Dear Rayya 10 (Jawaban)

- 4 mins

Ku buka surat itu dalam ekspektasi hampa. Bertahun-tahun hidup dalam keraguan dan kesadaran akan ketidakpastian hidup membuatku tidak memiliki semangat apapun untuk berharap. Ya, cukup terima segala hal yang kau temui. Cara terbaik menghadapi kompleksitas dunia. Dalam keikhlasan penuh, semua akan terungkap dengan sendirinya, termasuk surat yang ku buka perlahan saat ini…


Semesta, 11 Agustus 2013

Dear Finiarel, in Bandung.

Maaf.

Sederhana, tapi betapa kuatnya kata itu.

Salah satu dari keagungan kekuatan bahasa manusia.

Toh manusia sendiri adalah simbol kekuatan tanpa batas.

Ya kawan, maaf. Maaf telah membuatmu menanti. Aku tahu dunia ini penuh dengan kompleksitas. Cukup bertahanlah. Sama halnya yang ku lakukan selama ini.

Walau betapa menyakitkannya siksaan dan penderitaan itu, hidup terasa lebih bermakna dengan semua kepahaman dan kesadaran ini. Entah musibah, entah anugrah. Lagipula ini adalah salah satu bukti nyata dari ketidakpastian hidup.

Beruntunglah mereka yang tetap tertutup ilusi, tidak perlu sadar akan realita sesungguhnya dari dunia, kebenaran yang menyiksa, dari ribuan pertanyaan yang tercipta hingga perasaan yang meruntuhkan asa. Tapi, apa perlu aku menyebut betapa meruginya mereka? Entahlah, sekali lagi, betapa sulit menentukan kebenaran di dunia tanpa pijakan ini. Baik aku dan kau tahu, kita sendiri berdiri dalam pijakan yang rapuh, yang menyuburkan keragu-raguan yang meruntuhkan keyakinan.

Apakah ada pijakan yang kuat itu? Tidak ada yang tahu. Yang penting kita akan terus mencari.

Aku disini pun terlunta-lunta dalam lautan luas kerumitan jaringan semesta. Terbawa ombak keragu-raguan kesana kemari melintasi berbagai ilmu. Terkadang terdampar dalam suatu fakta buntu yang tak ku pahami, terkadang tertarik lagi menuju horizon pengetahuan yang tak bertepi.

Dari manusia hingga agama, dari klasik hingga relativistik, dari kosmolog hingga dialog. Ya mungkin semua terlihat tiada akhir, tapi kau tahu, pohon yang tumbuh pun batangnya berkembang tiada akhir. Ribuan daun yang tercipta tetap bermula dari satu biji. Jangan pernah lelah mencari kawan. Karena jika kau ataupun aku lelah, siapa lagi yang bersedia menyiksa diri dan masa depannya hanya untuk kebenaran pengetahuan dan benang merah realita semesta? Kita sadar bahwa status dan identitas adalah ilusi terbesar manusia, sumber dari segala kebanggaan dan kepercayaan diri, yang membuat orang sekedar melihat apa yang terlihat.

Kita bukan segala sesuatu sekaligus adalah segala sesuatu. Hanya dengan menganggap diri itu realita dunia terlihat dengan jelas. Seperti halnya yin dan yang saling melengkapi dalam kesempurnaan.

Selain itu, terima kasih atas semua surat yang kau kirimkan. Tenang saja kawan, aku menerima semua untaian kata-katamu, pada akhirnya walau jalan kita berbeda, yang kita cari dan tujuan kita sama. Tak ada yang perlu diungkapkan lagi, apa yang kita pahami dan sadari tidaklah berbeda. Aku hanya ingin mengingatkan padamu satu hal fin, apapun yang akan kita temukan nanti, entah kebenaran itu memang ada atau tidak, entah itu menyakitkan atau melegakan, tetaplah percaya bahwa tidak ada yang sia-sia. Dan berjanjilah kawan, pegang baik-baik semua yang kita temukan dan pahami. Sampaikan apabila perlu disampaikan, simpan apabila perlu disimpan. Terkadang beberapa kebenaran terlalu menyakitkan untuk ego rapuh manusia.

Ya fin, terkadang aku iri, aku merasa tidak tahu apa-apa memang kebahagiaan terbesar. Sayang, kita sudah terlanjur tahu, sekali pintu dibuka, harus dimasuki bukan?

Kesadaran langka intuitif seperti yang kita miliki sekarang adalah sebuah tanggung jawab besar untuk diemban. Perjalanan kita masih jauh panjang ke depan, masih banyak hal di luar sana yang masih belum kita pahami, masih banyak kerumitan yang belum kita urai, masih banyak realita yang belum kita ungkap.

Pengabdian kita hanya untuk ilmu pengetahuan. Seberapa lelahnya engkau, kau tidak sendirian.

Namun walaupun begitu wahai finiarel, jangan lupa akan negeri yang sering kau tatap dengan kesedihan di sana. Aku pun begitu kawan, aku takkan lupa, aku lakukan apa yang bisa ku lakukan. Sehingga jikalau kebenaran itu tidak kita temukan, Indonesia masih menunggu untuk dibangkitkan. Selagi engkau masih merasa manusia kawan, ubah apa yang bisa kau ubah.

Mengenai keberadaanku, tak perlu kau tahu. Aku berada dalam sebuah posisi yang tak bisa ku ungkapkan secara sederhana. Tidak terlalu rumit, hanya saja terlalu abstrak. Ya, kabur. Aku bahkan bingung aku sedang berada di mana. Seperti sebuah kalimat dalam lirik lagu Coldplay : “I don’t know which way I’m going, I don’t know what I’ve become”, sebuah kalimat yang sangat sekali kau resapi kawan. Ya, kita selalu bingung akan jalan kita. Lebih tepatnya ragu aku rasa. Dunia terlalu ilusif untuk memberi kita keyakinan akan makna sebuah perjalanan. Tapi kawan, tak usah pedulikan itu, tetap teruslah berjalan.

Sekian finiarel, maaf aku tak bisa berpanjang kata. Tidak sepadan dengan suratmu yang berlembar-lembar. Tak usah kau kirimkan aku surat lagi, biarlah kita terkoneksikan melalui pengetahuan yang kita gali, melalui tiap bimbang yang kita temui, dan semoga kita bertemu pada akhir yang sama.

Biarkan aku mengucapkan satu lagi frase terkuat dalam hidup manusia fin.

Terima Kasih.

Cukup. Rasakan dua ungkapan itu.

Maaf dan terima kasih lah yang telah menjaga keutuhan manusia selama berabad-abad.

Untuk Manusia dan Kebenaran.

Temanmu,

Rayya


Hahahahaha.

Ha…

Ha…

Dalam tawa penuh hampa menyusuri setiap relung jiwa,

ku tutup surat itu dengan rapi.

Aku semakin sadar betapa ketidakpastian dan kompleksitas memenjara manusia dalam sebuah ilusi pekat. Yah, selama kita masih bisa tertawa, nikmatilah segala rasa. Semua akan indah pada waktunya. Apapun akhir dari perjalanan ini. Saatnya totalitas dalam tiap langkah kawan, kita akan terus melangkah.

(PHX)

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora