Bandung Selatan, Mengapa Dikau Banjir?

Bandung Selatan, Mengapa Dikau Banjir?

- 15 mins

Mungkin belum lepas dari ingatan kita bahwa bulan Maret lalu, daerah bandung selatan kembali tergenangi oleh banjir. Dari BNPB, sekitar 15 daerah di Kabupaten Bandung terendam banjir yang kedalamannya berkisar antara 0.8 hingga 3 meter. Berbagai instansi dan pihak berbondong-bondong memberikan bantuan pada masyarakat yang terkena dampak banjir, apalagi bisa dikatakan banjir di daerah bandung selatan pada tahun ini termasuk yang paling parah dalam beberapa tahun terakhir. Perhatian masyarakat bandung pun cukup teralihkan dengan apa yang terjadi.

Banjir yang terjadi di Bandung Selatan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang terjadi satu-dua kali saja. Ia terjadi tiap tahun. Bahkan secara ekstrim bisa dikatakan bahwa masyarakat bandung selatan begitu terbiasa dengan banjir yang terjadi sehingga sudah menjadi rutinitas yang tak harus dikhawatirkan lebih. Jika ditarik mundur pun, pola tahunan banjir yang terjadi sudah muncul sejak tahun 1980 atau dengan kata lain 3 dekade yang lalu. Tentu hal ini akan menimbulkan pertanyaan sederhana, ada apa dengan Bandung Selatan sehingga banjir selalu menjadi rutinitas yang tak kunjung usai?

Mangkok yang Padat

Apa yang biasa disebut sebagai ‘Bandung Selatan’ ketika terjadi permasalahan banjir sesungguhnya sebuah area di Kabupaten Bandung yang tergabung dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu. Sungai Citarum sendiri merupakan sungai terbesar dan terpanjang di wilayah Provinsi Jawa Barat yang mengalir lintas Kabupaten/Kota. Bersumber dari Situ Cisanti di kaki Gunung Wayang, sungai ini mengalir ke bagian tengah provinsi Jawa Barat, melwati waduk Cirata dan Jatiluhur hingga terus ke utara dan bermuara di Laut Jawa di daerah Muara Gembong. Aliran Citarum yang memanjang hingga total sekitar 269 km ini kemudian dapat dibagi menjadi 3 DAS besar, yakni DAS Hulu, DAS Tengah, dan Das Hilir. DAS Hulu meliputi mata air Gunung Wayang hingga ujung Sauguling, Das Tengah meliputi 3 waduk (Saguling, Cirata, Jatiluhur), dan DAS Hilir meliputi sisanya hingga muara.

Pada dasarnya sungai Citarum merupakan komponen alam yang cukup penting untuk berbagai keperluan dan manfaat. Sungai ini mengairi ratusan ribu hektar sawah, terutama di sekitar Pantai Utara Jawa Barat melalui jaringan irigasi Jatiluhur, sumber air bagi penduduk Bandung dan Jakarta, serta Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang menghasilkan daya 1.400 MW untuk pulau Jawa dan Bali. Namun, akibat kurang baiknya penataan dan pertumbuhan penduduk yang tak terkendali, sungai Citarum menjadi sumber masalah, yang mana salah satunya adalah banjir.

Banjir merupakan hal utama yang menjadi rutinitas DAS Citarum bagian hulu. Kondisi geografisnya membuat terciptanya genangan adalah suatu hal yang wajar. Secara geografis, DAS Citarum Hulu berada di 1070 15’ 46,27” - 1070 57’ 1,99” Bujur Timur dan 60 43’ 8,65” – 70 14’ 32,09” Lintang Selatan dengan luas area 180,270 hektar. Elevasinya berkisar antara 600-2.300 m di atas permukaan laut yang mana elevasi terendah berada di tengah DAS dan elevasi tertinggi berada di daerah utara dan selatan. Hal ini membuat DAS Citarum Hulu berbentuk cekung seperti mangkok. Kawasan sekitar DAS ini pun sering disebut dengan cekungan Bandung. Sekitar 86 ribu hektar lahan di bagian tengah merupakan daerah daratan yang sangatlandai, yang mana kemiringan lereng kurang dari 8%.

Alt Text

Alt Text

Kondisi geografis seperti ini seharusnya memang membuat DAS Citarum bagian hulu dijadikan kawasan yang tidak seharusnya dipadati oleh pemukiman. Bahkan jika perlu pemanfaatan ruang pada DAS Citarum Hulu tidak diperuntukkan untuk kawasan pemukiman dan fungsi kawasan lindungnya lebih dimaksimalkan. Apa yang terjadi di DAS Citarum Hulu memang bisa dikatakan diakibatkan oleh memadatnya kawasan pemukiman di DAS tersebut sehingga pertumbuhan penduduknya tidak terkendali. Penduduk di cekungan bandung itu tumbuh pada kisaran 3% per tahun, sebagai pengaruh migrasi ke daerah dengan pertumbuhan yang cepat. Apalagi mengingat cekungan ini berbatasan dengan kota Bandung sehingga wilayah ini dijadikan wilayah pengembangan yang fasilitas umumnya berorientasi langsung ke Kota Bandung.

Alt Text

Dapat dilihat bahwa pertumbuhan penduduk di kawasan cekungan bandung atau sekitar DAS Citarum Hulu diproyeksikan akan bertambah pesat dari waktu ke waktu. Berkembangnya pemukiman tanpa perencanaan yang baik pada zona Citarum Hulu pun membuat fungsi kawasan lindung baik hutan maupun non hutan jadi berkurang, budi daya pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi, perubahan tata guna lahan, pencemaran baik dari industri maupun rumah tangga, kadar erosi yang semakin tinggi, hingga berujung pada sedimentasi yang berlebihan.

Melihat dari segi iklim pun, cekungan Bandung , beserta wilayah sekitar Bandung lainnya termasuk wilayah beriklim tropis dengan temeratur yang hangat dan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Beberapa wilayah daratan tinggi di sekitar Cekungan Bandung dengan ketinggian lebih dari 1500 m dari permukaan laut beriklim sedang dengan temperatur yang sejuk sepanjang tahun. Secara umum, pola hujan di Cekungan Bandung tergolong pola monsunal dengan musim hujan di awal dan akhir tahun serta musim kemarau di pertengahan tahun. Bahkan beberapa kali curah hujan yang terjadi di sekitar Bandung melebih curah hujan normal bahkan hingga mencapai ambang batas ekstrim. Secara geografis sendiri, curah hujan tertinggi berada pada sekitar daerah Solokan Jeruk dan Majalaya.

Alt Text

Alt Text

Alt Text

Alt Text

Banjir, sebuah Kewajaran

DAS Citarum Hulu, terutama kecamatan Dayeuhkolot, Bojongsoang dan Baleendah, merupakan daerah yang selalu menjadi langganan banjir dari tahun ke tahun. Banjir ini pun selalu tepat terjadi sekitar maret atau desember. Dengan melihat kondisi daerah itu sendiri seperti yang terpaparkan sebelumnya, kita bisa melihat bahwa hal ini disebabkan oleh gabungan beberapa hal sekaligus.

Melihat dari curah hujan, jelas bahwa curah hujan di sekitar Bandung relatif tinggi sekitar Maret dan Desember. Ketika air hujan turun, ada tiga kemungkinan kemana air hujan ini akan pergi, yaitu mengalir melalui sungai, meresap ke tanah, atau tergenang. Untuk kondisi yang pertama, sungai memiliki kapasitas aliran maksimal yang bisa dialirinya. Ketika jumlah air yang mengalir (debit) melebih kapasitas maksimal, maka air tersebut akan meluap ke daerah sekitarnya yang memiliki ketinggian rendah. Apabila ketinggian daratan sekitar sungai tidak terlalu jauh dengan permukaan tertinggi aliran sungai, maka jumlah daratan yang tergenang akan semakin luas.

Terciptanya luapan air sungai sebenarnya juga dipengaruhi oleh struktur anak sungai terkait yang menjadi sumber aliran sungai utama. Anak-anak sungai tentu akan meningkatkan debit air sungai. Ketika anak sungai ini bergabung ke sungai utama di beberapa tempat berbeda yang cukup jauh, maka peningkatan jumlah debit air sungai utama tidak akan terlalu naik secara drastis, sebaliknya, hal itu akan mengakibatkan meningkat drastisnya debit air sungai utama pada satu lokasi.

Alt Text

Kondisi kedua sangat ditentukan oleh jumlah tutupan lahan yang dapat menyerap air. Tentu kapasitas serap lahan memiliki keterbatasan sehingga pada jumlah tertentu, air akan tetap menciptakan genangan, namun jumlah tutupan lahan ini akan menentukan runoff (air larian) atau limpasan air yang mengalir di permukaan. Air yang tidak terserap ke tanah tentu akan mengalir ke tempat yang lebih rendah, yang secara ideal seharusnya tertampung oleh sungai. Ketika curah hujan cukup tinggi, di tambah dengan tutupan lahan resapan yang kecil, maka jumlah air larian akan semakin tinggi. Apabila air larian ini bisa mengalir ke sungai dan kapasitasnya mencukupi, tentu tidak akan menjadi masalah, namun bila tidak, akan tercipta genangan, yang mana merupakan kondisi ketiga.

Sekarang ketika melihat Citarum, khususnya bagian hulu, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, kita ketahui bahwa curah hujan di sektiar Bandung memang relatif tinggi sekitar Maret dan Desember. Hal ini tentu akan mengakibatkan debit air Citarum akan meninggi secara signifikan pada dua waktu tersebut. Apalagi ketika melihat struktur dari Citarum sekitar DAS Hulu, banyaknya anak sungai yang bertemu di satu lokasi yang berdekatan membuat peningkatan debit air di lokasi tersebut menjadi sangat tinggi ketika hujan.

Alt Text

Di sisi lain, padatnya kawasan pemukiman di sekitar DAS menimbulkan terjadinya degradasi fungsi konservasi sumber daya air seperti luas lahan kritis yang meningkat. Artinya, tutupan lahan resapan menjadi sangat kecil sehingga air hujan otomatis langsung menjadi air larian yang entah tergenang, atau mengalir ke sungai utama Citarum. Padahal, elevasi lahan lebih rendah dari elevasi muka air banjir sungai, sehingga air larian tidak bisa mengalir sehingga menjadi genangan. Selain itu, kapasitas sungai Citarum sendiri juga semakin mengecil karena pendangkalan akibat sedimentasi dari pencemaran limbah, baik dari pemukiman, industri, maupun pertanian, ataupun dari kadar erosi yang semakin tinggi karena gundulnya hutan yang seharusnya bisa menjaga kekuatan tanah. Kedua hal ini, baik sedimentasi maupun erosi diakibatkan oleh banyaknya alih fungsi lahan sekitar hulu Citarum dari hutan menjadi sawah, perkebunan, atau pemukiman. Selain itu, sampah padat yang terbuang ke sungai pun mengakibatkan kapasitas sungai menurun karena ruang yang seharusnya bisa diisi oleh air jadi terpenuhi oleh sampah.

Alt Text

Alt Text

Semua keadaan itu lah yang kemudian menjadi penyebab wajar terjadinya banjir di sekitar Bandung Selatan. Paling tidak 3 kecamatan selalu tergenang air di tiap tahunnya. Terlepas dari padatnya pemukiman di sana saat ini, kondisi geografis dan iklim sudah menjadi rasionalisasi sederhana kenapa banjir selalu terjadi. Bahkan tercatat pada 1931 banjir sudah mulai menggenangi daerah Citarum Hulu ini. Berbagai cara mungkin sudah diupayakan, namun pada akhirnya kenyataannya banjir selalu menjadi langganan. Bila tidak segera dicari penanganan atau solusi yang signifikan, banjir akan terus menghiasi hari-hari masyarakat Bandung Selatan tiap tahunnya.

Lantas Solusinya?

Melihat pemaparan sebelumnya, kita paling tidak telah melihat ada beberapa akar sebab. Yang pertama adalah genangan yang tercipta karena rendahnya elevasi lahan ketimbang elevasi permukaan sungai, sehingga ketika air sungai meluap, air justru akan turun ke daratan dan menciptakan genangan yang tidak bisa langsung surut walaupun air sungai sudah tidak meluap. Selain itu, genangan tercipta karena tutupan lahan di sekitar DAS membuat air tidak bisa terserap ataupun teralirkan semestinya. Sebab kedua adalah luapan sungai Citarum yang disebabkan kapasitas air sungai yang tidak sebanding dengan debit air yang mengalir ketika musim hujan. Terakhir, sebab yang paling ekstrim adalah ketidaksesuaian tata ruang DAS Citarum yang seharusnya tidak pantas dijadikan kawasan pemukiman.

Untuk permasalahan yang pertama, salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah pembangunan kolam tampungan banjir dengan sistem pompa atau secara umum disebut dengan sistem polder. Dengan sistem polder ini, daerah dengan elevasi rendah akan dilindungi dengan dinding melingkar untuk menahan aliran air dari luar. Di dalam sistem tersebut, dibangun suatu kolam yang digunakan untuk menampung air larian akibat hujan lokal di daerah tersebut yang tidak bisa mengalir ke mana-mana. Air yang tertampung di kolam (biasa disebut kolam retensi) ini akan dikeluarkan ke sungai dengan menggunakan pompa.

Alt Text

Walaupun pemerintah Jawa Barat sudah terus mendesak pembangunan kolam retensi di daerah Cieunteung, hal ini juga tidak bisa sepenuhnya dijadikan solusi utama. Apalagi untuk membangun kolam retensi, diperlukan pembebasan lahan yang cukup luas. Kolam retensi bisa menjadi sebuah solusi, namun tidak bisa menjadi solusi satu-satunya. Karena sebagaimana yang dinyatakan oleh Walhi Jawa Barat, kemampuan kolam retensi menampung air tidak akan maksimal karena hanya 12 hektar, sedangkan debit air Citarum berada di atas itu. Maka diperlukan solusi tambahan untuk menunjang kolam retensi ini.

Elevasi lahan di sekitar hulu yang lebih rendah ketimbang permukaan sungai ketika banjir sebenarnya juga tanpa sebab. Padatnya pemukiman beserta pabrik-pabrik industri di sekitar wilayah tersebut merupakan salah satu faktor yang memperparah hal tersebut. Bangunan di sana, terutama pabrik-pabrik besar, menyedot air dari dalam tanah dalam jumlah yang cukup banyak sehingga mengakibatkan land subsidence atau penurunan muka tanah. Hal ini terjadi karena ketika air tanah terus disedot keluar, lapisan air tanah jadi berkurang sehingga lapisan batuan di atasnya turun. Daya serap tanah wilayah itu pun sangatlah minim sehingga air-air tanah tidak bisa kembali mengisi lapisan air tanah. Mengingat hal ini, dirasa memang sangat diperlukan untuk mengatur ulang tata guna lahan di sekitar DAS Citarum Hulu agar penurunan muka tanah yang terjadi dapat dikurangi sehingga tidak memperparah cekungan yang mengakibatkan genangan banjir.

Alt Text
Data Sebaran Pemanfaatan Lahan DAS Citarum Hulu (2010)

Untuk yang sebab kedua, satu-satunya solusi adalah meningkatkan kapasitas sungai citarum. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara yang sering dikenal dengan normalisasi sungai, yaitu pelebaran badan sungai, atau pengerukan untuk menambah kedalaman. Pelebaran badan sungai sudah mulai sukar dilakukan karena daerah tepi sungai sekitar Citarum hulu sudah dipadati penduduk sehingga pelebaran akan memakan biaya banyak untuk pembebasan lahan. Pengerukan sendiri membutuhkan biaya yang cukup besar karena memang bukan hal yang mudah dilakukan mengingat alat pengeruk harus bisa menggapai dasar sungai. Kecuali kita memiliki teknologi lain untuk pengerukan selain dengan eskavator sederhana, pengerukan dasar sungai akan menjadi kesulitan tersendiri. Sebenarnya normalisasi sungai tidak hanya sekedar melebarkan atau mengeruk sungai, tapi juga pembangunan tanggul dan sudetan (anak sungai baru), namun untuk pembangunan sudetan sendiri sama sulitnya dengan pelebaran.

Peningkatan kapasitas sungai dengan pengerukan ataupun pelebaran sendiri tidak akan bisa menjadi solusi yang berpengaruh signifikan bila tidak diiringi dengan solusi-solusi lainnya. Apa yang menyebabkan kapasistas Citarum berkurang adalah pendangkalan akibat sedimentasi ataupun erosi. Kedua hal ini terjadi karena tata guna lahan yang kurang tepat di daerah sekitar hulu Citarum ataupun anak-anak sungainya. Seperti misalnya limbah dari Cikapundung yang berasal dari pembangunan besar-besaran di Kawasan Bandung Utara (KBU) memberi sumbangan sedimentasi cukup besar ke hulu sungai Citarum. Kalaupun dasar sungai diusahakan untuk dikeruk pun, selama sedimentasi dan erosi ini terus terjadi, pendangkalan pun akan juga terus terjadi dan kembali menurunkan kapasitas sungai. Selain itu, sampah sebagai penyebab lain menurunnya kapasitas air Citarum juga memerlukan perubahan budaya dan mental dari masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai dan menjaga kebersihannya.

Untuk sebab terakhir, sebenarnya ada satu solusi praktis yang bisa diberikan, yakni relokasi seluruh masyarakat di wilayah cekungan Bandung dan membiarkan tempat itu memang untuk tergenang air. Bahkan lebih lanjut, genangan air yang muncul bisa dimanfaatkan lebih dengan menyengajakan pembuatan waduk atau hal-hal lain yang mungkin lebih bermanfaat. Hal ini sebenarnya cukup logis mengingat baik secara geografis maupun iklim sendiri, wilayah cekungan Bandung adalah wilayah yang secara pasti akan tergenang air ketika musim hujan sehingga wilayah itu tidak pantas untuk dijadikan kawasan pemukiman. Namun tentu hal itu bukanlah solusi yang semudah itu bisa dilakukan. Banyak resiko dan hambatan yang muncul untuk melakukan tindakan seekstrim itu. Merelokasi masyarakat adalah hal lain lagi yang bisa menjadi polemik berkepanjangan. Sedangkan pembangunan ulang kawasan itu, yang mana sudah dipadati pemukiman, dengan waduk atau hal lainnya juga membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Pemerintah mungkin sudah melakukan beragam upaya untuk masalah banjir ini. Gerakan Citarum Bestari (Bersih, Indah, Sehat, dan Lestari) yang digalakkan oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat sejak 2015 kemarin mungkin bisa menjadi satu usaha tersendiri yang perlu didukung bersama. Dengan beragam program yang dicanangkan, sungai Citarum memang perlu segera mendapatkan perhatian lebih mengingat ini sungai dengan memiliki banyak potensi namun sayang kenyataannya justru menjadi sungai terkotor. Kasus terbaru bahkan mengatkan bahwa terdapat tumpukan sampah padat hingga 500 ton yang menutupi aliran anak sungai Citarum di perbatasan wilayah Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung. Selain masalah sampah, sudah jelas bahwa tata guna lahan sekitar hulu Citarum perlu diperbaiki. Dari data tahun 2010 tercatat bahwa kawasan hutan pada DAS Citarum Hulu hanya 60,835 hektar dari total 227,446 hektar luas DAS. Hal ini berarti hanya sekitar 26,75% luas DAS yang menjdi kawasan hutan dan akan terus berkurang hingga tahun ini. Padahal dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Jabar sendiri tertulis bahwa luas kawasan hutan minimal 30% dari luas DAS.

Alt Text

Terlihat bahwa masalah banjir di Bandung Selatan merupakan permasalahan yang tidak sederhana. Mulai dari kesadaran masyarakat dalam merawat sungai hingga tata ruang Jawa Barat sendiri perlu dibenahi. Bahkan masalah pembangunan di Bandung Utara pun ikut berkontribusi dalam permasalahan banjir ini. Solusi yang bisa diberikan sebenarnya bisa dibagi menjadi dua, yakni upaya struktural, seperti pembangunan kolam retensi ataupun pengerukan, dan upaya nonstruktural, seperti edukasi ke masyarakat ataupun pembersihan sungai. Namun, keduanya sama-sama membutuhkan dana yang tidak sedikit. Gerakan Citarum Bestari dalam format baru di 2016 pun memakan dana hingga 120 miliar rupiah. Itu pun belum menyelesaikan masalah utama secara permanen. Terkait upaya non struktural sendiri pun membutuhkan kolaborasi dari banyak pihak mengingat sungai Citarum merupakan milik bersama.

Jika melihat kembali kondisi alamnya, tidak mudah benar-benar menyelesaikan permasalahan banjir bandung selatan hingga tuntas. Air seakan sudah ditakdirkan untuk menggenang di sana. Kolam retensi ataupun upaya-upaya lainnya pun hanya membantu mengurangi resiko, bukan menyelesaikan permasalahan. Mungkin bisa saja relokasi masyarakat di cekungan Bandung bisa jadi pertimbangan, walaupun sangat jauh dari feasibilitas. Selama ini sendiri pun, seakan tidak ada komunikasi yang baik antar komponen-komponen utama yang mungkin berperan, seperti pemerintah, akademisi, LSM, maupun masyarakat. Yang masyarakat lain ketahui hanyalah berita tahunan bahwa bandung selatan kembali tergenang banjir, beragam bantuan pun dikirimkan, musim hujan selesai, masyarakat lupa lagi, dilanjutkan musim hujan berikutnya, dan seterusnya.

Apakah mungkin kita bisa memutus rutinitas tahunan ini? Entahlah. Semua solusi yang dijelaskan sebelumnya juga bukanlah merupakan solusi utama, karena pada akhirnya banjir akan tetap ada dan tiap tahun tim SAR dan beragam relawan pun harus siap turun lagi. Di dunia akademis, banjir selatan mungkin pernah jadi topik bahasan, tapi entah jadi apa. Di wilayah pemerintah, beragam program pun disiapkan, tapi juga entah hasilnya seperti apa. Ya, sepertinya semua dunia sibuk sendiri ketika padahal masalahnya sama.

Bingung? Iya, tapi aku bisa apa? Aku hanyalah mahasiswa matematika yang senang menulis.

Menteri Pusat Studi Arsip dan Kajian Kebijakan Kabinet KM ITB 2016

(PHX)

Alt Text

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora