Dear Rayya 7 (Mahanusia)

- 6 mins

Bandung, 1 September 2012

Dear Rayya, seperti biasa.

Sekali lagi ray, ku harap engkau benar-benar tidak merasa jenuh atas semua yang ku kirimkan padamu, sekedar untuk memuaskan sedikit keresahanku akan semua yang ku alami. Aku bahkan tak tahu apakah semua suratku terbaca olehmu atau tidak, tapi biarlah, aku tidak peduli, terkadang harapan cukup atas dasar inisiasi dan proses, entah tujuan tercapai atau tidak, itu bukanlah bagian dari hal yang perlu diperdulikan. Walau itu pasti, aku selalu berharap engkau baik-baik di sana, dan tentunya menerima semua pesanku.

Waktu berlalu, menggantikan satu per satu bingkai planck tanpa henti menuju sebuah titik tak terdefinisi, semakin banyak yang ku alami, semakin banyak yang ku ketahui, semakin banyak yang ku pahami, tapi juga semakin banyak yang menimbulkan keraguan dalam hati. Kompleksitas dunia yang sejak dahulu kita rasakan semakin terasa abstrak dan rumit sekaligus semakin terasa sederhana dan sempit dalam pandangan yang tak terjelaskan.

Aku tak pernah tahu realita itu seperti apa, dan karenanya segala cara aku tapaki untuk menggapainya, tapi apa, yang ku dapat hanyalah ilusi yang semakin pekat dengan tanda tanya, kesadaran penuh bahwa manusia sedang terpenjara, dalam kegelapan rasionalitas yang penuh fatamorgana. Tapi siapa yang peduli? Aku malah merasa tersiksa dengan kesadaran ini, pikirkan ray, lebih memilih kamu tak sadar bahwa kamu sedang bermimpi atau kamu sadar kamu sedang bermimpi tapi tidak dapat melepaskan diri darinya? Mayoritas orang sedang bermimpi, ya, terjebak ilusi, tapi terkadang aku merasa itulah keadaan yang terbaik, menikmati indahnya dunia tanpa harus terkekang tekanan informasi dan kesadaran yang mencekam. Hmm, cukuplah dengan hal itu. Aku dan kamu tahu hal ini hal yang butuh pencarian mendalam akan makna, dan karena itulah kita berpisah kan? Mencari 2 jalan yang berbeda untuk tujuan yang sama, kebenaran.

Terlepas dari hal itu, memang banyak yang ku alami akhir-akhir ini. Entah hanya intuisiku yang berkata bohong atau memang sebuah kewajaran yang menyakitkan, aku semakin dihadapkan dengan berbagai paradoks akan apa yang dulu aku sebut sebagai sumber segala ketidakpastian alam semesta. Ya, manusia. Dan sekarang, secara khusus mengenai hal yang dibawa dalam rangkaian kata yang berhomofon, hal yang tetap bagaikan noda kecil tak terpahami dalam kamus hidupku. Mahasiswa. Hal yang dibawa secara berbeda dibanding berbagai budaya, ya entah amerika entah china, semua tidak akan berada dalam keanehan seabsurd Indonesia. Dengan segala penasaran yag ku miliki, sangat disayangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak memiliki rincian etimologi untuk tiap katanya, sekedar untuk memahami proses pembentukan bahasa, yang dapat merefleksikan makna dari budaya, tanpa harus mengalami pergeseran makna, yang dicontohkan oleh kata yang satu ini.

Entah kenapa aku bilang terasa aneh, karena ia dalam suatu proses yang sulit terdeskripsikan, mengasilkan suatu perangkap terselubung dalam ranah pikiran manusia yang terjamah olehnya, yang secara tanpa sadar telah menciptakan suatu eksistensi baru, makhluk baru dalam tatanan sistem kehidupan. Ini bagaikan sebuah mesin ketidakpastian yang memproses input apapun secara sukarela , yang segera, apabila kurang beruntung, akan segera kehilangan esensinya. Masukkanlah isme-isme apapun dalam mesin ini, yang keluar adalah makna yang bisa sama sekali berbeda. Berbagai frasa yang – jujur – sama sekali baru dalam ranah jaringan neuron otakku pun muncul dari makhluk yang satu ini ray, pengabdian masyarakat, himpunan (hal yang hanya aku tahu dalam matematika), agen perubahan, dan… cukup itu dulu. Aku yakin engkau akan punya argumen yang sama denganku mengenai tiap istilah itu ray, mulai dari makna akan pengabdian, yang bagiku terlalu kurang berhati-hati dalam digunakan, hingga makna perubahan, yang tentu pasti terlupakan akibat paradigma Newtonian yang mekanistik akan dunia. Pengabdian, eh? Kesakralan kata itu bagiku hampir seperti sumpah, penyerahan hidup dan mati pada sesuatu, seperti halnya kita berdua yang dulu pernah bersumpah mengabdi pada kesucian ilmu pengetahuan dan kebenaran, hal yang masih aku bawa saat ini hingga mati. Sebenarnya masih banyak keanehan yang ku temukan dari kata yang sebenarnya didefiniskan sangat sederhana oleh KBBI ini. Apa orang-orang sekarang benar-benar tidak menghormati KBBI sebagai sumber utama makna bahasa?

Ingat yang kita bicarakan mengenai sumber dari emosi pertama manusia kawan? Ya, arogansi, yang disebutkan dalam bahasa inggris sebagai pride. Dari 7 emosi yang ada, ia yang paling berkuasa. Hegemoni yang diciptakannya berasal dari titik kecil tunas di atas padang hati yang tandus, status. Tak usah di tanya lagi, status yang dimiliki mahasiswa melupakan esensinya yang utama, yaitu manusia, yang tentu saja hanya terbedakan dari bagaimana ia berpikir. Aku manusia, pengemis manusia, presiden manusia, apa bedanya? Itulah kenapa aku sangat membenci status. Jika kita memang harus melakukan sesuatu pada sesama, lakukanlah karena kita manusia, esensi fundamental tiap makhluk berakal, tak perlu ocehan dan argumen panjang akan makna kemahasiswaan. Tinggal buka KBBI, hormati bahasa yang telah kita sepakati 84 tahun yang lalu.

Hanya satu status atau kondisi yang perlu aku akui dari mahasiswa ray, yaitu mereka adalah kaum pemuda yang bertintelektual, yang cukup tercirikan dari umur dan jalan pikirannya, tanpa perlu makna lain. Ah mahasiswa, suatu eksistensi yang berakar dari sebuah status dalam diri manusia. Status yang menghasilkan berbagai frasa, mulai dari tanggung jawab hingga masa depan bangsa.

Tanpa perlu berbanyak kontemplasi, yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah akalnya, dan karena itu indikator yang tepat untuk membedakan manusia adalah akalnya, atau mungkin lebih tepat kusebut kesadaran. Kesadaran yang tercipta dalam sistem kompleks bernama akal tidak sesederhana rasionalitas akan logika ataupun realita nyata, ia lebih dari itu. Banyak realita yang tak terjangkau indrawi, tersebar dalam kebenaran mutlak pribadi. Kesadaran penuh akan semesta lah yang memotivasi manusia dalam berbuat apapun, kesadaran di atas kesadaran. Dalam teori jaringan hal ini dikenal dengan “Bounded Rationality”, pilihan yang terbentang di hadapan manusia hanya bergantung pada yang diketahui dalam sistem kompleks jiwa dan pikirannya. Apabila ada yang menuntut tanggung jawab, tuntutlah dulu kesadaran. Bahkan, apabila kita mencari sumber dari kesalahan yang ada di dunia, itu adalah orang yang sadar tapi tidak berbuat apa-apa. Apa yang bisa kita tuntut dari orang yang tak sadar? Engkau tentunya paham yang ku maksud mengenai kesadaran disini kawan, bahasa memiliki keterbatasan dalam mendeskripsikannya. Namun yang jelas, tak perlu kita pedulikan apakah seseorang itu mahasiswa atau bukan, selama ia sadar, itu lebih dari cukup. Walau begitu, terkadang aku terasa bingung untuk menentukan apakah kesadaran itu anugrah atau musibah. Kesadaran lah yang menghasilkan tanggung jawab, kesadaranlah yang menghasilkan beban akan perubahan, siapa lagi? Ya terkadang tekanan yang terlalu besar dari kesadaran ini banyak merenggut pikiran jernih seseorang sehingga muak dengan semua kebusukan dunia, menghasilkan paradigma-paradigma pesimistik dan pada akhirnya lari dari kenyataan. Ya, kesadaran itu menyakitkan, butuh kebijaksanaan lebih untuk dapat mengelola dan mengontrolnya dengan baik. Seperti yang mereka bilang, “Ignorance is a bliss.”

Perlu kau ketahui ray, semua keanehan mengenai mahasiswa ini telah menyeretku untuk “mampir” di tengah perjalananku yang masih panjang. Walau sekedar untuk istirahat minum teh dan mencari informasi, pada akhirnya aku terperangkap dalam sektor tak dikenal ini, yang ku harap memberiku sedikit bekal dan petunjuk untuk perjalananku ke depan. Aku tak akan melupakan tujuan utama kita kawan, semua “mampir” yang aku lakukan pada dasarnya hanya untuk memanusiakan diriku, dibalik pencarian informasi dan petunjuk lebih dari yang kita cari selama ini. Namun ray, seberapa anehnya mahasiswa, perlu aku apresiasi dan banggakan karena cukup memberi harapan bagiku akan dunia yang entropinya tiada henti bertambah ini. Akankah kita memang ditakdirkan selalu berada dalam siklus tiada akhir menuju ketidakaturan, ataukah dunia ini secara dinamis tidak tunduk pada suatu hukum tetap sehingga keadaan akhirnya tidak akan pernah dapat terprediksi? Entahlah, seperti yang ku bilang, harapan cukup atas dasar inisiasi atau proses. Apapun keadaan akhirnya aku tak peduli.

Menunggu dalam keheningan,

Finiarel.


(PHX)

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora