Dear Rayya 8 (Akar Rumput)

- 8 mins

Tanpa perlu banyak tanda tanya, terkadang makna memang cukup terenkirpsi dalam rangkaian kata-kata berkunci bahasa.


Bandung, 10 November 2012

Dear Rayya, tiada henti.

Retoris. Formalitas. Hai ray, bagaimana kabarmu? Semoga kau sehat-sehat saja. Aku sendiri di sini cukup baik kok, menikmati dunia yang indah ini dengan penuh semangat dan harapan. … Ya, dunia yang indah dengan masa depannya yang cerah…

Ha ha, terkadang aku merasa formalitas itu busuk, ia menghilangkan kejujuran murni manusia. Apa ada yang benar-benar mengucapkan kebenaran saat berbicara secara retoris dalam kerangka kaku tradisi, upacara, tata krama, atau etika? Penipu. Ilusif. Menghancurkan keterbukaan, menciptakan tembok-tembok aneh yang dari luar terasa indah dan menyenangkan namun menghancurkan secara perlahan.

Ya, itulah manusia. Walaupun begitu, mungkin kurasa paling tidak dengan cara seperti itu kedamaian bisa tercipta, walau entah dari kebohongan atau kejujuran. Pada akhirnya berujung pada frase aneh (lagi), tanggung jawab. Mungkin secara ideal selalu berada dalam pihak yang baik, namun entah apa yang terjadi, keadaan semesta masa kini memaksa tanggung jawab hanya sekedar tipuan konyol moral dan sosial, selubung palsu kebenaran diri. Ah, tak perlu aku ulang masalah yang sama. Yang jelas, manusia berada dalam keadaan penuh bayang-bayang tanpa sedikit pun diberi kepastian. Kenapa? Karena sumber utama relativitas adalah manusia itu sendiri, atau secara sepesifik, pikirannya.

Manusia, berada pertentangan sengit antar rasa dan logika, berada dalam arus proses rumit penyerapan informasi integratif, berada dalam jebakan sarat jerat pertanyaan dan kebingungan sederhana akan makna keberadaan dirinya. Ya, sumber segala paradoks, anomali, relativitas, ambiguitas, kompleksitas, keanehan, dan ketidakpastian alam semesta. Ranah khusus yang berada pada jauh kurang dari seper-bilangan planck pangkat sepuluh dunia, atau mungkin jauh kurang lagi dari itu – yang apabila terhitung dianggap nol dari total semesta ini, ranah yang teralienasi dari dunia luar, terjebak, terkurung, terperangkap, ranah yang bergejolak tanpa makna, menciptakan simfoni dan pola kaku penuh keabstrakan. Dan ya, dia sumber kegelisahan dirinya sendiri.

Ray, aku manusia, kau manusia (mungkin), tapi apa sebenarnya kita? Melihat ribuan cabang ilmu tercipta dari satu objek yang sama, melihat kompleksitas yang tercipta dari masalah yang sama, manusia menjadi semacam bagian khusus semesta yang tak terdefinisikan. Pertanyaan siapa kita atau apakah kita sebenarnya akan menghasilkan banyak jawaban dari yang sederhana tapi bijaksana hingga yang penuh retorika seperti biasa. Lagipula, hal yang paling mudah untuk mendefiniskan sesuatu adalah dari apa yang dilakukannya. Tapi… ini jauh lebih aneh lagi, kenapa kita – manusia – melakukan segala sesuatu yang kita lakukan? Kenapa aku perlu menulis surat ini? Kenapa aku perlu berkata-kata tanpa entah tujuannya untuk apa? Ribuan kata kenapa akan tercipta untuk setiap tindakan. Sekedar mencoba mencari benang merah semua jawaban dari semua kenapa itu, hanya akan berujung pada kegilaan psikologis akibat penghancuran rasionalitas yang tak ada ujungnya. Toh, ribuan manusia dari berbagai pelosok dunia dalam berbagai masa selama ribuan tahun menanyakan hal yang sama. Yang kita lihat mungkin implementasinya. Namun ray, aku lihat sekali lagi, itulah kausa prima perbuatan sadar tiap orang, pertanyaan, di balik hasrat fisiologis dari tubuh. Ya tentu saja, untuk makan, tidur, dan semacamnya tak perlu kita pertanyakan lagi asal mulanya. Namun yang lain, semuanya hanya bentuk nyata dari perasaan kehilangan akan sesuatu, perasaan yang menimbulkan berbagai pertanyaan, merasa sebagai puzzle yang tak terselesaikan, merasa sebagai perangkat yang kehilangan salah satu bagiannya, merasa ada yang kurang namun tak mengerti itu apa. Pada akhirnya, pencarian akan pertanyaan-pertanyaan itu secara tidak sadar terimplementasikan dalam jutaan tindakan yang berbeda sebagai hasil dari proses kompleks peleburan informasi dengan indra dan hasrat fisiologis yang ada.

Dan sekarang, sumber dari segala ketidakpastian dapat kita tarik dari sejak dilahirkan di dunia, berbagai bentuk informasi satu-per-satu masuk ke dalam pikrian manusia melalui indra-indranya, dan dengan suatu proses yang abstrak dan rumit, tercampur aduk secara sistematis melalui bumbu-bumbu fisiologis dan logika. Ini bagaikan sebuah persamaan dengan (anggaplah) 5 variabel yang berbeda, merepresentasikan 5 indera yang ada, dengan nilai tiap variabel merentang jauh dengan probabilitas yang mendekati tak terhingga banyaknya. Disederhanakan, jika tiap detiknya manusia menyerap informasi dari 5 indera dengan tiap indra memiliki 100 kemungkinan informasi, maka manusia memiliki 5 pangkat 100 kemungkinan pemahaman dalam dirinya tiap detik. Tentu saja realita tidak akan sesimpel itu, variabel penglihatan saja, merupakan suatu fungsi sendiri yang bergantung pada variabel-variabel yang berebeda lagi, mulai dari warna, intensitas, dan lain-lain. Fungsi dari fungsi dari fungsi lagi, dengan banyaknya variabel yang ada, membuat suatu persamaan dengan kemungkinan nilainya tak terhingga.

Bentuk kompleks persamaan pembentukan manusia pada akhirnya berada dalam kerumitan dan keabstrakan penuh yang menjelaskan kenapa tidak mungkin ada manusia yang berkepribadian yang sama. Apalagi, manusia adalah yang terbentuk dari gabungan informasi tersebut sepanjang waktu, peleburan informasi ini semakin rumit lagi, karena variabel pada detik berikutnya akan bergantung pada nilai detik sebelumnya. Apabila ada yang mengatakan perbedaan manusia adalah takdir yang diberikan pada manusia sejak lahir, terkadang aku merasa itu hanyalah argumen-argumen naif untuk dijadikan pembenaran adanya kelemahan dan kelebihan tiap individu. Jikalaupun gen berpengaruh, dibandingkan dengan proses kompleks pembentukan diri manusia dengan variabel yang tak akan mampu dijelaskan dengan kata-kata, pengaruh tersebut tidak akan signifikan. Tiap manusia adalah SAMA saat lahir, kecuali yang cacat secara fisik.

Fyuh, aku tahu hal seperti itu tidak mungkin terjelaskan dengan mudah, butuh pemahaman abstrak intuitif untuk memahami keseluruhan proses secara holistik. Itulah kenapa manusia berada dalam ketidakpastian, informasi masuk dalam milyaran, atau triliunan, tidak, hampir tak terhingga kemungkinan untuk terolah dengan cara yang berbeda.

Hei ray, aku tidak yakin ada yang mengerti dengan penjelasanku apabila ada orang lain yang membacanya, yang paling ujung-ujungnya terperangkap penjara persepsi yang menghasilkan makna yang berbeda. Tapi sayangnya, bentuk karakter manusia di atas belum dimasukkan unsur fisiologis, reaksi-reaksi hormon, yang berujung pada perasaan. Secara siklus, karakter yang terbentuk akan menentukan bagaimana informasi berikutnya terproses dan terimplementasikan. Karakter yang telah mampu berproses ini pada suatu titik akan mampu menafsirkan informasi yang ada. Keganjilan saat menafsirkan informasi berikutnya inilah yang menghasilkan pertanyaan, yang beriktunya menghasilkan kegelishan-kegelisahan berupa perasaan merasa kekurangan.

Apabila satu manusia saja memiliki kerumitan yang tak terdefinisikan seperti itu, apalagi kumpulan manusia yang berinteraksi satu sama lain. Tak usah terjelaskan mendetail lagi, variabel-variabel baru secara pasti akan bermunculan dalam ruang yang terus bergejolak. Secara sederhana, itulah kenapa ilmu tentang manusia selalu hanya melihat fenomena dan pola. Variabel yang begitu abstrak dan rumit membuat manusia menjadi objek paling abstrak dan rumit pula di alam semesta. Terkadang mengingat manusia yang bila dibandingkan dengan total materi alam semesta sama saja dengan nol namun memiliki kerumitan yang sedemikian rumit – bahkan persamaan schrodinger (diferensial orde dua) 3 dimensi saja sudah cukup memambukkan –, manusia jadi semacam pusat semesta. Karena kecenderungan semesta ada untuk manusia lebih besar daripada manusia ada karena semesta.

Tentu saja masih banyak pertanyaan lainnya yang muncul dari makhluk yang satu ini, yang berujung pada pemahaman yang hanya dapat dipercaya dalam bentuk dogma agama ataupun kepercayaan metafisis. Pertanyaan bagaimana mungkin masih dapat ku jawab untuk saat ini, tapi pertanyaan kenapa, ah maaf terima kasih. Kenapa manusia ada? Kebetulan? Melihat kompleksitas macam tadi masih menganggap itu kebetulan? Ah ray, mungkin cukup sampai di sini saja pertanyaannya.

Informasi-informasi yang telah terolah tersimpan sedemikian rupa secara sistematis dan membentuk jaringan kompleks yang dinamis dalam sebuah proses yang sulit terjelaskan. Penelitian neurosains akhir-akhir ini mengungkapkan bahwa memori bukanlah sesuatu yang “disetor” seperti menyimpan file dalam suatu folder, namun memori tersimpan dalam proses yang berlangsung terus menerus dalam neuron-neuron otak secara dinamis membentuk kesatuan penuh kesadaran. Tentu saja kesadaran yang ada secara aktif hanya dapat memerhatikan satu proses belaka dalam siklus ingatan informasi ini, hingga timbullah istilah yang disebut alam bawah sadar. Suatu ranah integratif pemrosesan memori secara terus menerus dan sistematis. Hal seperti ini mungkin terlalu kompleks untuk dipahami secara fisiologis, namun secara psikologis, manusia memiliki alam tak terjangkau rasionalitas dalam dirinya sendiri. Asal tidak mikir yang mistis-mistis aja ray, lucu jika melihat beberapa manusia menghubungkannya ke suatu hal yang baik secara logika maupun intuisi absurd.

Kenyataan bahwa manusia memproses informasi berikutnya dari karakter yang terbentuk dari informasi sebelumnya membuat manusia menjadi sumber relativitas. Interpretasi manusia yang berbeda berdasar pengalamannya membuat dunia memang hanya tercipta dari pikiran, yang akhirnya menuntun realita terlihat dari sudut pandang yang tak pernah sama. Itulah kenapa realita hanyalah (bagaikan) ilusi, yang tidaklah mungkin lepas dari subjektivitas. Fisika kuantum telah menunjukkan sedemikian rupa bagaimana realita yang kita pahami semua bergantung pada pengamatan. Melihat dunia secara murni objektif adalah angan-angan masa kecil belaka. Tapi apakah itu berarti realita yang sesungguhnya mustahil untuk terlihat? Mungkin tidak, itulah yang selama ini kita cari bukan? Realita mutlak, sebuah kebenaran yang tidak terpalsukan oleh ilusi apapun. Ada atau tidak ada tidaklah menjadi masalah. Seperti yang ku bilang, harapan cukup atas dasar inisiasi atau proses. Apapun keadaan akhirnya aku tak peduli.

Formalitas sekali lagi, untuk sekedar memperindah. Cukup sekian dari saya ray, aku selalu menunggu balasanmu, semoga engkau tidak bosan menerima rangkaian kata-kata tiada henti ini.

Temanmu,

Finiarel


(PHX)

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora