Dear Afrodite
- 21 minsNiat memang terkadang harus butuh banyak bernegosiasi dengan realita, karena koherensinya dengan pelaksanaan biasanya mengalami banyak penundaan, bahkan pembatalan, seperti halnya niatku untuk menulis ini. Hari yang katanya hari kasih sayang sudah berlalu 4 hari yang lalu, dan aku sudah berencana untuk sedikit menyapa seseorang di hari itu dan apalah daya bila akhirnya kemudian tertunda. Kalaupun aku memang ingin menyapanya, sesungguhnya aku belum tahu apa yang bisa ku obrolkan dengannya. Telah lama aku tak membahas apa yang selama ini ia urusi, namun ku rasa tak mengapa bila ku sedikit memberi salam, melaksanakan apa yang tertunda. Di tengah keruwetan kode python yang tengah ku ubrek-ubrek sebulan ini, aku mengumpulkan energi untuk mengalihkan diri dengan langsung membuka Microsoft Word.
Dear Afrodite, yang sungguh menawan
Ku bersyukur aku hanya bisa menulisimu surat wahai Dewi rupawan, karena mungkin bila aku harus berbicara langsung denganmu, aku tak akan kuat untuk memandang wajahmu, daripada aku leleh oleh pancaran kecantikan yang tak terkalahkan seantero semesta. Dalam menulis ini sendiri pun aku tak bisa benar-benar membayangkan wajahmu. Jujur. Mungkin karena imajinasiku yang payah, atau mungkin karena konsep tercantik sejagad raya bukanlah konsep yang mudah untuk dipahami. Meski sebenarnya, aku tak bisa menerka apa yang kemudian menjadi efek jikalau aku mengetahui kecantikanmu. Apakah kemudian aku akan jatuh cinta padamu? Aku tak pernah juga benar-benar mengerti apa itu cantik. Apakah karena aku laki-laki Oh Dewi? Atau justru malah laki-laki yang seharusnya mengerti apa itu cantik, seperti halnya aku tak pernah mengerti bagaimana para wanita di luar sana mendefinisikan tampan. Lagipula wahai dewi kecantikan, apa makna kecantikan dan ketampanan?
Jika seseorang dikatakan cantik atau tampan, apa sesungguhnya parameter perbandingan yang dipakai? Kulit kah? Mata kah? Raut wajah kah? Atau mungkin terlalu naif bila hanya melihat elemen material? Apa kah hanya karena kau dewi maka orang-orang mengatakan kau cantik? Tapi, tidakkah kau lupa dengan Psyche, orang awam biasa yang kecantikannya ternyata bisa merenggut hati Eros? Terlebih lagi, apa sebenarnya yang dicari atau diharapkan orang dari kecantikan? Maaf O dewi, bila belum apa-apa aku memberimu banyak pertanyaan, hanya saja aku sering tak habis pikir dengan manusia, yang dengan kebanggaan rasionalitasnya justru sering memberi indikasi irasionalitas. Belum lagi bila aku mengaitkan itu semua dengan apa yang mereka sebut dengan cinta, tidakkah manusia memahami apa yang secara inheren begitu natural ada dalam diri mereka?
Bisa saja aku terlalu rendah karena hanya melihat cantik sebagai konsep material. Mungkin kata dalam bahasa inggris lebih bisa menggeneralisasi hal ini. Ya, beauty, yang bisa pecah menjadi dua konsep berbeda jika di-Indonesiakan, maka dari itu, pantaskah bila kemudian ku sebut engkau sebagai indah? Sayangnya, ini hanya akan mengaktivasi pertanyaan baru, karena indah sendiri bukanlah hal yang bisa didefinisikan bukan? Dalam tarikannya pada studi estetika sendiri, konsep keindahan tidak pernah memiliki rumusan yang rigid. Ia berkembang menyesuaikan diri dengan ide yang berkembang dalam suatu budaya masyarakat atau lingkungan. Dalam titik ekstrimnya pun, bisa dikatakan bahwa ide tersebut terdiferensiasi hingga ranah individu. Tidakkah satu orang dengan orang lainnya dalam satu masyarakat dan lingkungan yang sama bisa menilai konsep indah dengan cara yang berbeda? Interpretasi adalah milik pribadi, ia begitu personal sehingga menjadi konsep yang tidak bisa muncul secara inheren pada objeknya, namun harus tersaring dan terolah terlebih dahulu oleh subyek. Keindahan menjadi suatu judgement, suatu penilaian yang parameternya tidak hanya apa yang berada pada objek yang dinilai, namun juga pada preferensi sang penilai, yang dibangun oleh pengalaman, hasrat, emosi, dan hubungan sosial dari penilai itu sendiri. Memang kemudian, pengalaman-pengalaman pribadi dipengaruhi secara langsung oleh budaya masyarakat tempat seseorang berinteraksi, tinggal cukup lama, atau tumbuh berkembang. Seperti halnya kemudian wanita negro akan sulit dianggap cantik oleh orang Indonesia ketika ia sesungguhnya sangat cantik bagi laki-laki di lingkungannya. Tidakkah kemudian mengatakan seseorang cantik menjadi suatu klaim sendiri? Tidakkah aku juga boleh mengatakan bahwa kecantikanmu merupakan hasil dari budaya Yunani? Atau Afrodite, apakah ada konsep keindahan yang universal?
Mengenai itu, sepertinya ada, kecuali ada seseorang yang merasa jijik ketika melihat hamparan samudra luas tak berujung, atau langit biru dengan burung-burung berkeliaran, atau bentang hutan menghijau dari atas bukit. Ada suatu konsep universal dari keindahan seperti itu bukan? Jika kita meninjau yang lebih abstrak lagi, adakah yang merasa tidak nyaman dengan suatu persahabatan positif atau dengan orang-orang yang selalu tersenyum ramah, atau dengan masyarakat yang saling tolong menolong? Ah, untuk yang ini, kurasa aku sedikit ragu. Hubungan manusia dengan manusia lain bisa begitu kompleks sehingga terkadang begitu banyak anomali yang bisa terjadi. Dengan semua ego dan sifat alamiahnya, adalah sangat mungkin seorang manusia tidak suka dengan hal-hal yang kusebutkan di atas. Tidakkah itu ironi? Sialnya, ini memperumit pertanyaan tadi, Afrodite. Sesuatu yang bersifat universal sepertinya hanya berlaku untuk hal-hal yang terekstensi di luar manusia, karena toh, selama masuk dalam wilayah persepsi, segala obyektivitas bisa runtuh dalam individualitas penafsiran. Lantas, bagaimana kami bisa tahu apa yang sesungguhnya memang benar-benar menjadi makna dari sesuatu?
Dilematis memang Afrodite. Bagaimana orang menilai juga tentu tidak bisa diukur dalam benar dan salah bukan? Bukankah rasionalitas manusia terbatas oleh pengalamannya sendiri? Seseorang yang sejak lahir hidup dalam kekerasan tentu akan membuat kekerasan menjadi hal yang biasa baginya. Seseorang yang biasa hidup nyaman dengan semua materi akan sukar bersimpati dengan kemiskinan dan kelaparan. Seseorang yang pernah mengalami suatu trauma besar dalam hidupnya akan berpikir dengan cara yang berbeda dengan orang pada umumnya. Sedangkan Afrodite, mereka terkadang, atau bahkan selalu, tidak pernah punya banyak pilihan terkait takdir yang mereka jalani. Lantas bila kemudian rasionalitas yang terbentuk dari pengalamannya itu membuat ia melakukan hal yang dianggap salah secara umum, bisakah kita benar-benar menyalahkannya? Salahkah Helena ketika ia jatuh cinta dan mengikuti Paris ke Troya yang mengakibatkan seluruh Yunani menyerbu satu kota? Salahkah Niobe ketika ia begitu bangga dengan 12 anak-anaknya yang mengagumkan hingga Leto harus menghukumnya dengan begitu tragis? Entahlah Afrodite. Ketika kita memahami narasi utuh dari perbuatan seseorang, perbuatan tersebut bisa menjadi begitu sukar untuk sekadar dihakimi. Selalu ada rantai kejadian yang memungkinkan perbuatan tersebut bisa terjadi, dan rantai kejadian itu membuat koridor pilihan seseorang dalam menentukan menjadi begitu kecil, apalagi ketika rasionalitas dan persepsi itu merupakan penjara yang begitu membatasi penilaian.
Mungkin ketika membaca ini kau bertanya-tanya, mengapa tetiba aku membahas hal seperti ini padamu? Sesungguhnya niat awalku hanyalah sedikit refleksi tambahan mengenai cinta, setelah apa yang kucoba tulis pada anakmu, Eros, 3 tahun yang lalu (Baca: Dear Eros). Cinta selalu dikaitkan dengan persepsi, karena jika dipikirkan, atas dasar apa kita mencinta tidaklah pernah bisa diobyektivikasi dan ujung-ujungnya berakhir pada penilaian individual. Dalam bentuk paling rendahnya, cinta dikaitkan begitu erat dengan bentuk fisik. Ya Afrodite, kecantikan. Tidakkah kau sadar bahwa kau dipuja di Yunani dalam dua konsep yang dikaitkan? Kau disebut Dewi Kecantikan sekaligus Dewi Asmara. Tidakkah itu kemudian pantas dipertanyakan?
Aku terdiam sejenak. Sepertinya aku terlalu eksplisit berbicara terhadapnya. Lagipula Afrodite memang hasil budaya Yunani klasik yang cenderung material dalam hal asmara, apalagi jika diingat bahwa Afrodite sendiri lahir dari potongan kelamin Uranus yang disayat Khronos saat ia mengambil tahta ayahnya sendiri. Secara sederhana itu menyiratkan bahwa kecantikan lahir dari hal yang bersifat seksual dan materiil. Yang dalam hal ini direfleksikan oleh seorang Dewi yang lahir dari kelamin Pria. Konyol juga jika mengingat mitologi ini, namun seperti yang sering para pakar mitologi katakan, membaca mitologi sama seperti membaca masyarakat dan budaya yang berkembang di dalamnya. Sayangnya, budaya Yunani klasik termasuk fondasi dari pemikiran filsafat yang berkembang setelahnya. Tapi benarkah begitu? Mungkin saja. Perlu studi lanjut akan hal itu, namun tak bisa dipungkiri bahwa cinta secara dominan sering terkait dalam hasrat duniawi. Sudahlah. Aku menutup awan pikiranku yang jika tidak dikontrol bisa terdifusi kemana-mana, dan kembali terfokus pada layar dan menyiapkan tanganku untuk kembali berdansa.
Ah Dewi, ku tentu tidak sedang mencoba menyinggungmu, maaf bila kata-kataku kurang berkenan. Hanya saja, engkau tentu setuju bahwa cinta pasti melebihi hal yang demikian. Ku katakan kala itu pada Eros bahwa obyek cinta bisa mengarah pada hal yang lebih luas, bahkan ke perbuatan hingga konsep abstrak seperti Tuhan. Cinta seakan-akan selalu ada, selama persepsi dan penilaian akan sesuatu itu ada. Aku kemudian katakan juga pada Eros bahwa cinta hanya butuh subyek dan obyek, dan selama kedua hal itu ada, cinta juga akan selalu ada. Akan tetapi kemudian aku sedikit berpikir lebih lanjut, tidakkah makna subyek dan obyek hanya ada pada ranah manusia? Hanya manusia dengan self-awarenessnya bisa sadar akan ‘diri’ sehingga memunculkan konsep bernama subyek. Bisakah pohon, atau kucing, atau batu di pinggir jalan, menjadi subyek akan hal itu? Jika memang demikian, tentu cinta merupakan hal yang sangat khas dan intrinsik dari manusia bukan? Mungkin ini adalah ciri yang lebih pantas diberikan kepada manusia ketimbang rasionalitas itu sendiri, karena toh rasionalitas ada secara primitif di otak mamalia lain, dan terlebih lagi rasionalitas akhir-akhir ini memungkinkan untuk dibuat artifisial pada mesin. Ah, tapi apalah gunanya memberi identitas tanpa memahami identitas itu sendiri. Maka kali ini aku akan mengangkat pertanyaan yang sama padamu Afrodite, apa itu cinta?
Tentu tidaklah cukup hanya sekadar mengatakan cinta itu ada bukan? Cinta bisa membenarkan banyak hal hingga terkadang makna cinta itu sendiri jadi konsep yang terlalu general untuk didefinisikan. Kau sebagai Dewi Asmara tentu juga tidak suka bila kaum LGBT mengatasnamakan cinta untuk membenarkan hubungan sesama jenis bukan? Atau mereka yang mengatasnamakan cinta kepada Tuhannya untuk membenci sesama manusia, atau mereka yang mengatasnamakan cinta pada suatu kelompok manusia untuk membunuh kelompok manusia yang lain. Mungkin kisah epik seperti perang Troya dimana cinta kepada satu wanita membuat seluruh Yunani berperang tidak akan terjadi di zaman sekarang. Tapi irasionalitas masih begitu menjadi hal yang begitu natural terjadi dan hampir semuanya bisa dikatakan berdiri atas nama cinta!
Jika kembali ku katakan cinta hanya membutuhkan subyek dan obyek, dan satu-satunya hal di semesta ini yang bisa dikatakan sebagai subyek hanyalah manusia, maka bukankah itu berarti ada cinta sesungguhnya berasal dari manusia? Tapi Afrodite, bagian mana manusia yang menghasilkan cinta? Kita mungkin perlu sedikit menelisik lebih dalam Afrodite, karena aku tak mau jawabannya hanya sekadar panah Eros yang ditembakkan olehnya dengan tepat. Tentu ada bagian dari dalam manusia yang membuat panah Eros itu aktif. Jika Eros menembakkan panahnya ke rumput, maka rumput itu tidak akan merasa jatuh cinta juga bukan?
Tak bisa diabaikan bahwa hasrat materi bisa mendasari lahirnya cinta, meski beberapa orang bisa mengategorikan hal itu menjadi konsep lain seperti nafsu. Tapi dalam definisi paling generalnya, cinta merupakan bentuk pengabdian, keterikatan, dan kemelekatan seseorang pada suatu obyek, maka tidak kah materi tergolong di dalamnya? Ya, mungkin saja ku bisa coba sempitkan makna itu sedikit demi sedikit, karena aku pun tak mau hal seperti itu menjadi landasan untuk hal yang begitu agung seperti cinta. Kemelekatan ini membuat orang mampu, atau bersedia, melakukan apapun untuk selalu tetap memiliki, atau bersama dengan, apa yang ia cintai. Ambillah semua kemungkinan obyek di dunia ini Afrodite, maka semuanya jika melekat dalam suatu konsep kepemilikian pada seseorang, maka orang tersebut seperti terhipnotis untuk terus berusaha melakukan apapun untuk menjaga kepemilikan tersebut. Ya Afrodite, orang bisa melakukan banyak hal demi bisa memiliki seorang wanita, atau memiliki kekuasaan, atau memiliki harta yang banyak, atau memiliki pujian dan kemasyhuran, atau memiliki keterkenalan dan eksistensi, atau memiliki rasa senang, atau memiliki kenikmatan fisik, atau memiliki jaminan masuk surga, atau memiliki kepastian masa depan, atau memiliki waktu luang, atau memilki kemudahan untuk melakukan sesuatu, atau memiliki pengetahuan, atau memiliki ketenangan dan kedamaian. Apa yang sebenarnya manusia cari dari kepimilikan tersebut Afrodite? Meskipun banyak yang bilang secara naif bahwa ‘cinta tak harus memiliki’ ala ala pemuda romantis yang patah hati, tetap saja hasrat untuk memiliki itu tetap ada di sana meski dicoba diabaikan untuk mengobati hati yang terluka.
Aku dengan Eros pada waktu itu sempat menuliskan bahwa ego berasal dari cinta, tapi sekarang kurasa itu terbalik, karena bukankah yang melahirkan rasa ingin memiliki adalah ego? Meski secara abstrak ego adalah konsep ‘kedirian’ atau pengakuan akan diri, tentu dalam pengejawantahan lebih lanjutnya, pengakuan akan diri itu bisa terwujud dalam bentuk kepemilikan akan sesuatu, meski itu hanya label atau identitas. Banyak orang gagal menemukan jati diri sehingga selalu menempelkan jati diri itu pada hal di luar diri, hingga akhirnya mendefinisikan identitas diri dari identitas kelompok, dari jabatan, dari pekerjaan, dari harta yang dimiliki. Pengakuan akan diri tentu pada hakikatnya hanyalah kepalsuan yang muncul dari persepsi kita sendiri. Untuk apa diri ini diakui, ketika ‘aku’ sudah pasti ada tanpa perlu ada mereka yang meng’aku’i? Konsep pengakuan ini begitu mendasar dan kuat sehingga seseorang yang gagal mendapatkan pengakuan dari orang lain bisa begitu merasa kehilangan makna total akan hidupnya, lupa bahwa mau orang lain akui atau tidak, seseorang akan tetap ada di dunia dan berhak untuk melakukan apapun. Itulah mengapa ego tidak pantas dipelihara, dan bahkan perlu dimatikan untuk melahirkan batin yang paripurna (baca: Dear Charon). Batin yang tidak terlahir kembali pada akhirnya hanya akan terpendam dalam bungkus palsu kedirian ego, membuat orang gagal melihat apa makna sesungguhnya dari dirinya sendiri. Maka dari itu, bukankah begitu rendah jika cinta hanya berasal dari ego, berasal dari rasa ingin memiliki? Lantas Afrodite, apakah ada sumber cinta yang lain?
Jika aku masih berpikir ala ala saintis material yang mengabaikan konsep imaterial dan transendental seperti dulu, mungkin aku akan memberi jawaban tidak ada. Ku ingat bahwa dulu aku bahkan menganggap cinta hanyalah salah satu bentuk dari emosi sehingga perlu dienyahkan karena akan mengganggu rasionalitas berpikir. Sayangnya, aku telah belajar banyak untuk memahami bahwa ada hal yang melampaui realitas fisik. Tidakkah begitu Afrodite? Kau bahkan sebenarnya tidak pernah benar-benar ada dalam bentuk fisik selain imaji para pemujamu yang menceritakanmu dari mulut ke mulut dalam bentuk tradiri sehingga eksistensimu terjaga dalam wilayah abstrak. Ah, tentu yang ku maksud sebelumnya tidaklah seperti itu, namun jauh lebih melampaui itu. Memang, ku katakan bahwa ego sesungguhnya hanya bungkus palsu kedirian, tapi tidakkah kemudian kita berusaha memahami, apa yang ada dibalik bungkus itu? Apa yang di balik itu memang selalu tersembunyi, dan hanya bisa diraih ketika ego telah berhasil kami bongkar dan membawa diri dalam kelahiran batin. Itu diri manusia yang sesungguhnya, yang selalu terselubung hal-hal duniawi, selalu tertutupi kemelekatan materi, selalu ternodai hasrat-hasrat jasmani. Tidakkah dunia begitu dingin jika apa yang ada dalam diri manusia hanyalah persepsi yang tercipta dari neuron-neuron neocortex yang menangkap informasi fisik dari dunia? Apalagi jika cinta hanya mengenai memiliki, mengenai hubungan seksual, mengenai penyerahan diri, atau mengenai berkeluarga. Tentu lebih dari itu bukan?
Apa yang sebenarnya bisa dirasakan dari diri yang murni itu? Hanya masing-masing individu yang bisa menjawabnya kurasa. Batin tanpa ego dan kemelekatan materi tentu lebih murni dan unik, namun tidak dalam keterpisahan dengan dunia, sehingga justru perasaan utuh menjadi diri sendiri sebagai bagian utuh dari semesta akan terasa lebih jelas dan nyata. Kau tentu tidak ingin dikenal hanya dalam konsep rendah material bukan? Mengenai itu, aku ingat bahwa seorang penyair bernama Rumi sering mengungkap banyak sajak mengenai cinta, dan salah satunya jika tidak salah berbunyi:
Cinta yang dibangkitkan
oleh khayalan yang salah
dan tidak pada tempatnya
bisa saja menghantarkannya
pada keadaan ekstasi.
Namun kenikmatan itu,
jelas tidak seperti bercinta dengan kekasih sebenarnya
kekasih yang sadar akan hadirnya seseorang
Jika aku mengangkat pertanyaanku di agak awal tadi Afrodite, lantas mengapa seperti tidak ada orang yang merasa tidak nyaman dengan alam? Tentu saja karena kekaguman yang muncul dari bentang semesta bukanlah berasal dari ego. Diri yang murni akan menyadari bahwa yang ada di dunia ini hanyalah kebersatuan dan keutuhan, tidak terpecah-pecah dan terkotak-kotakkan. Semesta adalah bagian dari diri sekaligus diri adalah bagian dari semesta. Pikiran rasional dan ego gagal melihat ini karena keduanya memecah-mecah semuanya, menjadi subyek dan obyek, menjadi diri dan bukan diri, menjadi aku dan mereka. Memandang alam membuat kita merasa jadi bagian daripadanya, membuat kita seakan menyatu bersama alam itu sendiri, membuat kita melebur bersama kesemestaan. Alam semesta hadir bersama diri dan dengannya keindahan itu terlihat secara lebih murni, menghasilkan cinta yang universal. Hanya ketika menganggap alam sebagai obyek materi yang bisa dieksploitasi lah manusia gagal bercinta dengan alam. Demikian halnya cinta seorang ibu pada anaknya, satu cinta lagi yang universal dan murni. Seorang ibu merasa seakan anaknya merupakan bagian daripadanya, hadir bersamanya, menyatu dan melebur dengan dirinya. Dalam titik yang paling jauhnya lagi, bahkan konsep kedirian itu bisa benar-benar lenyap dalam peleburan cinta ini sehingga tidaklah aneh jika seorang ibu mengorbankan diri demi anaknya sendiri. Tidakkah kau melihat itu Afrodite? Eros tidak perlu repot-repot memanah semua ibu untuk mencintai anaknya bukan?
Itulah mengapa kurasa kau sangat mengagungkan pernikahan. Pernikahan merupakan sesuatu yang sangat sakral, karena menyatukan, melebur, dan menghadirkan dua orang dalam satu visi yang sama. Pernikahan tidak sekadar melindungi pemenuhan hasrat dan hawa nafsu, tidak sekadar membuat masing-masing merasa saling memiliki, tidak sekadar memenuhi tuntutan sosial masyarakat, namun dalam titik yang lebih murni lagi, pernikahan antara laki-laki dan perempuan merupakan simbol dari partisipasi perkawinan kosmik, yakni menyatunya dua konsep yang saling komplementer untuk membentuk keutuhan dan harmonisasi. Lihatlah siang dan malam, langit dan bumi, panas dan dingin. Itulah Yin dan Yang. Hanya ketika dua dikotomi menyatu dalam keselarasan lah kesempurnaan itu bisa diraih. Aku teringat kalimat yang selalu ku pasang sebagai cover picture Faccebookku, “Two in harmony surpasses one in perfection.” Itulah mengapa kau selalu menghukum mereka yang mengkhianati pernikahan bukan, wahai Dewi? Satu pasangan dalam ikatan pernikahan pun menjadi bagian utuh dari masyarakat dan semesta yang lebih luas, menghasilkan harmonisasi untuk keselarasan kehidupan bermasyarakat selanjutnya. Lahirnya seorang anak dari hasil harmonisasi perkawinan ini pun merupakan bentuk regenerasi peradaban dalam proses perbaikan dan perkembangan generasi ke generasi. Tidakkah itu indah Afrodite? Betapa agungnya konsep pernikahan, meski mungkin terasa aneh karena yang mengatakan itu adalah orang yang belum menikah. Semoga aku bisa segera mengalaminya O Dewi.
Demikianlah cinta Afrodite! Aku tak ingin merendahkan makna cinta menjadi hanya sebatas rindu dan cemburu, atau sebatas senang dan nyaman, atau sebatas bersama dan bahagia, tapi ia lebih agung dari itu! Ia menyatukan dan menyelaraskan dalam satu keutuhan. Aku tak menafikan semua perasaan yang muncul atas nama cinta, karena toh, kami manusia. Iya kan Afrodite? Justru perasaan itu yang menghasilkan keindahan, karena tentu batu atau robot tak bisa memahami apa itu indah bukan? Tapi entah bagaimana Artificial Intelligence berkembang di masa depan. Terlepas dari itu, perasaan yang murni adalah ekspresi yang termanifestasi dari cinta. Itu lah mungkin mengapa mungkin Islam membedakan antara nafsul muthmainnah dengan nafsul hawiyyah, karena terkadang kami manusia sering tertipu antara perasaan dan nafsu keduiawian, toh perbedaan antara keduanya bisa begitu halus sehingga kami sering tertukar paham. Tentu jika ingin bisa melihat dengan jelas perbedaan keduanya, kami perlu menundukkan ego kami, menjinakkan semua hasrat kami, hingga kemudian semesta ini menampakkan diri apa adanya.
Aku ingin menutup surat ini dengan satu lagi syair dari Rumi, wahai Afrodite. Kau pasti senang dengan syair indah ini.
Karena cinta duri menjadi mawar
Karena cinta cuka menjelma anggur segar
Karena cinta keuntungan menjadi mahkota penawar
Karena cinta kemalangan menjelma keberuntungan
Karena cinta rumah penjara tampak bagaikan kedai mawar
Karena cinta tompokan debu kelihatan seperti taman
Karena cinta api yang berkobar-kobar
Jadi cahaya yang menyenangkan
Karena cinta syaitan berubah menjadi bidadari
Karena cinta batu yang keras
menjadi lembut bagaikan mentega
Karena cinta duka menjadi riang gembira
Karena cinta hantu berubah menjadi malaikat
Karena cinta singa tak menakutkan seperti tikus
Karena cinta sakit jadi sehat
Karena cinta amarah berubah
menjadi keramah-ramahan
Maaf mengganggu waktu senggangmu wahai Dewi Siprus. Ku hanya ingin memaknai cinta secara lebih dalam, karena meskipun aku masih sendiri, aku bisa merasakan cinta yang menggelora atas hidup ini, atas semesta ini, atas setiap nafas yang ku hembuskan, atas setiap detik yang terlewat, atas semua yang telah ku alami, karena aku hanyalah bagian dari semua itu dan karena semua itu lah aku bisa ada.
Amor Fati!
Manusia yang ingin hidup dalam cinta,
Finiarel.
Cinta, cinta, oh cinta. Aku masih geleng-geleng aku menuliskan hal ini, mungkin karena cinta selalu diidentikkan dengan asmara, dengan keromantisan, dengan film drama menye-menye ala Dilan atau Ayat-Ayat Cinta. Aku memandang ke celah pintu kamar yang terbuka sedikit dan menyingkapkan sedikit cahaya pagi untuk masuk dan menyapa kamar pengap ini. Aku teringat kata Al-Ghazali bahwa segala semesta ini merupakan pantulan kesekian dari cahaya-Nya Sang Pencipta, hanya sedikit ‘ujung kecil’, kalau ku tak boleh menggunakan kata ‘cipratan’, dari Nur agung Sang Khaliq. Dengan merasakan diri sebagai bagian dari keutuhan semesta, melepaskan jubah ego, dan melebur bersama sekitar, dengan itu kurasa kita memang bisa paham makna sesungguhnya hidup pemberian Yang Menciptakan ini. Memelihara ego hanya akan membuat seakan-akan hidup hanyalah berasal dari diri, dikontrol oleh diri, dan hanya bergantung pada diri. Tao Te Ching pun pernah mengungkapkan hal yang sama:
Can you nurture your own spirit whilst holding the unity of Oneness?
Can you connect to the Qi of your sensitivity, creative imagination and determination whilst harmonising with Wu Wei?
Can you understand your Human centered mind without corrupting your Tao centred mind?
And can you do all this whilst loving and nourishing yourself rather than indulging your self-interest and selfishness?
Then you can truly love all people without harming yourself,
allowing others to rise to their fullest height whilst not diminishing your own stature.
Di tengah ekstasi lamunanku sendiri mengenai indahnya konsep cinta dan semesta ini, ku tetiba ingin mendengarkan satu lagu syahdu dari seorang maestro musik yang telah lama tak ku dengar lagi sejak tingkat dua. Ku buka pemutar musik di laptopku dan mencari playlist usang yang jarang ku buka lagi. Ku temukan ia, dan segera ku putar satu lagu yang berada pada posisi atas daftar putar tersebut. Ku rebahkan badan, melayanngkan mata ke langit-langit yang hanya sekitar 2 meter di atasku, dan ku nikmati secara perlahan ungkapan cinta yang begitu menggetarkan jiwa dari pemusik legenda ini.
…
Ketika aku mencari cahayaMu
menerobos lewat celah dedaunan
Besilangan semburatMu dalam kabut
Aku terpaku, aku terpana,
aku larut di dalam nyanyian burung-burung
Gemuruh di dadaku
sirna bersama keheningan rimba raya
Ketika aku mendengar suaraMu
Bergema di ruang dalam jiwa,
mengalir sampai ke ujung jemari
Aku mengepal, aku tengadah
Rindu yang aku simpan membawa aku terbang,
menjemput bayang-bayang
Senyap ditelan keheningan rimba raya
Apapun t’lah aku coba dan tak henti bertanya
Setiap sudut, setiap waktu tak surut ‘ku mencari
Ke mana, di mana aku lepas dahaga
Kepada siapa aku rebah bersandar
Tak mungkin kubuang
rindu yang semakin dalam bergayut
Hidupku memang milikMu, hanya untukMu
hm hm
Ke mana, di mana aku lepas dahaga
Kepada siapa aku rebah bersandar
Tak mungkin kubuang
rindu yang semakin dalam bergayut hm
Hidupku memang milikMu, hanya untukMu
ho ho ho ho
Hidupku memang milikMu, hanya untukMu
ho hanya untukMu
(Ebiet G. Ade - Hidupku MilikMu)
…
Ketika kita merasa bagian dari alam, merasa hanya secuil dari ciptaan agung semesta, rasa kepemilikan akan lenyap, hancur lebur, runtuh, dan ego tak akan lagi nampak. Apalah artinya cinta jika hanya sebatas kepemilikan atau hanya sebatas ekspresi emosi. Melihat ke dalam, hatiku sendiri pun seperti masih terasa begitu kotor oleh noda materi dan dunia, aku masih terbawa oleh hasrat untuk meraih dan mengejar, masih terbawa keinginan untuk diakui, bahkan dalam menulis ini sendiri. Mungkin aku memang masih perlu bersih-bersih, memurnikan diri, dan bisa menciptakan tulisan dengan lebih ikhlas, atas nama cinta pada apa yang telah kualami dan kupikirkan.
(PHX)