Dear Rayya 5 (Ilusi)

- 3 mins

Bantul, 12 Februari 2012.

Dear Rayya, dalam sebuah abstraksi.

Tanpa salam, tanpa ucapan, seperti biasa, cukup sebuah pertanyaan akan kabar kau dalam kompleksitas ilusi dunia. Ya, aku hanya penasaran, itulah kejujuran, aku rasa. Terkadang aku tersadar akan sesuatu ray, salam dan ucapan apapun hanya menjadi ritual rutin yang terlaksana begitu saja tanpa terlintas dalam lorong-lorong kesadaran logika. Salam adalah do’a, begitu kata sebagian orang, tapi, apakah seseorang benar-benar mendo’akan saat mengucapkan salam? Ataukah itu hanya kebohongan yang tercipta dari sebuah frase membingungkan yang disebut dengan tanggung jawab moral? Entahlah, aku hanya berharap aku salah.

Cukup mengenai hal itu.

Rayya, rayya, rayya,

Setiap kali menuliskan surat ini, sebenarnya selalu terbesit pertanyaan dalam pikiranku akan makna dari namamu. Rayya? Sudahlah, aku akan mengetahuinya suatu saat. Yang jelas, kali ini aku mendapat sebuah kesadaran baru kawan, kesadaran akan betapa delusifnya semesta ini, terutama diri kita. Apakah kau pernah membayangkan bahwa semua yang kita lihat dan rasakan saat ini hanyalah ilusi visual yang tercipta dalam rumitnya aliran listrik dalam labirin neuron otak? Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi inilah yang ku rasakan akhir-akhir ini, saat segala sesuatu di dunia berada dalam hegemoni kejam yang disebut dengan ketidakpastian, diriku sendiri, yang menjadi satu-satunya tempat berlindung dan tempat yang paling pasti, mengkhianatiku dengan berbagai ilusi otak yang membentuk fatamorgana harapan tak berbentuk namun berada dalam kepalsuan menyakitkan.

Ya, bahkan realitas sendiri pun palsu, berada dalam relativitas ketidakpastian, menipu, menciptakan berbagai persepsi, yang tercipta dari sebuah senjata yang sangat bermanfaat namun mematikan: pikiran. Di saat semua itu terjadi, hanya kesadaran tertinggi lah yang mampu membangunkanmu dari semua ilusi semesta, membangkitkan jiwa dari tipuan otak yang menciptakan dunia dengan caranya sendiri. Semuanya terjadi secara abstrak yang terbangun dari kumpulan holistik informasi-informasi dari semua indra yang terakumulasi dalam aliran waktu, membentuk sumber dari segala relativitas: pengalaman (atau apalah, aku tidak punya kata yang lebih keren). Cukup. Pengalaman membentuk dunia yang kau lihat sekarang, kan ray? Janganlah heran apabila bunga di pinggir jalan bisa membentuk visual yang berbeda untuk orang yang berbeda. Menyakitkan, aku benci relativitas. Hanya satu hal yang bisa ku yakini ray, semesta berada dalam simetri, jika ada hitam, pasti ada putih, jika ada yang relatif, pasti terdapat yang absolut.

Berkaitan dengan ketidakpastian kawan, sebuah makhluk kejam dalam arus waktu, dapat membawamu kemana saja ia mau. Di saat segala sesuatunya melebur dalam ilusinya yang memabukkan, manusia tidak lebih dari sekedar penjudi di meja kasar semesta, menggantungkan hidupnya dalam guliran dadu dunia. Di tengah semua taruhan yang ada, manusia tidak lebih bertaruh dengan hal yang mereka sebut kepercayaan, yang membentuk keyakinan dalam keragu-raguan ketidakpastian masa depan. Entah mereka pulang dengan pengkhianatan, atau bersorak dalam kebahagiaan. Ya kawan, kepercayaan, hal yang dapat menjadi pegangan kuatmu dalam dahsyatnya ombak waktu, namun juga dapat menjadi bom yang akan menghancurkanmu dalam sekejap. Seperti halnya aku percaya engkau masih baik-baik saja di sana ray, entah bagaimana faktanya, aku tidak peduli, yang penting aku percaya.

Ah, cukup banyak yang ingin aku sampaikan padamu ray, aku rindu masa-masa kita berdiskusi mengenai keanehan-keanehan jagad raya, dalam sebuah bahasa yang menyembunyikan ribuan makna. Terakhir ray, kau paham kan kenapa sebelumnya aku sebut tanggung jawab moral itu membingungkan? Ia membentuk ambiguitas yang – sekali lagi – berada dalam kejamnya ketidakpastian. Ia bisa berarti kebohongan, namun bisa juga berarti keikhlasan. Menyedihkan memang kawan, manusia terperangkap dalam motivasi sosial, melakukan sesuatu dalam harapan pengakuan moral. Bisakah kau meyainkanku bahwa paling tidak 50 persen dari perilaku sosial yang dilakukan manusia adalah keinginannya sendiri, tanpa terpengaruh dari sebuah kebohongan publik yang disebut dengan tanggung jawab? Ya, tipuan kejam. Aku jadi ingat sebuah opini seorang akademisi amerika yang mengatakan “Manakah yang lebih baik, politisi Amerika yang bertindak ‘jujur’ namun menyengsarakan, atau politisi Indonesia yang membela rakyat namun dalam kebohongan?” Entahlah, hanya Tuhan yang tahu. Jebakan ilusi dari pikiran memang berbahaya. Marilah kita bangkitkan kesadaran penuh kawan. Temukan dunia yang sebenarnya, bukan realita yang terjebak relativitas paradigma. Tidak ilusi emosional, tidak pula ilusi sosial.

Cukup dari dalam.

Dan percaya.

“Orang yang memahami dirinya sendiri, memahami Tuhannya”

Aku berjanji akan menemukan kebenaran sejati itu kawan, yang tidak terpengaruh ilusi atau relativitas apapun. Ya kau ingat? I am seeker of Truth.

It’s me, Finiarel.


(PHX)

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora