Dear Psyche

- 21 mins

Malam sebelum ujian mungkin malam yang terkadang sakral bagi setiap mahasiswa, dikhususkan untuk belajar atau istirahat, namun anomali tetap selalu bisa terjadi. Seperti yang ku lakukan malam ini, hanya sekedar melanjutkan pengungkapan makna dengan dewa-dewa, berhubung aku teringat pada hal yang dulu sempat membuatku bertanya-tanya, maka ku coba tuliskan lagi seperti pada eros dan lainnya. Bedanya mungkin kali ini yang ku tuju bukanlah sosok super yang dihamba. Ini bukanlah mengenai apa-apa, melainkan suatu eksistensi bernama jiwa.


Dear Psyche, dengan sebuah kisah perjalanan

Jika biasanya aku mengungkap makna pada dewa-dewa, kali ini mungkin cukup pada manusia biasa, namun dengan kisah yang mungkin bisa dikatakan luar biasa, yang diceritakan dan disyairkan sebagai kisah cinta terepik dalam seluruh rangkaian mitologi. Engkau Psyche, salah satu manusia yang berhasil meraih keabadian.

Salam wahai gadis rupawan, aku terkadang berusaha untuk membayangkanmu, yang dikatakan memiliki paras begitu indah, yang bahkan mengalahkan dewi kecantikan sendiri, sang Afrodite, sang Venus, dewi yang lahir dari genital Uranus. Agak sulit masuk imajinasiku sayangnya. Bagaimana mungkin aku bisa membayangkan wanita tercantik sebumi? Karena sebenarnya bagiku kecantikan itu adalah hal dengan subjektivitas tinggi. Atau mungkin ada standar tertentu? Entahlah. Namun bagaimana engkau menjadi simbol jiwa membuatku bertanya. Mungkin jawabannya ada pada bagaimana aku memaknai kisahmu o psyche.


Aku termenung sejenak. Mencoba mengingat bagaimana kisah eros dan psyche menjadi kisah yang begitu bermakna. Mungkin terkesan sederhana. Tapi mitologi selalu menyimpan lebih dari yang tersampaikan. Sebelum berlanjut, aku menyeruput kopi sejenak agar neuron kepalaku tetap mendapat suplai oksigen dari jantung yang mulai dipacu oleh kafein.


Wahai psyche, maaf mungkin aku ingin sedikit membahas masa lalumu, aku hanya ingin mengambil makna darinya. Apakah aku salah? Bukankah semua kisah tidak bermanfaat selain untuk memberi pembelajaran? Kisahmu dikatakan menyimbolkan perjuangan setiap jiwa untuk menemukan jati dirinya melalui cinta. Tentu, aku ingat bagaimana semua itu dimulai, bagaimana ketika dulu kau hanyalah manusia biasa, yang memiliki hidup normal sebagai seorang putri dari seorang raja, yang hanya berharap sekedar mendapatkan sesosok pendamping dan menjalani kehidupan normal layaknya seorang manusia. Namun Moirae memang selalu menyimpan rahasia terbesar manusia. Kau diberikan wajah begitu cantik hingga kenormalan hidup hanya akan menjadi angan. Kecantikanmu bahkan membuat Afrodite cemburu! Membuat semua laki-laki di dunia hanya bisa mengagumimu, tanpa punya keberanian sedikit pun untuk mencintaimu.

Apakah itu berarti yang berlebih terkadang menimbulkan petaka? Entah, yang jelas, ketiadaan calon pendamping bagimu saat itu mengkhawatirkan orang tuamu bukan? Tentu saja. Dan seperti yang biasa dilakukan oleh masyarakat mitologi, orakel Apolo di Delfi selalu menjadi jawaban. Dan tidakkah kau ingat apa yang dikatakan mereka? Kau ditakdirkan untuk menikah dengan seekor ular merah bersayap! Apa daya manusia biasa dengan ramalan semacam itu, yang akhinya membuatmu harus menunggu dalam tangis di pinggir jurang, meratapi anugrah yang menjadi musibah.

Tapi psyche, siapa yang tidak terusik hatinya melihat keadaan itu. Maka ingatkah kau ketika salah satu anak Aeolus, Zefirus sang angin barat, akhirnya membawamu ringan ke istana sang dewa asmara? Bagaimana perasaanmu saat itu psyche? Tidakkah kau bisa menyangka Eros sendiri dari tertusuk panahnya sendiri dan jatuh cinta denganmu? Ah tentu saja, kau adalah gadis tercantik sebumi! Namun dengan alasan yang tak bisa dipastikan, Eros tidak menampakkan dirinya di hadapanmu, namun ia berhasil menunjukkan padamu cintanya yang lembut dan halus. Bukankah cinta memang tidak butuh wujud fisik? Eros sendiri yang mengatakan bahwa cinta hanya butuh kepercayaan.

Maka kau jalanilah hidup bahagia bersama Eros, tanpa pernah melihat sosok sejati yang mencintaimu selama itu. Namun sayang, ketika kedua saudarimu mengunjungi, kau terbujuk hasutan mereka yang menganggap kau tengah ditipu. Siapa yang tidak ragu bila ada ketidakjelasan? Bukankah wajar ketika tanya kenapa muncul ketika sesuatu terjadi tanpa alasan, tanpa kepastian? Seperti yang selalu terjadi, batas segala sesuatu adalah keraguan. Maka kau terdorong untuk memastikan keraguanmu, untuk melihat siapa sang Eros sesungguhnya. Ah, kau akhirnya tahu apa arti sakit hati akibat ketidakpercayaan bukan? Begitulah yang terjadi,Eros langsung pergi begitu saja mengetahui kau berani melihat parasnya yang tampan diam-diam di malam hari.

Aku sepertinya mengerti betapa menyesalnya engkau saat itu psyche, hingga akhirnya kau hampir bunuh diri bila tidak ditolong oleh Pan sang dewa gembala. Bukankah Pan yang akhinya menyarankanmu meminta bantuan Afrodite sendiri? Yang membencimu karena iri pada kecantikanmu yang mengalahkan sang dewi? Dalam kelebihan selalu ada ego dan kesombongan, memang. Maka itulah yang terjadi dengan Afrodite, ia manfaatkan keadaan untuk menyingkirkanmu dari dunia dan memberikanmu 3 tugas berat yang mustahil dilakukan manusia. Namun tentu saja, banyak dewa-dewi yang berada di pihakmu dan membantumu melewati semuanya dengan baik, bahkan untuk membawa sedikit kecantikan Persefone, anak Demeter sang dewi kesuburan, cucu dari Zeus sendiri, dan istri dari Hades yang berarti Ratu Dunia Orang Mati.

Tapi apalah arti semua itu dibandingkan kekuatan cinta, seperti yang ku tuliskan pada Eros sendiri, bahwa cinta adalah kehidupan, cinta adalah bagaimana kita mengabdi. Maka kau tetap berhasil membawakan apa yang diminta Afrodite tanpa kurang suatu apapun. Namun sayang, keraguan itu tetap selalu menjadi petaka. Rasa penasaranmu pada kecantikan Persefone membuatmu melanggar peringatan yang melarangmu untuk tidak melihat apa yang kau bawa dari dunia Hades. Ah malangnya kau ketika itu wahai psyche, kutukan akhirnya menyelimutimu dan membawamu pada tidur abadi. Siapa lagi yang bisa menyelamatkanmu selain Eros sendiri, yang selama ini selalu mengamati dalam cemas? Maka datanglah ia dan menyembuhkanmu dengan semua cinta yang ia miliki.


Aku termenung lagi, apa yang terjadi setelah itu sebenarnya bisa diprediksi. Namun yang ku ingat pada akhir kisah itu adalah dialog dua kekasih itu pertama kalinya ketika Psyche bangun…

“Psyche, what am I going to do with you? Will you never learn?”
“I have learned,” kata Psyche lembut. “I’ve learned that I love you.”

Begitulah mitologi. Sekarang mungkin saatnya bertanya, apa makna itu semua? Satu hal lagi mengenai kisah ini adalah atas semua perjuangan Psyche, Zeus menganugrahinya dengan keabadian dan hasilpernikahannya dengan Eros menghasilkan anak yang bernama Hedone, yang berarti kesenangan.

Setelah berkisah, memang tak ada yang lebih baik selain mencoba menggali hikmah. Maka biarkan kepalaku mengalir dalam sebuah kesadaran rasionalitas paling sederhana, agar tidak butuh banyak teori, untuk sekedar memahami.


Wahai Psyche, akhir dari kisahmu memang begitu bahagia. Sekarang kau abadi layaknya dewi! Namun di atas semua itu, selalu ada tanya yang tersisa. Karena apalah gunanya aku bercerita bila tak mencoba mencari makna? Ku sebenarnya tak terlalu peduli akan bagaimana hidup para dewa sesungguhnya, namun bukankah kalian adalah personifikasi setiap eksistensi dan misteri? Maka kali ini apa yang sebenarnya kau representasikan Psyche? Secara sederhana, namamu berarti jiwa. Namun tidakkah kata itu sebenarnya memiliki begitu banyak persepsi? Apa sebenarnya jiwa?

Ku selalu melihat kau bagaikan pasanganmu wahai psyche, kau selalu memiliki banyak arti. Tak pernah ada definisi pasti mengenai cinta, maka demikian pula jiwa. Tidakkah kau lihat begitu banyak pendapat bermunculan mengenaimu? Dari yang paling sederhana bahwa jiwa adalah esensi yang tersimpan dalam setiap eksistensi hingga yang mengatakan bahwa jiwa adalah wujud abadi yang hanya dimiliki manusia. Apakah yang bisa dicirikan dari suatu jiwa? Apakah ia memang abadi? Yang akan tetap ada walaupun perwujudan fisiknya telah tiada? Maka psyche, apa sebenarnya jiwa?

Terkadang jiwa hanya cukup dilihat sebagai lawan dari tubuh. Prinsip dualisme paling sederhana yang selalu dimunculkan dalam berbagai peradaban, dari yang klasik hingga modern. Ya, dualisme psyche. Bahwa segala sesuatu selalu dapat dilihat sebagai dua hal, yang terwujud dan yang tidak, tubuh dengan jiwa, eksistensi dengan esensi, materi dengan energi, informasi dengan makna, fisik dengan psikis, rasional dengan emosional, nyata dengan gaib. Dalam paradigma Cartesian hal ini dieksplisitkan sebagai res cognitans dan res extensa, yang membuat Descartes dianggap pencetus dualisme radikal yang memengaruhi banyak pemikiran setelahnya, padahal prinsip dualisme ini telah ada dimana-mana sejak masa manusia bisa berpikir. Tapi apakah cukup dengan mengatakan bahwa jiwa adalah lawan dari tubuh? Apakah dua hal itu memang bisa dipisahkan?

Marilah kita lihat berbagai perspektif, Indonesia menyebutmu dengan istilah jiwa seperti yang sejak tadi ku tuliskan, yang sebenarnya berasal dari sansekerta, jiva, yang bermakna benih kehidupan, esensi abadi yang tetap ada dalam setiap organisme hidup. Tentu saja hal ini tidak hanya sempit pada manusia, namun juga pada hewan dan tanaman, yang bisa dikatakan hidup. Ini setara dengan Latin yang menyebutmu dengan Anima, suatu hal yang “animate” atau menggerakkan suatu wujud, yang tersimpan dalam setiap eksistensi fisik. Tidakkah kau mengenal animisme? Kepercayaan paling kuno yang dimiliki manusia, yang bahkan sebenarnya masih ada hingga saat modern ini namun mungkin dalam wujud yang berbeda. Animisme mengatakan semua organisme memiliki jiwa! Apakah mungkin memang manusia terlalu sombong dengan mengatakan jiwa hanya milik mereka? Padahal apa hal mendasar yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain selain kesadaran? Dengan satu kelebihan itu apakah dapat disimpulkan jika jiwa memang hanya milik manusia berarti jiwa sebenarnya hanyalah esensi dari kesadaran? Entahlah, mungkin kita butuh perspektif lain, namun tetaplah bertanya, apa sebenarnya jiwa?

Dialek lain menyebutmu dengan pneuma, atman, nafs, nephesh, soul, atau masih banyak lainnya yang sebenarnya setelah ku teliti mengakar pada makna yang serupa. Mereka semua memiliki makna dasar nafas (to breathe), psyche. Sekedar nafas! Tapi ada apa dengan nafas? Tidakkan kau lihat bahwa nafas lah sebenarnya yang menentukan seseorang itu hidup atau tidak? Nafas juga yang menjadi indikator emosi, indikator kesehatan, indikator semangat, dan hal lainnya. Sederhananya, nafas adalah tanda kehidupan. Bukankah untuk menenangkan emosi kita hanya cukup mengatur nafas? Bukankah inti utama dari meditasi adalah pengaturan nafas? Bukankah nafas adalah aliran konstan yang selalu ada selama seseorang dianggap hidup? Maka apakah nafas hanya dimiliki oleh manusia? Bisakah kita perluas nafas ini dalam perspektif ilmiah yang lebih dalam?

Baiklah psyche, bila diperluas, kita ganti kata nafas dengan kata lain: respirasi. Bisa dikatakan respirasi adalah ciri paling dasar kehidupan, karena sel sendiri, bentuk kehidupan paling sederhana, melakukan respirasi! Apa yang sebenarnya terjadi ketika sel atau makluk hidup melakukan respirasi? Yang jelas ada mekanisme pelepasan dan pengikatan oksigen untuk menghasilkan energi, yang pada sel terjadi dalam mitokondria. Maka inti dari nafas adalah energi. Tidakkah nafasmu semakin cepat ketika tengah mengeluarkan energi dalam jumlah besar? Tidakkah kita semua merasakan ada aliran energi tak kasat mata yang terjadi ketika kita bernafas? Dengan demikian, apakah dapat dikatakan jiwa adalah energi kehidupan? Bagaimana jika ditarik lebih mengakar dan mulai bertanya, apa sebenarnya energi?

Ada suatu perspektif sederhana mengenai ini. Energi adalah hal yang mengakibatkan materi dapat berpindah posisi atau berubah bentuk. Artinya materi apapun akan selalu statis tanpa adanya energi. Prinsip materi-energi ini dapat digeneralisasikan menjadi prinsip struktur-proses, yang sebenarnya hanya konsep yang lebih mengakar dari dualisme yang aku sebutkan sebelumnya. Segala objek apapun selalu dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu struktur objek tersebut dan proses yang dialaminya. Jika prinsip ini diterapkan dalam konsep kehidupan, bisa dikatakan tubuh atau wujud fisik adalah perspektif struktur dan jiwa adalah perpektif prosesnya, hal yang mengakibatkan struktur tersebut bisa bergerak atau berubah bentuk. Aku jadi teringat surat yang ku tulis pada Thanatos beberapa waktu yang lalu Psyche, ketika aku membahas mengenai kehidupan. Ciri utama kehidupan adalah suatu proses siklik yang dikenal dengan autopoesis, yang merupakan siklus pembentukan diri terus menerus. Proses autopoesis ini membuat diri selalu berkembang karena selalu dibentuk secara siklik tanpa henti. Apapun struktur materinya, selama sesuatu mengalami proses ini, ia dapat dikatakan hidup, atmosfer kah, bumi kah, ekosistem kah, semuanya adalah sistem hidup yang memiliki jiwanya masing-masing.

Namun, bagaimana proses ini berlangsung bergantung pada struktur materinya, maka bentukan jiwa tiap sistem hidup juga berada pada tingkatan yang berbeda-beda. Berbeda dengan hewan atau ekosistem yang hanya mengalirkan materi dalam siklus autopoesisnya, manusia, dengan struktur materi yang memiliki kompleksitas saraf tinggi menciptakan proses autopoetik yang juga mengalirkan informasi lebih rumit, hingga akhirnya menciptakan kesadaran, tingkatan jiwa paling tinggi ketimbang sistem hidup lainnya. Bukankah kesadaran yang memang menciri-khaskan manusia? Maka Psyche, mengapa manusia begitu arogan mengatakan jiwa hanya dimiliki oleh manusia?

Ah, baru ku sadari penjelasan sebelumnya agak sedikit terlalu jauh psyche, namun tak masalah demi sebuah pemahaman yang komprehensif. Namun melihat mayoritas pemahaman saat ini, terutama untuk agamawan ibrahimiyah, jiwa adalah sesuatu yang tetap ada walaupun struktur materinya (tubuh) berhenti berproses secara autopoetik, dengan suatu konsep kehidupan sesudah mati. Lalu bagaimana dengan itu Psyche? Apakah jiwa tetap mungkin bisa ada tanpa terwujud secara fisik? Lalu apa yang membawanya? Dalam prinsip strukur -proses, proses selalu terwujud dalam struktur, karena tanpa struktur, proses tidak akan terjadi, seperti halnya materi-energi. Bukankah semua perspektif yang ditimbulkan oleh jiwa muncul dari tubuh? Bukankah jiwa sendiri berkembang dari tubuh? Bagaimana jiwa memahami, merasakan sakit, atau bentuk personifikasi lainnya adalah perspektif yang muncul dari tubuh. Bagamana mungkin jiwa mengetahui apa itu “sakit” tanpa adanya tubuh yang memiliki saraf, yang memunculkan ide mengenai “sakit” dalam proses autopoesis neuron dalam otaknya?


Aku berhenti. Bingung melanjutkan ke arah mana, karena ternyata aku membahas terlalu jauh. Memang jiwa adalah suatu konsep yang tidak mudah untuk dipahami. Sebenarnya satu-satunya yang mengganjal dan belum bisa ku pahami adalah konsep jiwa yang terlepas dari tubuh. Karena perspektif akan jiwa itu muncul dari tubuh itu sendiri. Dengan kata lain, tidak mungkin membayangkan jiwa tanpa ada konsep tubuh. Memangnya seperti apa? Sesuatu yang tak tampak oleh mata biasa, atau sesuatu berwarna putih yang melayang-layang di udara, yang kemudian ternyata bisa berpikir dan berbicara? Padahal konsep berpikir dan berbicara muncul dari tubuh.

Benturan ini terjadi pada kepercayaan sebenarnya, karena ketika menyangkut agama langit, dalam hal ini agama Ibrahimiyah, agama menjadi sesuatu yang “given”, hingga semua menjadi kembali pada kepercayaan. Beda dengan animisme, hindu, buddha, Tao, atau agama bumi lainnya yang bisa ditarik ulur asal mula pemahamannya. Maka kurasa kita perlu mengabaikan yang mengenai agama kali ini, karena semua yang terajarkan selalu mungkin untuk punya makna lain. Apalagi ketika sering jiwa dibedakan dengan ruh yang sebenarnya memiliki konsep yang sama dengan jiwa. Bukankah sebenarnya segala sesuatu ini sebenarnya tersinergikan dalam satu bentuk. Artinya bagaimana kita emosi, sudah terkait dengan bagaimana mekanisme hormon dalam tubuh bekerja dan bagaimana mekanisme informasi mengalir dengan cara berbeda dalam pikiran. Tidak mungkin melihat yang satu tanpa melihat yang lain. Prinsip struktur-proses adalah prinsip yang utuh.

Sebenarnya prinsip struktur-proses ini berbeda dengan prinsip dualisme Cartesian yang terlalu memisahkan antara dua hal. Dualisme yang terjadi sebenarnya bagaikan Yin dan Yang, dua dalam satu, tak mungkin melihat yang satu tanpa melihat yang lain. Beberapa pemikiran kontemporer akhir-akhir ini mulai melihat betapa buruk efek paradigma Cartesian pada bagaimana kita memandang dunia. Semesta jadi selalu terlihat sebagai mesin yang hanya dilihat secara terpisah-pisah antar komponennya, padahal sistem hidup adalah sistem yang holistik, sistem yang menyeluruh. Jiwa sendiri pun tidak bisa dilihat secara terpisah dari tubuh. Karena bagaimana seseorang berpikir atau merasa sudah langsung terkait dengan bagaimana degup jantung bermain, bagaimana kecepatan nafas bekerja, atau bagaimana otak berpikir. Memang, paradigma modern sudah menancap begitu kuat sehingga sulit untuk mengubahnya. Pada dasarnya sejak masa kuno manusia selalu memandang dunia sebagai satu keutuhan, sayang, rasionalisasi membuat segalanya jadi terpisah-pisah, berefek pula pada bagaimana orang mengartikan konsep agama.

Lagipula, melalui proses autopoetik yang terus membentuk diri, yang dinamakan dengan jiwa selalu berkembang dan tidak pernah tetap. Jiwa tumbuh seiring dengan informasi yang masuk dan terproses dalam pikiran. Bagaimana informasi ini masuk juga berkembang seiring bagaimana tubuh menumbuhkan saraf-saraf serta hormon-hormonnya. Sehingga ketika kita katakan jiwa adalah esensi abadi yang selalu ada dalam setiap manusia, maka jiwa yang mana yang dimaksud? Jiwaku saat ini akan berbeda dengan jiwaku satu detik kemudian karena dalam satu detik itu ada jutaan informasi masuk melalui setiap indra dalam tubuhku dan terproses secara autopoetik dalam rangkaian listrik neuron dalam kepala sehingga menghasilkan “aku” yang baru. Ini mungkin yang dalam ajaran Buddhisme yang dikenal sebagai anatta, atau ketiadaan diri, karena semesta adalah suatu aliran konstan yang tak pernah berhenti berubah, maka tidak ada bentuk permanen dari sesuatu, demikian pula manusia, sehingga yang dinamakan sebagai “aku” tidak pernah tetap.

Ah begitu kompleks. Namun terlepas dari itu, lebih baik ku lanjutkan suratku yang tertunda.


Psyche, mungkin sebaiknya tak perlu kau pikirkan semua teori memuakkan yang baru saja ku tuliskan. Kembali pada pertanyaanku di awal, apa itu jiwa?

Jika jiwa adalah energi kehidupan yang terwujud dalam suatu proses autopoetik, apakah ada keabadian dalam jiwa? Mungkin sekarang lah saatnya melihat kisahmu Psyche. Bukankah kau meraih keabadian setelah menempuh perjuangan dan derita demi menebus kesalahanmu dalam keraguan? Aku jadi teringat pada tradisi sufisme yang selalu mengajarkan bahwa agar jiwa dapat memperlihatkan keutuhannya, ia harus menempuh perjalanan panjang penuh tantangan. Banyak cara melihat bentuk perjalanan itu, dari sekedar cukup konsisten dalam terus bertanya, hingga yang ekstrim bahwa kita harus menyiksa diri demi mematikan hasrat yang selalu menghalangi jiwa untuk menjadi utuh.Tidakkah kau melihat bagaimana para sufi, biksu, pendeta, atau siapapun melakukan hal yang berbeda-beda namun bertujuan sama, yaitu menyucikan jiwa mereka? Maka apa makna kesucian itu?

Apakah benar hasrat (desire) merupakan noda utama dalam jiwa? Yang selalu menghalangi kita untuk melihat dunia apa adanya? Lihatlah awal kehidupanmu Psyche, bukankah kau manusia biasa dengan paras yang rupawan, yang karena ego dan penilaian orang harus secara pasrah menerima takdir yang tidakkau inginkan? Maka itu lah simbol jiwa pada awalnya Psyche, polos, namun ternodai pertama kali oleh ego dan penilaian orang lain, membuat setiap jiwa tidak bisa mendefinisikan dirinya sendiri, jiwa menjadi sesuatu yang tidak jujur, menipu diri, hingga selalu terombang-ambing dalam ketidakjelasan. Maka seperti apa yang selalu dialami setiap jiwa, kau akan mencari pegangan walaupun itu tak berwujud apapun, walau ia tak terlihat, yang terpenting kau merasakan kehadirannya. Ya, tidakkah kau ingat bahwa cinta adalah bagaimana kita mengabdi, bagaimana kita memegang sesuatu dalam kehidupan? Itulah Eros. Namun sayang terkadang dalam keberjalanannya, keraguan selalu mengganggu dan mengusik. Bukankah itu hal yang wajar Psyche? Setiap keyakinan selalu mengalami kegoyahan. Walaupun satu-dua kali terjatuhketidakpercayaan, bukankah yang terpenting kau tetap terus menantang semua rintangan dengan semangat tak terpatahkan agar akhirnya kau temukan kembali pegangan itu? Ah, aku melihat sesuatu yang luar biasa di sini Psyche, cinta memang bagaikan cermin, ketika kau temukan bentuk aslinya, kau seperti melihat dirimu sendiri secara utuh.

Kisahmu mengingatkanku pada kisah lain dalam sufisme, Psyche. Sebuah kisah karya Fariduddin Attar berjudul “Musyawarah Para Burung”. Di situ digambarkan bagaimana perjalanan para burung yang berusaha mencari rajanya, mencari kepada siapa mereka bisa mengabdi, yang konon dikatakan merupakan Burung Simurgh. Namun setelah jatuh-bangun menempuh berbagai rintangan dan tantangan selama perjalanan yang tidak singkat, yang mereka temukan bukanlah siapa-siapa melainkan diri mereka sendiri! Tertulis jelas dalam kisah itu : “Mahligai Simurgh ibarat cermin, maka siapapun yang sampai pada mahligai ini, tidak akan melihat wujud selain wujud diri sendiri. Perjumpaan ini di luar angan dan pikirmu, dan juga tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, namun hanya dapat dirasakan dengan rasa. Karena itu, engkau harus keluar dari dalam dirimu sehingga engkau menjadi sosok pribadi Insan Kamil.”

Itulah kesucian jiwa Psyche, itulah keabadian yang berhasil kau dapatkan! Semuanya hanya murni pengungkapan diri sendiri, dengan menyingkirkan semua hal yang dapat menghalangi setiap jiwa untuk jujur dengan jati dirinya sebagai sosok aliran yang tak pernah tetap.


Tanganku terhenti lagi untuk kesekian kalinya. Di antara semua serial suratku pada mitologi, sepertinya kali ini yang paling panjang. Entah. Mungkin karena jiwa memang bahasan yang begitu luas. Ia bisa menyerempet kemana-mana. Bukankah pemurnian jiwa ada di setiap agama? Pemurnian ini pun banyak bentuknya, bergantung keyakinan dan seberapa mengenal kita dengan noda yang kita miliki sendiri, serta bagaimana menyingkirkannya sebenarnya hanya bergantung seberapa keras kita berusaha. Seperti yang terungkap dalam kitab Taois Tsan-Tung-Chi (Sang Tritunggal) mengenai keabadian, yang salah satu cuplikannya tertulis sebagai berikut :

“Padankan Yin dan Yang pada matahari dan bulan,
Dan gunakan api dan air untuk saling mengaktifkan.
Ketiga harta – telinga, mata, dan mulut –
Tutup dan kuncilah mereka dan jangan sampai ada yang keluar.
Makhluk yang mengalami pencerahan terbendam di kedalaman.
Mengapung dan berkelana, mengarahkan dari dalam.
Penglihatan dan pendengaran berliku-liku dan tidak lurus.
Buka dan tutup harus diselaraskan.
Dalam poros dan sumbu diri,
Gerakan dan ketenangan haruslah tak pernah lelah.
Jagalah energi jika li (api) ada di dalam.
Jangan membebani energi cerdas dari k’an (air).
Tutup mulut dan berhentilah bicara;
Jarang bicara berarti mengalir dengan kesatuan yang tak terpisah-pisah.
Inilah tiga prinsip penting:
Buat tubuhmu santai dan masuklah ke dalam sebuah ruang kosong;
Abaikan keinginan dan kembalilah kepada kekosongan dan ketidaan.
Ketika tak ada buah pikir, kau akan menemukan yang tetap.
Biarkan kesulitan mendorongmu ke depan.
Pusatkan pikiran dan jangan biarkan berkelana.
Rangkullah jiwa saat kau tidur.
Perhatikan saat ia peduli dan waspadalah saat ia abai.
Kulitmu akan dilembabkan hingga bersinar.
Tulang dan persendian akan tumbuh kokoh dan kuat.
Ketika semua racun telah dikeluarkan,
Satu-satunya yang tertinggal adalah yang yang sejati”

Aku pun jadi teringat pada pepatah islam yang awalnya dikatakan hadits Rasulullah namun kemudian dikatakan palsu : “Barangsiapa mengenal dirinya maka sungguh ia telah mengenal Tuhannya.” Sebenarnya walaupun akhinya disebutkan bahwa itu hanyalah perkataan Yahyaa bin Mu’aadz Ar-Raaziy, namun ada makna mendalam yang terkandung di dalamnya. Mungkin jika ingin merujuk yang benar-benar hadits, aku teringat satu hal mengenai pencarian jati diri ini yaitu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah berfirman: ‘Aku berada pada sangkaan hamba-Ku, Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku pada dirinya maka Aku mengingatnya pada diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam suatu kaum, maka Aku mengingatnya dalam suatu kaum yang lebih baik darinya, dan jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku mendekat padanya satu hasta, jika ia mendekat pada-Ku satu hasta maka Aku mendekat padanya satu depa, jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan kaki, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”


Maka Psyche, jiwa hanyalah bentuk yang tak pernah tetap, bagaikan sungai yang selalu mengalir. Ketika aliran sungai itu lancar, maka jernihlah ia dan terbentuklah cermin yang akan memantulkan cahaya apapun yang datang kepadanya. Dan akhirnya tidak ada definisi apapun yang bisa mendeskripsikan jiwa, sehingga makna jiwa akan selalu abadi, karena ia kosong, ia hanya memantulkan, ia menyatu dalam aliran langit dan bumi. Bukankah itu makna keabadian yang kau dapatkan setelah perjuanganmu menebus keraguan? Maka apa yang kau hasilkan setelah itu? Hedone! Ya, anak hasil pernikahanmu dengan Eros adalah simbol perayaan terbesar dalam kehidupan. Bahwa kebahagiaan (pleasure/hedone) hanyalah penyatuan jiwa yang telah murni dengan cinta atau pengabdian yang utuh.

Tapi, bagaimana dengan bentuk jiwa yang lain? Yang ada pada hewan, bumi, atau semesta lainnya? Ah ya, semua konsep mengenai pengabdian dan kebahagiaan serta yang lainnya hanya ada pada kesadaran tingkat tinggi. Seperti yang telah ku sebutkan sebelumnya Psyche, jiwa memiliki tingkatannya sendiri-sendiri bergantung proses autopoetik yang dialami struktur yang terkait, maka mungkin memang sekarang manusia bisa bersombong, karena aliran kompleks informasi hanya terbentuk pada manusia yang otaknya sudah berevolusi, membentuk apa yang kita sadari sebagai kesadaran.

Begitulah Psyche! Jiwa adalah keutuhan kesadaran yang kami miliki sebagai manusia. Maka bantulah kami memurnikan jiwa kami seutuhnya, agar dengan cinta yang murni dapat kami temukan kebahagiaan dalam kehidupan.

Caelum non animum mutant qui trans mare currunt!

Dengan jiwa yang masih berjuang,

Finiarel


(PHX)

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora