Dear Rayya 9 (Sederhana)

- 6 mins

Kotak surat itu kosong seperti biasa, hanya berusaha terhibur dengan sedikit jaring kompleks laba-laba yang menghiasai kegelapan dan kehampaan di dalamnya. Ya, jaring-jaring, mengingatkanku akan semesta. Berjalan balik menuju ke tempat dimana ribuan mimpiku terekam, langit masih terlihat terlalu cerah untuk negeri yang mendung. Walau Sang Helios telah mengendarai keretanya cukup tinggi, hening masih terasa, bagaikan simfoni sunyi dalam erangan hampa ketidaktahuan, yang akhirnya pecah oleh suara derik pintu kamar yang ku tutup. Remasan-remasan kertas bukti keresahan hati masih menghiasi. Ku ambil salah satu yang masih terlihat baru, aku tuliskan ulang dan coba aku benarkan…


Bandung, 31 Desember 2012

Dear Rayya, in a perfect void

Ha! Aku benci dunia ini! Aku benci diriku! Semua busuk! Semua ilusif!

Maaf.

Maaf Ray, aku sedang muak, aku muak akan semua kebohongan ini. Seandainya aku bisa, aku lebih memutuskan untuk tidak terlahir di dongeng kejam ini Ray. Semua ini lucu, ya, lelucon, tapi sebuah lelucon yang mengerikan, lelucon yang menyedihkan. Aku tak punya pilihan untuk ikut tertawa bersama dunia ini kawan, menertawakan semua keanehan, tawa palsu, tawa dalam kehampaan, hampa, menggema dalam tembok-tembok pertanyaan yang membentuk labirin tiada berujung. Cukup. Diam.

Tak kusangka aku menuliskan hal-hal di atas, pikiranku lagi kacau, terlalu banyak gejolak yang timbul dari rakusnya semua tanya yang lapar akan jawaban. Sebenarnya terkadang beberapa pertanyaan itu dapat ku jawab dengan logika sederhana, ya, untuk apa aku punya otak? Semua pertanyaan, dengan dasar premis yang cukup, dapat menghasilkan kesimpulan. Semua. Semua, kecuali Bagaimana. Pertanyaan tersulit yang bisa ku jawab adalah apapun yang dimulai kata ini. Dari kata inilah sebenarnya semua tindakan berasal, pertanyaan lain hanyalah dasar teori, sekedar konsep, tak lebih. Tapi terkadang semua mati ketika Bagaimana tidak dapat terjawab. Buntu.

Ya begitulah, banyak asumsi bisa aku pakai saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul selain Bagaimana. Kurasa jawabannya cuma satu kawan. Kita tidak akan tahu apabila kita tidak mencoba. Ya, mencoba. Sekedar untuk mengetahui. Sekedar memastikan. Aku jadi ingat kata-kata seorang guru kita mengenai hal ini ray, “Yang mutlak benar di semesta ini hanyalah hukum Allah. Yang lain adalah kesepakatan.” Ya, semua hal di dunia ini pada dasarnya benar, apabila belum ada yang mengklaim salah. Saat aku berkata bahwa bumi itu datar dan tidak ada yang mengklaim itu salah, ya bumi itu datar. Saat aku berkata bahwa cara terbaik melakukan membantu orang sakit adalah membunuhnya, ya aku benar, hingga ada yang mengklaim aku salah. Jadi begitulah kawan, kita hanya perlu mencoba, untuk mencari klaim relatif akan kebenaran. Di antara semua pertanyaan, mungkin hanya Bagaimana yang bisa memiliki ribuan jawaban. Ya, kita tidak akan tahu hingga kita mencoba. Apabila kita mencoba dan ternyata itu salah, ya baru itu salah.

Namun, semua itu hanya semakin mengaburkan makna kebenaran kawan. Inilah sumber kegelsiahanku, sumber kegelisahanmu. Apabila ada yang relatif, pasti ada yang mutlak. Ku harap prinsip itu tak menguap dalam pikiranmu kawan, ku harap itu tetap tertanam dalam dasar jiwamu. Aku benci ketika semuanya terbilang relatif, aku benci ketika semuanya mengandung kata “tergantung”. Jika memang begitu, pada siapa kita berpegang? Dogma agama (lagi)? Bah, aku muak dengan semua itu. Kepercayaan mungkin memang sepertinya menjadi satu-satunya tempat manusia bersandar kawan, tempat segala ketidakpastian dan kepalsuan menjadi terasa nyata dan ada. Apa tak ada yang merasa bahwa semua itu ilusi?

Kita memang tak pernah berkata bahwa semua itu salah, karena kita sendiri tidak punya dasar yang pasti, dasar yang masih kita cari untuk memandang dunia tanpa persepsi, untuk melihat semesta dengan kemurnian realita, lepas dari pikiran yang ilusif. Ya, mungkin bisa dibilang kita terperangkap akan pikiran kita sendiri, terjebak dengan ilusi berkepanjangan yang tak bisa atau mungkin hanya sekedar sulit, ditembus. Untuk memahami dan mengerti, seseorang haruslah bergantung pada dirinya sendiri, untuk mengolah dan “menemukan” sesuatu apapun sebagai hasil dari proses murni hati dan pikirannya. Hanya bayi yang memiliki keadaan ini… atau, detik pertama kau bangun tidur. Ya, keadaan tanpa paradigma, tanpa kacamata apapun yang menghalangi inderamu, keadaan dimana dunia adalah dunia. Sayangnya keadaan ini tidaklah mudah untuk dipertahankan, yang mana akan langsung terisi dan tersempitkan. Ah, manusia memang makhluk yang menyedihkan, terjebak oleh anugrah terbesarnya sendiri. Ironis. Ya, kekuatan pikiran terlalu besar untuk dipegang, ia benar-benar pedang bermata dua.

Bagi aku dan kau yang beragama islam, sebenarnya kebenaran itu ada di depan mata kawan, hal yang semua orang islam yakini (entah benar semua atau tidak). Ya, Al-Qur’an, sebuah kitab yang sebenarnya juga aku yakini mengandung semua kebenaran yang ku cari. Haha, entah kenapa aku merasa konyol ketika membicarakan agama denganmu ray, hal yang tidak pernah kita lakukan cukup lama. Tapi kawan, pernahkah kau merasa tahu dan mengerti adalah dua hal yang berbeda, dan mengerti dan merasakan berada pada di tingkat yang berbeda lagi? Kita bisa tahu dengan pengetahuan orang lain, tapi kita tak bisa menjadi bijaksana dengan kebijaksanaan orang lain. Aku ingat pernyataan ini dari seorang filusuf china. Ya, ini yang aku rasakan, ilmu agama diterima secara turun-temurun tanpa proses, kenapa? Karena kita menerimanya sejak kecil, saat dimana, seperti yang aku bilang tadi, semua indera kita belum tertutup persepsi atau kacamata apapun. Ini mungkin yang disebut dengan pendidikan dan itu adalah hal yang bagus. Tapi, tidakkah itu sama saja semua orang mengetahui Tuhan hanya dari orang tua mereka? Hanya dari guru-guru mereka? Ya, Tuhan adalah apa yang guru-guru dan orang tua ajarkan padaku sejak dulu. Tapi pada akhirnya pemahaman berada pada batasan informasi, bukan pengalaman pribadi. Sistem kompleks yang ada pada kehidupan manusia memerlihatkan bahwa manusia terbentuk dari apa yang dialami, bukan dari apa yang diketahui. Inti terpenting dari sebuah kepahaman ialah pengalaman langsung atas realitas tinggi dengan kesadaran penuh yang melampaui ranah pemikiran, indra, dan bahasa. Namun sayang, sedikit orang mampu melihat ketidaksesuaian ini.

Kau sendiri apabila membaca surat ini, visual dan interpretasi yang terbentuk bisa berbeda, contoh sederhana kebusukan persepsi. Dan aku yakin, tidak akan ada yang paham langsung selain telah merasakannya sendiri. Ya, banyak hal yang tak mungkin bisa hanya disampaikan dengan kata-kata, karena memang itu bukanlah satu-satunya bahasa. Seperti halnya dalam ilmu Antropologi, kita tidak mungkin bisa berpendapat apa itu suatu kelompok manusia sebelum kita sendiri berbaur bersama mereka, menjadi mereka. Ya, sekedar untuk mendobrak tembok persepsi, penjara status dan posisi. Orang lain tidak bisa melakukan semua itu untuk kita, bagaikan burung kakaktua, berbicara tapi tidak tahu arti kata-katanya. Ya, kepahaman lebih dari sekedar informasi, ia adalah peleburan kompleks dan sistematis antar semua indra dan pikiran manusia untuk membentuk kebijaksanaan intuitif yang berada di luar rasionalitas. Sekali lagi, sayang sedikit orang mampu melihat ketidaksesuaian ini.

Cukup banyak yang belum ku ketahui akan hidup, segalanya masih terlalu kompleks untuk seseorang yang belum lama terlahir ke dunia. Ya, perjalanan masih panjang ke depan. Entah berhasil atau tidak, paling tidak pencarian kita akan kebenaran telah memberi kita sedikit makna akan hidup. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan semua keanehan yang ku rasakan akan semesta. Hmm, berkali-kali memang terasa bahwa bahasa manusia penuh keterbatasan, paling tidak mekanika kuantum telah secara mutlak menyatakan bahwa realita tak bisa terlepas dari subjektivitas. Ya, cukup rasakan sendiri. Aku hanya berharap orang lain melakukan hal yang sama.

Dalam keadaan yang membingungkan,

Finiarel.


(PHX)

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora