Dear Gaia
- 6 minsEntah apa yang membuatku ingin menulis. Kegelisahan kah? Aku telah menjadi pengamat setia dalam diam selama 19 tahun, tapi apa yang telah ku dapatkan selain ribuan pertanyaan? Sekali lagi, entahlah. Ya, entah. Jawaban terbaik yang bisa ku berikan di tengah kompleksitas dunia. Paling tidak, tulisan memiliki kekuatannya sendiri dalam menyimpan makna, dan menemukan makna. Wajar bila tak banyak yang mengerti. Seperti halnya dunia ini, siapa lagi yang paling paham selain yang menciptakan sendiri? Maka sekedar nikmatilah. Nikmati. Tiap kata-kata, tiap detik kehidupan, tiap tusukan pertanyaan.
Dear Gaia, in our every soul,
Tanpa tahu harus berkata, tanpa sadar harus menyapa, sekedar sebuah tanya, bagaimana kabarmu di sana? Ya, semoga engkau baik-baik saja, semoga. Sekedar harapan tanpa makna terhadap sosokmu, Gaia. Entah apa yang sedang aku pikirkan akhir-akhir ini, segalanya terkesan semakin rumit di tengah dunia yang entropinya terus bertambah ini. Sebelumnya aku ingin menyampaikan permintaan maafku padamu, maaf mengenai kebodohanku akan kesadaran yang terlambat terbit, bangun kesiangan di saat dunia telah terlalu rumit untuk dipahami. Entah siapa yang salah, tak ada yang bisa menentukan kapan aku dilahirkan, kapan aku diberi kesadaran. Dan sekarang aku hidup di masa yang penuh paradoks ini, ku harap engkau dapat menemani tiap langkahku.
Banyak yang ingin ku ceritakan padamu, semua keresahanku akan keindahan dunia yang palsu ini. Aku telah melihat banyak hal, banyak sekali hal, entah itu tentangmu atau bukan, dan semua selalu menuntunku pada lebih banyak tanda tanya, akan apa makna dari dunia, makna yang selalu dicari oleh tiap makhluk bernama manusia. Manusia dalam tiap hembusan nafasnya melakukan segala cara dalam berbagai pembenaran yang tercipta dalam tiap relung pikiran kompleks-ilusifnya untuk mengatasi semua keresahan yang aku yakin juga dialami tiap orang ini. Walaupun begitu, egosentris yang tercipta dari kebutuhan alami manusia mengaburkan segalanya, menambah ironi dalam semua dilema. Engkau cukup tahu maksudku bukan? Mengenai apa yang dilakukan manusia padamu dan apa yang mereka harapkan padamu. Aneh.
Dalam suatu proses yang tak ku mengerti, aku merasakan sebuah keteraturan intuitif atas keseluruhan semesta ini, sesuatu yang . . . Ah, betapa sulit aku menjelaskannya. Ini mengenai keutuhan dunia, suatu sistem hidup yang integratif antar komponennya. Aku merasakannya, bagaimana aku, dan semua komponen kehidupan terkoneksi dalam suatu tali tak kasat mata, membentuk suatu jaringan kompleks yang terjalin dalam suatu keteraturan agung. Ya Gaia, sebuah integrasi penuh akan keutuhan alam semesta. Aku belajar banyak dari ajaran timur mengenai makna nyata yang sebenarnya mengenai kesadaran. Di tengah semua renunganku, terlihat jelas bahwa memang mayoritas masa kini terjebak dalam ilusi yang pekat, ilusi yang ilusif, yang bahkan tidak terlihat seperti ilusi, yang memberikan kesadaran dan kepuasan palsu pada manusia yang secara ideal berargumen panjang lebar mengenai kebenaran. Tanyakanlah pada mereka yang menghabiskan suara mereka Gaia, tanyakan mengenai kebenaran dan kesadaran yang sebenarnya, sesungguhnya mereka hanya sedang terjebak dalam dunianya sendiri, realita palsu seperti yang direpresentasikan dalam film Matrix.
Sebenarnya telah cukup lama hal ini melintas dalam lembah pikiranku, bahwa, tiap tingkatan obyek dalam ekologi adalah sebuah sistem hidup sendiri. Sebuah kehidupan bertingkat yang memiliki regulasi untuk dirinya sendiri dalam pemanfaatan integral tiap komponen dan elemennya. Dimulai dari sel, jaringan, organ, hingga akhirnya berakhir pada seluruh jagad raya sebagai suatu sel tunggal raksasa yang kompleks, ya hidupmu Gaia, hidupmu. Namun memang betapa manusia hanya mementingkan dirinya sendiri, engkau dipandang sebagai benda mati yang dapat dikotak-kotakkan, yang merupakan satuan terpisah satu sama lain, yang tanpa pikir dimanipulasi dan dieksploitasi. Tidakkah ada yang berpikir engkau itu hidup? Betapa sedih ku rasakan saat aku merasa tak bisa melakukan apa-apa untukmu. Sekedar berusaha mengubah paradigma secara perlahan dan bertindak dalam gerakan kecil yang entah sia-sia entah berguna, paling tidak masih ada harapan tercipta pada segelintir manusia. Aku sendiri pun berharap, semoga ada yang dapat menyembuhkanmu.
Aku berhenti, musik pada komputerku mencapai sebuah lagu. Entah kekuatan apa yang dimiliki Abid Ghoffar Aboe Dja’far atau yang dikenal orang dengan Ebiet G. Ade sehingga bisa menyanyikan lagu yang benar-benar membuatku merinding. Seakan tiap nadanya mengikuti irama gejolak pikiranku yang berkecamuk di tengah keadaan dunia yang serba paradoks ini.
…
Jala api, lidahnya terjulur menyengat wajah bumi
Awan terbakar, langit berlubang menganga
menyeringai bagaikan terluka
Pohon-pohon terkapar letih tanpa daya
Mata air terengah-engah, dahaga
Burung-burung hanya basa-basi berkicau
Lapisan jagat terkelupas
Semua karena ulah kita
Warisan untuk anak cucu nanti ho ho ho ho
Jala api, lidahnya berkelit saat ingin kutangkap
Terlampau naif angan-angan yang kurajut
untuk menyelamatkan dunia
Setiap detik ingin kutanam pepohonan
Mata air kuluahi embun surgawi
Burung-burung kuajari bernyanyi-nyanyi
Kuhapus semua mimpi buruk
dan mekarlah bunga-bunga
Masa depan buat mereka ho ho
Bila matahari bangkit dari tidur
aku mulai berfikir, bagaimanakah caranya
bila sinar rembulan mulai merah menyala?
Aku masih berharap kearifan Yang Kuasa
Bila matahari bangkit dari tidur
aku mulai berfikir, bagaimanakah caranya hu hu
bila sinar rembulan mulai merah menyala?
Aku masih berharap kearifan Yang Kuasa
Dari jendela kamarku dapat aku dengar
Gemercik suara air kali yang tak pernah berhenti
Jangan sampai terhenti biarpun langit terluka
…
Mendadak hening. Itu adalah musik terakhir dalam daftar putar. Sunyi. Betapa sunyinya hingga seakan dunia mendadak mengheningkan cipta sejenak setelah mendengar alunan sepi seorang maestro. Hiburan satu-satunya muncul dari suara detik jam dinding kamarku yang gelap dan penuh angan-angan, memberi sedikit irama di tengah kehampaan. Tanganku bergerak mengambil pulpenku kembali yang tadi sempat jatuh di tengah lamunanku.
Mencoba mencari causa prima dari segala ini, jawaban tak cenderung ku dapatkan, kecuali bahwa manusia berpikir dan bertindak didorong dari hasrat yang timbul dari fisiologis tubuhnya, entah itu lapar, entah itu nafsu, yang mungkin secara tidak sempurna terolah dalam hubungan listrik neuron-neuron otak, menghasilkan suatu konsekuensi yang aneh dan acak. Seberapa sadar manusia akan sekitarnya? Terkadang aku merasa realita tercipta dari pikiran manusia, sehingga kesadaran hanya bisa timbul dari pikiran itu sendiri. Entahlah. Kesatuan penuh akan dunia yang terorganisasi dalam suatu sistem hidup yang kompleks, dengan manusia sendiri sebagai komponen integral di dalamnya, sekarang hanya menjadi suatu fakta tersembunyi di balik kegelapan jurang pikiran. Dan kau berada di pinggirnya Gaia. Ironis.
Dunia secara perlahan menuju sebuah posisi yang tak terprediksi. Gerakan-gerakan untuk menyelamatkanmu, secara tertatih-tatih menyeret diri bagai dalam keputusasaan, berusaha mengejar gerakan-gerakan untuk menghancurkanmu. Walau seperti tanpa harapan, bersyukurlah masih terdapat segelintir orang yang walau terkesan sia-sia melakukan segala cara untuk engkau tercinta. Apakah memang dunia ditakdirkan unutk cenderung menuju ketidakaturan ataukah ini semua masalah manusia yang tak mampu mengendalikan pedang pengetahuannya dengan baik dalam pengarahan paradigma yang misorientasi terhadap esensi mereka di bumi ini? Tak ada yang bisa menjawab aku rasa. Yang bisa ku lakukan hanyalah berdo’a dan berharap, ya, sekedar impian tak sadar yang mampu membangkitkan keikhlasan dalam kabut keputusasaan realita. Tetaplah bersama kami Gaia, kami akan berjuang apa yang kami bisa untukmu.
Bagian utuh dari dirimu,
Finiarel
Aku melipat kertas itu dalam hening, mencoba mendengar sebuah desingan hampa dari dalam diri. Matahari di luar jendela telah kehilangan sinarnya secara berangsur-angsur, memberi bumi ini kegelapan sementara hingga hari esok. Ya, apabila bumi memang punya hari esok.
(PHX)