Dear Rayya 2 (Semua Tentang Kita)
- 2 minsBantul, 4 Juli 2010
Dear Rayya, anywhere you are
Aku belum menerima jawaban darimu, entah apa yang terjadi padamu, tapi aku percaya engkau telah membaca apa yang aku kirimkan beberapa bulan yang lalu. Engkau pasti sibuk di negeri sana kawan, mencari makna dan mencari emas untuk dihujankan ke negeri kita. Berkaitan denganku, sedikit demi sedikit, waktu terus mengalir di sekitarku, membawaku perlahan tapi pasti, menuju berbagai pemahaman. Di tiap langkah perjalananku Rayya, Indonesia selalu membuatku bingung. Hingga akhirnya kuputuskan, semua ini berawal dari tiap individu, individu-individu yang membentuk satu Indonesia. Satu membentuk semua dan semua membentuk satu, tanpa “semua”, “satu” tidak akan ada, begitu pula dengan “semua”, dibentuk oleh persatuan semua “satu”. Kamu dan aku adalah satu, dan Indonesia adalah semua. Kamu ingat semboyan kita dahulu kawan? One for all, and all for one.
Rayya, satu hal yang selalu muncul di benakku akhir-akhir ini, sepertinya tiap individu saat ini tidak menyadari apa yang ada pada dirinya, 2 sisi yang berbeda, 2 dikotomi, yin dan yang, hitam dan putih, secara seimbang akan membentuk sebuah harmoni kehidupan. Sisi yang satu merupakan diri yang sebenarnya, dan sisi yang lain, sisi semu, sisi yang selalu menjadi musuh abadi, sisi yang selalu mengendalikanmu, sisi yang mengurung kekuatanmu yang sebenarnya, sisi yang tak bisa dijelaskan secara rasional, sisi ini kusebut ego atau emosi.
Kau dapat merasakannya sobat? Saat marah, senang, sombong, egois, cemas, sedih, takut, panik, khawatir, semua mengendalikanmu, semua menghalangi dirimu yang sebenarnya untuk berfikir rasional, bagai yin menghalangi yang, hitam menghalangi putih.
Ah, mungkin sisi yang pertama yang orang-orang sebut dengan hati nurani, entah kawan, tapi aku lebih senang menyebutnya akal rasional, akal sehat. Dan kau tahu kawan? Sepertinya Indonesia kehilangan sisi yang satu ini, seperti halnya individu yang membentuknya.
Mereka yang buta akan kesenangan, mereka yang selalu bersedih, mereka yang tersiksa dengan amarah, mereka yang dibekukan rasa takut, mereka yang terpenjara kemalasan, mereka yang sepi dalam kehampaan, ya Tuhan, hilangkanlah semua ego dan emosi mereka, agar aku, Rayya, dan mereka semua, dapat berjuang kembali membentuk Indonesia, tanpa ego, dengan hati nurani, dengan akal rasional, sehingga Indonesia dapat tersenyum kembali, setelah murung sekian lama.
Bicara mengenai individu, aku ingat ada yang pernah berkata kepadaku mengenai kebahagian. Beritahu aku Rayya, apa itu kebahagiaan? Sebuah pertanyaan yang mungkin akan punya ratusan jawaban. Pikiranku mengenai hal ini mungkin akan seperti filosof Spinoza, yang mengatakan kebahagiaan adalah emosi aktif, emosi yang dapat kita control, emosi yang jauh dari ego, emosi yang telah melebur dengan hati nurani.
Aku menyayangkan sesuatu di tengah renunganku kawan, setiap individu sepertinya terlalu sibuk untuk berperang melawan egonya, terlalu sibuk untuk merenungi hidupnya, terlalu sibuk untuk memahami dirinya sendiri sepenuhnya. Apakah karena menurut mereka renungan hanya milik para filosof? Entahlah Rayya, aku bingung.
Ah, semua rasanya terlalu abstrak, kau mungkin hanya bisa merasakannya kawan. Itulah Indonesia, telalu sibuk untuk menyempatkan diri melihat ke diri sendiri, untuk memahami keabstrakan ini. Memang benar apa kata pepatah, Musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri. Kita kalahkan kita sendiri, maka kita akan kalahkan semua masalah.
Satu pesan untukmu sobat, Life is a comedy for those who think and understand, but a tragedy for those who feel.
Senyum hangat penantian,
Finiarel.
(PHX)