Dear Prometheus

- 24 mins

August 4, 2015 at 4:18pm Zaman memang banyak berubah. Perjalanan ribuan kilometer bisa dilalui dengan sangat singkat. Hingga akhirnya walau terkesan jauh, perjalananku dari Sumbawa balik ke Bandung sama sekali tidak terasa membawa lelah apapun pada badan maupun pikiran, mungkin hanya sedikit pegal akibat beban tas yang terlalu berlebihan. Maka dari itu, memanfaatkan setiap waktu, ku mulai menulis lagi semua yang tertunda, termasuk kegelisahanku, atau mungkin tepatnya, keherananku, pada suatu eksistensi yang tak pernah bisa terjelaskan dengan baik. Bisa ku katakan eksistensi ini lah penyebab utama suatu masalah dikatakan masalah, karena kata entitas ‘masalah’ itu sendiri terlahir darinya. Tentu saja, apa lagi yang tidak lebih membingungkan ketimbang memahami suatu makhluk bernama manusia?

Bercerita tentang mitologi tidak sekedar menikmati dunia dongeng, tapi sebuah penelusuran lautan implisitas yang terdifusi dalam pernak-pernik imajinasi. Sayang, sekarang mitologi dinodai oleh film-film fiksi yang mengotori nilai-nilai sesungguhnya dari kisah yang orisinil, maka dalam rangka melestarikan semua nilai-nilai luhur itu juga, aku rangkum lagi semua kegelisahanku dalam bentuk monolog bersama tokoh mitos. Jika sebelumnya dalam surat-suratku dengan dewa-dewa berisi pembahasan mengenai cinta, jiwa, atau kematian, maka kali ini aku mencoba membahas sumber dari mana semua itu berasal. Pada siapa lagi kegelisahan ini aku tuju selain pada seorang titan yang paling mencintai manusia, yang pengorbanannya terhadap manusia tidak bisa ditandingi oleh dewa manapun?


Dear Prometeus, dengan pengorbanannya yang tak terlupakan

Entah dimana kau sekarang, wahai titan agung. Tak pernah lagi ku dengar kabarmu semenjak Herakles membebaskanmu dari hukuman yang mengerikan. Apakah kau telah berbaikan lagi dengan Zeus? Hidup tenang dan beristirahat, selagi memantau perkembangan manusia yang selalu ingin kau tolong? Entah, kabarmu benar-benar hilang entah kemana. Yang ku tahu pertengkaranmu dengan Zeus telah berakhir, menyisakan pembelajaran berharga bagi kami, para manusia. Walau tak ku tahu dimana, aku tuliskan saja apa yang bisa ku tuliskan untukmu. Semoga saja kau bisa mengetahu, entah bagaimana caranya. Bukankah kau seorang peramal yang hebat? Yang mana matamu bisa melihat kejadian-kejadian yang belum terjadi di masa depan? Apapun itu, biarlah aku berharap.

Aku masih terheran dengan apa yang kiranya menyebabkanmu begitu ingin menolong manusia. Bukankah manusia adalah makhluk yang hina? Hingga akhirnya kami berkali-kali dimusnahkan untuk kemudian dilahirkan kembali. Seperti apa yang terjadi pada generasi emas dan perak, generasi perunggu pun musnah akibat sifat-sifat dasar kami. Ah, mengenai kemusnahan generasi ketiga ini, aku teringat bahwa ini hanyalah permainan kesewenang-wenangan Zeus. Aku tak tahu, Prometeus, siapa aku berhak menilai. Namun ingin ku ingat ulang semua yang telah terjadi.


Sebentar, aku teringat sesuatu. Tentu tidak banyak yang paham bahwa dalam mitologi Yunani, manusia lahir dalam 4 generasi: Emas, Perak, Perunggu, dan Pahlawan, maka biarlah aku bercerita sedikit. Memang yang namanya mitologi tentunya memiliki banyak versi, namun mengingat yang cukup umum dipakai adalah karya Hesiod, maka itulah yang ku gunakan. Seperti halnya yang kemudian diceritakan kembali oleh Menealos dan Yannis Stephanides, generasi awal manusia, generasi emas, adalah generasi yang hidup bahagia dengan kenikmatan tanpa henti. Mereka tidak mengenal rasa sakit atau letih, kematian mereka pun perlahan diam-diam bagai tidur yang nikmat. Pada kala itu bumi bagai surga dengan memberikan hasil melimpah ruah. Namun karena kekejaman Kronos, semua itu musnah, yang kemudian dilanjutkan generasi baru, yaitu generasi perak. Generasi ini sangatlah berlawanan dengan generasi sebelumnya, manusia menjadi bodoh dan lemah,tak punya keinginan bekerja dan hidup apa adanya, barbar dan kasar. Hingga akhirnya Zeus tak tahan melihatmereka dan mengirim mereka semua ke Hades.

Zeus setelah itu menciptakan generasi baru manusia yang lebih seimbang, yang tidak sebagus generasi emas namun tidak selemah generasi perak. Pada awalnya semua berjalan biasa, manusia hidup dengan normal dan tetap memuja para dewa. Namun karena ketiadaan pengetahuan, mereka hidup sangatlah sederhana, tinggal di gubuk-gubuk sederhana atau gua-gua, tidak dapat mengolah apapun dengan baik, dan tidak bisa berkembang. Dari sinilah kisah Prometeus muncul. Oke, mari kita lanjutkan.


Memang, Prometeus, manusia generasi perunggu kala itu tidak tahu apa-apa sehingga tidak bisa berbuat banyak dalam hidupnya. Namun bukankah mereka tidak lemah seperti generasi Perak? Sehingga mereka bisa berburu dan bekerja keras dengan baik untuk menghidupi hidup mereka sendiri. Tapi tentu itu tidak bisa membuatmu tahan membiarkannnya, bukan? Aku tak tahu apa yang ada di kepalamu wahai Prometeus, apa yang kau pikirkan sehingga bersedia mengorbankan apapun demi cintamu pada umat manusia. Aku selalu ingat yang kau katakan, “Tidak ada hal yang baik dan indah dapat diperoleh tanpa pengorbanan”.

Bermula dari kau memberikan api pada manusia. Ah ya, api. Aku teringat bahwa api adalah salah satu penemuan paling revolusioner dalam sejarah peradaban manusia. Api memicu semua penemuan dan perkembangan, dari pengolahan pangan hingga bijih logam. Maka itu lah yang kau lakukan. Kau curi Api dari tungku bengkel Hefestus dan kau hadiahkan pada manusia. Dapat bisa ditebak, bahwa tentu kemudian setelah itu hidup manusia mengalami banyak perubahan. Malam tidak lagi gelap dan alam tidak lagi mentah. Seakan tidak cukup sampai di situ, kau bimbing manusia cara melebur logam, meramu obat, hingga memasak hewan. Dengan bantuanmu Prometeus, terbukalah cakrawala baru bagi umat manusia. Tersingkaplah dunia baru yang lebih berwarna. Hadiah api membuat pikiran benderang, hati hangat, dan tubuh kuat.

Dengan demikian, manusia pun tumbuh berkembang dengan pesat hingga kemudian terasa perbedaan antara manusia dan dewa hanya satu, yaitu dewa tidak bisa mati. Kau tentu tahu hal ini tidak menyenangkan hati Zeus karena ia takut manusia kemudian bisa menandingi dewa. Zeus begitu tidak percaya pada manusia. Walau memang, kau begitu percaya diri membantu umat manusia karena semua hawa jahat yang dilepaskan oleh Kronos telah kau kumpulkan dan kau kurung agar tidak bisa menguasai manusia. Apakah itu mungkin? Sebenarnya tidak pantas aku mempertanyakan mitologi, karena tentu ia tidak akan masuk akal dalam pemahaman modern. Tapi bukankah itu menyenangkan wahai Prometeus, jika manusia bisa hidup tanpa ada hawa jahat yang menguasai, tanpa ego, tanpa hasrat, sehingga yang ada hanya kebaikan dan kedamaian.

Mungkin, semua penguasa selalu memiliki ketakutan yang sama. Siapa lagi yang suka ketika yang dikuasainya menjadi hampir setara dengannya? Seperti halnya Kronos yang memakan semua anaknya karena ketakutannya ada yang berani menggulingkannya dari kekuasaannya, seperti yang ia lakukan terhadap ayahnya sendiri, Uranus. Pada akhirnya ego Zeus sebagai penguasa membuatnya selalu berselisih denganmu Prometeus, yang sebenarnya merupakan pamannya sendiri, yang telah membantunya berjuang bersama pada Titanomachy (Perang para Titan) untuk menggulingkan Kronos, menyelamatkan bukan saja para dewa, tetapi juga manusia dari kesewenang-wenangan. Mungkin ia terlalu sombong untuk mengingat semua bantuanmu kala itu, apalagi kau telah mencuri lagi api lagi dari Olimpus ketika Zeus memutuskan untuk menarik kembali semua api dari manusia.

Marah dengan kelakuanmu, ia pun tidak bisa menahan diri lagi. Ia memang penguasa mutlak, bisa berkehendak apapun, namun ia tentu harus memiliki cukup alasan bila ingin memberi hukuman agar tidak terkesan sewenang-wenang seperti Kronos. Terutama karena kala itu kedamaian masih menjadi suasana, manusia tidak banyak melakukan kesalahan fatal, atas dasar apa Zeus memberi hukuman? Maka disusunlah sebuah rencana olehnya. Beberapa dari kami masa kini mungkin sering mendengar kata Pandora, namun tidak memahami dari mana sesungguhnya kata itu berasal, dan dari sinilah kisah Pandora itu muncul, yang mungkin tak akan pernah kau lupakan. Ya, Prometeus, tentu kau ingat, Pandora adalah jebakan yang disiapkan Zeus untuk umat manusia.

Maafkan aku bila membuatmu menjadi mengingat ulang semua kejadian, wahai Titan. Aku hanya ingin melacak jejak semua perbuatanmu dan berusaha memaknainya, apakah itu salah? Tentu semua kisah memiliki pembelajaran bukan? Apalagi ketika Pandora menunjukkan rasa penasaran terkadang bisa menjadi pedang yang sangat mematikan. Aku ingat Pandora berarti “segala hadiah” dalam bahasa Yunani. Tentu, karena ia merupakan hadiah yang disiapkan Zeus untuk saudaramu, Epimeteus, yang kau tugaskan untuk menjaga guci berisi semua hawa jahat yang telah kau kumpulkan dulu. Tentu kau ingat seperti apa wujud Pandora, Prometeus. Apa lagi yang bisa melunakkan hati Epimeteus selain seorang wanita cantik! Apalagi segala bentuk hadiah dan perhiasan mengiringi Pandora. Sayang, walaupun kau dan Epimeteus bersaudara, kalian sangat berbeda, kau pasti sadar bahwa Epimeteus sangat berkemauan lemah, beda denganmu yang selalu memegang teguh pendirian. Apa daya kau mengingatkan Epimeteus untuk tidak menerima pemeberian apapun dari Zeus, Epimeteus terlanjur terlena dan menyambut Pandora dengan tangan terbuka, bahkan memperistrinya. Hal ini mengingatkanku bahwa satu-satunya benteng terkuat dari semua ego dan nafsu hanyalah sebuah kemauan dan kehendak yang kuat, a strong will. Begitu banyak yang mudah terlena dengan egonya sendiri karena tidak punya jati diri, sebuah pendirian.

Maka masuklah saudaramu dalam perangkap, Prometeus. Celakalah ia, karena Pandora diberi Zeus memiliki sifat ketidakpatuhan dan rasa penasaran yang tinggi. Percuma Epimeteus mengingat larangan kerasmu akan guci yang kau titipkan, karena berikutnya larangan Epimeteus terhadap Pandora hanya akan membuat Pandora semakin penasaran dengan isi guci itu. Hingga akhirnya, suatu ketika Epimeteus tengah tiada di rumah, Pandora tidak dapat menahan diri lagi. Ah seandainya kau melihatnya, kau pasti akan sangat kecewa. Dibukanyalah guci itu dan keluar lah seluruh hawa jahat: kelaparan, kebencian, penyakit, dendam, kegilaan, dan hawa-hawa lain yang sama buruknya. Semua hawa jahat itu menyebar ke seluruh permukaan bumi, merusak hati semua manusia. Maka segalanya pun terjadi tepat seperti yang direncanakan Zeus, hal yang sangat membuatmu sedih kala itu.

Dengan lepasnya seluruh hawa jahat, kehidupan manusia berubah, kesengsaraan dan kejahatan terjadi dimana-mana silih berganti tanpa henti, memberi Zeus untuk memberi hukman pada mereka, memusnahkan seluruh manusia seperti yang ia lakukan pada generasi Perak. Dan kau hanya bisa memperhatikan semua itu dengan duka yang mendalam. Dengan memburuknya sifat manusia, apalagi tidak lagi menghormati para dewa, Zeus menyalahkanmu dan menyiapkan hukuman, untukmu dan untuk seluruh umat manusia.Tapi tidakkah itu aneh, Prometeus? Siapa yang mengirimkan Pandora ke bumi? Siapa yang bertanggung jawab atas kejahatan yang kini mewabah di dunia? Siapa yang harus dipersalahkan bila manusia berada dalam keadaan yang amat menyedihkan? Mungkin karena ini mitologi, tidaklah terlalu masalah jika Zeus tidak mempertimbangkan itu semua dan langsung menjatuhkan keputusan. Tapi ini cukup mengusik, Prometeus. Siapa yang sebenarnya membuat manusia menjadi jahat? Apakah manusia jahat karena keinginannya sendiri? Apakah manusia salah ketika misalnya ia menjadi jahat karena masa kecil yang kurang baik dan ia tumbuh dengan psikologis yang tidak normal? Apakah manusia memang bisa salah, ketika sebenarnya kuasa manusia terhadap takdirnya sendiri begitu minim? Mungkin akan lancang bila menyalahkan Yang Kuasa sepenuhnya, entah siapa, mungkin Zeus, mungkin juga yang lain, bergantung kepercayaan masing-masing, tapi salahkan kami atas sebab-sebab yang tidak bisa kami kendalikan? Tidak perlu kau jawab Prometeus, tidak perlu. Sebenarnya telah ku coba cari jawabannya dalam suratku pada dewi-dewi Takdir, para Moirae. Aku tidak ingin terlalu memikirkan itu sekarang.Lagipula siapa aku berhak bertanya.


Jeda. Seperti biasa. Mengumpulkan dan menata kata-kata. Apa yang terjadi selanjutnya sebenarnya merupakan kisah hampir di semua peradaban. Mengenai banjir besar yangmenenggelamkan semua manusia, bukankah itu dikisahkan dimana-mana? Dari bangsa Viking hingga Islam, hanya tokoh dan embel-embelnya yang berbeda, termasuk Yunani. Aku sendiri cukup terheran-heran kenapa kisah banjir bisa diceritakan di berbagai tempat dan waktu yang berbeda. Apakah karena memang kisah ini nyata dan mengalami modifikasi berbeda-beda oleh manusia? Sepertinya begitu. Ini juga menjadi sebuah bukti bahwa semua konsep mitologi pada akhirnya berakar sama. Aku sering memperhatikan, kisah mengenai perang besar, atau sebuah epik, pun selalu ada, namun dengan bentukan yang berbeda, seperti Ragnarok di Viking, Perang Troya di Yunani, atau Barathayudha di India. Memang, semakin kita mengetahui mitologi, semakin semua terasa indah dan menarik. Mitologi bagaikan bungkus yang merangkum berbagai pembelajaran dalam kisah-kisah yang pantas dibaca siapapun , dari anak-anak hingga dewasa. Mitologi hanya sejarah yang berhias.Baiklah, kita lanjutkan saja.

Dengan keputusan mutlak Zeus itu, mengenai sebuah banjir yang akan menenggelamkan tidak hanya seluruh manusia, tapi juga seluruh makhluk hidup yang ada di bumi, Zeus langsung memanggil angin selatan yang basah dan menyuruhnya pergi menuju tempat yang Okeanus, sang Titan penguasa samudra, yang membentang luas tanpa batas, dengan awan-awan berat yang penuh berisi air, untuk menggiring semua awan itu menuju daratan di seluruh dunia. Untuk kali ini, aku mencoba mengutip bagaimana Menealos dan Yannis Stephanides menggambarkan keadaan kala itu :

“Segera saja mega hitam menyelubungi bumi. Awan terus datang dan bertambah tebal sehingga langit merupakan hamparan hitam amat luas, dan seluruh alam pun berselimut awan hitam. Tiba-tiba, langit dan bumi diterangi sekaligus oleh kilatan cahaya yang menyilaukan, dan guntur yang memekakkan telinga menggelegar menggetarkan dunia, bergema dan bergema kembali bagaikan pratanda datangnya hari kiamat. Tiba-tiba semua berhenti, hening, senyap, mengerikan. Lalu datanglah bencana itu. Di tengah kilat sabung-menyabung dan guntur menggemuruh turunlah awan hujan badai bagai seribu air terjun yang dicurahkan sekaligus dari langit. Awan yang penuh padat dengan hujan yang dikumpulkan dari samudra tanpa batas menumpahkan muatannya dalam air bah yang terus mengalir tanpa henti, tiada habis-habisnya. Air cepat menggenangi daratan, dan bukit-bukit terendam. Namun badai terus mengamuk tanpa ada tanda akan mereda, sampai seluruh alam berubah menjadi samudra luas yang membentang dari ufuk ke ufuk, dan gunung-gunung tertinggi sekalipun tertelan air. Hanya Olimpus yang mahatinggi dan puncak kembar Parnasus yang masih terlihat tersembul di permukaan air.”

Benar-benar penggambaran yang memukau mengenai situasi datangnya banjir. Banyak yang mengenal kisah ini sebagai kisah Bahtera Nuh, namun kali ini, di mitologi Yunani, kita mengenalnya dengan Banjir Besar Deukalion. Kenapa Deukalion? Daripada terlalu banyak intermeso di tengah usaha pengumpulan kata-kata di tengah malam yang tenang, sebaiknya aku lanjutkan saja suratku pada sang Titan.


Dimanakah kau kala itu Prometeus? Tentu saja kau tidak akan tinggal diam melihat hal ini. Tentu, tentu. Kau pasti akan menyelamatkan manusia bagaimana pun caranya. Dan itulah yang kau lakukan! Sekali lagi kau tunjukkan pengabdianmu pada umat manusia, mengacaukan rencana Zeus yang menginginkan penghancuran total seluruh bangsa manusia. Tapi tidak, tidak total. Anakmu melakukan tugasnya dengan baik. Ya, Deukalion, raja Ftiotis, yang atas petunjukmu, sang ayah, membangun bahtera dari ratusan pohon ek dan pohon sipres. Dengan bantuan istrinya, Pirha, dan anak-anaknya, pekerjaan Deukalion berjalan lancar dan cepat. Kau tentu bangga dengan anakmu Prometeus, karena berikutnya ia dan Pirha lah yang menjadi penyelamat umat manusia, yang kemudian memulai generasi baru umat manusia, setelah berakhirnya generasi Perunggu akibat banjir teresebut.

Setelah semuanya siap, maka berdatanganlah berbagai jenis hewan berpasang-pasangan memasuki bahtera tersebut, dari rusa yang jinak hingga singa yang buas. Mereka datang dengan kemauan mereka sendiri. Bersamaan dengan itu, anakmu juga menyiapkan semua bekal dan persediaan makanan yang cukup untuk mereka semua. Tepat waktu, ketika semua selesai, langit telah gelap oleh awan hitam, dan terjadilah badai itu. Entah sebenarnya berapa lama mereka mengapung terombang-ambing oleh badai, namun dikisahkan pada hari kesepuluh sejak terjadinya badai, mereka mendarat di puncak Parnasus, satu-satunya gunung selain Olimpus yang tidak terendam banjir. Walau sebenarnya ada beberapa versi mengenai ini Prometeus, entah mana yang benar. Bagi orang Italia selatan mengatakan bahwa Deukalion terdampar di gunung Etna, atau bagi negeri-negeri di timur, orang-orang percaya Deukalion sampai ke puncak gunung Libanon. Tak apalah Prometeus, biarlah kisah ini menjadi pembelajaran buat kami semua.

Kau tahu hanya Hera yang bisa menenangkan amarah Zeus, maka berdoalah anakmu pada ratu langit untuk membantu mereka. Seketika, puncak Parnasus yang awalnya hanya satu terbelah dua hingga saat ini, membuat sebuah lubang besar tanpa dasar yang mana seluruh air masuk ke dalamnya, menyurutkan banjir, dan memperlihatkan kembali daratan yang luas, sebelum akhirnya lubang itu menutup kembali. Zeus yang telah puas dan amarahnya cukup reda berniat membantu Deukalion dan Pirha membentuk generasi baru manusia. Maka diberikanlah petunjuk pada pasangan itu untuk melemparkan tulang ibu mereka ke belakang. Tulang ibu? Tentu saja, yang ia maksud adalah ibu bumi, sang Gaia, dan tulang-tulangnya adalah batu-batuan. Dari batu-batu yang dilempar oleh Deukalion, muncul seorangmanusia laki-laki, dan dari batu yang dilemparkan oleh Pirha, muncul seorang manusia perempuan. Dengan demikian lahirlah sebuah generasi baru umat manusia, generasi yang sangat kau banggakan Prometeus, dan lahirlah zaman penuh kisah dan perjuangan, karena kelak generasi baru ini dikenal dengan generasi pahlawan, yang di dalamnya lahir Perseus, Belerofon, Teseus, Jason,Oedipus, Para pahlawan Troya, Akhiles, Odisesus, dan tentu saja, yang kelak akan menyelamatkanmu dari siksaan, Herakles.

Mungkin akhirnya manusia bisa membangun ulang semuanya dan menjadi generasi yang terbaik setelah itu, tapi tidak bagimu Prometeus. Karena begitu Zeus puas dengan manusia, tiba saatnya baginya untuk memberimu hukuman atas kelancanganmu. Apakah itu adil? Kau dihukum atas bantuan yang kau berikan untuk umat manusia. Tapi apalah artinya adil ketika sistem kekuasaan dewa adalah mutlak, bagai sebuah tirani. Maka sekali memutuskan, apa yang dikatakan Zeus tidak bisa ditarik kembali. Penguasa para dewa dan manusia itu telah memerintahkan agar kau diikat dengan rantai dan dipakukan ke gunung batu di daerah yang masih liar untuk selamanya.Ya, Selamanya, Prometeus! Betapa kejamnya Zeus hanya karena kau telah mencuri api untuk manusia, dan betapa besar pengorbananmu untuk cintamu pada umat manusia.

Hingga akhirnya pun selama bertahun-tahun tangan dan kakimu di rantai di puncak kaukasus, gunung yang letaknya jauh di timur, dimana Helios memulai perjalanan hariannya melintasi langit hingga samudra luas di barat. Dengan dadamu pun terpaku kuat oleh Hefestus pada batu karang. Bagai Yesus yang rela disalib demi umat manusia, kau pun begitu, namun bedanya, kau seorang Titan! Kau hidup abadi, kau tidak bisa mati, artinya rasa sakit yang kau tanggung untuk hukuman itu adalah selama-lamanya. Padahal jelas, kau tidak membujuk manusia dnegan khayalan dan janji-janji kebahagiaan abadi, kau hanya menguakkan pikiran kami, membuka cakrawala kami, agar kehidupan lebih dapat kami jalani dengan lebih maksimal. Karena apa pula yang kami butuhkan dalam hidup selain totalitas dalam hidup itu sendiri? Apa kami membutuhkan janji-janji akan kehidupan surga yang indah atau mungkin ancaman-ancaman mengenai hukuman setelah mati? Tidak. Aku jadi teringat kata seorang kawan, Prometeus, bahwa janganlah memberi tahu manusia cara untuk hidup, tapi buatlah ia hidup! Apalah artinya cara bila kami tidak bisa jujur dan terbuka dengan hidup kami sendiri. Dan kau telah menunjukkan itu Prometeus. Kau simbol jati diri yang kukuh dan jujur, yang melakukan tanpa takut ancaman atau berharap pujian, sekuasa apapun Zeus.

Bagiku kisahmu tidak sekedar sebuah mitos yang beredar dan dilestarikan, namun kisahmu adalah lambang perlawanan terhadap kesewenang-wenangan, dan lambang teguhnya pendirian dan jati diri. Aku teringat kau pernah mengatakan, Ketidakadilan menimbulkan hukuman yang paling berat untuk mereka yang berjuang menentangnya. Dan itulah yang memang hampir selalu terjadi bukan? Ah, tapi apalah arti keadilan wahai Prometeus? Ketidaktahuan kami akan takdir membuat keadilan itu hanya bagai gua gelap yang hanya perlu diterangi dengan keyakinan. Manusia bagai makhluk terkutuk dengan anugrahnya sendiri. Akal membuat kami memiliki rasa ingin tahu, namun jelas selalu ada keterbatasan bagi kami untuk tahu, lalu untuk apa? Yang jelas,kau menunjukkan bahwa dengan semua itu yang terpenting adalah hidup sepenuhnya! Melakukan semua hal tanpa setengah-setengah, tanpa kemunafikan. Apalah artinya hidup bila hanya tertuntut tanggung jawab, dosa, pahala, dan hal-hal lainnya yang membuat kami hanya menjadi boneka yang tidak punya kehendak?

Kau dengan jelas menunjukkan itu semua Prometeus, kau memperihatkan bahwa ada yang lebih penting bahkan daripada hidup itu sendiri, yaitu sebuah jati diri, pendirian. Disiksa seberat apapun, bukankah lebih baik mati ketimbang jati diri direbut dan dirampas dengan ketertundukan? Membuatku sadar satu hal Prometeus, hal yang sangat fundamental, bahwa memang tidak ada yang lebih dibutuhkan manusia selain kemerdekaan! Kemerdekaan diri, yang tidak tunduk pada apapun.Selama ribuan tahun, bahkan hingga saat ini, manusia saling berperang dan bertengkar hanya memperjuangkan satu ide: Kebebasan.Seseorang bekerja, mencari nafkah, berkarya, menuntut ilmu, mencintai, membenci, memperebutkan kekuasaan, membunuh, mengumpulkan harta, berbuat baik, dan semua hal lainnya dalam hidup dilakukan hanya untuk sebuah satu ide dasar : Kebebasan. Ya, kebebasan diri, entah apa bentuknya. Yang berbeda hanya bagaimana manusia memanifestasikan ide dan mentransformasikan ide tersebut menjadi suatu bentuk konkrit, menjadi suatu bentuk yang lebih detail: ideologi. Emang apa yang dijanjikan setiap agama, paham, aliran, pemikiran, selain sebuah kebebasan? Entah kebeasan kelak ketika mati, ataupun kebebsan selama menjalani hidup. Kebebasan hati dalam mengikhlaskan segala sesuatu, atau kebebasan pikiran untuk merangkai semua pola.

Kau benar-benar menjadi simbol ide tersebut Prometeus, simbol kebebasan. Mau bagaimanapun Zeus menyiksamu, kau tetap memiliki kebebasan dalam diri, kau tetap mencintai manusia dan memikirkan kami. Ingatkah kau ketika beberapa saat sebelum kau dihukum, kau masih sempat berpesan pada Atena untuk menjaga manusia demi kau. Dan Atena benar-benar melaksanakannya, Prometeus. Ia tuntun manusia semua keterampilan, ia buat manusia agar dapat mencipta keindahan, melalui pahatan, tenunan, lukisan, atau apapun, ia buat manusia paham makna berbuat baik, ia buat manusia, ia pahamkan arti kebijaksanaan. Memang, kebebasan yang sesungguhnya tidak pernah memiliki kejahatan, karena sesungguhnya kejahatan hanyalah ketertundukan pada emosi dan nafsu! Ini hal yang sering disalahartikan oleh beberapa orang mengenai arti kebebasan, menganggap ketika melakukan sesuatu sesuka hati adalah sebuah kebebasan. Bukan, bebas yang paling hakiki adalah bebas dalam diri, bebas dalam hati, tidak tunduk, bahkan pada rasa lapar dan kantuk sediitpun. Bukankah itu semua yang kau harapkan? Ah, memang inilah bukti jelas kebebasanmu dalam memiliki jati diri, tiada apapun yang bisa mengubah dan mengusiknya. Kau tidak tunduk pada apapun, bahkan pada fisikmu sendiri yang terskisa.

Bahkan, ketika kau dipaksa Hermes untuk mengungkap rahasia mengenai masa depan Zeus yang kau ketahui dengan kekuatanmu meramal, kau dengan tegas mengatakan “Terikat pada gunung ini seribu kali lebih baik daripada tenggelam menjadi budak kesayangan Zeus.” Hal ini mengingatkanku pada orang-orang teguh yang bersedia mati untuk ideologi yang dibawanya. Ya, itu lah kebebasan! Ketika bahkan rasa takut terhadap kematian pun tidak akan dapat membuatnya tertunduk. Ah, tapi melihat keadaan masa kini Prometeus, sedikit sekali yang benar-benar memiliki kebebasan seperti itu. Betapa mudahnya manusia tunduk, pada nafsunya, pada kemudahan, pada janji-janji manis teknologi, pada globalisasi, pada keadaan. Ya, tunduk pada keadaan, tunduk bahwa memang seperti inilah seharusnya manusia hidup, tanpa ada kebebasan sedikitpun untuk memilih dan memegang teguh pendirian. Bila ku ingat kembali yang ku tuliskan pada Eros, bahwa manusia hanya butuh pengabdian dalam hidup, yang termanifestasikan pada suatu esensi bernama cinta, dengan pengabdian itulah manusia membebaskan dirinya. Jati diri selalu terwujud dalam bentuk pengabdian terhadap suatu hal, cukup satu hal. Dan dengan jati diri itulah manusia mewujudkan kebebasannya, dengan tidak tunduk pada apapun selain itu, selain dirinya sendiri.

Seperti suratku pada Eros, cinta adalah kehidupan, dan cinta yang menentukan apa yang kami pertahankan mati-matian dengan kebebasan kami. Ketika kau mencintai umat manusia sepenuh hati, kau gunakan seluruh kebebasanmu untuk mereka, untuk kami, mau bagaimanapun kau disiksa, mau bagaimanapun kau diapa-apakan. Inilah yang sebelumnya aku maksud ada hal yang lebih penting bahkan daripada hidup itu sendiri. Yang deminya, kita bersedia mengorbankan apapun. Membuatku teringat kembali kata-katamu, “Tidak ada hal yang baik dan indah dapat diperoleh tanpa pengorbanan”. Keindahan sesungguhnya dalam hidup adalah dengan menghayati setiap pengorbanan sebagai bentuk kebebasan diri yang tidak tunduk pada apapun selain kemana kita mengabdi.

Sudah menjadi suatu hal yang sangat wajar ketika manusia melakukan apapun untuk kebebasannya. Maka kesimpulanku sama seperti kesimpulanku pada Eros, yang terpenting adalah bagaimana kami memilih objek dari cinta, objek dari pengabdian itu. Kepada apa atau kepada siapa kami bersedia dengan semua kebebasan kami tidak tunduk pada apapun selain pada hal tersebut. Entah pada kekuasaan, harta, ilmu, keluarga, ataupun Tuhan yang diyakini pada agama masing-masing, semua orang akan melakukan apapun untuk hal tersebut, tergantung apa yang ia pilih untuk menjadi objek pengorbanan. Maka dari itu bukankah wajar ketika kebebasan saling berselisih, menimbulkan konflik dan peperangan? Antar agama, antar ideologi, atau sekedar antar ambisi dan ego pribadi. Itulah kenapa kau minta Atena untuk mengajarkan manusia bahwa yang terpenting dari kebebasan itu adalah kebijaksanaan memanifestasikannya, dengan tidak mengusik kebebasan yang lain, tidak saling berselisih dan saling menghargai. Bukankah semua itu indah? Bukankah itu yang sebenarnya kau harapkan dengan membuka cakrawala manusia agar mereka sadar sepenuhnya apa yang mereka lakukan. Bukan sekedar terperangkap dalam ketidaktahuan dan kepatuhan buta. Maka memang, api yang kau berikan adalah simbol cahayacakrawala itu, simbol penerangan akan kesadaran manusia, simbol peradaban.

Manusia memang makhluk yang rumit, gabungan semua sarafnya membuat manusia memiliki milyaran probabilitas informasi yang bisa ditangkap setiap detiknya. Dan kombinasi semua informasi tiap detik itu membentuk manusia setiap kali waktu berdetak. Maka sangatlah wajar ketika manusia bagai tidak punya batas ketidakwajaran, apapun mungkin! Dari yang sangat aneh hingga yang sangat perkasa, dari yang sangat bodoh hingga yang sangat bijaksana. Karena kompleksitas informasi yang teraduk dalam dirinya selalu mentransformasikan manusia setiap bingkai waktu. Dan bagimu, denga semua kompleksitas itu manusia tidak pernah bisa disalahkan atas apapun yang mereka lakukan, karena semuanya merupakan permainan rumit yang di luar kendali. Yang terbaik hanyalah memberi kesadaran pada manusia dan membuat mereka menghidupi hidup mereka sepenuhnya. Karena yang terpenting bukanlah bagaimana kami hidup, tapi hidup itu sendiri, apa yang kita abdikan dan apa yang kita perjuangkan dengan kebebasan kami. Mungkin pertanyaan itu akan terus muncul, apakah manusia bisa disalahkan atas apapun yang dilakukannya, walaupun perbuatan paling jahat sekalipun? Apakah manusia memang bisa memilih ketika ia melakukan kejahatan? Entahlah, siapa aku berhak bertanya. Tetap yang terpenting adalah menghidupi hidup. Karena bukankah lebih baik orang yang punya pendirian sekalipun itu jahat ketimbang tidak punya pendirian sama sekali? Aku jadi teringat salah satu khotbah agama yang ku ikuti, “Lebih baik jahat tapi konsisten dengannya ketimbang baik namun tidak punya konsistensi”. Ya, konsistensi adalah manifestasi penguatanjati diri. Yang menentukan seberapa besar kekuatan integritas kita mempertahankan apa yang kita abdikan.

Semenakutkan apapun Zeus mengancammu, toh kau tetap menunjukkan konsistensi yang luar biasa terhadap pendirianmu, bahwa kau tidak akan tunduk sekalipun. Walau akhirnya hukumanmu ditambah dengan dilontarkan ke kedalaman dan kegelapan Tartarus selama bertahun-tahun dan kemudian dinaikkan kembali ke bumi namun dengan elang yang selalu mencabik-cabik tubuhmu setiap paginya? Apalagi kau seorang Titan, setelah tubuhmu terkoyak, kau akan sembuh kembali, untuk esok paginya dikoyak lagi. Sungguh sebuah siksaan yang luar biasa, namun sama sekali tidak mengubah pendirianmu, tidak mengubah rasa cintamu pada umat manusia. Untung memang, akhirnya, salah satu dari umat yangkau selamatkan, datang padamu ketika tersesat dan terpisah dari rombongan dalam perjalanan bersama Jason dan para Argonot, sebuah perjalanan epik mencari kulit domba berbulu emas. Ya, dialah Herakles, yang dengan panah berlumur racun Hidra Lernanya, yang ia dapat dari tugasnya yang kedua dari 12 tugas berat yang dibebankan kepadanya oleh Eristeus, ia membunuh elang yang menyiksamu, dan dengan gadanya yang sangat kuat, ia memutus rantai yang mengikatmu.

Setelah itu, dimanakah kau sekarang? Entahlah, mungkin bertransformasi menjadi gagasan mengenai kebebasan yang menyebar ke semua orang, yang menyadarkan manusia bahwa ada yang lebih penting ketimbang hidupitu sendiri, yaitu jati diri, kepada apa kita mengabdikan hidup kita. Dimanapun kau berada Prometeus, kau telah memperlihatkan sesungguhnya apa itu pengorbanan, apa itu pengabdian, dan apa itu kebebasan.

Salam pembebasan! Veritas Liberabit Vos

Dengan kebebasan untuk hidup sepenuhnya,

Finiarel


Pada akhirnya aku hanya ingin bercerita. Apa yang terjadi dengan Zeus, Prometeus, Herakles, ataupun dewa-dewa lainnya, tidak ada yang tahu. Puncak Olimpus saat ini pun hanya ditemani angin dingin dan kabut yang tebal, menyisakan kisah-kisah epik masa lalu. Tapi bukankah yang terpenting dari cerita adalah maknanya? Janganlah merusak keindahan suatu kisah dengan rasionalitas, karena pada akhirnya, kumpulan kisah seperti mitologi adalah paket kisah bijak yang cemerlang bagai jalinan terang imajinasi yang muncul dari kedalaman berabad-abad. Sayang, pikiran manusia masa kini sudah dirusak oleh logika dan ilmu pengetahuan, melupakan hal-hal indah yang melampaui rasionalitas itu sendiri. Tapi tak apalah, karena apalah arti menyalahkan, yang terpenting dimanapun dan kapanpun kita hidup, mari hidupi hidup ini sepenuhnya.

(PHX)

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora