Dear Khronus
- 17 minsDear Khronus, yang tanpa henti berputar
Tidakkah kau lelah di atas sana wahai yang menyelimuti dunia?Biarlah aku di sini menemanimu dalam ragam kata-kata, walau mungkin tidak ada artinya. Tak mengapa. Karena seperti biasa, aku hanya ingin melontarkan tanya, sebagai bentuk semua gelisah penuh rasa. Kau tak perlu berhenti sejenak Khronus, biar aku yang mengikutimu, seperti halnya semua manusia sejak kami pertama kali muncul. Tentu, perasaan tidak enak itu selalu menghantui, merasa lancang atas tingginya dewa-dewa, yang dengan berani ku berikan surat sederhana. Ya, termasuk denganmu Khronus, yang mungkin menguasai semua makna.
Aku tak mampu mendeskripsikanmu wahai Khronus, kau berada jauh dalam tataran abstrak. Walau mungkin kami dapat membayangkanmu terus mengelilingi semesta bersama Ananke, tapi mungkin kau sesungguhnya telah melebur dalam setiap komponen semesta. Ya, kau lah waktu , Khronus. Kau yang membawa semesta ini. Bahkan mungkin bisa ku katakan, kau berada melampaui semesta. Seperti apa yang kaum Yunani menggambarkanmu Khronus, kau memutari semesata layaknya roda waktu yang terus menerus berputar menjalankan jagad raya. Kau yang menghidupi semesta ini dengan membuatnya berjalan, tapi kau sendiri bukanlah bagian dari kehidupan itu. Bagaimana lagi aku bisa menjelaskan eksistensi bernama waktu?
Ribuan tahun manusia mencoba memahamimu Khronus. Kau beda dengan Takdir, mereka berdiri di atas landasanmu. Kau beda dengan Kematian, karena kau entitas yang tak mengenal “Mati”, kau berbeda dengan jiwa, karena kaulah yang membuat jiwa itu “hidup”. Bahkan pada tiitk ekstrimnya, bisa ku katakan segala sesuatu tidak ada tanpa dirimu. Atau mungkin lebih tepatnya semesta akan hanya sebuah “keadaan” yang diam dan tidak hidup tanpa dirimu. Bukankah kau yang menjiwai semesta dengan membuatnya selalu bergerak? Bahkan apalah artinya dewi-dewi Moirae tanpa dirimu? Takdir hanyalah penentuan arah semesta dalam tiap aliran waktu itu sendiri! Maka apalah artinya takdir tanpa waktu? Kau bagai penguasa segala sesuatu Khronus. Kau jaga semua keseimbangan dengan terus mengalir mengelilingi semesta.
Kau selalu dipertanyakan Khronus. Bagaimana tidak, pemahaman terhadap dirimu selalu berbeda-beda. Untuk eksistensi seabstrak dirimu hal ini tentu adalah kewajaran, namun tetap saja menyebabkan kegelisahan. Kau buat orang tersiksa denganwaktu yang sempit, atau terlena dengan waktu yang lapang. Kau permainkan emosi dan kesabaran tiap manusia dengan aliranmu. Walau secara ironis, kau sebenarnya tidak pernah mengubah apapun dalam mengalir. Ya, bukankah semua selalu konstan sejak pertama kali kau belah telur dunia menjadi tiga bersama Ananke? Kau muncul bahkan sebelum semesta ada dan kaulah yang mengerami telur dunia bersama pasanganmu, Ananke Yang Tak Terhindarkan (Inevitability). Hingga akhirnya, kalian pecah telur dunia itu menjadi tiga bagian, bumi, laut, dan langit dan mengelilinginya terus menerus hingga saat ini, tanpa ada yang berubah. Lantas apa yang perlu dituntut dari waktu? Bukankah kau selalu memberikan dirimu apa adanya tanpa pengubahan apapun?
Jika memang kau selalu sama dari awal penciptaan hingga saat ini, bukankah berarti itulah keadilan terbesar yang dimiliki manusia? Manusia bisa saja terlahir dengan keadaan dan kondisi yang berbeda-beda, pula dengan skenario takdir yang berbeda-beda, namun bukankah setiap manusia sama-sama memilki 24 jam tepat setiap harinya? Tidak kurang tidak lebih? Bukankah waktu itu juga mengalir dengan kecepatan yang sama untuk semua orang di manapun? Lalu kenapa manusia masih seperti menuntut dirimu Khronus? Seakan-akan apa yang kami terima tidaklah cukup buat kami. Sungguh memang manusia tidak bisa menghargai. Maafkan atas kerakusan kami.
Dengan semua keadilan yang kau berikan Khronus, apakah ada yang bisa disebut dengan sia-sia? Tapi bukankah terkadang waktu bisa terpakai dengan cara yang berbeda-beda? Ketika manusia yang satu bisa menghasilkan satu lukisan dengan waktu yang sama yang dihabiskan peminum untuk terlelap karena mabok, apakah itu berarti nilai waktu yang mereka miliki berbeda? Atau kami terlalu naif untuk memahami makna waktu? Apakah tidur dan melukis dengan durasi yang sama dapat dibandingkan? Bukankah kedua-duanya memiliki maknanya masing-masing? Bahkan seseorang yang menghabiskan waktunya hanya untuk berjudi dan bermain wanita pun tidak bisa dikatakan sia-sia bila kelak semua itu akan jadi pembelajaran berharga buat hidupnya. Dengan demikian, apakah makna tiap detik waktu itu berbeda-beda? Sepertinya tidak Khronus. Makna yang kau berikan apa adanya telah sama untuk seluruh semesta. Akan menjadi tidak adil bila waktu itu memiliki nilai yang berbeda untuk setiap orang. Yang menjadi masalah adalah seberapa besar makna itu bisa diserap sepenuhnya oleh manusia yang menjalaninya. Itulah arti pembelajaran kan Khronus. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini selama kami bisa selalu mengambil pembelajaran dari tiap detik waktu. Maka sebijak-bijaknya manusia adalah yang selalu mampu mengambil hikmah dalam tiap proses.
Rugi atau tidaknya kami manusia pada akhirnya hanyalah mengenai seberapa banyak makna dan pemebelajaran yang bisa kami ambil dalam setiap waktu yang terlewati. Bahkan salah satu agama kami bersumpah demi engkau, bahwa manusia sesungguhnya berada dalam kerugian. Namun terlepas dari subjektivitas manusianya, bukankah penggunaan waktu bisa dibuat lebih padat dengan metode yang tepat? Artinya dengan durasi waktu yang sama, apa yang dihasilkan bisa berbeda. Dari sinilah muncul istilah efektivitas bukan? Lantas itu artinya apakah waktu bisa dimampatkan wahai Khronus? Tapi bukankah waktu itu sendiri seharusnya memperlihatkan diri apa adanya dalam bentuk yang tidak bisa diubah lagi? Ah ya, aku terlupa bahwa waktu tidak pernah lepas dari makna. Semua hanyalah terkait makna. Ia abadi layaknya materi dan energi. Ketika waktu yang digunakan dipersingkat, maka tentu makna yang didapat juga semakin sedikit. Ketika motor memepersingkat waktu untuk berpindah tempat, maka makna dari berjalan kaki banyak yang hilang. Ketika HP mempersingkat waktu untuk berkomunikasi, maka makna dari sebuah pertemuan langsung banyak yang hilang. Waktulah sesungguhnya yang merupakan sumber makna. Darimu lah semesta memilki jiwa dan arti untuk terus ada.
Masih tentang makna, sepertinya ironi waktu yang dirasakan manusia disebabkan oleh makna ini juga. Sering kali terjadi untuk durasi waktu yang sama, beberapa orang merasa itu singkat, dan beberap a orang yang lain merasa itu lama. Tentu saja semua itu bergantung bagaimana kami memaknai waktu tersebut bukan? Memang semua menjadi sangat realtif bergantung subjek yang mengalami. Ketika dalam suatu periode waktu kami melakukan sesuatu yang bermakna banyak bagi kami, waktu akan terasa secara subjektif terlalui dengan cepat, sedangkan sebaliknya, ketika kami melakukan sesuatu yang tidak bermakna banyak, waktu akan terasa terlalui dengan lambat. Ini permainan persepsi dari manusia sendiri jugasebenarnya. Yang mana suasana hati sangat menentukan bagaimana kami melihat dunia, termasuk waktu. Namun bentuk sesungguhnya pada dasarnya tidak pernah berubah. Satu detik adalah satu detik, baik bagi yang sedang kasmaran ataupun yang sedang stres ujian. Itulah mengapa beberapa ajaran timur mengajarkan untuk melepaskan diri dari persepsi dan perasaan, agar bisa merasakan jalannya waktu apa adanya, tanpa terasa semakin cepat ataupun lambat.
Waktu dalam persepsi yang relatif seakan-akan sesuatu yang bisa dimiliki. Bagaimana orang melakukan sesuatu selalu dikaitkan dengan apakah orang tersebut “memiliki” waktu untuk melakukan itu. Cih, apalah arti kepemilikan. Seperti yang dikatakan Lao Tze, “Mengatakan ‘saya tidak punya waktu’ sama seperti berkata ‘saya tidak mau’. Waktu itu selalu ada, tinggal apakah kita mau merengkuhnya, mengambilnya, dan memanfaatkannya. Waktu tidak dimiliki oleh siapapun, ia hanya ada untuk membuat kami bisa “bergerak”, ia hanya “tempat” bagi semesta untuk melakukan segala sesuatu. Ya, waktu bagaikan arena, yang bebas dimanfaatkan oleh siapapun, untuk tidur kah, untuk mengembangkan diri kah, untuk makan kah, segala sesuatu bisa dilakukan di arena ini. Hanya saja, arena ini terus menerus menyempit, hingga pada suatu titik, ruang gerak kami untuk melakukan sesuatu semakin terbatas dan semakin sedikit yang bisa kami lakukan. Ah, arena ini pun sangat bergantung perspektif. Tentu saja arena bumi jauh lebih luas ketimbang arena kami sebagai manusia individu. Bagaimana kami memandang waktu memang membuat waktu itu sendiri menjadi relatif. Tapi terlepas dari subjeknya, waktu selalu berjalan apa adanya.
Relativitas dari waktu mungkin bisa sangat subjektif dan bergantung pada persepsi pengamat. Namun pengetahuan fisika modern memperlihatkan sisi relativitas waktu dari sisi yang lain, yaitu kecepatan pengamat. Waktu akan “terasa” lebih lambat untuk kami yang tengah melaju cepat. Ini disebabkan waktu dipandang sebagai kesatuan utuh dengan ruang,yang mana lajurnya akan melengkung di sekitar benda bermassa. Ah, mungkin tidak perlu ku bahas detail tentang penemuan Einstein itu, Khronus. Yang ku tahu itu adalah penjelasan bahwa gravitasi bisa mempengaruhi ruang dan waktu, yang terkait dengan beloknya cahaya ketika melintasi objek bermassa. Semua teori itu berujung pada ragam spekulasi dan fantasi terkait mesin waktu dan lubang cacing.
Hmm, mungkin aku tak mempermasalahkan mengenai lubang cacing, ruang memanglah sesuatu yang selalu bisa dimanipulasi. Tapi waktu? Hei Khronus, mungkinkah kita bisa memutar balik waktu dan kembali ke masa lalu? Bukanlah aliran waktu itu sendiri menubuh dalam semesta? Pembayangan sederhana terhadap waktu adalah sebuah garis lurus yang mana keseluruhan 3 dimensi alam semesta menjadi titik dalam garis tersebut. Artinya keadaan suatu semesta secaramenyeluruh terangkum dalam satu bingkai waktu. Utuh! Adalah semacam paradoks tersendiri ketika sepotong kecil semesta itu mundur ke waktu sebelumnya. Lagipula semesta pada titik itu dan titik-titik sebelumnya di masa lalu adalah seuatu keadaan tetap, semacam jejak yang terpatri dalam sebuah jalan. Membawa suatu objek mundur pada aliran waktu akan mengubah objek itu sesuai dengan jejak yang sudah terpatri. Karena jika tidak, apalah artinya realita? apalah artinya memori? Apalah artinya kenangan? Sekedar informasi kah? Atau semacam keadaan yang berhubungan dengan keadaan-keadaan yang telah terlalui dalam rangkai aliran waktu? Ah, terkadang kami terlalu banyak berspekulasi. Mungkin juga apa yang ku pikirkan ini salah, Khronus. Namun manusia memiliki fantasi dan ambisi yang begitu tinggi terhadap waktu. Kami masih terlalu rakus, Khronus. Berpikir kami bisa mengendalikanmu, padahal sudah cukup kau berikan kami waktu yang adil untuk setiap orang. Kenapa kami tidak berusaha terus mengambil makna semaksimal mungkin dalam tiap bingkai waktu dan tidak terlalu menghiraukan masa lalu yang sebenarnya tidak bisa diubah lagi?
Pertanyaan mengenai apa artinya realita bisa muncul di sini. Masa lalu, masa kini, dan masa datang hanyalah suatu perspektif terhadap garis waktu. Lalu, yang manakah yang real? Apakah yang disebut nyata itu hanyalah masa kini? Ataukah beserta apa yang telah terjadi? Atau bahkan apa yang akan terjadi pun merupakan kenyataan? Terlalu banyak pendapat mengnai hal ini Khronus, pada tiga kemungkinan ini juga pemikiran manusia terpecah terhadap waktu. Mungkin bisa saja apa yang telah terjadi bisa kita sebut sebagai nyata, namun semua nyata itu bukankah sudah terangkum dalam keadaan masa kini?Sedangkan masa depan jelas belum terjadi, dan dengan demikian belum mewujud, belum ada, sehingga hanya masa kini lah yang bisa kita sebut realita. Apakah itu benar atau tidak, aku sendiri tidak bisa memastikan Khronus. Pada ujungnya, itu tetap bergantung pada definisi masing-masing terkait realita. Apa pula itu kenyataan? Bisa saja semua aliran waktu ini hanyalah ilusi abstrak dan kompleks dalam pikiran yang sesungguhnya diam dalam suatu titik.
Kembali ke masalah mesin waktu Khronus. Sudah banyak paradoks bermunculan terkait mundurnya waktu atau perjalanan ke masa lalu. Semua kisah dan fantasi yang tercipta mengenai hal tersebut selalu memiliki lubang pertanyaan yang besar, sebuah gambaran yang tidak pernah lengkap. Secara logis mungkin banyak ketidakrasionalan muncul ketika berusaha menjelaskan mundurnya waktu dengan baik. Namun karena itu belum pernah dapat dipastikan, kemungkinan selalu ada. Atau bisa kah kau memberi kami pencerahan Khronus? Mungkin memang ada makna dibalik waktu yang terus mengalir. Hal tersebut mengajarkan kami untuk terus berusaha pada tiap detik waktu yang terlewati dan menerima apa yang telah berlalu bukan? Sayang, ketika ilmu dan teknologi membut manusia lupa akan semua makna-makna yang terangkum dalam waktu. Selalu mencari efektivitas, efisiensi, dan kepuasan diri. Ah Khronus, maaf kami.
Waktu sepertinya sesuatu yang selalu berkembang. Keadaan semesta saat ini bergantung pada keadaan semesta satu detik yang lalu, dan keadaan semesta satu detik yang lalu bergantung pada keadaan semesata satu detik yang lalu lagi, begitu seterusnya hingga awal waktu. Bukankah itu berarti waktu seakan merupakan rekaman memori semesta? Keadaan saat ini merupakan hasil dari apa yang telah terjadi sejak awal waktu, atau bisa dikatakan, seluruh memori semesta terangkum dalam keadaan saat ini. Seperti yang ku katakan sebelumnya bahwa kenyataan hanyalah saat ini, semua kenyataan masa lalu telah ada pada kenyataan masa kini. Mungkin tidak perlu terlalu luas-luas membayangkan semesta, setiap individu saja terdefinisikan dari semua pengalamannya sejak lahir. Seperti apa individu pada suatu titik waktu adalah rangkuman semua pengalamannya dari lahir. Masa kini adalah sejarah, dan sejarah adalah masa kini. Itulah implistas masa lalu! Untuk apa kita terlalu sibuk dengan masa lalu bila sebenarnya masa kini adalah masa lalu itu sendiri. Semua memori alam semesta semenjak ia lahir tersimpan dalam keadaan semesta sekarang, bukankah begitu Khronus? Mungkin ego manusia terlalu naif untuk memahami itu dan menerima masa lalu.
Tapi Khronus, bila kita berbicara tentang memori, bukankah itu berarti ia terus menerus memperbarui realita? Realita yang kami lihat pada detik ini ditentukan oleh persepsi kami, yang mana persepsi kami dibentuk oleh semua memori dan pengalaman kami. Bila demikian, memori baru akan menindih memori yang lama, dan meleburnya untuk mencipta realita baru. Dengan demikian, realita adalah hal yang selalu berubah. Mungkin kami masih bisa mengingat banyak kenangan lama, namun semua itu terdistorsi oleh memori-memori baru yang mengubah persepsi terhadap realita. Semua memori pada akhirnya tidak akan pernah sama. Sekali lagi, terkadang manusia terlalu naif untuk menerima masa lalu dan terpuruk pada memori dan kenangan. Bukankah lebih baik semua yang telah berlalu diterima saja dan biarkan waktu mengalir sebagaimana mestinya? Toh kau tak akan pernah berhenti berputar Khronus, entah sampai kapan.
Ah, aku jadi teringat sebuah pertanyaan penting. Wahai Khronus, kapan kiranya kau akan berhenti memutari semesta? Bahkan ketika dewa-dewa yang lain telah musnah dalam rasionalitas dan perkembangan zaman, kau mungkin masih jadi sumber kegelisahan manusia. Atau bahkan ketika manusia telah musnah dari semesta ini, aku mungkin masih membawa semesta dalam aliran yang tak pernah berhenti. Ke mana semua ini berujung? Fisikawan sering mengaitkanmu dengan entropi. Ya, tingkat entropi semesta bagai sebuah penanda waktu. Kenapa? Karena sifatnya serupa denganmu, tidak bisa mundur. Entropi akan terus bertambah dengan menuanya semesta. Entropi pada dasarnya hanyalah tingkat ketidakteraturan semesta ini. Hukum Termodinamika kedua menjelaskan bahwa proses apapun akan selalu membuat energi menyebar, atau dengan kata lain, energi semakin lama semakin terserak tidak teratur dalam setiap jengkal alam semesta. Jika demikian, apakah itu berarti kau akan berhenti ketika entropi semesta ini mencapai maksimum? Apalah arti entropi maksimum itu Khronus, ketidakteraturan ultimat dari semesta? Keadaan dimana semuanya berantakan? Apakah itu akan terjadi?
Entahlah. Bahkan apa yang akan terjadi pada semesta kelak masih tidak dapat diketahui dengan pasti. Beberapa teori bahkan mengatakan bahwa pada titik maksimum ketidakteraturannya, yang mana alam semesta mencapai puncak pengembangan, ketidakstabilan yang terjadi di semesta justru membuat seluruh materi runtuh dan membuat semesta menciut kembali ke satu titik singularitas, yang mana kemudian akan menimbulkan ledakan besar atau big bang lagi. Begitu seterusnya, tiada akhir bukan? Atau memang begitulah dirimu, sebuah keabadian sejati? Mungkin jika ditanya mengenai eksistensi yang murni abadi, jawabannya hanyalah waktu. Namun itu sendiri tidak akan pernah dapat diketahui dengan pasti, karena toh apa yang terjadi sebelum ledakan besar berada di luar kemampuan observasi manusia. Mengenai akhir dari waktu itu sendiri, sesungguhnya model siklik seperti itu melawan hukum termodinamika kedua, yang mana energi tidak mungkin terkumpul kembali. Salah satu kemungkinan paling diterima adalah apa yang dikenal para fisikawan sebagai heat death, yang mana karena alam semesta terekspansi tiada henti, distribusi energi semesta semakin menuju tak hingga, membuat suhu rata-rata semesta sangat mendekati nol kelvin, bekunya semesta secara absolut.
Apapun teorinya, sebenarnya ketika semua itu terjadi yang jelas aku sudah bukan lagi materi yang mewujud. Biarlah para fisikawan itu sibuk mencari tahu. Apalagi berdasarkan teorema rekuren Poincare dalam matematika sistem dinamik, selalu ada kemungkinan entropi itu dapat menurun, membuka kemungkinan baru akan akhir dari waktu. Mungkin pertanyaan yang lebih relevan adalah, bagaimanapun waktu berakhir, apa makna dari waktu kecil yang kami lalui selama hidup? Melihat keseluruhan garis waktu, apakah ada artinya puluhan tahun yang dilewati seorang individu ketika hidup? Ku rasa tak perlu di jawab untuk yang ini. Jawabannya bisa ke mana-mana, bahkan ranah agama. Yang ku tahu, seperti yang ku katakan di atas, Khronus, keadaan semesta pada suatu titik merupakan rangkuman keseluruhan semua yang terjadi pada masa lalu, sekecil apapun itu. Bahkan matinya satu sel kuman merupakan bagian dari memori semesta yang entah mungkin bila tidak terjadi akan bisa membuka kemungkinan semesta baru. Toh tiada yang sia-sia dari waktu bukan? Ini semua masalah bagaimana kami mengambil makna darinya.
Ada hal yang membuatku tertarik mengenaimu Khronus. Mungkin ini terkait dengan 3 Dewi penyulam itu, para Moirae, yang merangkai takdir. Apakah kau bersifat tunggal Khronus? Ataukah kau sebenarnya menciptakan banyak semesta dalam pelukanmu? Aku teringat penjelasan Rob Bryanton dalam gambarannya terhadap 11 dimensi semesta. Dimensi nol adalah titik, dimensi satu adalah garis, dimensi dua adalah cabang dari garis, yang mana membentuk bidang, dan dimensi tiga adalah lengkungan dari bidang, yang mena membentuk ruang. Rob Bryanton mengatakan prinsip yang sama berlaku untuk setiap tiga dimensi selanjutnya. Artinya marilah bayangkan keseluruhan semesta tiga dimensi ini sebagai satu titik, kemudian gambarkan titik yang lain, dan dari dua titik tersebut dapat dibuat garis. Inilah garis waktu, dimensi 4, yang mana tiap titik merupakan keadaan spesifik keseluruhan semesta pada satu waktu, yang terhubung dengan titik lain, entah satu detik kemudian, atau tiga minggu yang lalu. Bila memakai cara yang sama, artinya dimensi lima adalah percabangan dari garis ini, sebuah bidang waktu. Di sini terpapar semua kemungkinan garis waktu yang lain, yang mana selalu bercabang tiap bingkai waktu seiring dengan adanya pilihan-pilihan dan probabilitas. Hal ini yang dikenal dengan istilah semesta virtual. Dalam bidang waktu ini, ada cabang dimana aku menjadi penulis, jadi penjahat, atau jadi akademisi, dan semua bergantung pilihanku. Menarik, tapi meragukan. Apakah memang seperti ini Khronus?
Bukankah keadaan semesta sekarang merupakan bentukan semesta masa lalu? Yang mana begitu seterusnya hingga ke awal waktu. Maka apakah ada yang namanya pilihan? Ah tak perlu lagi aku membahas ini, Khronus. Maafkan aku. Sudah pernah ku bicarakan ini pada tiga Moirae itu. Apakah waktu itu tunggal atau jamak, yang terpenting adalah yang nyata kami jalani hanya satu. Pada apa lagi kami bisa membanding-bandingkan bila kami hanya mengetahui satu jalur waktu? Lantas untuk apa ada penyesalan? Bukankah apa yang kami lalui adalah waktu yang terbaik? Sekali lagi, untuk mengenai waktu, manusia masih terlalu rakus dan naif.
Dengan semua itu, lalu apa yang bisa kami lakukan terhadapmu? Kau begitu abstrak dan apa adanya, menawarkan hal paling berharga yang bisa dimiliki di semesta ini. Kami diberikan waktu secara adil, tidak lebih tidak kurang, seberapa besar makna yang bisa kami ambil, semua bergantung pada kami. Terkadang mungkin kami terlalu rakus dan merasa tidak adil terhadap waktu itu sendiri, pada akhirnya itu semua terkait dengan pandangan kami tentang hidup dan mati. Apa lagi batasan waktu yang paling ditakuti selain kematian? Habisnya waktu adalah habisnya nafas. Itulah yang membuat orang rakus terhadap waktu, yang sebenarnya bentuk lain dari ketakutan terhadap mati. Mungkin untuk menjalani waktu ini sendiri kami butuh kebijaksanaan lebih. Kami butuh kemampuan untuk sekedar menikmati setiap momen yang ada tanpa harus memikirkan berakhirnya waktu kelak. Seperti apa yang diajarkan Tao Te Ching,
“There is
a time to live
and a time to die
but never to reject the moment.”
Terlepas dari semua persepsi yang mempengaruhi bagaimana kami merasakanmu, bukankah yang terbaik adalah cukup menikmati dan menjalani? Kemanapun waktu itu menuju di ujung kehidupan tiap individu, yang diketahui waktu hanya terus mengalir, selebihnya diserahkan pada kami, atau mungkin pada para Dewi Moirae, atau mungkin pada Thanantos yang sangat memahami psikologi kematian manusia. Ah sudahlah Khronus, bagaimanapun kami mencoba memahami dan menjelaskanmu, kau tetap begitu abstrak. Biarlah kami cukup menjalani apa yang kami bisa jalani dalam aliran makna yang kau berikan. Salam buat Ananke
…
(PHX)