yang sesungguhnya? Bukankah dengan kematian aku dapat segera melihat kebenaran yang selama ini hanya bisa ku raba-raba? Kematian juga adalah wujud kerinduan terhadap Tuhan bagi kaum montoheis. Maka apa yang perlu ditakuti dari kematian? Datanglah Thanatos, dengan menghidupi hidup, kami akan menyambutmu sebaik yang kami bisa.
Viva La Vida!
Yang berusaha hidup,
Finiarel
Demikianlah kehidupan. Terlepas dari agama apapun, tidak pernah ada yang salah dari usaha memaksimalkan hidup. Kematian memang penilai terbaik dari kehidupan, penyimpul segalanya. Jika ada yang sedang mencari makna hidup, ketahuilah bahwa pencarian itu hanya akan selesai ketika mati. Karena saat mati lah semua makna keluar dan terungkap.
“Tahun selanjutnya, bulan depan, lusa nanti, esok hari, sejam lagi, 3 menit kemudian, atau detik yang mampir sesaat, aku tak tahu kapan maut menjemputku. Aku ingin pergi menjemput kematian karena aku ingin hidup dengan kesadaran, karena saat aku mati nanti aku tak mau menyadari bahwa aku belum hidup. Sehingga, aku memilih menjadi tolol yang terus mencoba tanpa putus asa daripada menjadi jenius mendengkur yang tak pernah menciptakan apa-apa”
(PHX)