Beradab Bersama Arsip

Beradab Bersama Arsip

- 28 mins

Sejauh yang kita ketahui, peradaban manusia dikatakan telah berkembang dengan sangat signifikan, dari yang awalnya mungkin hanya pemburu-pengumpul, tidak punya rumah dan apa-apa selain seperangkat alat untuk membunuh dan memotong, hingga saat ini ketika bahkan manusia bisa berpindah tempat hanya cukup dengan melakukan sedikit gerak atau bisa berkomunikasi hanya dengan sebuah kotak kecil yang berpendar. Dikatakan juga bahwa yang mengiringi berkembangnya peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan, yang mana sebagai hasilnya memunculkan beragam teknologi. Ya, maka dikatakanlah bahwa hidup manusia telah berubah banyak semenjak moyang kita pertama kali mencoba membuat tombak untuk berburu rusa.

Mungkin memang benar, bahwa hidup manusia telah berubah banyak, tapi apa sesungguhnya yang berubah? Dan apa yang mengubahnya? Telah menjadi bahan perenungan bahwa terkadang berkembangnya peradaban justru menciptakan ironi ketika konflik dan kehancuran masih terjadi dimana-mana. Terutama yang mungkin kita cukup ingat dengan baik, proyek Manhattan menjadi pionir kehancuran massal pertama di tangan manusia sendiri, dan itu dilaksanakan atas nama ilmu pengetahuan. Lantas ada apa dengan ‘peradaban’? Siapa, atau apa, sebenarnya yang beradab? Apa yang diubah atau berubah dari peradaban itu sendiri?

Pertanyaan tersebut mungkin memilik beragam jawaban, namun yang jelas, bukan manusianya. Karena mau tak mau manusia yang terlahir baru tetaplah sama dengan manusia-manusia lainnya yang terlahir 4000 tahun yang lalu. Lantas apa yang berubah? Di sinilah kita perlu meninjau satu faktor penting: arsip.

Pusat Informasi

Sebenarnya apa itu arsip? Pertanyaan seperti ini mungkin tidak akan cukup bila kita hanya mendengarkan pendapat pakar yang terkadang mendefinisikan sesuatu bergantung sudut pandang dan menciptakan makna baru, atau juga tidak akan cukup bila kita hanya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia pada Bab huruf ‘A’ dan mengambil definisi yang tertulis di sana. Agar puas, marilah kita tengok sedikit KBBI Edisi IV. Kamus tersebut menuliskan bahwa arsip merupakan dokumen tertulis yang mempunyai nilai historis, disimpan dan dipelihara di tempat khusus untuk referensi. Jika kita mencoba sedikit menjadi ahli hukum, maka kita tengoklah dokumen lain. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Tentu definisi-definisi seperti itu tidak akan membantu banyak mengenai makna arsip sesungguhnya, maka seperti apa yang sering dikatakan oleh para psikoanalis, setiap manusia bisa dimaknai berdasarkan memori masa lalunya, kita akan coba menelusuri masa lalu kata bernama arsip. Arsip dalam bahasa Indonesia bisa ditarik mundur ke orang tuanya dalam kesatuan bahasa Indo-Eropa. Karena kesatuan bahasa ini sebenarnya sesaudara sepupu, mereka cenderung mirip, sehingga sukar dipastikan siapa kakak siapa atau siapa anak siapa. Bayangkan saja, dalam bahasa Jerman ia disebut archiv, dalam bahasa Spanyol ia disebut archivo, dalam bahasa Belanda ia disebut archief, dalam bahasa Itali ia disebut archivio, dalam bahasa Perancis ia disebut archiver, dalam bahasa inggris ia disebut archive, dan masih banyak saudara-saudara lainnya. Kita mungkin bisa sedikit menyimpulkan dari sejarah Indonesia bahwa mungkin arsip diturunkan langsung dari bahasa Belanda, namun itu tidaklah terlalu penting. Meskipun mereka semua sukar ditentukan siapa menurunkan siapa, mereka sama-sama punya satu buyut, yakni bahasa latin.

Semua kata-kata di atas turun dari bahasa latin archium, atau bisa juga archivium, dengan makna masih tak jauh beda dengan makna kata-kata turunannyam maka marilah kita mundur lagi. Berdasarkan sejarah juga, kita ketahui bahwa bahasa latin cenderung merupakan bahasa Yunani yang termodifikasi, maka jika dilihat ayah Yunaninya, ia berasal dari kata arkheion, yang cenderung memiliki arti balai kota. Makna dari situ pun masih sukar dipahami, meski kita bisa secara wajar menyimpulkan bahwa balai kota memang tempat penyimpanan dokumen-dokumen atau rekaman-rekaman terkait masyarakatnya. Kata itu pun sebenarnya masih merupakan turunan, yakni dari kata arkhe yang memiliki 3 makna berbeda, yakni awal atau asal mula, otoritas atau pemerintah, dan ujung suatu tali atau tongkat. Mengingat kata ini turun dari kata árkho yang berarti memulai, maka pada dasarnya semua makna itu berarti serupa, intinya adalah asal mula atau sesuatu yang memulai. Kata ini memang akhirnya dipakai untuk menamai otoritas karena dalam suatu sistem kemasyarakatan yang telah mulai kompleks, akan ada sesuatu dimana keputusan atau aturan yang mengatur masyarakat tersebut berasal. Dari makna otoritas ini lah, lahir makna arch sebagai struktur, karena pada dasarnya struktur masyarakat ditentukan dari peta kuasa yang berlaku di dalamnya, siapa berhak mengatur siapa. Maka tentu tidak akan aneh lagi ketika kita mendengar kata monarki, anarki, atau hirarki.

Kita bisa memahami tiga kemungkinan makna di sini. Yang pertama adalah memang berawal dari sistem pemerintahan Yunani pada milenium pertama sebelum masehi yang terpusat pada kota (polis), sehingga balai kota pun seakan menjadi pusat pengaturan masyarakat, yang dimiliki oleh otoritas. Balai kota pun kemungkinan menjadi tempat terpusatkannya segala penyimpanan informasi dalam masyarakat, dari data perdagangan, hingga karya-karya kepenulisan, sehingga turunlah kata arsip dari makna tersebut. Pusat penyimpanan informasi itu disebut dengan Archon pada masa Yunani klasik. Yang kedua adalah bahwa arsip dianggap sebagai awal mula dari suatu informasi, yang kemudian menurunkan makna bahwa arsip merupakan dokumen asli atau otentik yang tersimpan. Yang terakhir, makna arsip bisa dirujuk dari pemaknaan sepupu jauhnya, arch, yang dimaknai secara general kemudian sebagai struktur. Struktur apa? Kelak kita obervasi lebih lanjut.

Arsip pun memang dapat disimpulkan sebagai penyimpanan informasi, atau rekaman dalam bentuk apapun atas apa yang diciptakan oleh manusia, baik berupa pemikiran, kisah, maupun aktivitas. Ia bisa dianggap haruslah asli, terutama jika itu menyangkut dokumen resmi yang memperhitungkan legalitas dari dokumennya, namun tentu untuk dokumen-dokumen lain, otentitas dari arsip tidak lah terlalu diperlukan. Memang kemudian masih di zaman yang sama, konsep penyimpanan ini terbagi dengan perpustakaan, yang saat itu dibangun sebagai yang terbesar di dunia, di Alexandria. Meskipun begitu, apa yang tersimpan di perpustakaan pun masih dianggap sebagai arsip, meskipun bukan lagi disimpan di Balai Kota atau dipegang oleh otoritas. Lalu ada apa dengan struktur? Untuk itu, kita perlu mundur jauh lagi sebelum peradaban Yunani dan melihat makna arsip dari sisi lain.

Dari Lisan ke Literasi

Peradaban manusia yang dianggap pertama kali berkembang adalah peradaban di sekitar sungai Eufrat dan Tigris yang dikenal sebagai Fertile Crescent. Peradaban ini diidentifikasi kemudian sebagai bangsa Sumeria. Sebelum itu, belum ada jejak-jejak perkembangan peradaban lain yang signifikan. Kalaupun ada, mungkin masih dalam bentuk koloni para pemburu pengumpul yang cenderung nomaden. Pada bangsa Sumeria ini lah para sejarawan menemukan dokumen tertulis pertama yang menggunakan cuneiform atau huruf paku. Dokumen-dokumen ini diyakini berisi catatan-catatan perdagangan, dan juga sebuah kisah pahlawan bernama Gilgamesh. Itulah titik, dimana manusia menemukan cara untuk abadi, cara untuk mengkonkritkan apa yang abstrak, dan cara untuk mengawetkan yang mudah lenyap: memori. Ya, itulah pengarsipan pertama yang terjadi, membuat kita saat ini, mengetahui dan bisa membayangkan apa yang terjadi sekitar 4000 tahun yang lalu di sekitar Iraq sekarang.

Pada masa sebelum adanya tulisan, segala sesuatu haruslah disampaikan secara langsung terkait informasi apapun. Tak ada media lain yang bisa digunakan untuk menyebarkan informasi selain dengan suara, karena konsep bahasa barulah terbentuk dari diferensiasi pengucapan dalam mulut. Tentu sistem kemasyarakatan sudah cukup kompleks untuk memiliki pemerintahan tersendiri, bukan sekedar suku-suku kecil atau kawanan manusia yang nomaden. Dalam kondisi masyarakat yang sudah mulai padat, tradisi lisan sebenarnya masih cukup efektif untuk menjadi satu-satunya mekanisme penyebaran informasi untuk beragam keperluan. Untuk sekedar menjalani hidup dengan lancar, maka tidaklah diperlukan efektivitas lain demi pengaturan yang terjadi dalam masyarakat.

Namun sayang, hasrat manusia untuk kemudahan tidaklah semudah itu dihentikan. Seperti halnya teknologi tidak akan pernah bisa dihentikan karena berasal dari hasrat natural manusia, demikian juga terbentuknya tulisan, yang sesungguhnya bentuk ‘teknologi’ dari sistem penyebaran atau penyimpanan informasi. Ketika suatu peradaban makmur, tentu populasi masyarakatnya cenderung meningkat, dan seiring dengannya, kompleksitas aktivitas sosial. Pada suatu titik, begitu padatnya aktivitas sosial akan mendorong semangat untuk efektivitas, hingga akhirnya muncullah sistem tulisan pertama kali dalam dunia perdagangan, dengan tujuan sesederhana pencatatan stok padi, dan semacamnya. Hal ini terkesan sederhana, namun ketika kemudian tulisan ini berkembang dan menularkan sistem tulisan lainnya di peradaban-peradaban lain di sekitar Sumeria, tulisan merevolusi tradisi lisan menjadi bentuk yang sama sekali baru.

Dalam tradisi lisan, indra manusia sangatlah terfokus pada auditori. Namun, ketika kita mendengarkan secara langsung siapapun berbicara, ekspresi wajah, intonasi, keadaan lingkungan, hubungan dengan lawan bicara, dan lain sebagainya menyatu bersama informasi suara yang terdengar dan membentuk perspektif yang lebih auratik. Sehingga meskipun indra pendengaran menjadi reseptor informasi utamanya, namun pada dasarnya seluruh indra bekerja dan membentuk satu kesatuan persepsi. Bandingkan saja, bahwa akan sangat berbeda perasaan mendengar seseorang berbicara langsung dengan kita, atau berbicara melalui radio atau telepon. Selain itu, karena gelombang suara bersifat menyebar dan bisa menembus beragam medium, pendengaran menciptakan mekanisme penerimaan informasi yang tidak bergantung arah. Jika ada suara dibunyikan dari arah manapun, selama jarak dengan sumber suara masih dalam batas wajar, suara tersebut pasti akan tetap terdengar kearah manapun telinga kita menghadap, berbeda dengan indra penglihatan yang mana mata hanya bisa memiliki area pandang. Hal ini berpengaruh banyak karena kemudian tradisi lisan menciptakan tradisi berkumpul, yang timbul akibat satu sumber suara dapat merebut fokus khalayak dalam satu lingkungan.

Ketika sistem tulisan muncul dan berkembang, manusia menemukan cara untuk memisahkan diri dengan informasi. Hal ini sangatlah kontras dengan menyatunya informasi dengan sumbernya pada tradisi lisan, yang seperti tadi dijelaskan, menciptakan persepsi aurati. Bahkan, sesungguhnya persepsi lisan juga lah parsipatoris, artinya sang penerima informasi seakan-akan ikut menyatu secara utuh bersama informasi dan sumbernya, mencipta kecenderungan untuk reaksi langsung. Dengan adanya tulisan, hal tersebut tidak dapat terjadi, karena informasi dipindahkan melalui medium lain yang cenderung bersifat permanen dan mudah direproduksi. Pada perkembangannya, tradisi lisan pun bertransformasi menjadi sebuah budaya yang sama sekali baru, yang kemudian kita kenal dengan nama literasi.

Satu hal yang paling utama dari terbentuknya budaya literasi adalah mekanisme terciptanya penyimpanan informasi secara permanen dan utuh. Yang dimaksud utuh di sini adalah bisa dipertahankan bentuk aslinya tanpa berbeda sedikit pun. Bayangkan ketika dalam tradisi lisan, setiap orang harus menghafal segala sesuatu untuk bisa terus menerus disampaikan dan kemudian bisa dipertahankan. Jika demikian, pastilah bentuk utuh dari informasinya akan selalu berubah-ubah karena tidak adanya referensi pasti yang bisa memastikan bentuk asli dari informasi terkait. Memori manusia pun terbatasi dalam hal ini, sehingga masyarakat tradisi lisan terbiasa mereproduksi inti informasi ketimbang terpaku pada memori. Reproduksi dalam konteks ini adalah proses pengucapan atau penyampaian terus menerus demi mempertahankan intisari suatu informasi dari waktu ke waktu. Itulah mengapa penceritaan kisah terus menerus pada tradisi lisan menjadi hal yang cukup rutin dan menjadi kebiasaan. Dengan berhasilnya informasi disimpan dalam bentuk yang lebih permanen, dan dapat direproduksi juga secara permanen, maka seakan manusia memperpanjang memorinya, mengekstensi batas kemampuan pikiran menjadi lebih jauh.

Tulisan pun menjadi sebuah cara untuk mengabadikan informasi atau pikiran yang manusia miliki agar bisa dipertahankan menembus waktu tanpa harus direproduksi secara kontinyu. Dengan berkembangnya sistem tulisan, tangga pengetahuan bisa satu per satu didaki tanpa harus susah payah mempertahankan anak-anak tangga yang sudah terlewat, yang mana dalam tradisi lisan sangatlah rapuh tanpa medium yang permanen. Ketika tangga itu sudah menjadi sangat tinggi pun, kita masih dapat melihat ke bawah dan menelusuri jejak pengetahuan itu sendiri. Bahasa sederhananya, manusia mulai mengekstensi memori yang mereka miliki dengan bantuan sistem tulisan.

Ekstensi memori yang terjadi ternyata bukanlah sekedar terjaganya informasi di luar kepala manusia, namun juga manusianya sendiri mulai terbudayakan untuk memanfaatkan lebih ketat memorinya. Tradisi menghafal pun sesungguhnya muncul dari budaya literasi. Pada tradisi lisan, tidak adanya media penyimpanan lain selain otak terhadap semua informasi membuat manusia lebih selektif terhadap apa yang diingatnya dan cenderung hanya menghafal segala sesuatu secara inti, tanpa perlu utuh. Ketika suatu panggung pertunjukan diadakan misalnya, pemain yang terlibat tidaklah memiliki naskah untuk dihafalkan, namun cenderung hanya memahami alur skenario dan selebihnya mencipta dan mengembangkan sendiri-sendiri. Sejak berkembangnya sistem tulisan, manusia memiliki media untuk referensi, membuat ingatan secara utuh dan detail memungkinkan. Kita pun kemudian menciptakan kebiasaan menghafal, disebabkan adanya referensi tersebut, sesuatu yang tidak dimiliki tradisi lisan.

Perbedaan lain yang cukup terlihat antara tradisi lisan dan budaya literasi adalah struktur pikiran yang dimiliki manusia. Dalam tradisi lisan, dengan memori abstrak dan tidak spesifik, manusia cenderung memiliki struktur pikiran yang juga abstrak dan tidak tersistemasi. Pikiran manusia tidak memiliki wadah untuk bisa dituangkan agar bisa diatur sedemikian rupa. Ketika sistem tulisan muncul, kendala itu tidak lah lagi ada. Tulisan menjadi wadah krusial untuk menyistemasi pikiran. Bahasa menulis dengan bahasa lisan tidak lah sama. Ketika kita menulis, kita cenderung memiliki ruang dan waktu untuk menata pikiran terlebih dahulu sebelum dituangkan, berbeda dengan lisan yang cenderung terbiasa responsif dan latah karena memang hanya tertuang ketika ada percakapan langsung. Ketika suatu tulisan telah tercipta pun, manusia lain yang membacanya juga memiliki ruang dan waktu sendiri untuk memahami tulisan tersebut secara lebih mendetail. Pikiran pun secara perlahan terbiasakan untuk tertata dan tersistemasi dalam struktur yang rapi.

Meskipun terlihat baik karena kemudian hal tersebut dapat menunjang berkembangnya pemikiran kritis, terstrukturnya pikiran dalam budaya literasi menciptakan efek lain, yakni adanya individualitas dalam penerimaan dan pemberian informasi. Sifat parsipatoris yang dimiliki oleh tradisi lisan membuat setiap manusia harus menerima atau memberi informasi secara langsung dari/untuk manusia lain. Apalagi, transfer informasi via suara cenderung bisa memusatkan fokus, sehingga orang-orang harus berkumpul untuk bisa saling tukar informasi. Di tambah dengan sifat auratik dari tradisi lisan, manusia akan merasakan penyatuan dan ikatan tersendiri terhadap manusia lain ketka berkomunikasi secara langsung. Sayangnya, dengan munculnya sistem tulisan, komunikasi langsung bukan lagi menjadi satu-satunya media penyebaran informasi. Padahal, tulisan menciptakan proses penerimaan dan pemberian informasi menjadi tidak langsung, karena bisa mencipta jarak dalam ruang dan waktu dari pemberi ke penerima informasi. Setiap orang selalu bisa menulis informasi sendirian, dan membaca informasi juga sendirian, tanpa harus ada tuntutan untuk bertemu atau berkomunikasi langsung. Itulah kenapa bisa dikatakan bahwa budaya literasi merupakan pemicu munculnya individualitas.

Bangunan Peradaban

Dengan beragam bentuk kebiasaan yang terbentuk pada masyarakat disebabkan munculnya sistem tulisan, budaya baru pun terbentuk, dengan nama yang kita kenal dengan literasi. Kita mengenal bahwa budaya literasi ditopang oleh dua pilar utama, yakni membaca dan menulis, hal yang memang baru dikenal oleh peradaban manusia sejak munculnya aksara atau sistem tulisan. Budaya literasi ini kemudian dianggap sebagai satu komponen utama berkembang pesatnya manusia setelah itu. Bahkan, budaya literasi dijadikan salah satu tolok ukur atau indikator masyarakat yang beradab. Tidak salah mungkin, budaya literasi membuat pengetahuan bisa terjaga dengan baik sehingga inovasi dan pemikiran bisa tumbuh dengan lebih pesat, menciptakan manusia yang lebih bijaksana.

Tapi.

Apakah memang demikian? Lagipula, apa itu peradaban?

Makna peradaban mungkin telah menjadi objek bedah berbagai pakar dari tahun ke tahun, dan mungkin bukan kapasitasku di sini untuk turut melibatkan diri dalam pembedahan itu. Analisis bahasa seperti di atas juga mungkin tidak dirasa perlu, karena di sini kita hanya perlu mengangkat renungan di awal tulisan ini. Apa yang sesungguhnya berubah dari peradaban?

Kita tentu bisa secara abstrak memahami apa itu beradab dan apa yang tidak, meskipun kita sendiri tetap akan menemui kebingungan untuk mendefinisikan apa sebenarnya yang mencirikan ‘adab’ itu. Dengan sedikit renungan sederhana, kita bisa mencoba membayangkan apa yang membedakan manusia zaman sekarang dengan manusia beberapa abad yang lalu, atau abad-abad yang lalunya lagi. Yang membedakan tentunya adalah bagaimana kita hidup, dan bagaimana kita hidup ini ditentukan oleh tradisi atau kultur yang terbentuk di lingkungan, baik lingkup kecil maupun besar. Tradisi atau kultur sendiri dibentuk dari perangkat-perangkat yang menjadi penunjang kehidupan bermasyarakat. Seperti misalnya, ditemukannya telepon menciptakan kultur baru dalam sistem koordinasi dalam pemerintahan, yang mana menjadi jauh lebih dimudahkan dalam komunikasi jarak jauh. Perangkat-perangkat ini, muncul secara bertahap seiring dengan berkembangnya pengetahuan yang memungkinkan terciptanya perangkat tersebut.

Tentu saja gambaran di atas hanyalah imajinasi kasar, karena tentu banyak sekali faktor yang bisa menentukan berubahnya suatu cara hidup manusia. Tapi jika bisa kita generasliasi, perangkat yang dimaksud di atas tidaklah harus berupa perangkat materiil, namun bisa juga berupa pemikiran atau suatu metode. Selain itu, ya tentu konflik-konflik antar atau internal masyarakat sendiri sangatlah berpengaruh pada berubahnya suatu peradaban, dan juga banyak sebab-sebab lainnya yang menjadikan buku-buku cultural studies tidaklah pernah bisa tipis. Terlepas dari semua kerumitan tersebut, marilah sepakat paling tidak dalam satu hal, yakni bahwa berubahnya cara hidup manusia itu cenderung berbanding lurus dengan pengetahuan. Jika kita menganggap bahwa peradaban adalah sesuatu yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang fisik maupun nonfisik, maka kita bisa secara kasar menganggap bahwa peradaban lahir dari berkembangnya pengetahuan manusia.

Pengetahuan yang dimiliki manusia sesungguhnya sesuatu yang tak pernah berhenti berkembang semenjak manusia pertama kali memiliki otak utuh homo sapiens (baik yang percaya evolusi maupun tidak). Tapi ketika kita bisa menganggap bahwa otak homo sapiens dari dulu hingga sekarang tidak lah berubah (karena jika berubah kita akan menjadi spesies yang lain lagi), maka dengan cara apa pengetahuan itu berubah dalam kehidupan manusia? Tentu saja karena terimplementasikan dalam perkakas-perkakas yang terlingkupi dalam kehdiupan manusia. Maka secara tidak langsung pengetahuan itu selalu memiliki media agar bisa bertahan melintasi waktu tanpa harus terbatas pada nyawa seorang manusia. Ketika manusia pertama kali menemukan panah, maka pengetahuan yang dimiliki masyarakat penemu panah tersebut tersimpan dalam panah sehingga generasi-generasi berikutnya tetap dapat memiliki pengetahuan tersebut. Inilah yang aku sebut sebagai arsip primitif. Arsip dalam bentuk yang lebih primordialnya sebelum terbentuknya sistem tulisan.

Mengapa arsip?

Jika kita coba kembali ke makna arsip di awal tulisan ini, arsip merupakan media penyimpan informasi atau rekaman dalam bentuk apapun atas apa yang diciptakan manusia. Dan ketika kita generalkan yang dimaksud ‘bentuk apapun’ ini, artinya segala hal yang merekam informasi mengenai karya cipta manusia, bahkan termasuk artefak benda-benda peninggalannya. Selama ini kita cenderung menganggap bahwa informasi cenderung hanya bisa terekam dalam bentuk tulisan. Padahal, semua benda yang ditinggalkan manusia pastilah selalu mengandung banyak informasi, mulai dari pengetahuan manusia yang membuatnya, hingga perkiraan gaya kehidupan manusia yang membuatnya. Sehingga bisa dianggap bahwa segala benda peninggalan manusia merupakan arsip, karena seminimal-minimal benda itu, pastilah ia tetap mengandung informasi yang bisa ditelusuri. Maka, dalam bentuk yang lebih general, kita bisa mendefinsiikan arsip sebagai sesuatu yang merekam masa lalu kehidupan manusia. Informasi pastilah selalu terbentuk dari masa lalu, karena masa depan belum memiliki informasi apapun.

Sistem terekamnya masa lalu inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya. Seperti yang saya contohkan sebelumnya, ketika manusia pertama kali menemukan api, maka selama perkakas-perkakas yang dimungkinkan ada oleh api merekam informasi mengenai manfaat penggunaan api, yang mana rekaman ini tereproduksi terus menerus seiring manusia menggunakannya dan kemudian meneruskannya pada dari generasi ke generasi. Generasi selanjutnya pun tidak perlu melakukan inovasi dari awal, ia hanya berpijak dari penemuan api tersebut untuk meninjau lebih lanjut lagi akan apa yang mereka bisa ciptakan kemudian. Pengetahuan pun berkembang sedemikian rupa, yang mana satu generasi berpijak pada pengetahuan generasi sebelumnya. Hal ini hanya bisa terjadi di manusia, karena hewan tak memiliki sistem pengarsipan masa lalu via karya cipta seperti ini. Jika ditelusuri lebih lanjut, memang yang memungkinkan manusia untuk berkarya dan mencipta sesuatu adalah keluwesan tangan dan kakinya, maka dari situlah arsip sesungguhnya berasal.

Pengetahuan kemudian bisa dikembangkan secara bertahap bak anak tangga yang terus menerus di bangun di atas yang sebelumnya. Bisa saja proses ini berlangsung terus menerus dan peradaban manusia pun tetap akan berkembang, namun tentu hal ini bisa memakan waktu sangat lama karena hanya berdasar pada informasi implisit, yang mana kita hanya bisa mengembangkan pengetahuan berdasarkan bentuk jadi dari pengetahuan sebelumnya, bukan informasi spesifik dari pengetahuan itu sendiri. Itu disebabkan karena arsip dalam bentuk benda utuh tidak bisa serta merta dipahami atas informasi yang dimilikinya. Apalagi jika jarak waktu yang dilalui arsip tersebut telah begitu jauh, preferensi tambahan yang cenderung terkandung di keadaan lingkungan atau masyarakat yang ada bisa saja sudah berubah.

Apa yang bisa merevolusi itu adalah berubahnya media arsip, dari sekedar benda utuh ke dalam bentuk tulisan. Mengapa? Karena tulisan memungkinkan tertuangnya pengetahuan secara lebih eksplisit ketimbang implisit dalam benda-benda ciptaan. Dengan budaya literasi sendiri, seperti yang dijelaskan sebelumnya, mengubah struktur pikiran manusia menjadi lebih sistematis, yang artinya menciptakan arsip pengetahuan yang lebih terstruktur dan tidak abstrak. Bayangkan ketika kita hanya bisa mengetahui sesuatu dari ciptaan sebelumnya atau tersampaikan secara lisan, manusia tidak punya banyak landasan yang kokoh untuk terfokus pada penciptaan berikutnya. Konsep referensi pun muncul di sini, ketika arsip tulisan menjadi landasan untuk dirujuk dalam pengembangan berikutnya. Tangga pengetahuan yang sebelumnya mungkin cenderung rapuh, ketika sistem tulisan lahir menjadi lebih kuat dan permanen. Arsip mengonkritkan anak-anak tangga pengetahuan agar selalu bisa jadi pijakan kokoh pengetahuan-pengetahuan berikutnya, perlahan mengonstruksi sebuah bangunan peradaban, dengan arsip sebagai struktur utamanya.

Konservasi dan Reproduksi

Jelas jika kita kemudian bisa mengatakan bahwa budaya literasi memperpanjang memori manusia, karena media penyimpanan masa lalunya menjadi semakin eksplisit dan awet. Namun sesungguhnya, perpanjangan memori ini hanya mungkin terjadi jika memang karya tulisan yang tercipta tersimpan dan terjaga dengan baik. Ketika karya tulisan gagal dijaga sedemikian rupa, maka akan menjadi percuma proses literasi membaca-menulis yang telah dilakukan, karena sekali suatu arsip kepenulisan hilang, maka hilang pula semua memori yang terkandung di dalamnya. Ini lah yang sering dilupakan bahwa arsip merupakan pilar literasi yang ketiga, bukan hanya membaca dan menulis.

Proses pengarsipan bukanlah sebuah proses yang mudah untuk dilakukan. Apalagi jika karya tulisan itu semakin lama semakin banyak hingga bahkan berceceran dimana-mana. Bagaimana kemudian menata karya tulisan yang semakin banyak tersebut agar dapat dengan mudah diambil kembali jika diperlukan pun menjadi sebuah keterampilan tersendiri. Di sini aku tak membedakan konsep pengarsipan dan kepustakaan, meskipun dalam beberapa pemahaman, dua konsep ini dibedakan. Paradigma terhadap pengarsipan cenderung mengarah pada dokumen-dokumen resmi dan sangat mengumakan otentitas. Padahal, konsep pengarsipan sesungguhnya berpusat pada penyimpanan informasi masa lalu, dan itu tidak lah harus yang otentik, sehingga bagiku, salinan juga merupakan sebuah arsip.

Di Indonesia, arsip dan kepustakaan juga cenderung dibedakan, sehingga terdapat dua lembaga berbeda yang mengurusi, yakni ANRI dan Perpusnas. Tidak masalah, tapi baiknya dua komponen ini berkoordinasi di bawah satu kelembagaan, agar paradigma penyimpanan informasinya bisa sama. Apalagi jika kita perluas makna arsip menjadi segala hal yang menyimpan memori masa lalu, maka semua museum pun harus diintegrasikan. Memang, pengumpulan dan pemusatan arsip sesungguhnya menjadi sebuah metode yang cukup efektif untuk menjaga terawetkannya karya tulisan. Dalam hal ini, pemusatan arsip memerlukan sebuah keterbukaan, sebuah kontrol publik, sehingga arsip selalu memliki backup ketika terjadi apa-apa. Ketika suatu arsip tetiba hilang karena satu atau dua hal, keterbukaan arsip yang sebelumnya dilakukan akan memungkinkan untuk ditemukannya kembali arsip tersebut di masyarakat.

Arsip, jika hanya disimpan begitu saja tidak akan memiliki arti apa-apa. Itulah kenapa diperlukan proses penghidupan arsip secara kontinyu, selain dengan keterbukaan yang saya jelaskan di atas. Penghidupan arsip dilakukan dengan terus menerus mereproduksi arsip dan menyajikannya ke publik dengan kreativitas tertentu, sehingga publik dapat merasakan apa yang terbawa dalam arsip tersebut. Dengan seperti itu, arsip sendri akan terjaga secara massal, oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini ditopang kuat dengan berkembangnya teknologi untuk reproduksi tersebut, baik dengan cara melakukan fotokopi langsung pada arsip terkait, atau dengan melakukan digitalisasi. Bayangkan saja ketika 2 milenium yang lalu, dengan kurang dihidupkannya arsip (karena hanya menjadi konsumsi para ilmuan dan pelajar yang memang tertarik), ditambah dengan teknologi reproduksi arsip yang masih belum ada, terbakarnya perpustakaan Alexandria sebagai kolektor pengetahuan global terbesar saat itu benar-benar melenyapkan semua memori yang tersimpan di dalamnya tanpa ada kemungkinan untuk bisa direkonstruksi kembali.

Anomali Era Informasi

Perkembangan teknologi telah memberi begitu banyak perubahan baru dalam konsep pengarsipan. Seperti misalnya, ditemukannnya kamera pada abad ke-19 merevolusi konsep penyalinan realitas, yang selama ini hanya bisa dilakukan dengan lukisan. Kamera pun menciptakan arsip eksplisit dalam bentuk lain, yakni gambar. Ketika kamera sendiri kemudian berkembang hingga bisa merekam gambar bergerak pun dan juga suara, arsip juga meluas ke ranah video. Tentu arsip gambar dan arsip video tidak kalah eksplisit dengan arsip tulisan. Penggabungan tiga konsep gambar, suara, dan tulisan pun telah membuat sebuah arsip menjadi utuh dan lengkap. Kita mengenal komponen tambahan ini dengan sebutan multimedia, atau lengkapnya, arsip multimedia.

Selain teknologi fotografi, perkembangan selanjutnya yang sangat merevolusi dunia pengarsipan adalah teknologi penyebaran informasi melalui aliran listrik. Hal yang kemudian kita kenal dengan istilah digital, yakni ketika informasi ditransformasi ke dalam bentuk biner sehingga bisa diimplementasikan dalam sebuah rangkaian listrik. Penyimpanan informasi digital, seiring dengan berkembangnya waktu, sangatlah membutuhkan ruang yang kecil. Bahkan hingga detik ini, sebuah kartu memori berukuran tidak lebih besar dari kuku jari kelingking tanganku, bisa menyimpan hingga 32 gigabyte informasi atau mungkin lebih, dan itu setara dengan kumpulan buku di perpusatakaan sebanyak 5-10 rak besar, atau bisa juga lebih (bergantung kompresi file yang dilakukan pada data digitalnya). Reproduksi informasi digital pun bisa dilakukan dengan sangat mudah, apalagi jika dibuat terbuka via internet. Teknologi internet pun telah merevolusi penyebaran informasi menjadi tanpa batas sedikit pun. Informasi telah bisa dibuat sangat terbuka dan bisa diakses siapapun dimanapun kapanpun.

Bagus bukan? Sayangnya, seperti setiap ada yang didapatkan, pastilah ada yang dikorbankan, maka perkembangan teknologi informasi saat ini menciptakan anomali lain.

Sebelum era informasi datang, informasi selalu lah menjadi hal yang sangat krusial dalam banyak aspek kehidupan manusia. Betapa pentingnya informasi ketika adanya investigasi suatu kasus pembunuhan. Betapa pentingnya informasi ketika sejarawan butuh detail kejadian yang terjadi masa lalu. Betapa pentingnya informasi untuk mengetahui perkembangan pengetahuan yang terjadi di tempat-tempat yang berbeda. Informasi masihlah merupakan sesuatu yang bisa dikatakan jarang dan belum tentu bisa diakses dengan mudah oleh seluruh orang di dunia. Apalagi dulu, untuk menulis sesuatu masih butuh kertas dan tinta, sesuatu yang masih dikatakan belum cukup praktis untuk dilakukan secara intensif. Buku-buku pun masih menjadi sesuatu yang sangat berharga, sehingga suatu perpustakaan merupakan pusat kunjungan yang terbaik bagi mereka yang membutuhkan informasi dan wawasan.

Ketika teknologi digital muncul, dan menyusul setelahnya teknologi internet, pembuatan dan penerimaan informasi bukan lah sesuatu yang sukar untuk dilakukan. Permainan jari di atas tuts papan ketik merupakan hal yang bisa dipelajari dengan mudah dan dapat dilakukan dengan cepat. Informasi yang terbentuk pun lebih awet dan tidak membutuhkan banyak ruang. Apalagi dengan munculnya telepon seluler, seseorang bisa melakukan pembuatan dan penerimaan informasi dimanapun ia inginkan. Internet kemudian memungkinkan informasi yang telah tercipta menyebar begitu mudahnya, bukan sekedar pada satu lingkungan saja, namun ke seluruh dunia. Anehnya lagi, terciptalah kemudian konsep yang dinamakan dunia maya. Di dunia ini, seakan budaya literasi yang telah terbangun berabad-abad sebelumnya, mundur kembali ke tradisi lisan. Satu karakter kental yang mencirikan hal tersebut adalah sifat parsipatoris tradisi lisan, yang mana dapat memusatkan fokus hanya dengan satu suara dominan, yang kemudian membuat orang-orang yang mendengarnya menjadi partisipan yang akan langsung merespon secara impulsif. Karakter latah orang-orang tradisi lisan muncul kembali di dunia ini. Satu-satunya perbedaan mungkin hanya bahwa semua yang terjadi di dunia ini terarsipkan dengan baik, menjadi sebuah data raksasa yang terus menerus tercipta.

Produksi informasi di dunia maya semakin lama menjadi begitu pesat sehingga bisa diibaratkan tetes-tetes air di sebuah hujan yang sangat deras. Sayangnya, hujannya tidak pernah berhenti, siang dan malam. Aliran informasi menjadi sungai yang tak bisa dibendung. Layaknya ketika uang beredar terlalu banyak membuat nilai uang akan turun, demikian juga informasi. Nilai sebuah informasi menjadi hampir tidak berharga karena begitu mudah diakses dan muncul tiap detik. Sebenarnya hal ini tidak lah aneh, karena jika kita kumpulkan semua pembicaraan yang terjadi dalam masyarakat pada suatu masa pun akan menjadi sebuah aliran informasi yang begitu deras. Bedanya, semua pembicaraan tersebut terakses secara bersamaan dengan adanya internet, dan semuanya pun terarsipkan.

Dengan jatuhnya makna informasi, maka pengarsipan pun mulai kehilangan maknanya. Pengetahuan memang tetap berkembang sedemikian rupa dengan pilar-pilar yang tercipta, namun pada akhirnya menciptakan jarak tersendiri, karena pengetahuan merupakan informasi tingkat tinggi yang terpisah dengan aliran informasi harian yang diterima masyarakat. Pengetahuan dalam titik ini pun sesungguhnya telah mewujud menjadi entitas yang kompleks dengan ratusan cabang konsentrasi. Setiap orang yang menjadi cukup terspesialisasi dalam satu cabang tanpa perlu terlibat dalam aliran informasi pengetahuan di cabang yang lain. Meskipun begitu, mayoritas manusia belum tentu bisa meraih informasi tingkat tinggi ini karena cukup tak terjangkau (karena semakin rumitnya pengetahuan) dan juga pikiran telah disibukkan dengan lalu lalang informasi harian yang tidak pernah berhenti. Hal ini diperparah dengan efek munculnya tradisi lisan semu di dunia maya yang cenderung membuat sifat reaktif dari manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Jika demikian, maka arsip pun terbelah menjadi dua entitas, yakni yang eksklusif tingkat tinggi dan hanya bisa bermanfaat untuk segelintir manusia yang memang terkonsentrasi pada bidangnya, dan yang umum dan berada dalam tataran sehari-hari namun memiliki makna yang semakin lama semakin dangkal.

Pengetahuan tetap berkembang dalam suatu tingkat di atas, dengan mekanisme yang masih sama, namun jaraknya dengan jangkauan manusia awam sangatlah jauh. Manusia awam kemudian hanya bisa menerima hasil konkrit atau dampak langsung dari apa yang telah tercipta di atas sana. Di bawah sendiri, begitu banyaknya informasi yang tercatat membuat pikiran tak memiliki waktu lagi untuk bisa memproses semuanya dengan matang, sehingga muncullah epidemi yang menyerang dunia pengarsipan sendiri, yakni deflasi kebenaran. Untuk masalah istilah, tak perlu dipikirkan rumit. Intinya adalah dalam tataran kehidupan sehari-hari, informasi yang selalu berlalu setiap detik begitu banyak sehingga kebenarannya sendiri mulai tidak bisa dijelaskan. Aku tetap menyebut semua itu arsip karena semuanya tersimpan rapi dalam basis data internet dan memuat segala hal yang terjadi di masa lalu. Hanya saja, arsip ini begitu banyak dan berantakan sehingga untuk menemukan makna dan kebenaran di dalamnya, butuh pembacaan yang lebih dalam dan kritis.

Lantas apa yang harus dilakukan? Proses pengarsipan pun memerlukan satu tahap tambahan, yakni pemilahan dan verifikasi. Tahap ini sebenarnya mungkin juga ada dalam proses pengarasipan pra-digital, hanya saja tidak begitu krusial karena aliran infomasi masihlah terkontrol. Segala hal masih bisa diarsipkan tanpa perlu dipilah dan kerapihannya masih tetap terjaga. Dalam era informasi, seakan-akan semuanya dihambur-hamburkan begitu saja di udara, berserakan dimana-mana, entah mana yang benar mana yang salah, mana yang asli mana yang palsu. Jikalau pun mau disimpan semua pun, sebagian besar mungkin sudah tidak memiliki makna lagi, maka proses pemilahan menjadi tahap krusial. Ini merupakan tahapan penting dalam penataan informasi untuk menata pikiran sehingga manusia bisa hidup lebih terkontrol.

Entah apa yang akan terjadi paska era informasi ini. Hanya saja, kita saat ini memerlukan kesadaran tersendiri terhadap betapa sudah berantakannya aliran informasi. Tentu saja sebagian informasi-informasi itu sesungguhnya membentuk pola tersendiri, namun yang bisa melihat hanyalah segelintir orang di atas sana yang memang terbiasa bermain dengan informasi tingkat tinggi, jauh dari jangkauan mayoritas. Kita sendiri pun memerlukan penataan informasi yang lebih baik terlebih dulu dalam tataran individu, baru kemudian bisa menyikapi lebih baik bagaimana merespon dan menata informasi yang lalu lalang dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tahap lebih lanjut, mungkin saja kita berusaha agar semakin banyak orang dapat meraih informasi tingkat tinggi sehingga memiliki kemampuan untuk bisa memilah kebenaran dengan lebih kritis.

Arsip sejak awal peradaban lahir merupakan batu pijakan manusia untuk terus berkembang. Ia memproses masa lalu manusia sehingga selalu bisa dimanfaatkan ulang untuk pengembangan lebih lanjut. Arsip lah yang menjadi pembeda jelas mengapa spesies-spesies lain cenderung tidak dapat mengembangkan komunitasnya (tanpa melalui evolusi), meskipun arsip itu sendiri memiliki faktor lain dalam tubuh manusia, yakni kemampuan mencipta dan berpikir. Kita bisa anggap itu analisis lain, namun tetaplah arsip merupakan hal yang krusial untuk terus menerus dirapihkan. Menjadi berantakannya informasi sebagai akibat dari berkembangnya teknologi digital yang tak terkontrol memberi tantangan besar bagi manusia untuk bisa menyikapinya dengan baik.

Dalam tataran individu, menata arsip sesungguhnya adalah tindakan yang bisa menjadi sebuah kesenangan tersendiri yang bisa berbeda bentuk bagi berbeda orang. Setiap orang selalu memiliki ikatan erat terhadap masa lalunya sendiri, dan penataan arsip individu akan membantu terjaganya masa lalu. Bila di tahap individu kita bisa saja membiasakan untuk menata arsip sendiri, maka merespon derasnya informasi di zaman ini bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Tertatanya informasi sendiri berarti tertatanya hati dan pikiran dalam meresponnya, dan tertatanya hati dan pikiran akan menuntun kita semua dalam kebijaksanaan. Bukankah itu yang sesungguhnya menjadi makna peradaban?

(PHX)

Alt Text

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora